(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Moderasi Beragama Dalam Relasi Gender dan Seksualitas

Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

ISIF CIREBON – Sudah lama saya ingin tulis ini, sejak terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

PMA 73/2022 ini terbit pada 5 Oktober 2022 dan diundangkan pada 6 Oktober 2022. Sebelum PMA ini terbit telah dikeluarkan Surat Keputusan Dirjen Pendis No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Di tengah gerakan moderasi beragama yang tengah dipimpin Kementerian Agama, saya ingin mengatakan bahwa PMA 73/2022 ini adalah wujud nyata komitmen moderasi beragama dalam relasi gender dan relasi seksual.

Mungkin sebagian orang menduga, dalam moderasi beragama, relasi gender dan relasi seksual bersifat longggar, tengah-tengah antara anti kekerasan seksual dan permisifikasi seksual. Ini tentu cara pandang yang salah sejak memahami moderasi beragama sebagai sikap tengah-tengah, laa wa laa, tidak ke sana tidak ke sini.

Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, termasuk dalam relasi gender dan relasi seksual, dengan mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Dari definisi ini jelas, dalam moderasi beragama terdapat 9 prinsip yang melekat, yaitu kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormatan terhadap tradisi.

Nah, kekerasan seksual ditinjau dari manapun bertentangan dengan semua prinsip moderasi beragama itu. Kekerasan seksual adalah tindakan ekstrem yang melanggar kemanusiaan, madlarat, dzalim, dan bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama.

Jika ada suatu ajaran agama yang membolehkan atau menyetujui kekerasan seksual, maka cara beragama tersebut adalah ekstrem. Tentu bertentangan dengan cara pandang, sikap, dan tindakan moderasi beragama.
Ini berlaku untuk semua jenis kekerasan seksual, dalam lingkup domestik atau publik, dalam ranah private, keluarga, masyarakat, atau negara.

Oleh karena kekerasan seksual adalah tindakan yang dilarang agama (haram), maka mencegahnya, membela korban, dan menghukum pelaku adalah wajib hukumnya.

Tujuannya tentu saja agar kemafsadatan ini tidak terjadi lagi. Pelaku jera dan bertobat. Korban tertolong dan dipulihkan secara fisik, psikis, sosial, finansial, dan spiritual.

Nah, hebatnya PMA 73/2022 ini sudah mencakup semua ini. Kami sungguh sangat bangga dan mengapresiasi langkah-langkah kongkret dari Kementerian Agama untuk menghadirkan Islam yang anti kekerasan, rahmah, adil, maslahat, dan senantiasa menjunjung tinggi kemuliaan manusia (karomatul insan). Inilah wujud nyata moderasi beragama dalam relasi gender dan relasi seksual.

Dengan PMA 73/2022 ini, saya berdoa dan ingin menyaksikan pendidikan agama dalam berbagai jenis dan jenjangnya bebas dan bersih dari kekerasan seksual, mulai dari hulu hingga hilir. []

Moderasi Beragama : Ajaran Menebar Kemaslahatan Bersama

Oleh : Gun Gun Gunawan (Ketua DEMA ISIF)

Secara umum, moderasi beragama merupakan gerakan jalan tengah dalam memediasi persoalan relasi antar umat beragama.

Moderasi beragama juga menjadi cara pandang mengenai praktik beragama yang mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama.

Selain itu, moderasi beragama juga hadir untuk memberikan alternatif terhadap persoalan keberagaman. Pasalnya, keberagaman ini merupakan anugerah yang telah diberikan Allah Swt.

Jika merujuk pada pandangan Lukman Hakim Syaifuddin dalam buku “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya” moderasi beragama merupakan cara pandang sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengerjakan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.

Bagi Lukman, frasa “dalam kehidupan bersama” mengindikasikan bahwa penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang dimaksud dalam penguatan moderasi beragama utamanya adalah menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Artinya, moderasi beragama tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kehidupan dan praktik beragama individu sebagai pribadi.

Frasa “mengejawantahkan esensi ajaran agama” mengindikasikan bahwa moderasi beragama menekankan adanya pemahaman dan praktik beragama substantif yang selalu mengedepankan esensi setiap ajaran dan ritual agama.

Kerangka berpikir urgensi moderasi beragama ini dibangun di atas kesadaran bahwa esensi ajaran agama yang paling luhur adalah martabat kemanusiaan.

Oleh sebab itu, perlu ditekankan bahwa tujuan utama sikap moderat ditujukan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum.

Nilai-nilai yang telah disebut pun harus berlandas pada prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.

Poin ini lebih pada penegasan kepada cara pandang, sikap, dan perilaku ajaran keagamaan tidak boleh mengakibatkan adanya penyimpanan dan pelanggaran terhadap ideologi dan konstitusi negara (Pancasila dan UUD 1945) yang telah menjadi konsesus bersama bangsa Indonesia.

Karena sejatinya paham akan moderasi beragama secara eksplisit telah meniscayakan pada setiap warga negara Indonesia untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. []