(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Nalar Politik Perempuan Pesantren: Melacak Bias Gender dalam Tafsir-Tafsir Teks Keagamaan

ISIF Cirebon —  Selama berabad-abad, perempuan sering terpinggirkan dari panggung politik dan dibatasi perannya hanya di ranah domestik. Banyak yang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang “alami”—seolah-olah sudah menjadi kodrat bahwa laki-laki yang aktif di luar rumah, sementara perempuan cukup di dapur, sumur, dan kasur.

Konstruksi sosial berupa pembagian peran antara laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik, mengakibatkan akses dan partisipasi perempuan dalam dunia politik sangat rendah. Faktor lain yang menjadi salah satu penghambat dalam menciptakan kesadaran dan pemahaman dilatarbelakangi oleh pandangan teologi yang tidak membebaskan, artinya perempuan berpegang pada konsep teologi yang justru tidak memihaknya, karena diyakini sebagai doktrin kesucian agama yang tidak dapat diganggu gugat.

Bias Tafsir dan Pengaruh Tradisi dalam Penafsiran Teks

Dominasi peran laki-laki terhadap perempuan menurut Asghar Ali Enginer dibenarkan oleh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan oleh laki-laki untuk mengekalkan dominasi mereka. Begitu kuatnya sikap ini, sehingga norma-norma kitab suci yang progresif pun menjadi terpengaruh. Sebagai akibatnya, kitab suci diinterpretasikan sedemikian rupa sehinggga merefleksikan sikap mental yang berlaku.

Demikianlah kondisi masyarakat yang didominasi hak-hak seringkali mengekang norma-norma yang adil dan egaliter yang dipersembahkan bagi umat manusia. Tidak terkecuali kitab suci Al-Qur’an yang secara komparatif bersikap membebaskan dalam perlakuannya terhadap perempuan.

Apakah domestifikasi perempuan ini memang sudah merupakan fitrah masing-masing perempuan, sehingga secara alami telah terjadi konsensus pembagian peran yang demikian? Atau disebabkan oleh asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki, sehingga sepantasnya kalau kemudian laki laki mendominasi perempuan?

Setidaknya asumsi tersebut untuk sementara bisa dianggap benar adanya, karena secara historis telah berlangsung sepanjang zaman, kecuali di kalangan masyarakat matriarkhal yang jumlahnya tidak banyak.  Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa interpretasi yang bias terhadap makna Al-Qur’an menghasilkan pemahaman yang rancu, bahkan mengakibatkan adanya penyimpangan terhadap makna yang sesungguhnya.

Adanya penafsiran yang masih bias (misoginis) terhadap teks Al-Qur’an oleh para penafsir yang semuanya adalah laki-laki. Prof. Dr. Nasarudin Umar, MA. dalam salah satu bukunya, “Teologi Gender”, mensinyalir beberapa faktor yang menyebabkan penafsiran yang bias itu.

Di antara beberapa faktor tersebut adalah adanya pembakuan terhadap tanda baca, tanda huruf, dan gira’ah dalam proses kodifikasi teks. Perbedaan makna dalam beberapa kosa kata yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran dalam meng-istimbath hukum, seperti kata quru’ : dalam Al-Baqarah: 228 yang mempunyai dua arti, yaitu masa suci dan masa haid.

Perbedaan pendapat yang dari penafsiran kata tersebut berimplikasi pada perbedaan hukum ‘iddah yang ditanggung oleh perempuan setelah diceraikan suaminya. Abu Hanifah misalnya, memilih untuk memaknai kata  quru’ dangan makna haid. Sementara Imam Syafii’ lebih cenderung pada makna suci. Implikasinya bagi Abu Hanifah, masa ‘iddah perempuan menjadi lebih panjang dari pada masa Iddah menurut pendapat Imam Syafii’.

Penggunaan kata ganti dalam teks yang mengindikasikan pada dominasi laki-laki. Seperti menunjuk Tuhan dengan kata ganti laki-laki, menomorduakan kata ganti perempuan setelah laki-laki ketika menunjuk laki laki dan perempuan dalam waktu yang bersamaan, atau penggunaan kata ganti lak-laki untuk menunjuk perempuan dan laki-laki sekaligus.

Selain itu, penafsiran ayat-ayat Al-Quran banyak sekali dipengaruhi oleh cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat Yahudi dan Kristen sebelum Islam atau dari Perjanjian Lama dan Baru, atau yang disebut dengan riwayat Israiliyat. Contohnya bisa kita lihat dari penafsiran ayat tentang penciptaan laki-laki dan perempuan. Para penafsir banyak menceritakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Cerita itu rupanya dikutip dari Perjanjian Lama karena dalam teks Al-Qur’an tidak  ada satu ayat pun yang menjelaskan tentang cerita tersebut.

Kenyataan lain yang juga harus kita akui adalah terdapatnya teks teks yang misoginis, baik di dalam Al-Qur’an  maupun hadis. Ini disebabkan karena faktor karakter bahasa Arab yang bias gender dan faktor kondisi sosio-historis yang tidak bisa dilepaskan dari teks. Oleh karena Itu, diperlukan kajian kritis dalam penafisiran agama, jika perlu, dilakukan dekonstruksi tafsir agama secara kolektif dari komprehensif dengan menggunakan perspektif gender.

Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam tradisi masyarakat pada umumnya bersumber dari faktor interpretasi. Bagaimana dengan sejumlah teks di dalam Al-Quran yang jelas mengeksplisitkan makna misoginis terhadap perempuan, misalnya tentang waris, nusyuz dan sebagainya. Apakah ada infiltrasi dari unsur tradisi sebelum Islam atau memang merupakan tradisi yang hendak dibangun oleh Islam.

Meski demikian, bila kita cermati secara kritis kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sejumlah teks agama yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang dapat dianggap sebagai dasar legitimasi oleh sementara orang untuk merendahkan martabat perempuan dan menempatkannya pada posisi subordinat kaum laki-laki.

Kedua sumber ini pada gilirannya dapat memberikan peluang bagi tindakan kekerasan terhadap perempuan atas nama kebenaran agama. Pemahaman teks-teks keagamaan seperti itu tentu saja tidak bisa dibenarkan, karena memberi kesan yang bertentangan dengan visi kesetaraan dan keadilan manusia sebagaimana dalam prinsip-prinsip universal.

Pemahaman agama yang bias gender bisa terjadi karena penafsiran terhadap teks yang sepotong-sepotong, tidak utuh, atau karena hanya memahami teks secara tekstual dengan mengabaikan konteks sosio-historisnya.

Melalul teks-teks di atas, Islam pada awal perkembangannya sesungguhnya berusaha melakukan pembongkaran terhadap wacana ideologis yang berkembang pada saat itu, — sebuah ideologi yang sepenuhnya patriarki, sepenuhnya diskriminatif dan sarat dengan kekerasan.

Upaya-upaya transformasi tersebut dilakukan melalul dua pendekatan yaitu, di satu sisi mengangkat citra dan martabat perempuan serta menyejajarkannya dengan laki laki baik dalam hak haknya maupun kewajiban kewajibannya. Di sisi lain, mengecam praktik praktik perendahan, pelecehan, dan kekerasan terhadap mereka. Cara cara tersebut dilakukan secara terus menerus oleh Nabi Muhammad SAW. Pada suatu saat beliau mengatakan,

“Sebaik baik kamu adalah yang paling baik terhadap istrimu dan sungguh, perempuan adalah saudara kandung laki laki”,

Reinterpretasi Kritis terhadap Teks Keagamaan

Setiap agama pada dasarnya menganjurkan untuk menegakkan prinsip prinsip keadilan dan kesetaraan. Pandangan egalitarianisme Islam dan penolakannya terhadap praktik-praktik kekerasan yang dilakukan manusia dalam kaitannya dengan relasi laki laki dan perempuan dibicarakan secara luas dalam Al-Qur’an maupun hadis. Islam tidak pernah membeda-bedakan antara manusia yang satu dengan lainnya, antara laki laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Q.S. al-Hujurat [49]:13, an-Nisa” [4]:1, al-A’raf [7]:189, az-Zumar [39]:6, Fatir [35]:11, al-Mukminun [40]:67, dan sebagainya.

Secara tegas ayat-ayat tersebut tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Karenanya tidak perlu ada superioritas satu golongan, satu suku, satu bangsa, satu ras maupun satu jenis kelamin tertentu kepada yang lain. Prinsip kesetaraan mengindikasikan adanya persamaan antar sesama umat manusia, baik perempuan maupun laki-laki tanpa mengenal batas dari manapun asalnya.

Namun bila kita cermati secara kritis ditemukan sejumlah teks-teks misoginis yang mendiskriminasikan perempuan dan interpretasi terhadap pemahaman-pemahaman agama yang bias gender yang dijadikan sebagai dasar legitimasi oleh sebagian orang untuk mensubordinasikan perempuan. Dengan dasar pemahaman seperti ini, memberikan peluang yang sangat besar terjadinya praktik tindakan kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan kebenaran ajaran agama.

Ada sejumlah kemungkinan yang dapat dianalisis mengapa perspektif diskriminatif dan subordinatif terjadi dalam wacana atau pemikiran keagamaan seperti itu. Pertama, sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikan teks. Kedua, mungkin penafsiran dilakukan secara sepotong-sepotong, tidak utuh dan lepas dari setting sosio-historisnya, sosio-kulturalnya, kapan dan di mana teks tersebut diturunkan. Ketiga, kemungkinan memanipulasi hadis-hadis Nabi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Persoalan lain adalah problem metodologi penafsiran terhadap teks-teks agama dan kevakuman (jumud) dalam melakukan analisis terhadap teks-teks dalam konteks kehidupan kekinian yang dinamis dan terus berubah secara kritis.

Bila kita mengamati pernyataan-pernyataan Al-Qur’an yang mengkritik secara tajam terhadap kebudayaan Arab yang diskriminatif dan misoginis terhadap perempuan sebelum Al-Qur’an diturunkan, seharusnya dapat dijadikan dasar metodologi kita untuk mereinterpretasikan teks-teks yang bias gender menjadi sebuah pemahaman baru yang sesuai dengan cita-cita al-Qur’an yaitu kesetaraan dan keadilan.

— Disarikan dari buku Nalar Politik Perempuan Pesantren, (Maria Ulfah Ansor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina Institute, 2006).

Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam

Judul Buku: Fiqih Perempuan
Penulis: Husein Muhammad
Penerbit : Diva Press
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit: 2019

Oleh: Gungun Gunawan (Mahasiswa AS)

ISIF CIREBON – Buku ini adalah refleksi kegelisahan KH. Husein Muhammad sebagai kiai pesantren atas isu-isu perempuan. Melalui pemikirannya, pria yang kerap disapa Buya Husein menuangkan gagasannya tentang problematika perempuan dan kesetaraan gender dalam perspektif Islam.

Hasilnya, buku ini menjadi sebuah diskursus yang brilian dan mendobrak sekat-sekat dogmatis tradisi keagamaan konservatif yang masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki.

Melalui penyusunan dan editing yang apik oleh Kiai Faqih Abdul Kodir pula, buku ini memberikan pemahaman alternatif mengenai posisi perempuan sebagai makhluk yang sama dan setara dengan laki-laki.

Dengan perspektif Islam tentunya, buku ini menggunakan referensi tafsir ayat al-Qur’an, tafsir hadits, pendapat para ulama terdahulu, kaidah-kaidah fiqih, dan tinjauan maqasyid asy-syari’ah dalam interpretasi terhadap posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Sehingga argumentasi dan pendapat yang diberikan mempunyai posisi dan landasan kuat dan bisa diperdebatkan dengan tafsir terdahulu.

Dengan bahasa yang ringan, buku ini layak menjadi pegangan dasar bagi yang ingin memahami secara utuh tentang perempuan dan kesetaraan gender dari perspektif Islam.

Usia Perkawinan Anak di Berbagai Negara

Atas apa yang menjadi kesan bacaan di atas, sebagai sampel hasil bacaan, saya ingin mengutarakan refleksi atas apa yang telah Buya Husein telurkan dalam buku ini, terkhusus pada bagian yang membahas perkawinan anak.

Dalam bukunya, Buya Husein mengutip pendapat Ibnu Syubrumah, bahwa secara tegas beliau menolak pernikahan anak. Ibnu Syubrumah juga menyebut bahwa kebolehan perkawinan anak hanya berlaku khusus untuk Nabi Muhammad Saw.

Sama halnya dengan pandangan Ibnu Syubrumah, pendapat Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Batti juga menegaskan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah menikah. Sedangkan merujuk kepada pernikahan Nabi dengan Aisyah, mereka berpendapat bahwa pernikahan Nabi Saw dan Aisyah adalah pengecualian dan kekhususan bagi Nabi Saw saja.

Oleh sebab itu, pandangan dari tiga ulama di atas menjadi dasar bagi negara Syiria. Di Syiria terkait peraturan pernikahan mereka menetapkan pelarangan pernikahan anak atas dasar beberapa pertimbangan, di antaranya terkait kemaslahatan, realitas sosial, dan pertimbangan tanggung jawab perkawinan. Syarat yang bisa menikah di Syiria adalah bagi mereka yang sudah baligh dan berusia 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan minimal berusia 17 tahun.

Selain di Syiria, di Mesir juga demikian. Di Mesir elah menetapkan aturan batas usia menikah. Usia bagi perempuan yang ingin menikah 16 tahun sedangkan bagi laki-laki boleh menikah saat usianya masuk 18 tahun. Di Bangladesh, perempuan yang bisa menikah adalah yang telah berusia 18 tahun dan 21 tahun bagi laki-laki. Sedangkan di Tunisia, seperti di Indonesia, menetapkan umur 19 tahun sebagai acuan batas minimal bagi laki-laki dan perempuan yang boleh menikah.

Larangan Perkawinan Anak

Dalam buku ini, Buya Husein menyebutkan terkait larangan perkawinan anak. Larangan ini, kata Buya Husein, karena beberapa fakta realitas di kehidupan masyarakat kerap kali perkawinan anak ini mendatangkan banyak dampak buruk.

Misalnya, banyaknya anak laki-laki maupun perempuan yang belum siap secara fisik, mental, maupun secara ekonomi. Terlebih, bagi anak perempuan mengalami hamil di usia anak-anak, ini tentu akan berpengaruh kepada fisik dan mental si anak. Tidak sedikit anak mengalami keguguran, kurangnya gizi bagi bayi (stunting).

Sementara itu, dalam ajaran Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk mengambil maslahat dan menghilangkan mafsadat. Jika perkawinan anak ternyata banyak menimbulkan tindakan kemafsadatan seperti, stunting, penelantaran ekonomi dan sebagainya. Maka menghilangkan kemafsadatan tersebut adalah yang utama.

Selain itu, jika meninjaunya dari maqashid asy-syari’ah juga demikian. Dengan kita melarang pernikahan anak ini, menjadi upaya untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifdz an-nasl) yang sehat.

Dari beberapa pertimbangan di atas, kita dapat memahami bahwa dalam usaha untuk mencapai keluarga yang harmonis. Maka kita butuh aturan terkait batas usia perkawinan. Hal ini guna untuk menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan demi tercapainya kemaslahatan bersama. []

*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 25 Oktober 2022 dengan judul: Buku Fiqih Perempuan : Kesetaraan Gender dan Kawin Anak dalam Perspektif Islam

Melawan Peminggiran Peran Ulama Perempuan

Ketika Islam bermula, perempuan memiliki akses dan peran setara terhadap teks kitab suci, yang memungkinkan mereka membentuk otoritas penafsiran. Namun, seiring waktu, peran itu tenggelam dan banyak tafsir lahir tanpa disertai sensitivitas gender.

Peneliti sejarah Islam dari Perancis, Samia Kotele menyebut salah satu prinsip dalam agama Islam adalah kesetaraan. Karena prinsip itu pula, sejumlah perempuan di era Nabi Muhammad, mampu memulai tradisi dalam bidang keagamaan. Peran perempuan dalam tafsir, misalnya, sudah terlibat. Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam agama menjadi semakin terpinggirkan.

“Partisipasi perempuan dalam ranah keagamaan menurun seiring dengan perkembangan ranah produksi keagamaan dan konstruksi normatif, itu sekitar abad ke delapan,” kata Samia.

Kandidat Ph.D di Institut Studi Politik, Lyon, Prancis, itu berbicara dalam kolokium ulama perempuan seri pertama, pada Minggu (26/12) malam. Tema yang dibahas adalah pertanyaan bernada protes: Mengapa Ulama Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah. Samia telah melakuan penelitian berkaitan dengan isu tersebut selama dua tahun, dan akan memulai penelitian lapangan di Indonesia saat ini.

Marginalisasi dan Interpretasi

Dalam konteks masa lalu, lanjut Samia, muncul sekelompok perempuan di lingkaran terdekat Nabi, yang punya akses terhadap teks kitab suci. Fenomena marginalisasi mulai terlihat jelas pada saat itu dibuktikan dengan hanya sekelompok perempuan tertentu yang memiliki akses terhadap teks keagamaan.

“Perempuan di lingkaran Nabi tidak hanya berpartipasi dalam produksi keilmuan Islam, tetapi juga terlibat dalam tradisi pemikiran kritis di dalam keilmuan tersebut,” tambah Samia.

Penurunan peran ulama perempuan seiring waktu melahirkan kondisi baru terkait interpretasi teks keagamaan.

“Marjinalisasi perempuan dalam tradisi ini, memungkinkan ulama laki-laki untuk menginterpretasikan ayat-ayat suci dalam perspektif laki-laki,” ujarnya lagi.

Karena kondisi itulah, Samia menilai suara para ulama perempuan tetap tidak terdengar, sebab terpinggirkan dari domain ideologis.

Indonesia menjadi penting dalam kebangkitan peran ulama perempuan di abad ke-20. Ketika Muhammadiyah berdiri misalnya, mereka langsung mendirikan organisasi nasional untuk perempuan. Selain itu, dalam peta muslim dunia, peran Indonesia juga penting, dan salah satu yang paling penting adalah terkait pendidikan.

Di Indonesia, pendidikan bagi perempuan sudah ada sejak awal, misalnya melalui pesantren. Meski tetap muncul perbedaan, setidaknya kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan cukup terbuka jika dibandingkan dengan kondisi di mayoritas negara berpenduduk muslim lainnya, khususnya di wilayah Arab.

Karena sejarah panjang itu pulalah, kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 dapat dipahami. KUPI sendiri mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki perspektif gender untuk memahami teks-teks keagamaan.

Hilang dari Sejarah

Aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai penelitian yang dilakukan Samia sangat penting bagi sejarah gerakan perempuan Indonesia. Ita sendiri saat ini tengah melakukan penelitian terkait marginalisasi gerakan perempuan Indonesia, sesudah peristiwa 65.

“Peristiwa 30 September 1965 itu mempunyai dampak yang sangat besar, terhadap gerakan perempuan, termasuk gerakan ulama perempuan,” kata Ita yang juga turut mendirikan Komnas Perempuan.

Fakta peminggiran peran ulama perempuan, dinilai Ita sangat jarang dibahas dalam kajian sejarah Indonesia. Padahal hal tersebut penting, untuk menjadi pengetahuan bersama.

Karena keterbatasan sumber tertulis, narasi oral nampaknya akan menjadi sumber data dalam studi semacam ini.

“Ini akan memanggil kembali memori dari ulama perempuan, tentang bagaimana perjuangannya, dan ini penting disimpan sebagai arsip,” tambah Ita yang juga aktif di Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS).

Ita bahkan menyebut, gerakan perempuan tidak hanya dibungkam, tetapi dibunuh oleh sejarah.

Akibat pembungkaman panjang itu, banyak pihak di Indonesia bahkan tidak menyadari keberadaan dan peran ulama perempuan, seperti dikatakan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon, Jawa Barat, Marzuki Wahid.

“Kita baru sadar ada ulama perempuan dan istilah ulama perempuan, akhir-akhir ini, terutama ketika ada KUPI dan sebelumnya. Betapa pentingnya kehadiran dan peran ulama perempuan dalam panggung sejarah dan panggung kehidupan hari ini,” kata Marzuki.

Seluruh proses perbincangan mengenai sejarah dan peran ulama perempuan, penting untuk dicatat karena KUPI akan menyelenggarakan kongres keduanya pada November 2022.

Pengurus KUPI sekaligus pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nur Rofiah turut menyampaikan keprihatinannya atas kondisi yang menimpa ulama perempuan di Indonesia.

“Benar-benar sosoknya seperti tidak ada. Banyak ulama perempuan penting, tetapi dalam narasi sejarah tidak muncul sama sekali,” ujar Nur Rofiah.

Dia memberi contoh, Sultanah atau Sultan perempuan di Aceh yang meski perannya besar dalam sejarah Indonesia, tetapi tidak muncul dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Sementara dalam Islam, banyak pula tokoh ulama perempuan yang dahsyat, namun tidak muncul dalam tarikh Islam.

“Misalnya Ummu Salamah, yang baru kita tahu belakangan setelah gencar kita bicara perspektif perempuan, termasuk dalam sejarah,” tambah Nur Rofiah. [ns/rs]

Sumber: Tulisan telah dimuat di voaindonesia.com pada 27 Desember 2021.