by Gun Gun Gunawan | 25 Feb 2025 | Berita, Pusat Studi
ISIF Cirebon – Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar Diskusi Pemikiran Gus Dur dengan mengupas tema “Pesantren: Pendidikan Populis atau Elitis?” Diskusi yang memasuki sesi ke-10 ini diadakan di bawah rindangnya pohon asem ISIF dan dipandu langsung oleh Direktur Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial, Abdul Rosyidi pada Jumat, 21 Februari 2025.
Diskusi kali ini dipantik oleh Muhammad Abdul Aziz dengan menyoroti relevansi pendidikan pesantren dengan realitas hari ini. Topik ini berangkat dari tulisan Gus Dur berjudul “Pesantren: Pendidikan Populis atau Elitis?” yang terbit tahun 1976 dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS; 1999).
Dalam pemaparannya, Aziz menjelaskan bahwa pesantren mengalami perubahan yang signifikan dalam sistem seleksi dan orientasi pendidikannya dari masa ke masa. Pada awalnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan terbuka (populis) bagi semua kalangan, terutama mereka yang tidak tertampung dalam sistem pendidikan kerajaan.
Namun seiring berjalannya waktu, terjadi penyempitan fungsi pesantren, di mana fokus utamanya menjadi mencetak ulama dengan proses seleksi yang lebih ketat (elitis). Akibatnya, hanya sebagian santri kecil yang benar-benar menjadi ahli agama, sementara di sisi lain tingkat putus sekolah di pesantren cukup tinggi.
Selain itu, Aziz juga menyoroti masalah kepemimpinan dan pembiayaan pesantren. Menurutnya, sistem kepemimpinan yang hierarkis dan turun-temurun sering kali menghambat perubahan yang lebih progresif. Sementara itu, pesantren yang dahulu bergantung pada dukungan masyarakat kini mulai beralih pada pendanaan dari pemerintah, yang juga memiliki keterbatasan anggaran.
Pesantren dan Tantangan Zaman
Menanganggapi pemaparan Aziz, Direktur Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial, Abdul Rosyidi, mengungkapkan bahwa dinamika pesantren dari dulu sampai sekarang selalu terkait erat dengan kondisi masyarakat sekitar.
“Perubahan pesantren dari masa lalu hingga hari ini tidak terlepas dari bagaimana masyarakat menghendaki sebuah lembaga pendidikan keagamaan menemukan bentuk yang dirasa paling sesuai,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Ochid ini, juga menekankan relevansi gagasan-gagasan Gus Dur tentang pesantren dan tantangan yang dihadapinya. Meski tulisan yang dibahas telah berusia hampir lima dekade, pemikirannya tetap aktual dalam memahami bagaimana pesantren beradaptasi di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi saat ini.
“Tulisan Gus Dur yang kita diskusikan hari ini, meski ditulis pada tahun 1976, akan tetapi masih tetap relevan untuk melihat bagaimana pesantren mampu menghadapi tantangan terbesarnya yakni menghadapi zaman yang berubah,” tutupnya.*** (Gunawan)
by admin | 22 Feb 2025 | Artikel
Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut sebagai tasamuh adalah suatu sikap menghargai pendirian serta pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Toleransi juga salah satu nilai pendidikan karakter di pesantren. Al-ikhtilafu rahmatun adalah adagium (ungkapan) yang sangat familiar di kalangan santri. Di pesantren para santri secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan menjadi hal yang indah dan patut dirayakan.
Biasanya di pesantren banyak hal baru yang ditemui para santri yang baru mukim di pesantren, seperti perbedaan bahasa dan daerah para santri. Latar belakang budaya dan wilayah yang bervariasi tentu saja membuat setiap santri mempunyai pola perilaku yang berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang positif untuk menumbuhkan kembang seseorang di dalam lingkungan yang heterogen.
Banyak keuntungan yang dapat diambil bagi sesorang yang tumbuh di lingkungan beragam, seperti di pesantren. Misalnya, mereka dapat belajar dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi. Bagi sebagian orang hal ini sulit dilakukan karena adanya rasa ketidakamanan, keraguan, keengganan atau ketakutan ketika berinteraksi dengan orang asing. Dalam istilah ilmu jiwa gejala seperti ini biasa disebut dengan xenophobia.
Toleransi di Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh santri untuk menggali potensi dalam diri santri. Tidak ada diskriminasi yang diberlakukan di pesantren. Seperti dalam sebuah kisah ini. Suatu ketika ada santri bule yang mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bernama Katrin Bandel, perjalanannya di pesantren sempat dijadikan film dokumenter berjudul “Al Ghoriib ” dan diputar dalam perhelatan Muktamar NU di Jombang tahun 2015. walaupun tampilan fisik dia berbeda dan umurnya terpaut jauh dibandingkan rekan santriwati lainnya, ia tetap mempunyai dalam menjalankan kegiatan dan pelaksanaan santriwati pada umumnya.
Sikap pesantren yang terbuka tidak hanya dimiliki oleh para kiai dan santrinya. Melainkan juga masyarakat luas yang tinggal di lingkungan sekitar pesantren, bahkan tidak terbatas oleh sekat-sekat geografi. Banyak masyarakat yang jauh tinggal di luar pesantren menjadikan kiai atau tokoh di pesantren sebagai rujukan, nasehat atau petuah dalam menyelesaikan permasalahan sosial ataupun agama.
Sekadar contoh, di daerah Pohuwato Gorontalo ada sebuah pesantren bernama Salafiyah Syafi’iyyah, terletak di Desa Banuroja. Desa tersebut didirikan oleh tiga komunitas agama yang berbeda, Islam, Kristen, dan Hindu. Pengasuh pesantren ini seringkali menjadi sumber rujukan bagi umat tiga agama untuk menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di desa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pesantren dan kiai menjadi sebuah institusi yang menjadi rahmat bagi sekelilingnya (rahmatan liman haulahu).
Wajah Islam Indonesia
Di tengah gemparnya Islamophobia yang melanda negara-negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Belanda, Indonesia hadir menawarkan Islam yang ramah dan sangat lekat dengan budaya lokal. Maka, tidak heran jika Fazlur Rahman secara optimis menyatakan bahwa potensi Indonesia sebagai negara penyulut kebangkitan Islam. Hal ini dikarenakan secara teologis Indonesia tidak mempunyai pertentangan yang hebat seperti negeri-negeri muslimn lainnya.
Di Indonesia tidak ada konflik antara Sunni dan Syi’ah, dan tidak terdapat konflik antar mazhab yang runcing (Amien Rais, 1991: 174). Islam Indonesia dengan corak khasnya menjadi jembatan antara budaya dan ajaran agama bisa berjalan satu sama lain, tidak saling memusuhi atau bahkan menjalin hubungan satu sama lain.
Pergantian rezim juga mempengaruhi tumbuhnya gerakan-gerakan Islam yang intoleran. Harus diakui bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, di negeri ini gerakan-gerakan Islam transnasional tumbuh subur. Mereka mengusung misi menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah. Bagi komunitas pesantren yang memiliki gerbong terbesar di negeri ini, khilafah merupakan ancaman yang serius.
Khilafah dianggap memecah belah bangsa, mengancam pancasila, UUD 1945, kebhinnekaan, dan kesatuan bangsa. Walaupun kelompok pemuja khilafah ini sangat kecil, namun gerakan dan aktifitasnya termasuk kategori separatis yang bertentangan dengan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
Corak Islam Indonesia
Husein Muhammad mengungkapkan bahwa corak awal penyebaran Islam masuk ke Indonesia adalah corak Islam sufistik. Masyarakat Hindu-Buddha Jawa mempunyai titik kesamaan dengan misi yang diemban oleh para juru dakwah di tanah Jawa (Walisongo). Kesamaannya pada istilah-istilah yang berlaku dalam budaya lama (Animisme, Hindu, Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (pandangan dunia) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati.
Wadah-wadah lama yang dipakai, diganti. Peninggalan kejeniusan masa lalu masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa, dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi do’anya bukan untuk para “dewa-dewa” namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta. Dan sesajinya -biasanya berupa makanan —dimakan bersama-sama setelah ritual doa. Dakwah seperti ini justru sangat ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk menerima Islam sebagai agama pada saat itu, tanpa mengeliminasi nilai-nilai dan adat istiadat lokal.
Secara singkat, metode penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo merupakan perpaduan antara kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih mempunyai ritualritual tertentu dalam ritus kepercayaanya dan memasukkan nilai-nilai agama Islam di dalamnya. Para Wali juga melakukan syiar keagamaan dengan medium lain, seperti kesenian. Para Wali Songo adalah seniman yang luar biasa, sehingga bisa meingislamkan tanah Jawa, salah satunya dengan jalan seni.
Dengan adanya akulturasi budaya tersebut Islam Indonesia secara umum telah mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Kegiatan kebudayaan yang dibungkus dengan nilai-nilai agama seperti: Syukuran empat bulan kehamilan, nyadran, sedekah laut, dan tradisi sedekah bumi. Inilah bentuk pelestarian Islam Indonesia yang sangat adaptif terhadap kearifan lokal. Islam sebagai agama dan pesantren sebagai lembaga keagamaan di Indonesia memiliki corak pemikiran keagamaan yang ramah dan santun yang telah lama diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Memilih cara damai dan toleran dalam hidup seringkali dianggap oleh kelompok fundamentalis sebagai bentuk dari melemahnya iman dan kendurnya semangat keislaman. Ini adalah anggapan yang keliru dan patut diluruskan. Di dalam Islam sendiri, ada banyak kisah Nabi Muhammad yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, seperti dalam sebuah riwayat berikut,
Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad ra dan Sahal bin Hunaif ra. sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu termasuk penduduk setempat (yakni orang non muslim). Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah menemui iringan jenazah, lalu dia berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah saw. bersabda: bukankah ia juga manusia?” (Shahih Muslim No.1596).
Nilai-nilai yang menghargai perbedaan semacam ini patut dilestarikan oleh umat Islam dimanapun hingga saat ini. Agen perubahan bisa diinisiasi oleh siapa saja, karena tujuan dari seseorang beragama ada untuk melayani kemanusiaan.
Disarikan dari buku “Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Baca selengkapnya dalam: Alifatul Arifiati, dkk. Memuliakan Keberagaman: Pengalaman dari Pesantren. Cirebon: Fahmina-Institute, 2017.
by admin | 12 Dec 2024 | Berita
ISIF Cirebon – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Pusat Studi Islam dan Gender (PUSIGA) ISIF , Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, dan Komnas Perempuan menggelar Kuliah Kolaboratif bertajuk “Eksplorasi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Bersama Komnas Perempuan, ” pada Rabu (11/12/2024).
Kegiatan yang bertempat di Rumah Joglo, Majasem, Kota Cirebon ini, menghadirkan Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor , sebagai narasumber utama dan diikuti puluhan Mahasantriwa (santri Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina).
Kegiatan diawali dengan Upacara oleh Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Kyai Marzuki Wahid dan Ny. Nurul Bahrul Ulum, dilanjutkan dengan paparan materi oleh Maria Ulfah Ansor.
Dalam paparannya, Maria mengungkapkan mengenai tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia.
“Dalam catatan Komnas perempuan,” katanya, “kekerasan seksual menduduki posisi kedua dalam jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan.”
Ia menambahkan, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, kekerasan seksual di perguruan tinggi dan pondok pesantren menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai lokasi terjadinya kasus kekerasan seksual.
“Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, terus terang saya merasa malu. Dan yang paling mengharukan, kasus ini terjadi di hampir setiap lembaga keagamaan yang ada di Indonesia,” ujar Komisioner Komnas Perempuan ini.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi dan berbagi cerita. Beberapa peserta membagikan pengalaman mereka terkait kasus kekerasan terhadap perempuan.
Fikri, salah seorang peserta, menyatakan sering menyaksikan kekerasan seksual saat masih bersekolah. Namun, ketika itu, ia menemukan kebingungan korban dalam menentukan pihak yang tepat untuk melapor.
Sementara itu, peserta lain, Lelah, mengisahkan pengalaman pribadinya menyaksikan seorang suami memaksa istrinya berhubungan seksual saat menstruasi. Ketika sang istri menolak, ia justru menjadi korban kekerasan karena mengalami penganiayaan.
Pengalaman serupa juga diceritakan Nani yang pernah bekerja di sebuah pabrik. Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan lazim terjadi di tempat kerja. Yang paling memprihatinkan, kasus-kasus tersebut minim penindakan, terutama yang melibatkan atasan sebagai pelaku.
Maria menutup sesi dengan pentingnya mengawal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Selain itu, Maria mendorong peran aktif tokoh agama, terutama Kyai, untuk ikut berkontribusi secara langsung dalam mengawali isu ini.
Menurutnya, tokoh agama memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat melalui pendekatan nilai-nilai keagamaan yang inklusif dan berkeadilan.
“Kita semua bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung para korban, serta membangun masyarakat yang bebas dari kekerasan seksual,” tegasnya.**
by Admin | 9 Jul 2022 | Kolom Rektor
Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)
Kasus Gunung Es
Dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Pesantren Shiddiqiyah Losari, Ploso, Jombang adalah kasus yang memilukan dan memalukan. Harus diakui, masih banyak kasus kekerasan seksual di Pesantren, baik dilakukan antara ustadz dengan santri atau santri dengan santri, sebagaimana juga terjadi di jenis pendidikan yang lain antara guru dengan siswa, dosen dengan mahasiswa, siswa dengan siswa, dan mahasiswa dengan mahasiswa. Ini ibarat gunung es, hanya pucuk permukaan saja yang tampak.
Kasus kekerasan seksual memang masih menjadi problem besar bangsa kita. Ini terjadi di mana-mana, di tempat kerja, transfortasi umum, ruang publik, ruang domestik, dalam perkawinan, termasuk lembaga pendidikan. Pelakunya pun beragam, mulai dari kelas atas hingga kelas bawah, mulai dari orang terjauh hingga terdekat, mulai dari orang yang tidak terdidik hingga berpendidikan paling tinggi.
Meskipun saya akui bahwa kasus ini tidak hanya satu, bisa jadi banyak sekali jika dibongkar ibarat gunung es, tetapi saya meyakini sebagian besar Pesantren yang jumlahnya puluhan ribu tidak termasuk di dalamnya. Artinya, publik tidak usah kuatir bahwa Pesantren dalam pandangan saya masih menjadi lembaga pendidikan keagamaan yang bermoral tinggi. Solusinya, kita harus cermat ketika memilih pondok pesantren mana sebagai pilihan pendidikan.
Penistaan Kemanusiaan
Pencabulan dan sejenisnya adalah bagian dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran agama, hukum, dan akal sehat. Siapapun yang melakukannya, sekalipun tokoh agama, harus diperlakukan dengan hukum yang sama. Setiap orang setara di hadapan hukum (everyone is equal before the law). Tidak ada orang yang kebal hukum di Indonesia. Setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya, baik di dunia maupun di akherat.
Sungguh sangat disesalkan, tokoh Pesantren yang seharusnya memberikan teladan untuk memperlakukan perempuan secara ramah, adil, dan penuh kasih sayang –sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW– malah melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, kemanusiaan, hukum, dan akal sehat.
Pencabulan dan sejenisnya adalah perbuatan biadab, keji, dan menciderai kemanusiaan. Pelakunya harus dihukum secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk pelaku penyerta dan mereka yang menghalangi proses penegakan hukum atas pelaku. Aparat penegak hukum –polisi, kejaksaan dan hakim– harus tegas tanpa diskriminasi dalam menegakkan hukum.
Jangan Hukum Non Pelaku
Hanya saja, kita perlu hati-hati dalam menyikapi kasus ini. Pelakunya memang wajib dihukum, tetapi korban jangan sampai terkena hukuman, baik hukuman oleh aparat penegak hukum maupun hukuman sosial oleh masyarakat. Ini harus dijaga. Korban harus dilindungi, dirahasiakan, dan bahkan harus memperoleh rehabilitasi sepenuhnya agar tidak ada stigma setelahnya.
Para santri yang lain –yang tidak tahu menahu dan tidak terkait dengan kasus ini—juga jangan sampai terkena imbasnya. Mereka tidak bersalah dan tidak boleh dipersalahkan. Hak-haknya tidak boleh tereduksi dan terlanggar oleh siapapun.
Para santri harus tetap memperoleh haknya untuk belajar, mengaji, dan memperoleh ilmu sebagaimana sebelumnya. Jangan sampai karena kasus ini, lalu hak atas pendidikan para santri tidak dipenuhi. Bukan sekadar hak atas pendidikan, tetapi juga hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan nama baik para santri ini harus dilindungi dan dipenuhi.
Oleh karena itu, saya berharap pencabutan izin operasioal Pesantren ini tidak permanen, tapi sementara saja hingga Pesantren Shiddiqiyah berbenah dan bertransformasi untuk melawan kekerasan seksual.
Bangun Sistem Pendidikan Anti Kekerasan Seksual
Pesantren Shiddiqiyah –dan pesantren-pesantren lain juga– harus belajar dan mengambil pembelajaran dari kasus ini. Semua Pesantren harus menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh terjadi di lingkungan Pesantren dalam bentuk apapun, oleh siapapun, dan kepada siapapun.
Untuk mewujudkan ini, Pesantren harus membuat regulasi/aturan yang tegas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Pesantren, termasuk harus memiliki SOP dan Satgas Anti Kekerasan Seksual. Selain regulasi yang tegas, juga perlu ada edukasi yang berkesimbungan kepada semua ustadz dan santri tentang kekerasan seksual, bahaya, dampak, dan mitigasinya.
Kekerasan seksual tidak saja harus menjadi bagian dari pelanggaran etika sosial, etika keagamaan, dan etika pesantren, tetapi juga perlu masuk dalam kurikulum sistem pendidikan pesantren.
Siapapun tidak boleh melakukannya dalam bentuk apapun. Jika ada yang melakukannya, maka harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Kita sudah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang harus dihormati dan ditegakkan oleh semua komponen bangsa.
Pak polisi, jaksa, dan hakim, selamat bertugas!
Pak ustadz Pesantren, selamat berbenah!