(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Dari Cirebon, KUPI Kobarkan Semangat Kebangkitan Ulama Perempuan

ISIF CirebonJaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) secara resmi mendeklarasikan Bulan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia dalam acara yang digelar di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon, pada Minggu pagi 18 Mei 2025.

Deklarasi ini bertujuan menjadi gerakan kultural tahunan yang akan dihidupkan oleh komunitas-komunitas di seluruh Indonesia setiap bulan Mei. Pemilihan bulan ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional dan juga menjadi pengingat atas peristiwa kelam Mei 1998, ketika perempuan, warga Tionghoa, dan masyarakat miskin kota menjadi korban kekerasan politik.

“Dengan menjadikan bulan ini sebagai ruang kebangkitan ulama perempuan, KUPI ingin menghadirkan ingatan kritis dan spiritual yang berpihak pada mereka yang paling rentan dan sering dilupakan sejarah,” terang panitia dalam pernyataan resminya.

KUPI mengajak seluruh komunitas, lembaga, dan individu untuk menghidupkan peringatan ini melalui berbagai kegiatan seperti doa bersama, tawassul, puisi, diskusi, pengajian, menulis kisah, hingga aksi sosial. Kegiatan ini juga menjadi momen untuk mendokumentasikan serta menarasikan kiprah para ulama perempuan—nyai, ustadzah, guru ngaji, dan pelayan umat—yang selama ini bekerja dalam kesenyapan namun menopang kehidupan umat dan bangsa.

Dalam sambutannya, Ketua Majelis Dzikir dan Pikir Paser Bumi, Rieke Diah Pitaloka, mengajak masyarakat meneladani kiprah dan semangat ulama perempuan terdahulu.

“Nyai Syarifah Mudaim telah ajarkan kepada kami keturunannya jiwa cahaya Islam yang pantang menyerah, yang akan menuntun kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan di dalam perjuangan,” ujarnya.

Sementara itu, Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI, menekankan bahwa kebangkitan nasional tidak hanya menyangkut isu kebangsaan, tetapi juga isu-isu kemanusiaan.

“Kebangkitan nasional Indonesia tidak semata bicara soal nasionalisme, tidak hanya semata bicara soal isu kebangsaan. Saya kira disini juga bicara soal isu kemanusiaan termasuk isu keadilan sosial, keadilan gender, isu non diskriminasi,” katanya.

Menyambung pernyataan Masruchah, dalam pidato keulamaannya, Alissa Wahid menyoroti andil perempuan untuk mengambil peran dalam berbagai ruang, meskipun diliputi rasa takut. Ia mengutip pesan ayahnya almarhum KH. Abdurrahman Wahid,

“Meskipun kita takut, kita harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ martabat dan harga kita ditetapkan dan ulama perempuan harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tersebut,” jelasnya.

Deklarasi ini diharapkan dapat memperkuat memori kolektif umat tentang peran penting perempuan dalam sejarah Islam Indonesia, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan berkeadaban.** (Gun)

Melawan Peminggiran Peran Ulama Perempuan

Ketika Islam bermula, perempuan memiliki akses dan peran setara terhadap teks kitab suci, yang memungkinkan mereka membentuk otoritas penafsiran. Namun, seiring waktu, peran itu tenggelam dan banyak tafsir lahir tanpa disertai sensitivitas gender.

Peneliti sejarah Islam dari Perancis, Samia Kotele menyebut salah satu prinsip dalam agama Islam adalah kesetaraan. Karena prinsip itu pula, sejumlah perempuan di era Nabi Muhammad, mampu memulai tradisi dalam bidang keagamaan. Peran perempuan dalam tafsir, misalnya, sudah terlibat. Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam agama menjadi semakin terpinggirkan.

“Partisipasi perempuan dalam ranah keagamaan menurun seiring dengan perkembangan ranah produksi keagamaan dan konstruksi normatif, itu sekitar abad ke delapan,” kata Samia.

Kandidat Ph.D di Institut Studi Politik, Lyon, Prancis, itu berbicara dalam kolokium ulama perempuan seri pertama, pada Minggu (26/12) malam. Tema yang dibahas adalah pertanyaan bernada protes: Mengapa Ulama Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah. Samia telah melakuan penelitian berkaitan dengan isu tersebut selama dua tahun, dan akan memulai penelitian lapangan di Indonesia saat ini.

Marginalisasi dan Interpretasi

Dalam konteks masa lalu, lanjut Samia, muncul sekelompok perempuan di lingkaran terdekat Nabi, yang punya akses terhadap teks kitab suci. Fenomena marginalisasi mulai terlihat jelas pada saat itu dibuktikan dengan hanya sekelompok perempuan tertentu yang memiliki akses terhadap teks keagamaan.

“Perempuan di lingkaran Nabi tidak hanya berpartipasi dalam produksi keilmuan Islam, tetapi juga terlibat dalam tradisi pemikiran kritis di dalam keilmuan tersebut,” tambah Samia.

Penurunan peran ulama perempuan seiring waktu melahirkan kondisi baru terkait interpretasi teks keagamaan.

“Marjinalisasi perempuan dalam tradisi ini, memungkinkan ulama laki-laki untuk menginterpretasikan ayat-ayat suci dalam perspektif laki-laki,” ujarnya lagi.

Karena kondisi itulah, Samia menilai suara para ulama perempuan tetap tidak terdengar, sebab terpinggirkan dari domain ideologis.

Indonesia menjadi penting dalam kebangkitan peran ulama perempuan di abad ke-20. Ketika Muhammadiyah berdiri misalnya, mereka langsung mendirikan organisasi nasional untuk perempuan. Selain itu, dalam peta muslim dunia, peran Indonesia juga penting, dan salah satu yang paling penting adalah terkait pendidikan.

Di Indonesia, pendidikan bagi perempuan sudah ada sejak awal, misalnya melalui pesantren. Meski tetap muncul perbedaan, setidaknya kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan cukup terbuka jika dibandingkan dengan kondisi di mayoritas negara berpenduduk muslim lainnya, khususnya di wilayah Arab.

Karena sejarah panjang itu pulalah, kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 dapat dipahami. KUPI sendiri mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki perspektif gender untuk memahami teks-teks keagamaan.

Hilang dari Sejarah

Aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai penelitian yang dilakukan Samia sangat penting bagi sejarah gerakan perempuan Indonesia. Ita sendiri saat ini tengah melakukan penelitian terkait marginalisasi gerakan perempuan Indonesia, sesudah peristiwa 65.

“Peristiwa 30 September 1965 itu mempunyai dampak yang sangat besar, terhadap gerakan perempuan, termasuk gerakan ulama perempuan,” kata Ita yang juga turut mendirikan Komnas Perempuan.

Fakta peminggiran peran ulama perempuan, dinilai Ita sangat jarang dibahas dalam kajian sejarah Indonesia. Padahal hal tersebut penting, untuk menjadi pengetahuan bersama.

Karena keterbatasan sumber tertulis, narasi oral nampaknya akan menjadi sumber data dalam studi semacam ini.

“Ini akan memanggil kembali memori dari ulama perempuan, tentang bagaimana perjuangannya, dan ini penting disimpan sebagai arsip,” tambah Ita yang juga aktif di Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS).

Ita bahkan menyebut, gerakan perempuan tidak hanya dibungkam, tetapi dibunuh oleh sejarah.

Akibat pembungkaman panjang itu, banyak pihak di Indonesia bahkan tidak menyadari keberadaan dan peran ulama perempuan, seperti dikatakan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon, Jawa Barat, Marzuki Wahid.

“Kita baru sadar ada ulama perempuan dan istilah ulama perempuan, akhir-akhir ini, terutama ketika ada KUPI dan sebelumnya. Betapa pentingnya kehadiran dan peran ulama perempuan dalam panggung sejarah dan panggung kehidupan hari ini,” kata Marzuki.

Seluruh proses perbincangan mengenai sejarah dan peran ulama perempuan, penting untuk dicatat karena KUPI akan menyelenggarakan kongres keduanya pada November 2022.

Pengurus KUPI sekaligus pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nur Rofiah turut menyampaikan keprihatinannya atas kondisi yang menimpa ulama perempuan di Indonesia.

“Benar-benar sosoknya seperti tidak ada. Banyak ulama perempuan penting, tetapi dalam narasi sejarah tidak muncul sama sekali,” ujar Nur Rofiah.

Dia memberi contoh, Sultanah atau Sultan perempuan di Aceh yang meski perannya besar dalam sejarah Indonesia, tetapi tidak muncul dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Sementara dalam Islam, banyak pula tokoh ulama perempuan yang dahsyat, namun tidak muncul dalam tarikh Islam.

“Misalnya Ummu Salamah, yang baru kita tahu belakangan setelah gencar kita bicara perspektif perempuan, termasuk dalam sejarah,” tambah Nur Rofiah. [ns/rs]

Sumber: Tulisan telah dimuat di voaindonesia.com pada 27 Desember 2021.