(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

ISIF Cirebon —  Wacana proyek penulisan sejarah nasional yang digagas Pemerintah memunculkan banyak kekhawatiran dan kewaspadaan soal penghapusan banyak momen penting dan peminggiran peran perempuan dalam perjalanan sejarah bangsa. Menanggapi persoalan krusial tersebut, ISIF Cirebon menggelar Halaqoh Nasional Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia di Ruang Konvergensi pada Minggu, 06 Juli 2025.

Halaqoh ini hadir sebagai ruang kritis untuk mempertanyakan posisi suara para ulama perempuan dalam narasi sejarah Indonesia. Diskusi ini menghadirkan beberapa tokoh penting, diantaranya: Samia Kotele, MA., Ph.D., peneliti sejarah ulama perempuan Indonesia dan perempuan dari Lyon University, Prancis, Prof. Farish A. Noor, Ph.D., sejarawan Asia Tenggara dari Malaysia, serta Kamala Chandrakirana, MA dari Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia merdeka (KUPI).

Kegiatan ini diikuti secara antusias oleh lebih dari 200 peserta dari empat negara—Australia, Jerman, Malaysia, dan Indonesia—mewakili 18 provinsi, 105 kabupaten/kota, dan lebih dari 150 lembaga, baik hadir secara langsung di Cirebon maupun melalui platform Zoom.

Pada sesi pembuka acara, Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid hadir memberikan sambutan dan mengapresiasi kehadiran para tamu dan peserta halaqoh. Dalam sambutannya, Marzuki menyampaikan sikap penolakannya terhadap penulisan narasi sejarah yang maskulin dan negara-sentris.

“Narasi sejarah yang maskulin dan negara-sentris bukan hanya menciptakan ketimpangan representasi, tapi juga mengingkari kontribusi spiritual, intelektual, dan politik perempuan dalam membentuk wajah keislaman dan kebangsaan kita,” ungkap Marzuki.

Melalui kegiatan ini, ia berharap para peserta dapat menggali akar keulamaan perempuan dalam tradisi keislaman Nusantara dan mengukuhkan kembali otoritas mereka dalam panggung sosial keagamaan.

“Saya berharap ini adalah forum kritis, reflektif, dan akademis, bukan yang lain. Tetapi (melalui forum ini) kita memang ingin merancang dan merefleksikan bagaimana sejarah ulama perempuan Indonesia ditulis ulang secara adil dan bermartabat,” tambahnya.

Selain itu, sejarah yang ditulis tanpa menghadirkan peran perempuan, menurutnya adalah sejarah yang timpang secara epistemik dan tidak utuh secara moral.

“Menulis ulang sejarah bukan sekadar revisi atas kronologi peristiwa, tetapi pembongkaran struktur pengetahuan yang timpang dan pemulihan otoritas epistemik dari mereka yang selama ini disingkirkan,” tegasnya.

Dekolinisasi Sejarah Ulama Perempuan

Samia Kotele yang hadir sebagai pemateri utama, dalam paparannya, mengungkapkan bahwa penulisan ulang sejarah ulama perempuan Indonesia merupakan bagian dari trajectory bersama yang penting untuk dibangun.

“Saya menggunakan konsep trajectory epistemik untuk melihat ulama perempuan tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari sebuah gerakan pengetahuan, di mana mereka diposisikan sebagai subjek epistemik,” ungkapnya.

Selain itu, Samia menekankan pentingnya pendekatan dekolonial dalam penulisan sejarah untuk mengkritisi dominasi wacana Barat yang selama ini mewarnai pembacaan terhadap pengalaman perempuan Muslim.

“Pendekatan dekolonial menjadi penting untuk menantang narasi dominan yang Eropa-sentris, yang kerap membingkai perempuan sebagai korban pasif atau penerima emansipasi sekuler dari luar,” jelasnya.

Bagi Samia, tantangan utama tidak hanya terletak pada penulisan ulang sejarah, melainkan juga pada upaya memastikan bahwa pengetahuan tersebut dapat dibagikan dan didiseminasikan secara luas kepada masyarakat.

“Menulis sejarah ulama perempuan Indonesia harus memakai perspektif dekolonial. Ini bukan sekadar soal metode, tapi juga soal etika yaitu, bagaimana kita memastikan suara mereka tidak lagi dibungkam oleh warisan kolonial,” tegasnya.

Kritik Historiografi Kolonial

Menanggapi paparan materi Samia Kotele, Prof. Farish A. Noor mengingatkan semua peserta bahwa sejarah bukanlah suatu kebenaran objektif yang netral, melainkan hasil dari proses penafsiran yang sarat kepentingan dan ideologi. Ia menyatakan bahwa sebagai sejarawan, ia merasa prihatin terhadap anggapan bahwa sejarah adalah sesuatu yang pasti dan final.

“Saya sebagai sejarawan sangat peka dan prihatin terhadap realitas bahwa sejarah bukan disiplin yang objektif atau netral. Tidak ada sejarah yang netral. Tiap penulisan sejarah adalah tafsiran, dan tafsiran itu mesti membawa kita pada perdebatan,” ujarnya.

Farish menambahkan bahwa sejarah, seperti halnya ilmu-ilmu sosial lainnya, telah lama dijadikan alat oleh sistem kolonial dan patriarki. Disiplin sejarah, kata dia, telah digunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan yang menindas, termasuk dalam proses penjajahan dan kapitalisme global.

“Kita harus menyadari bahwa sejarah telah menjadi alat penjajahan, seperti halnya banyak disiplin ilmu lain di universitas-universitas. Kolonialisme modern, yang dimulai sejak abad ke-18, tidak hanya membawa senjata, tapi juga membawa sistem ilmu pengetahuan yang membenarkan penindasan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung karya-karya sejarah kolonial seperti The History of Java oleh Raffles, yang menurutnya menyajikan sejarah Jawa dari sudut pandang Eropa dan mengaburkan realitas lokal demi kepentingan ekonomi kolonial. Lebih lanjut, Farish mengajak para akademisi dan masyarakat untuk tidak sekadar menyalahkan Barat, tetapi benar-benar memahami bagaimana sistem pengetahuan kolonial bekerja dan terus membentuk cara kita berpikir hingga hari ini.

“Pertanyaannya bukan hanya bagaimana kita menyalahkan narasi Barat, tetapi bagaimana kita bisa menggunakan alat yang sama untuk membebaskan pikiran dan kemanusiaan kita pada zaman ini,” tutupnya.** (Gun)

154