by admin | 18 Sep 2025 | Berita, Kegiatan, Mahasiswa & Alumni
Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF)
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Sampah plastik merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang hingga kini belum terselesaikan. Jumlahnya terus meningkat setiap hari dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai. Kondisi ini menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, baik bagi tanah, udara, maupun kesehatan manusia.
Di daerah Sumurwuni, Argasunya , permasalahan sampah terasa lebih nyata karena lokasinya berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopiluhur. Keberadaan TPA ini menjadikan kawasan Sumurwuni tidak terlepas dari tumpukan sampah, ditambah dengan masih banyaknya sampah yang berceceran di sekitar lingkungan. Hal ini tidak hanya mengganggu kenyamanan masyarakat, tetapi juga menimbulkan tantangan besar dalam menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Melihat kondisi tersebut, mahasiswa Praktik Islamologi Terapapan (PIT) ISIF berinisiatif menyelenggarakan kegiatan belajar mengolah sampah plastik menjadi kerajinan tangan. Kegiatan ini berlangsung di Baperkam RT 2 RW 07 Sumurwuni Kelurahan Argasunya, pada Jum’at, 13 September 2025. Pertemuan ini bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah secara kreatif dan bermanfaat.
Untuk menunjang kegiatan, mahasiswa PIT menghadirkan Kang Emik, seniman daur ulang sampah plastik asal Tegal Gubug, Cirebon. Ia hadir mendampingi mahasiswa dan masyarakat untuk berbagi pengalaman serta keterampilannya dalam mengubah sampah plastik menjadi karya seni bernilai guna.
Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan masyarakat tidak hanya lebih peduli terhadap lingkungan, tetapi juga terinspirasi untuk melihat sampah sebagai sumber daya yang bisa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat sekaligus bernilai ekonomis.
Peserta kegiatan terdiri dari remaja, bapak-bapak, dan ibu-ibu warga sekitar yang antusias belajar membuat kerajinan. Acara dibuka oleh ketua kelompok PIT, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Kang Emik. Ia menjelaskan berbagai bahan dan alat yang dapat digunakan dalam pembuatan kerajinan, sekaligus menunjukkan contoh hasil karya dari lelehan plastik bekas.
Selanjutnya, Kang Emik menyebarkan cara membuat cetakan sederhana dari kaleng minuman. Para peserta kemudian diberi kesempatan mencoba sendiri. Suasana kegiatan berlangsung hangat, terlihat dari banyaknya pertanyaan dan rasa penasaran warga, khususnya bapak-bapak.
Dari kegiatan ini, para peserta berhasil membuat cetakan sederhana dari aluminium berbentuk bintang. Cetakan tersebut dipilih karena bentuknya yang mudah dibuat dan menarik untuk dijadikan wadah percobaan dalam proses daur ulang plastik. Dengan adanya cetakan ini, peserta dapat lebih mudah membentuk lelehan plastik menjadi karya yang rapi dan seragam.
Selain itu, Kang Emik juga menunjukkan bagaimana lelehan plastik bisa diolah lebih lanjut menggunakan cetakan hingga menghasilkan produk baru yang fungsional dan bernilai estetika. Demonstrasi tersebut memberikan pemahaman lebih kepada masyarakat bahwa sampah plastik tidak hanya bisa dibuat kerajinan sederhana, tetapi juga diolah dengan teknik lebih lanjut sehingga menghasilkan benda yang kuat dan bermanfaat.
Melalui praktik langsung, peserta—khususnya para pemuda—semakin antusias karena dapat menyaksikan proses lengkap mulai dari membuat cetakan, melebur plastik, hingga mencetaknya menjadi karya baru. Hal ini bisa membuka wawasan bahwa dengan kreativitas dan keterampilan, bahwa sampah plastik dapat berubah menjadi barang bernilai guna sekaligus memiliki potensi ekonomis.
Kegiatan belajar bersama di Sumurwuni, Argasunya ini membuktikan bahwa sampah plastik dapat diolah menjadi barang yang bermanfaat dan bernilai seni. Selain menumbuhkan kreativitas, kegiatan ini juga meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.
Harapannya, kegiatan serupa dapat terus berlanjut secara berkesinambungan, sehingga masyarakat terbiasa memanfaatkan sampah plastik menjadi kerajinan yang bernilai. Hal ini juga sekaligus berkontribusi dalam mengurangi polusi lingkungan.[]
by admin | 18 Sep 2025 | Agenda, Berita
ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) yang ke-10 dengan mengangkat tema “Mewujudkan Tempat Ibadah Ramah Disabilitas” secara daring pada Selasa malam, 16 Sepetember 2025. Tema ini berangkat dari tantangan nyata yang dihadapi penyandang disabilitas dalam merasakan kenyamanan dan ketenangan beribadah di masjid maupun musholla, tanpa terhalang oleh hambatan fisik, sosial, maupun kultural.
Diskusi kali ini menghadirkan H. Siswadi Abdul Rachim, MBA, selaku Dewan Pembina PPDI sebagai pemantik. Hadir pula Dr. H. Arsyad Hidayat, Lc., MA, Direktur Urais dan Binsyar Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, yang bertindak sebagai penanggap. Sementara jalannya diskusi dimoderatori oleh Lailatul Qoimah, M.S.I., Dekan Fakultas Ushuluddin ISIF Cirebon.
Membumikan Ajaran Islam
Dalam forum ini hadir pula Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Marzuki Wahid, yang turut memberikan sambutan kegiatan. Dalam sambutannya, ia menyerukan perwujudan masyarakat yang inklusif melalui langkah nyata yang tidak berhenti pada wacana semata. Kesadaran kolektif ini, menurutnya, menjadi kunci agar hak-hak penyandang disabilitas benar-benar terpenuhi.
“Hal ini harus segera dimulai dan menjadi kesadaran kolektif kita semua. Tujuannya jelas, agar teman-teman penyandang disabilitas dapat mengakses berbagai aspek kehidupan yang memang merupakan hak mereka,” ungkapnya.
Marzuki juga menyinggung pembumian dalil dan argumentasi teologis yang selama ini masih berada di ranah “langit” sehingga menghasilkan satu rumusan yang lebih praktis untuk mewujudkan pembangunan rumah ibadah yang inklusif.
“Mustahil bagi kita memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bermunajat dan beribadah dengan khusyuk jika tempat ibadah, termasuk masjid dan mushola, tidak ramah bagi mereka,” terangnya.
Masjid Ramah Disabilitas
Sementara itu, Siswadi Abdul Rachim, selaku Dewan Pembina Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang hadir sebagai pemateri dalam kegiatan ini, membuka pemaparannya dengan menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya diskusi yang telah berlangsung dalam beberapa seri.
“Saya sangat senang dan mendukung sekali ketika isu fikih disabilitas dimunculkan dan itu menjadi harapan dan impian saya dan kawan-kawan disabilitas semuanya,” tutur Siswadi.
Dalam paparannya, ia menyampaikan bahwa Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang di dalamnya telah memuat hak-hak dasar penyandang disabilitas. Dalam undang-undang tersebut, ia menyebutkan beberapa hak penyandang disabilitas seperti kemudahan akses sarana ibadah, hak untuk memeluk agama secara benar dan baik, memperoleh akses yang layak ke sarana ibadah, mendapatkan kitab suci sesuai kebutuhan, serta hak untuk ikut serta secara aktif dalam organisasi keagamaan.
“Mengenai masjid atau mushola ramah disabilitas, hambatan yang sering dihadapi di lapangan antara lain desain bangunan yang masih bertangga sehingga menyulitkan pengguna kursi roda,” ujar Siswadi.
Lebih jauh, ia juga menyinggung persoalan lain yang kerap dihadapi penyandang disabilitas ketika beribadah di masjid, terutama terkait perdebatan hukum dan sikap sosial jamaah.
“Selain itu, perdebatan tentang hukum membawa kursi roda ke dalam masjid apakah diperbolehkan atau tidak yang menimbulkan masalah bagi jamaah disabilitas, serta faktor sosial jamaah yaitu masih adanya stigma dan kurangnya edukasi tentang pentingnya masjid ramah disabilitas,” tambahnya.
Dalam pandangannya, upaya menciptakan masjid ramah disabilitas perlu dirancang secara sistematis agar tidak berhenti pada wacana semata. Ia menekankan pentingnya langkah konkret yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas.
“Ke depan saya mengusulkan adanya pilot project untuk sosialisasi kepada takmir dan DKM tentang masjid ramah disabilitas. Selain itu, penting pula mengadakan pelatihan tentang masjid ramah disabilitas, termasuk pemahaman tafsir Al-Qur’an dan hadis terkait isu disabilitas,” jelasnya.
Temuan di Lapangan
Pada sesi tanggapan dari Arsyad Hidayat, ia mula-mula mengungkapkan survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terhadap 47 masjid di lingkungan kantor pemerintahan. Dari data yang ia temukan, ia melihat sebagian besar masjid tidak fasilitas yang memadai dan ramah disabilitas seperti ramp standar, parkir khusus, toilet dan tempat wudhu disabilitas, guiding block tunanetra, Al-Qur’an braille, maupun penerjemah bahasa isyarat.
“Saya tidak tahu apakah fenomena ini menjadi fenomena umum dari masjid-mesjid yang ada di tanah air. Sampai saya katakan masjid kementerian yang notabene adalah pusat pemerintahan terjadi seperti ini. Terus terang sangat memprihatinkan,” paparnya.
Selain itu, dalam temuan lanjutannya, ia mendapati bahwa permasalahan yang dihadapi para penyandang disabilitas tidak hanya terkait rumah ibadah tidak hanya sebatas pada infrastruktur atau sarana prasarana. Ada hal lain yang lebih mengkhawatirkan, utamanya soal pola pikir takmir masjid.
“Dari hasil wawancara dengan beberapa takmir masjid, masih ditemukan mindset yang mengatakan bahwa kelompok disabilitas bisa menggunakan rukhsah. Ini dijadikan pembenar untuk tidak menyiapkan sarana prasarana yang ramah difabel,” kata Arsyad, “menurut saya, pemikiran seperti ini jelas keliru,” tegasnya.
Akan tetapi, upaya mewujudkan rumah ibadah yang ramah difabel tidak bisa hanya dibebankan kepada takmir masjid atau pengurus semata. Dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah sangat dibutuhkan, baik melalui regulasi maupun alokasi bantuan.
“Pemerintah yang ada di pusat, seperti Kementerian Agama Pusat, pemerintah daerah atau mungkin ada lembaga lain dari pemerintah seperti Biro Kesra atau bagian kesejahteraan rakyat, saya pikir bisa menyalurkan bantuan agar bisa merealisasikan rumah ibadah yang ramah bagi jemaah difabel, agar mereka mendapatkan akses yang sama untuk bisa melaksanakan ibadah,” ungkapnya.
Di akhir pemaparan materinya, ia mengungkapkan harapannya terkiat keterlibatan semua pihak dalam mewujudkan lingkungan yang lebih inklusif.
“Mari kita dukung program yang ramah terhadap difabel, penyiapan rumah ibadah yang ramah, pendidikan yang ramah terhadap difabel dan tempat tempat bekerja yang ramah untuk mereka,” tutupnya.[]
by admin | 10 Sep 2025 | Artikel
Oleh: Sukma Hadi Watalam – Dosen ISIF Cirebon
ISIF Cirebon — Pernah nggak kalian kepikiran kenapa dulu bangsa-bangsa asing begitu ngotot ingin menjajah Indonesia? Kalau menurut saya, jawabannya sederhana: karena negeri ini ibarat toko serba ada dengan diskon besar-besaran. Tanahnya subur, hasil pertaniannya melimpah, rempah-rempahnya dulu dihargai lebih mahal daripada emas, lautnya kaya ikan dan Mutiara, bahkan udang pun melimpah. Bukan udang di balik batu, ya, tapi udang yang benar-benar ada di lautan. Belum lagi isi perut buminya penuh dengan harta karun tambang.
Saya pernah membaca sebuah postingan di media sosial yang tiba-tiba muncul begitu saja. Kalau pakai istilah bahasa Indramayunya “seliweran” dan bahasa gaulnya “fyp”. Di situ dijelaskan bahwa ada penelitian, bahwa Indonesia sebenarnya adalah pemain kelas dunia dalam tambang bahkan masuk jajaran top player di sektor natural resources.
Contohnya, untuk produksi emas, Indonesia duduk manis di peringkat 6 dunia, di bawah: Australia, Rusia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan China. Sementara untuk produksi batubara, kita menempati posisi nomor 3 setelah China dan India, mengalahkan Amerika Serikat dan Rusia.
Adapun untuk nikel, jangan ditanya lagi. Indonesia adalah juara dunia! Saingannya bukan negara recehan, bukan negara ecek-ecek, tapi raksasa macam China, Amerika, Australia, bahkan Putin loh. Kanada sendiri pun angkat tangan, tak mampu menyaingi kedigdayaan Indonesia.
Jadi, kalau bicara kekayaan alam, Indonesia ibarat “peti harta karun dunia” yang isinya tak habis-habis. Saking banyaknya, kalau disebut satu-satu bisa bikin lidah keseleo: emas, nikel, batubara, ikan, kayu, laut, udara—wah, pokoknya se-aha-aha-aha-aha lah. Tidak bisa dihitung dengan jari.
Tapi, pertanyaan besarnya: kenapa negeri yang begitu kaya raya justru masih begini-begini saja? Mengapa rakyatnya banyak yang hidup pas-pasan, bahkan miskin, padahal tanah airnya bagaikan surga dunia? Kenapa potensi sebesar ini tidak otomatis membuat rakyatnya sejahtera? Apakah karena salah urus? Apakah karena salah kelola? Ataukah memang ada yang sengaja membiarkan?
Ironis sekali. Negeri yang tanahnya subur, tapi masih ada rakyat yang tak mampu membeli beras. Lautnya luas, tapi nelayan sering pulang dengan tangan kosong. Tambangnya berlimpah, tapi masyarakat di sekitar tambang hanya jadi penonton, bahkan ada yang terusir dari tanahnya sendiri. Bukankah itu menyakitkan? Bukankah itu pilu?
Tak heran bila kini muncul suara-suara dari Papua yang ingin merdeka. Kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan, bukan cuma dengan alat berat semacam beko, tapi dengan berbagai cara besar-besaran. Namun, hasilnya tak banyak berdampak bagi rakyat setempat.
Bayangkanlah ironi ini: di atas tanah yang penuh emas, masih ada anak-anak yang berangkat sekolah dengan sandal jepit putus. Di tepian laut yang penuh ikan, masih ada ibu-ibu yang kebingungan membeli lauk untuk makan malam. Di sekitar tambang yang menghasilkan triliunan rupiah, masih ada keluarga yang menyalakan pelita karena tak mampu membeli listrik.
Akhirnya, saya hanya bisa berkata, “Negeri ini memang kaya, tapi sayangnya belum banyak yang benar-benar mengelola dengan kaya hati dan kaya akhlak.”
Kalau kekayaan ini terus salah urus, jangan-jangan kelak anak cucu kita hanya bisa membaca di buku sejarah bahwa dulu Indonesia pernah disebut “harta karun dunia”. Tetapi mereka sendiri sudah tidak bisa lagi merasakannya.[]
by admin | 7 Sep 2025 | Artikel
Oleh: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF)
ISIF Cirebon — Setiap bulan Rabiul Awal diperingati oleh bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap daerah memiliki cara berbeda utuk memperingatinya. Di Benda Kerep Kelurahan Argasunya Kota Cirebon, tradisi ini dikenal dengan sebutan Muludan. Muludan di Benda Kerep telah menjadi pesta rakyat tahunan yang penuh makna. Mulai dari do’a-do’a yang dilantunkan, gema sholawat, pedagang kaki lima di sepanjang jalan, hingga berkat atau bingkisan khas Maulid.
Lebih dari sekedar tradisi, muludan di Benda Kerep telah menjadi ruang kebersamaan. Warga dari berbagai kalangan dan wilayah berkumpul, bergotong-royong, dan saling berbagi kebahagiaan. Kemunculan tradisi muludan di Benda Kerep hadir bersamaan dengan pendirian kampung tersebut sekitar 300 tahun yang lalu dan berlangsung sampai saat ini.
Tradisi muludan Benda Kerep tidak seperti muludan di wilayah lain, muludan di Benda Kerep memiliki tahapan yang khas. Pertama, pada malam harinya dilakukan pengumpulan keris pusaka atau pajang jimat seperti yang dilakukuan di Kraton Kasepuhan Cirebon. Pusaka-pusaka yang dimiliki warga dikumpulkan jadi satu lalu didoakan bersama-sama. Kedua, keesokan harinya, marhabaan yang dilakukan di setiap rumah kiyai dan warga yang ada di Benda Kerep.
Saat saya mengikuti tradisi ini, saya sangat terkejut, karena antusias masyarakat dari berbagai wilayah sangatlah banyak. Bukan hanya warga sekitar, tapi dari luar kota pun datang menghadiri tradisi ini. Saat saya bertanya kepada salah satu warga saya tambah terkejut. Katanya, antusiasme tahun ini termasuk sepi tamunya. Di tahun-tahun sebelumnya, biasanya di sepanjang jalan dipenuhi oleh manusia sampai berdesak-desakan. Tapi, sekarang tidak.
Bukan hanya itu yang membuat saya kagum dan terkejut. Saat berada di depan Masjid Agung Benda Kerep, di sepanjang jalan, halaman masjid dan halaman rumah warga dipenuhi dengan manusia, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak sampai anak-anak. Orang-orang yang lewat ke situ pun pasti membawa berkat yang ukurannya pastinya tidak kecil. Ada yang berupa ember kecil, ember sedang, ember besar dan cepon besar. Isinya juga bermacam-macam: ada buah-buahan, snack, nasi dan lauknya, bahkan sampai ada yang memberikan satu lusin gelas.
Keunikan lain yang saya temui di kampung ini adalah tidak adanya jembatan, karena tidak diperbolehkan ada kendaraan yang masuk ke kampung. Orang yang masuk juga harus berpakaian yang tertutup dan sopan. Jadi, di kampung ini masih benar-benar kuat sekali tradisinya.
Meski tradisi ini erat dilaksanakan. Tradisi muludan ini sejatinya tidak diwajibkan per-rumah harus melaksanakannya. Tapi karena tradisi ini sudah menjadi kebiasaan, makannya setiap rumah pasti mengadakan. Mau ada uang atau tidak, warga pasti melakukannya. Oleh karena itu, ada warga yang sampai rela menjual tanah atau menggade barang berharganya. Ada juga warga yang iuran dan dikumpulkan di masjid, jadi tidak terlalu berat. Jadi, secara kasat mata tradisi ini seolah-olah memberatkan, tapi kata warga, mereka lebih malu jika tidak melakukannya.
Meski zaman terus berubah, saya berharap tradisi Muludan di Benda Kerep tetap terjaga kelestariannya. Nilai kebersamaan, religiusitas, dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya menjadi warisan yang tidak ternilai. Saya berharap, generasi muda tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut terlibat aktif, agar tradisi ini tidak lambat laun memudar. Dengan cara itu, muludan akan tetap hidup sebagai identitas dan kebanggaan warga Benda Kerep.
Antusiasme warga, meski harus mengorbankan banyak hal, menunjukkan betapa tradisi ini memiliki makna mendalam. Di tengah modernisasi, muludan hadir sebagai pengingat bahwa akar budaya dan nilai keislaman tetap bisa dijaga bersama. Selama masyarakat mau merawatnya, muludan di Benda Kerep akan terus menjadi cahaya kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.[]
by admin | 6 Sep 2025 | Agenda, Artikel, Kegiatan Mahasiswa
Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF Cirebon)
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Pada tanggal 28 Agustus mahasiswa PIT-PAR ISIF mengunjungi tempat produksi batu bata merah di Desa Argasunya tepatnya di wilayah RT 2 RW 7 Sumurwuni. Di tengah derasnya arus moderenisasi dan munculnya bahan bangunan baru, warga Sumurwuni masih mempertahankan produksi batu bata merah. Meskipun produksi ini bukan sebagai mata pencaharian utama, tapi produksi ini hanya musiman saja.
Proses pembuatan batu bata merah ini masih dilakukan dengan cara tradisional, mulai dari mengolah tanah, mencetak, menjemur, hingga membakarnya pun masih menggunakan cara tradisional. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga ekstra dan hanya dilakukan saat musim kemarau atau disebut musim ketiga oleh masyarakat Sumurwuni. Hasil batu bata sangat diminati karena kualitas batu bata buatan masyarakat Sumurwuni ini dikenal kuat dan tahan lama.
Pembuatan batu bata ini sudah berlangsung sejak lama. Di wilayah Sumurwuni ini terdapat dua tempat produksi batu bata merah. Tempat produksi yang mahasiswa PIT-PAR ISIF ini kunjungi adalah milik Bapak Mahmud (52), beliau adalah warga asli Sumurwuni di RT 2 RW 7.
Pak Mahmud ini selain mempunyai tempat produksi batu bata merah, beliau juga mempunyai peternakan ayam yang dijual sebagai ayam potong. Ia juga memanfaatkan kototoran ayamnya sebagai pupuk organik yang kemudian dijual kembali.
Awalnya, tutur Pak Mahmud, produksi batu bata ini tidak diperjualbelikan, hanya untuk kebutuhan pribadi. Tapi lama kelamaan banyak masyarakat yang mengetahui dan tertarik memesan batu bata merah Pak Mahmud. Proses pembuatan batu bata merah tersebut bukan dilakukan oleh Pak Mahmud sendiri, tapi dilakukan juga oleh Pak Udin (55). Pak Udin ini dibantu oleh satu orang pekerja lainnya dan terkadang Pak Mahmud juga ikut membantu proses pembuatannya.
Proses Pembuatan Batu Bata Merah
Proses pembuatan batu bata merah ini dimulai dari pembelian tanah Cadas, tanah cadas ini di beli dari tambang di wilayah Argasunya tepatnya di Cibogo. Tanah Cadas ini di beli dengan harga 200 ribu per dump truk. Dari 1 dump truk ini dapat menghasilkan 2.000 batu bata.
Tanah cadas kemudian diolah untuk menjadi adonan batu bata. Adonan batu bata merah ini tidak ada campuran lain, hanya dicampur dengan air saja. Menurut Pak Mahmud, tanah cadas ini sudah mengandung pasir, jadi tidak perlu ada campuran lain. Sedangkan untuk air yang dipakaii adalah air yang bersumber dari sumur yang dibuat sendiri oleh Pak Mahmud sendiri.
Setelah tanah sudah mencapai tekstur yang sempurna, kemudian siap di catak menjadi bentuk batu bata yang diinginkan. Ada dua ukuran batu bata yang di produksi oleh Pak Mahmud, yaitu ada ukuran besar dan kecil. Yang ukuran besar dihargai 1.200 rupiah dan yang ukuran kecil dihargai 1.000 rupiah.
Setelah pencetakan, proses berlanjut ke tahap penjemuran. Waktu penjemuran ini tergantung cuacanya, jika cuacanya panas hanya membutuhkan waktu seminggu saja untuk kering. Namun jika cuacanya sedang mendung atau berawan memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Setelah dijemur, bata akan dibakar, dengan waktu pembakaran yang membutuhkan waktu seharian penuh.
Setelah semua proses itu selesai dan keadaan batu bata sudah dingin, tinggal menunggu pembeli mengambil batu batanya. Karena biasanya batu bata ini dibuat karna adanya pesanan atau ada juga pembeli yang tanpa memesan dulu. Konsumen ini biasanya dari sekitar wilayah Argasunya saja, tapi ada juga konsumen dari luar yaitu dari wilayah Mandirancan Kuningan.
Penopang Ekonomi Keluarga
Bata merah Sumurwuni lahir dari tanah cadas yang keras, sekeras kenyataan hidup warganya. Namun dari kerja berat itu, lahir kekuatan dan kemampuan bertahan dalam himpitan. Setiap bata yang keluar dari tungku seakan membawa pesan bahwa rakyat kecil selalu punya cara untuk bertahan.
Bagi warga Sumurwuni, menjadi pengrajin batu bata memang bukan pilihan utama mata pencaharian utama. Menurut Pak Mahmud pilihan menjadi pengrajian batu bata adalah pilihan terakhir bagi sebagian warga untuk tetap bisa bertahan hidup.
“Yang membuat batu bata ini ya orang susah, kalo bukan orang susah mah tidak bakal buat batu kaya gini” ujarnya.
Meskipun penuh tantangan dan hasilnya tidak seberapa, warga tetap menjalankannya dengan ikhlas karena ini menjadi salah satu sumber penghidupan tambahan bagi keluarga mereka. Produksi batu bata juga dilakukan secara musiman, biasanya saat permintaan meningkat atau ketika kondisi cuaca memungkinkan.
Meski bersifat musiman, nilai jual batu bata cukup tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan ini mampu membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Meskipun penghasilan dari batu bata bersifat sementara, peranannya sangat penting dalam menopang kehidupan keluarga para pengrajin.
Di tengah keterbatasan dan derasnya arus modernisasi, mereka masih berusaha mempertahankan cara-cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Produksi batu bata merah memang hanya bersifat musiman, tetapi keberadaannya menjadi penopang penting dalam kehidupan warga Sumurwuni. Lebih dari sekadar mata pencaharian tambahan, pekerjaan ini adalah bukti keteguhan masyarakat dalam bertahan hidup dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan mereka.[]