by admin | 28 Aug 2025 | Berita
Penulis: Muhibbatul Hasanah
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Mahasiswa Praktik Islamologi Terapan (PIT) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menginisiasi ruang dialog bersama masyarakat melalui Rembug Warga di Desa Dukupuntang, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jumat malam 22 Agustus 2025.
Kegiatan yang berlangsung di Musholla Arrahmah ini dihadiri oleh para kiai sepuh, ustadz, ketua RT dan RW, tokoh masyarakat, serta warga setempat. Forum rembug ini difokuskan pada penggalian sejarah, situs budaya, serta tradisi masyarakat Dukupuntang yang hingga kini masih dijaga oleh warganya.
Sejarah Dukupuntang
Dalam forum dijelaskan bahwa Desa Dukupuntang merupakan hasil penggabungan dua desa, yaitu Dukumalang dan Puntang, pada masa Hindia Belanda sekitar tahun 1912. Nama “Duku” berasal dari Dukumalang, sementara “Puntang” diambil dari Puntang.
Sejarah panjang Dukupuntang berkaitan erat dengan masa peperangan Kesultanan Cirebon melawan Ratu Galuh (Rajagaluh). Puntang dulunya menjadi benteng pertahanan pasukan Cirebon, sementara Dukumalang dikenal dari kisah pohon-pohon besar yang malang melintang di jalan desa.
Selain itu, menurut cerita rakyat, Desa Puntang pernah menjadi tempat pengungsian ribuan orang pelarian dari Bagdad, termasuk empat anak Sultan Bagdad. Mereka ikut membentuk komunitas desa dengan membawa tradisi, salah satunya musik gembyung.
Hingga kini, masyarakat Dukupuntang masih memegang teguh sejumlah pantangan leluhur, di antaranya larangan memakan daging kijang dan oyong (gambas) yang diyakini dapat menimbulkan penyakit gatal. Pantangan ini menjadi bagian dari kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.
Tradisi, Pendidikan, dan Generasi Muda
Acara dibuka dengan sambutan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), dilanjutkan dengan pemaparan narasumber mengenai pentingnya situs budaya dan peran tokoh masyarakat dalam pendidikan. Diskusi berlangsung hangat dengan berbagai masukan dari para kiai, tokoh masyarakat, dan warga.
Hasil rembug menekankan perlunya pelestarian budaya yang terintegrasi dengan pendidikan generasi muda. Dari forum rembug ini, warga dan tokoh masyarakat Desa Dukupuntang sepakat untuk memperkuat pelestarian tradisi dan budaya lokal. Situs-situs bersejarah dan adat istiadat yang masih ada akan dirawat secara berkala sebagai warisan yang harus dijaga.
Para tokoh budaya dan pendidikan juga diberi ruang lebih besar untuk membimbing masyarakat, terutama generasi muda, agar tetap memiliki akar kuat pada tradisi leluhur sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman.
Selain itu, warga bersama mahasiswa ISIF menyepakati pembentukan tim khusus dokumentasi dan pelestarian budaya. Tim ini nantinya akan bertugas mendata, merawat, dan mengembangkan potensi budaya Dukupuntang. Ke depan, forum juga merancang agenda tahunan kegiatan budaya yang melibatkan partisipasi aktif seluruh warga desa.***
by admin | 28 Aug 2025 | Agenda, Berita, Kegiatan Mahasiswa
Penulis: Nurdin
Edotor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon yang sedang menjalankan mata kuliah Praktik Islamologi Terapan (PIT) dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR) kembali menggelar Rembug Warga di Desa Kejuden, Kecamatan Depok, Cirebon, pada Kamis malam 23 Agustus 2025.
Kegiatan yang berlangsung di Masjid Jami’ Al-Hidayah ini merupakan forum rembug ketiga setelah sebelumnya membahas pemetaan spasial, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Kali ini, mahasiswa PIT PAR kelompok 3 bersama warga mendiskusikan isu penting seputar isu sosial pendidikan di Desa Kejuden.
Dalam forum ini, turut hadir Ibu Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I. (Direktur LP2M ISIF), Bapak Sukma Hadi, M.Pd. (Dosen Pembimbing Lapangan), perangkat desa, tokoh agama, tokoh pemuda, serta perwakilan warga dari beberapa blok di Kejuden.
Pendidikan, Fondasi Transformasi Sosial
Dalam sambutannya, Ketua Kelompok PIT Kejuden, Nurdin, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar praktik lapangan, melainkan proses belajar langsung dari masyarakat.
“Kegiatan PIT PAR merupakan kegiatan belajar mahasiswa di lapangan dengan maksud dan tujuan bisa belajar sambil praktik langsung bersama masyarakat. Kami siap berpartisipasi menjadi bagian dari desa Kejuden untuk meningkatkan kembali perekonomiaan, budaya, dan pendidikan,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu, Sukma Hadi menekankan pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama kemajuan bangsa. Ia mencontohkan bagaimana Jepang bangkit kembali pascaperang dengan memprioritaskan pendidikan dan guru.
“Indonesia dalam pendidikannya di juluki macan Asia, karena negara – negara tetangga kita Malaysia, Singapura, bahkan Jepang pun belajar di Indonesia, kuliah disini, sekolah disini, belajar disini,” kata Sukma.
Namun, menurutnya, kondisi kini berbeda jauh. Ia menambahkan bahwa hal itu disebabkan tingkat membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Saat ini, katanya, sebagian besar masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai.
“Di Indonesia tingkat membacanya kurang sekali.dan kebanyakan warga Indonesia menggunakan HP, dari balita sampai sepuh, sehingga mempengaruhi IQ dan pendidikan warga Indonesia.”
Potret Pendidikan Kejuden
Direktur LP2M, Ibu Zaenab Mahmudah yang hadir dalam kegiatan mengapresiasi kegiatan PIT-PAR Kejuden yang telah berlangsung sebulan dan menilai mahasiswa sudah memasuki fase penting setelah sebulan tinggal di Kejuden.
“Masih ada 28 hari lagi untuk teman teman melakukan aksi, sekarang harus terjun ke masyarakat dan mencoba untuk melakukan pemberdayaan bersama masyarakat, segera merumuskan untuk teman – teman apa yang ingin dilakukan.”
Hasil diskusi menunjukkan bahwa Desa Kejuden memiliki lembaga pendidikan formal maupun nonformal yang beragam, mulai dari PAUD, TK, DTA, SDN 1 dan 2 Kejuden, SDIT, yayasan pendidikan, hingga Pondok Pesantren Darul Kirom.
Pesantren Darul Kirom, misalnya, masih mempertahankan metode klasik Al-Baghdadiyah, metode tradisional membaca Al-Qur’an yang sistematis dan telah teruji di pesantren. Metode ini dinilai efektif untuk pemula, namun menuntut kesabaran tinggi dari guru dan santri.
Meski demikian, rembug warga juga menemukan sejumlah problem pendidikan di Kejuden, antara lain:
- Akses sekolah dasar yang tidak merata, sehingga sebagian warga lebih memilih menyekolahkan anak ke desa tetangga.
- Kekurangan tenaga pengajar di Yayasan Al-Anwariyah.
- Penurunan jumlah santri di Pondok Pesantren Darul Kirom.
- Belum adanya SMP/MTS/SMA di wilayah Kejuden.
- Maraknya penggunaan gawai di kalangan anak hingga lansia yang memengaruhi minat belajar dan mengaji.
- Minimnya budaya membaca buku di kalangan anak-anak maupun orang dewasa.
Forum menyepakati bahwa semua metode pembelajaran memiliki nilai positif masing-masing. Namun yang terpenting adalah bagaimana masyarakat membiasakan pendidikan sejak dini, terutama membangun budaya membaca dan membatasi penggunaan gawai pada anak.
by admin | 26 Aug 2025 | Uncategorized
ISIF Cirebon — Pusat Studi Gusdur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Halaqoh Kultural Pra-TUNAS (Temu Nasional) Jaringan Gusdurian melalui platform Zoom pada Senin malam 25 Agustus 2025.
Kegiatan ini menghadirkan ruang refleksi bagi anak-anak muda Gusdurian untuk membicarakan isu-isu kebangsaan menjelang perhelatan TUNAS Gusdurian 2025.
Acara dibuka dengan pengantar dari moderator, Noer Fahmiatul Ilmia, yang juga menjadi pembawa acara pada malam itu. Pria yang akrab disapa Fahmi ini berharap kegiatan ini menjadi ruang diskusi sekaligus ajang refleksi anak-anak muda Gusdurian terkait isu-isu kebangsaan yang semakin kompleks.
“Acara ini menjadi ruang rembuk atau tukar pemikiran anak-anak muda Gusdurian terkait isu-isu dan kondisi bangsa kita saat ini,” kata Fahmi saat membuka acara.
Diskusi berlangsung membicarakan tiga tema besar meliputi: agama sebagai etika sosial, demokrasi dan supremasi masyarakat sipil, dan keadilan ekologi. Diskusi masing-masing dipantik oleh Unzilatur Rohmah dari Gusdurian Kairo bersama Romo Johan Theodore dari Kristen Ortodoks, Pdt. Ferry Mahulette dari Gusdurian Jogja bersama Abdul Rosyidi dari Pusat Studi Gusdur dan Transformasi Sosial ISIF serta M. Najmi Al Haromain dari Gusdurian Tasikmalaya bersma Firda Ainun dari Gusdurian Jogja.
Peran Agama
Para narasumber menyoroti persoalan-persoalan aktual bangsa, mulai dari bagaimana agama berperan sebagai sumber etika publik, tantangan demokrasi yang dihadapkan pada menguatnya oligarki politik dan lemahnya supremasi sipil, hingga krisis ekologi yang semakin nyata.
Unzilatur Rohmah, misalnya, menyoroti peran agama dalam diri individu dalam menumbuhkan cara pandang terhadap fenomena sosial.
“Ketika agama dihayati secara kolektif, ia menumbuhkan kepekaan etis dan intuitif. Misalnya, ketika seseorang melakukan kesalahan, ia tidak hanya merasa salah secara sosial, tetapi juga berdosa secara religius. Dari sini lahir empati, penghormatan terhadap sesama, dan dorongan untuk tidak semena-mena,” ungkapnya.
Dalam paparan soal keadilan ekolois, Najmi menegaskan bahwa keadilan ekologis harus dimulai dari keberanian mengakui diri sebagai pelaku ketidakadilan ekologis, sebuah kesadaran yang melahirkan gagasan “pertobatan ekologis”. Menurutnya, dari pengakuan itu nantinya akan melahirkan empati dan dorongan untuk melakukan perubahan.
“Keadilan ekologis bukan hanya soal kapitalisme atau isu-isu makro, tapi dimulai dari perubahan pola hidup kita sendiri. Dari tangan, pikiran, dan kaki yang dulu ikut merusak lingkungan, kini harus diarahkan untuk menjadi solusi bagi umat,” paparnya.
Peran Masyarakat Sipil
Di sisi lain, Abdul Rosyidi menegaskan bahwa supremasi sipil menjadi isu yang sangat tepat untuk dibahas dalam forum TUNAS kali ini. Menurutnya, masyarakat sipil memiliki fungsi penting dalam demokrasi, yakni mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi jalannya kekuasaan.
“Sayangnya, sering kali kritik masyarakat sipil disalahpahami. Ketika kita mengkritik pemimpin atau kebijakan negara, sering dianggap karena kita tidak memilihnya. Padahal justru karena memilih dan peduli, kita harus mengingatkan,” tegasnya.
Secara keseluruhan, diskusi berjalan hangat dengan beberapa pertanyaan dan refleksi dari peserta. Bagi para peserta, halaqoh kultural ini tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi juga menjadi ajang konsolidasi nilai dan gerakan.
Semua isu yang dibicarakan dipandang penting untuk terus diperjuangkan melalui gerakan sosial yang berakar pada nilai-nilai Gus Dur: kemanusiaan, keadilan, serta keberpihakan pada kaum tertindas.
Halaqoh ini sendiri menjadi bagian dari rangkaian kegiatan menuju Temu Nasional (TUNAS) Jaringan Gusdurian 2025 yang akan digelar pada 29–31 Agustus mendatang.*** (Gun)
by admin | 24 Aug 2025 | Uncategorized
Penulis: Sukma Hadi Watalam
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon – Mahasiswa Praktik Islamologi Terapan (PIT) bersama Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M0 ISIF Cirebon mengadakan kegiatan Rembug Warga di Desa Kejuden pada Minggu, 10 Agustus 2025.
Kegiatan ini berlangsung di Joglo milik Bapak Malik, sebuah bangunan unik dengan arsitektur perpaduan Jawa dan Bulgaria yang menghadirkan nuansa berbeda meski berada di pedesaan. Suasana semakin akrab dengan suguhan khas berupa teh hangat, singkong rebus, dan kacang khas Papua.
Kegiatan ini dihadiri oleh perangkat desa, warga setempat, serta perwakilan kelompok mahasiswa dari Dukupuntang dan Argasunya yang hadir untuk saling mendukung dan belajar bersama. Diskusi berlangsung penuh keakraban, kadang serius, kadang diselingi tawa yang membuat suasana menjadi cair.
Topik pertama yang diangkat dalam rembug ini adalah sejarah rotan di Desa Kejuden. Dahulu, desa ini dikenal luas sebagai sentra kerajinan rotan. Hampir setiap rumah tangga terlibat dalam produksi maupun distribusinya, sehingga rotan menjadi identitas ekonomi desa.
“Kursi rotan itu kuat, bisa diwariskan. Kalau kursi plastik, diwariskan paling cuma dua kali duduk langsung patah,” kelakar seorang warga., yang disambut gelak tawa peserta forum.
Namun, seiring hadirnya produk kerajinan modern yang lebih murah dan praktis, kejayaan rotan di Kejuden perlahan meredup. Rotan mulai kalah pamor, dan banyak pengrajin beralih ke pekerjaan lain. Padahal, kerajinan rotan memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi, sekaligus ramah lingkungan.
Selain rotan, pembahasan juga menyinggung kondisi sosial-ekonomi persawahan. Hingga kini, sawah masih menjadi tumpuan utama kehidupan masyarakat. Dari sawah lahir beragam tradisi, mulai dari gotong royong, sistem bagi hasil, hingga ritual syukuran sebelum menanam maupun setelah panen. Bagi warga Kejuden, sawah bukan hanya penghasil padi daan penopang perekonomian warga, melainkan juga ruang kebersamaan dan pengikat kehidupan sosial desa.
Rembug kemudian bergeser pada diskusi mengenai tradisi-tradisi khas Kejuden, di antaranya Nyimplo dan Buyut. Tradisi Nyimplo merupakan sarana warga untuk berdoa bersama sambil melantunkan syair-syair penuh makna, sedangkan tradisi Buyut adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang diyakini menjaga desa. Kedua tradisi ini tidak hanya menjadi ekspresi spiritual, tetapi juga pengikat sosial dan budaya warga Kejuden.
“Kalau tidak ada tradisi, kapan lagi bisa doa bareng lalu makan bersama tanpa harus patungan?” canda salah satu warga.
Lebih jauh, mahasiswa juga mengulas sejarah Desa Kejuden. Dengan merujuk pada buku-buku klasik, catatan lama, serta wawancara dengan kuncen, ahli sejarah, dan masyarakat, terungkap beragam kisah menarik. Salah satunya berkaitan dengan asal-usul nama gang di desa. Ternyata, setiap gang menyimpan cerita unik, baik yang terkait tokoh, peristiwa, maupun fungsi tertentu di masa lalu.
Menariknya, banyak warga bahkan perangkat desa yang baru mengetahui kisah tersebut saat dipaparkan mahasiswa. Tidak heran bila kegiatan ini kemudian dijuluki bukan hanya sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN), melainkan juga Kuliah Kupas Nama.
Dari diskusi panjang itu lahir kesadaran bersama semua kebudayaan yang ada dan begitu berharga patut dijaga dan diwariskan. Sebab, jika tidak, bisa jadi anak cucu kita nanti lebih hafal sejarah kerajaan luar negeri daripada asal-usul gang di kampung sendiri.
Melalui rembug warga ini, mahasiswa ISIF bersama masyarakat berupaya untuk saling belajar dan merefleksikan kembali potensi desa, baik dari sisi sejarah ekonomi maupun nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya.***
by admin | 22 Aug 2025 | Artikel, Berita
Singapura — Rombongan mahasiswa Praktik Islamologi Terapan (PIT) ISIF Cirebon lakukan kunjungan ke Lembaga Dialogue Center, di Singapura pada 20 — 22 Agusus 2025. Kegiatan ini dirancang untuk memperluas wawasan mahasiswa mengenai multikulturalisme serta memahami bagaimana komunitas Muslim minoritas di Singapura dapat tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang majemuk.
Kunjungan ini dipimpin langsung oleh Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid, bersama Dosen Pembimbing Lapangan sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Nurul Bahrul Ulum. Setibanya di Singapura, rombongan langsung disambut hangat oleh perwakilan Dialogue Centre.
Dialogue Centre Singapura sendiri merupakan lembaga yang fokus pada penguatan dialog lintas komunitas dengan pendekatan Brave Space, yakni ruang yang mendorong keberanian untuk mendengar dan memahami perbedaan.
Fokus utama lembaga ini meliputi tiga bidang penting: kebebasan beragama dan berkeyakinan, keragaman dan inklusi, serta pengembangan kepemimpinan muda.
Dalam menjalankan visi dan misinya, Dialogue Center aktif bermitra dengan institusi pendidikan dan komunitas internasional dalam memajukan toleransi dan kehidupan bersama yang harmonis di tengah keberagaman.
Pada sesi pembuka kegiatan,para mahasiswa mendapatkan pengantar dari Dr. Imran Tajudeen, dosen senior Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), yang menjelaskan tentang kawasan warisan Kampong Glam beserta sejarahnya yang kaya dan multikultural.
Selama di Singapura, para mahasiswa juga dijadwalkan untuk mengunjungi NUS, Asian Civilisation Museum, serta mengikuti kelas master (masterclass) yang dipandu oleh para akademisi dan praktisi NUS.
Melalui program ini, ISIF berharap mahasiswa tidak hanya memperluas pengetahuan akademik, tetapi juga memperkaya pengalaman lintas budaya dan membangun jejaring hingga level internasional.
Kerja sama dengan Dialogue Centre Singapura ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan ISIF Cirebon untuk memperkuat perspektif global mahasiswa sekaligus meneguhkan komitmen kampus dalam membangun perdamaian, toleransi, dan kehidupan bersama yang harmonis di tengah keberagaman.*** (Gun)