(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Moderasi Beragama: Jalan Tengah Menuju Keharmonisan

Oleh: Ahmad Kamali Hairo (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon — Dalam konteks kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, moderasi beragama menjadi sebuah keniscayaan. Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengedepankan keseimbangan antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan terhadap praktik beragama orang lain. Moderasi beragama bukan berarti mengurangi kadar keimanan, melainkan menjadikan agama sebagai landasan untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan harmonis.

Konsep ini penting untuk terus digaungkan di tengah menguatnya arus ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Di satu sisi, ada kecenderungan memahami agama secara sempit dan kaku, yang memunculkan sikap eksklusif dan bahkan kekerasan atas nama agama. Di sisi lain, ada pula pandangan yang menafikan peran nilai-nilai spiritual dan merelatifkan semua keyakinan secara ekstrem. Moderasi hadir sebagai jalan tengah yang menjembatani dua kutub ini, menghadirkan wajah beragama yang ramah, adil, dan kontekstual.

Untuk mewujudkan moderasi beragama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan pemahaman yang utuh terhadap nilai-nilai yang menjadi fondasinya. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi panduan moral, tetapi juga menjadi pedoman praktis dalam bersikap dan bertindak di tengah masyarakat yang majemuk. Setidaknya, terdapat lima prinsip utama yang menjadi pilar moderasi beragama dan dapat dijadikan pegangan bagi setiap individu dalam membangun kehidupan yang harmonis dan saling menghargai.

Lima Prinsip Utama Moderasi Beragama

1. Jalan Tengah (Tawassuth)
Mengambil posisi di antara dua ekstrem: tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula meremehkannya. Sikap ini menghindari radikalisme maupun liberalisme, dan memastikan ajaran agama dipahami serta diamalkan secara seimbang.

2. Toleransi (Tasāmuh)
Menghargai perbedaan keyakinan dan praktik beragama. Toleransi bukan berarti menyetujui semua keyakinan, tetapi memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa paksaan maupun diskriminasi.

3. Kesetaraan (Musāwah)
Memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan, tanpa membedakan suku, ras, atau agama. Prinsip ini menolak segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, serta menjamin hak dan martabat yang sama bagi setiap individu.

4. Keadilan (I’tidāl)
Menegakkan kebenaran dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, tanpa memandang latar belakang agama. Keadilan menjadi fondasi utama dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.

5. Dinamis (Tathawwur)
Menyadari bahwa ajaran agama dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan konteks sosial. Prinsip ini mendorong umat beragama untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan kontemporer tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar agama.

Dengan mengamalkan prinsip-prinsip ini, moderasi beragama menjadi pilar penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.  Selain itu ia turut serta menciptakan peradaban yang beradab dan penuh kasih sayang.

Mas Imam Aziz, Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin

Oleh: Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon dan Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon)

ISIF Cirebon —  Jika ada yang mengatakan “the function of leadership is to produce more leaders, not more followers… Your principal moral obligation as a leader is to develop the skill‑set, ‘soft’ and ‘hard,’ of every one of the people in your charge…,” atau “pemimpin sejati menciptakan lebih banyak pemimpin, bukan lebih banyak pengikut,” maka Mas Imam–panggilan akrab dari KH. M. Imam Aziz, adalah pemimpin sejati itu.

Beliau bukan sosok yang suka tampil di atas panggung dan media publik, bukan tipe tokoh yang bangga dipuja-puji namanya, dan bukan pula kiai yang suka membangun followers untuk melayani dan membantu kariernya.

Kiprah dan Gerakan

Dengan caranya yang khas, penuh kesederhanaan, kesabaran, dan ketelatenan, beliau lebih suka melayani, membersamai, mendampingi, dan mengayomi para kader yang berada di bawahnya. Mengajari kader-kadernya untuk membaca realitas, mengeja teori, mengunyah perspektif, hingga menuangkannya dalam bentuk aksi gerakan dan tulisan yang bisa dibaca orang lain.

Komitmen ini dilakukannya secara istiqâmah dan mudâwamah sejak IAIN Yogyakarta mencatatnya sebagai mahasiswa hingga ajal menjemputnya. Beliau rela lulus S1 lebih dari 10 tahun karena komitmen ini. Dengan caranya ini, pada tahun 1992 lahir LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), lembaga kajian keislaman dan penerbitan yang sangat digemari kalangan muda Islam karena kritisisme dan progresivitasnya dalam membaca Islam dan dunia.

Dalam kerja-kerja advokasi, pada tahun 2000 beliau menggagas gerakan Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat), suatu gerakan sosial kemanusiaan yang konsen pada rekonsiliasi kultural atas tragedi politik kemanusiaan tahun 1965, di mana eks PKI menjadi korbannya selama bertahun-tahun.

Dalam bidang pendidikan, pada tahun 2018 dengan kharismanya beliau menggerakkan pendirian pendidikan sekolah dan pesantren Bumi Cendekia di Sleman Yogyakarta. Integrasi sekolah dan pesantren yang sangat digandrungi generasi Milenial dan Gen Z, karena memadukan tradisi klasik pesantren dengan kebutuhan kontemporer revolusi industri 5.0.

Tidak hanya itu, Mas Imam juga aktif di organisasi keagamaan NU. Lama aktif dan menjadi penggerak Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM) PWNU DI Yogyakarta. Lalu, selama dua periode pada 2010-2021 menjadi salah seorang ketua dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Karena dedikasi dan amanahnya, Mas Imam juga dipercaya menjadi Ketua Panitia Muktamar NU dua kali berturut-turut, yakni Muktamar NU ke-33 di Jombang dan Muktamar NU ke-34 di Lampung.

Kepemimpinan Transformatif 

Dari sejumlah rintisan yang dilakukan, telah banyak pemimpin lahir menghiasi zamannya. Para pemimpin ini merasa memperoleh penguatan, pencerahan, dan kemampuan, baik dari LKiS, Syarikat, Bumi Cendekia, maupun pendampingan langsung Mas Imam. Kepemimpinan mereka tersebar pada wilayah intelektual, politik, budaya, maupun jurnalistik.

Kata John Maxwell, kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan atau posisi. Tetapi tentang pengaruh yang mampu membawa perubahan transformatif pada individu dan organisasi. Dalam kerangka tangga kepemimpinan Maxwell, Mas Imam bisa dimasukkan dalam level keempat, yakni kepemimpinan people development.

Mas Imam telah berinvestasi dalam pertumbuhan dan pengembangan pemimpin baru. Orang mengikuti Mas Imam karena pemimpin tersebut membantu mereka tumbuh dan berkembang bersamanya. Orang mengikuti Mas Imam bukan karena position (level terendah), bukan permission (level kedua), bukan semata production (level ketiga), tetapi juga belum pada level puncak (pinnacle). Akan tetapi, bisa jadi karena warisan kepemimpinannya yang berkelanjutan, Mas Imam naik pada kepemimpinan puncak (pinnacle), di mana orang mengikuti pemimpin karena visi perjuangan dan kharismanya yang mampu menginspirasi generasi mendatang.

Warisan Pemikiran Mas Imam

“Islam harus menjadi kekuatan pembebas—yang berpihak pada kaum tertindas, membebaskan dari kejumudan, dan mendorong lahirnya masyarakat yang adil, setara, dan bermartabat.” Inilah inti pemikiran Mas Imam yang paling berpengaruh terhadap kehidupan dan generasi bangsa.

Pemikiran dan gerakan Mas Imam dapat simplifikasi ke dalam tiga pilar yang masih relevan untuk masa depan bangsa dan peradaban.

Pertama, transformasi intelektual: Islam sebagai gerakan kritis dan progresif. Dalam banyak tulisannya, Mas Imam menolak Islam yang hanya bersifat normatif dan simbolik. Baginya, Islam harus menjadi nalar kritis terhadap segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh negara, agama, maupun masyarakat. Dalam gerakannya, Mas Imam telah ikut melahirkan generasi intelektual muslim yang berpikir bebas, bernalar kritis, dan berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Tugas kita bukan sekadar menjaga tradisi, tapi menghidupkan tradisi agar tetap menjawab zaman.

Kedua, etika keislaman yang berpihak pada keadilan sosial. Bagi Mas Imam, keberislaman seseorang tak hanya ditentukan oleh ibadah ritual, tetapi sejauh mana agama itu mendorong perubahan sosial. Islam, menurutnya, harus berpihak pada kaum tertindas, kelompok rentan, perempuan yang didiskriminasi, dan masyarakat yang diobjektivikasi. Islam yang tak membela kaum tertindas adalah Islam yang kehilangan ruhnya.

Ketiga, revitalisasi pesantren sebagai agen perubahan. Mas Imam sepanjang hidupnya memperjuangkan agar pesantren tidak hanya menjadi benteng moral, tapi juga menjadi pusat transformasi sosial. Dalam pandangannya, pesantren tidak hanya sebagai kekuatan budaya dan spiritual. Tetapi juga sebagai ruang edukasi politik, advokasi hak, dan penguatan demokrasi. Mas Imam pun mendorong pesantren untuk membuka diri terhadap ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu budaya, HAM, gender, dan demokrasi. Pesantren bukan hanya tempat mengaji, tapi tempat menempa diri untuk mengubah dunia agar lebih baik.

Selamat jalan, Mas Imam. Warisan pemikiran dan gerakanmu akan terus menginspirasi dan mengubah peradaban ke arah yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat.***

 

Tolak Penghapusan Peran Perempuan, ISIF Cirebon Serukan Dekolonisasi Penulisan Sejarah Ulama Perempuan

ISIF Cirebon —  Wacana proyek penulisan sejarah nasional yang digagas Pemerintah memunculkan banyak kekhawatiran dan kewaspadaan soal penghapusan banyak momen penting dan peminggiran peran perempuan dalam perjalanan sejarah bangsa. Menanggapi persoalan krusial tersebut, ISIF Cirebon menggelar Halaqoh Nasional Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia di Ruang Konvergensi pada Minggu, 06 Juli 2025.

Halaqoh ini hadir sebagai ruang kritis untuk mempertanyakan posisi suara para ulama perempuan dalam narasi sejarah Indonesia. Diskusi ini menghadirkan beberapa tokoh penting, diantaranya: Samia Kotele, MA., Ph.D., peneliti sejarah ulama perempuan Indonesia dan perempuan dari Lyon University, Prancis, Prof. Farish A. Noor, Ph.D., sejarawan Asia Tenggara dari Malaysia, serta Kamala Chandrakirana, MA dari Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia merdeka (KUPI).

Kegiatan ini diikuti secara antusias oleh lebih dari 200 peserta dari empat negara—Australia, Jerman, Malaysia, dan Indonesia—mewakili 18 provinsi, 105 kabupaten/kota, dan lebih dari 150 lembaga, baik hadir secara langsung di Cirebon maupun melalui platform Zoom.

Pada sesi pembuka acara, Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid hadir memberikan sambutan dan mengapresiasi kehadiran para tamu dan peserta halaqoh. Dalam sambutannya, Marzuki menyampaikan sikap penolakannya terhadap penulisan narasi sejarah yang maskulin dan negara-sentris.

“Narasi sejarah yang maskulin dan negara-sentris bukan hanya menciptakan ketimpangan representasi, tapi juga mengingkari kontribusi spiritual, intelektual, dan politik perempuan dalam membentuk wajah keislaman dan kebangsaan kita,” ungkap Marzuki.

Melalui kegiatan ini, ia berharap para peserta dapat menggali akar keulamaan perempuan dalam tradisi keislaman Nusantara dan mengukuhkan kembali otoritas mereka dalam panggung sosial keagamaan.

“Saya berharap ini adalah forum kritis, reflektif, dan akademis, bukan yang lain. Tetapi (melalui forum ini) kita memang ingin merancang dan merefleksikan bagaimana sejarah ulama perempuan Indonesia ditulis ulang secara adil dan bermartabat,” tambahnya.

Selain itu, sejarah yang ditulis tanpa menghadirkan peran perempuan, menurutnya adalah sejarah yang timpang secara epistemik dan tidak utuh secara moral.

“Menulis ulang sejarah bukan sekadar revisi atas kronologi peristiwa, tetapi pembongkaran struktur pengetahuan yang timpang dan pemulihan otoritas epistemik dari mereka yang selama ini disingkirkan,” tegasnya.

Dekolinisasi Sejarah Ulama Perempuan

Samia Kotele yang hadir sebagai pemateri utama, dalam paparannya, mengungkapkan bahwa penulisan ulang sejarah ulama perempuan Indonesia merupakan bagian dari trajectory bersama yang penting untuk dibangun.

“Saya menggunakan konsep trajectory epistemik untuk melihat ulama perempuan tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari sebuah gerakan pengetahuan, di mana mereka diposisikan sebagai subjek epistemik,” ungkapnya.

Selain itu, Samia menekankan pentingnya pendekatan dekolonial dalam penulisan sejarah untuk mengkritisi dominasi wacana Barat yang selama ini mewarnai pembacaan terhadap pengalaman perempuan Muslim.

“Pendekatan dekolonial menjadi penting untuk menantang narasi dominan yang Eropa-sentris, yang kerap membingkai perempuan sebagai korban pasif atau penerima emansipasi sekuler dari luar,” jelasnya.

Bagi Samia, tantangan utama tidak hanya terletak pada penulisan ulang sejarah, melainkan juga pada upaya memastikan bahwa pengetahuan tersebut dapat dibagikan dan didiseminasikan secara luas kepada masyarakat.

“Menulis sejarah ulama perempuan Indonesia harus memakai perspektif dekolonial. Ini bukan sekadar soal metode, tapi juga soal etika yaitu, bagaimana kita memastikan suara mereka tidak lagi dibungkam oleh warisan kolonial,” tegasnya.

Kritik Historiografi Kolonial

Menanggapi paparan materi Samia Kotele, Prof. Farish A. Noor mengingatkan semua peserta bahwa sejarah bukanlah suatu kebenaran objektif yang netral, melainkan hasil dari proses penafsiran yang sarat kepentingan dan ideologi. Ia menyatakan bahwa sebagai sejarawan, ia merasa prihatin terhadap anggapan bahwa sejarah adalah sesuatu yang pasti dan final.

“Saya sebagai sejarawan sangat peka dan prihatin terhadap realitas bahwa sejarah bukan disiplin yang objektif atau netral. Tidak ada sejarah yang netral. Tiap penulisan sejarah adalah tafsiran, dan tafsiran itu mesti membawa kita pada perdebatan,” ujarnya.

Farish menambahkan bahwa sejarah, seperti halnya ilmu-ilmu sosial lainnya, telah lama dijadikan alat oleh sistem kolonial dan patriarki. Disiplin sejarah, kata dia, telah digunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan yang menindas, termasuk dalam proses penjajahan dan kapitalisme global.

“Kita harus menyadari bahwa sejarah telah menjadi alat penjajahan, seperti halnya banyak disiplin ilmu lain di universitas-universitas. Kolonialisme modern, yang dimulai sejak abad ke-18, tidak hanya membawa senjata, tapi juga membawa sistem ilmu pengetahuan yang membenarkan penindasan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung karya-karya sejarah kolonial seperti The History of Java oleh Raffles, yang menurutnya menyajikan sejarah Jawa dari sudut pandang Eropa dan mengaburkan realitas lokal demi kepentingan ekonomi kolonial. Lebih lanjut, Farish mengajak para akademisi dan masyarakat untuk tidak sekadar menyalahkan Barat, tetapi benar-benar memahami bagaimana sistem pengetahuan kolonial bekerja dan terus membentuk cara kita berpikir hingga hari ini.

“Pertanyaannya bukan hanya bagaimana kita menyalahkan narasi Barat, tetapi bagaimana kita bisa menggunakan alat yang sama untuk membebaskan pikiran dan kemanusiaan kita pada zaman ini,” tutupnya.** (Gun)

Nalar Politik Perempuan Pesantren: Melacak Bias Gender dalam Tafsir-Tafsir Teks Keagamaan

ISIF Cirebon —  Selama berabad-abad, perempuan sering terpinggirkan dari panggung politik dan dibatasi perannya hanya di ranah domestik. Banyak yang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang “alami”—seolah-olah sudah menjadi kodrat bahwa laki-laki yang aktif di luar rumah, sementara perempuan cukup di dapur, sumur, dan kasur.

Konstruksi sosial berupa pembagian peran antara laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik, mengakibatkan akses dan partisipasi perempuan dalam dunia politik sangat rendah. Faktor lain yang menjadi salah satu penghambat dalam menciptakan kesadaran dan pemahaman dilatarbelakangi oleh pandangan teologi yang tidak membebaskan, artinya perempuan berpegang pada konsep teologi yang justru tidak memihaknya, karena diyakini sebagai doktrin kesucian agama yang tidak dapat diganggu gugat.

Bias Tafsir dan Pengaruh Tradisi dalam Penafsiran Teks

Dominasi peran laki-laki terhadap perempuan menurut Asghar Ali Enginer dibenarkan oleh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan oleh laki-laki untuk mengekalkan dominasi mereka. Begitu kuatnya sikap ini, sehingga norma-norma kitab suci yang progresif pun menjadi terpengaruh. Sebagai akibatnya, kitab suci diinterpretasikan sedemikian rupa sehinggga merefleksikan sikap mental yang berlaku.

Demikianlah kondisi masyarakat yang didominasi hak-hak seringkali mengekang norma-norma yang adil dan egaliter yang dipersembahkan bagi umat manusia. Tidak terkecuali kitab suci Al-Qur’an yang secara komparatif bersikap membebaskan dalam perlakuannya terhadap perempuan.

Apakah domestifikasi perempuan ini memang sudah merupakan fitrah masing-masing perempuan, sehingga secara alami telah terjadi konsensus pembagian peran yang demikian? Atau disebabkan oleh asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki, sehingga sepantasnya kalau kemudian laki laki mendominasi perempuan?

Setidaknya asumsi tersebut untuk sementara bisa dianggap benar adanya, karena secara historis telah berlangsung sepanjang zaman, kecuali di kalangan masyarakat matriarkhal yang jumlahnya tidak banyak.  Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa interpretasi yang bias terhadap makna Al-Qur’an menghasilkan pemahaman yang rancu, bahkan mengakibatkan adanya penyimpangan terhadap makna yang sesungguhnya.

Adanya penafsiran yang masih bias (misoginis) terhadap teks Al-Qur’an oleh para penafsir yang semuanya adalah laki-laki. Prof. Dr. Nasarudin Umar, MA. dalam salah satu bukunya, “Teologi Gender”, mensinyalir beberapa faktor yang menyebabkan penafsiran yang bias itu.

Di antara beberapa faktor tersebut adalah adanya pembakuan terhadap tanda baca, tanda huruf, dan gira’ah dalam proses kodifikasi teks. Perbedaan makna dalam beberapa kosa kata yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran dalam meng-istimbath hukum, seperti kata quru’ : dalam Al-Baqarah: 228 yang mempunyai dua arti, yaitu masa suci dan masa haid.

Perbedaan pendapat yang dari penafsiran kata tersebut berimplikasi pada perbedaan hukum ‘iddah yang ditanggung oleh perempuan setelah diceraikan suaminya. Abu Hanifah misalnya, memilih untuk memaknai kata  quru’ dangan makna haid. Sementara Imam Syafii’ lebih cenderung pada makna suci. Implikasinya bagi Abu Hanifah, masa ‘iddah perempuan menjadi lebih panjang dari pada masa Iddah menurut pendapat Imam Syafii’.

Penggunaan kata ganti dalam teks yang mengindikasikan pada dominasi laki-laki. Seperti menunjuk Tuhan dengan kata ganti laki-laki, menomorduakan kata ganti perempuan setelah laki-laki ketika menunjuk laki laki dan perempuan dalam waktu yang bersamaan, atau penggunaan kata ganti lak-laki untuk menunjuk perempuan dan laki-laki sekaligus.

Selain itu, penafsiran ayat-ayat Al-Quran banyak sekali dipengaruhi oleh cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat Yahudi dan Kristen sebelum Islam atau dari Perjanjian Lama dan Baru, atau yang disebut dengan riwayat Israiliyat. Contohnya bisa kita lihat dari penafsiran ayat tentang penciptaan laki-laki dan perempuan. Para penafsir banyak menceritakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Cerita itu rupanya dikutip dari Perjanjian Lama karena dalam teks Al-Qur’an tidak  ada satu ayat pun yang menjelaskan tentang cerita tersebut.

Kenyataan lain yang juga harus kita akui adalah terdapatnya teks teks yang misoginis, baik di dalam Al-Qur’an  maupun hadis. Ini disebabkan karena faktor karakter bahasa Arab yang bias gender dan faktor kondisi sosio-historis yang tidak bisa dilepaskan dari teks. Oleh karena Itu, diperlukan kajian kritis dalam penafisiran agama, jika perlu, dilakukan dekonstruksi tafsir agama secara kolektif dari komprehensif dengan menggunakan perspektif gender.

Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam tradisi masyarakat pada umumnya bersumber dari faktor interpretasi. Bagaimana dengan sejumlah teks di dalam Al-Quran yang jelas mengeksplisitkan makna misoginis terhadap perempuan, misalnya tentang waris, nusyuz dan sebagainya. Apakah ada infiltrasi dari unsur tradisi sebelum Islam atau memang merupakan tradisi yang hendak dibangun oleh Islam.

Meski demikian, bila kita cermati secara kritis kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sejumlah teks agama yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang dapat dianggap sebagai dasar legitimasi oleh sementara orang untuk merendahkan martabat perempuan dan menempatkannya pada posisi subordinat kaum laki-laki.

Kedua sumber ini pada gilirannya dapat memberikan peluang bagi tindakan kekerasan terhadap perempuan atas nama kebenaran agama. Pemahaman teks-teks keagamaan seperti itu tentu saja tidak bisa dibenarkan, karena memberi kesan yang bertentangan dengan visi kesetaraan dan keadilan manusia sebagaimana dalam prinsip-prinsip universal.

Pemahaman agama yang bias gender bisa terjadi karena penafsiran terhadap teks yang sepotong-sepotong, tidak utuh, atau karena hanya memahami teks secara tekstual dengan mengabaikan konteks sosio-historisnya.

Melalul teks-teks di atas, Islam pada awal perkembangannya sesungguhnya berusaha melakukan pembongkaran terhadap wacana ideologis yang berkembang pada saat itu, — sebuah ideologi yang sepenuhnya patriarki, sepenuhnya diskriminatif dan sarat dengan kekerasan.

Upaya-upaya transformasi tersebut dilakukan melalul dua pendekatan yaitu, di satu sisi mengangkat citra dan martabat perempuan serta menyejajarkannya dengan laki laki baik dalam hak haknya maupun kewajiban kewajibannya. Di sisi lain, mengecam praktik praktik perendahan, pelecehan, dan kekerasan terhadap mereka. Cara cara tersebut dilakukan secara terus menerus oleh Nabi Muhammad SAW. Pada suatu saat beliau mengatakan,

“Sebaik baik kamu adalah yang paling baik terhadap istrimu dan sungguh, perempuan adalah saudara kandung laki laki”,

Reinterpretasi Kritis terhadap Teks Keagamaan

Setiap agama pada dasarnya menganjurkan untuk menegakkan prinsip prinsip keadilan dan kesetaraan. Pandangan egalitarianisme Islam dan penolakannya terhadap praktik-praktik kekerasan yang dilakukan manusia dalam kaitannya dengan relasi laki laki dan perempuan dibicarakan secara luas dalam Al-Qur’an maupun hadis. Islam tidak pernah membeda-bedakan antara manusia yang satu dengan lainnya, antara laki laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Q.S. al-Hujurat [49]:13, an-Nisa” [4]:1, al-A’raf [7]:189, az-Zumar [39]:6, Fatir [35]:11, al-Mukminun [40]:67, dan sebagainya.

Secara tegas ayat-ayat tersebut tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Karenanya tidak perlu ada superioritas satu golongan, satu suku, satu bangsa, satu ras maupun satu jenis kelamin tertentu kepada yang lain. Prinsip kesetaraan mengindikasikan adanya persamaan antar sesama umat manusia, baik perempuan maupun laki-laki tanpa mengenal batas dari manapun asalnya.

Namun bila kita cermati secara kritis ditemukan sejumlah teks-teks misoginis yang mendiskriminasikan perempuan dan interpretasi terhadap pemahaman-pemahaman agama yang bias gender yang dijadikan sebagai dasar legitimasi oleh sebagian orang untuk mensubordinasikan perempuan. Dengan dasar pemahaman seperti ini, memberikan peluang yang sangat besar terjadinya praktik tindakan kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan kebenaran ajaran agama.

Ada sejumlah kemungkinan yang dapat dianalisis mengapa perspektif diskriminatif dan subordinatif terjadi dalam wacana atau pemikiran keagamaan seperti itu. Pertama, sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikan teks. Kedua, mungkin penafsiran dilakukan secara sepotong-sepotong, tidak utuh dan lepas dari setting sosio-historisnya, sosio-kulturalnya, kapan dan di mana teks tersebut diturunkan. Ketiga, kemungkinan memanipulasi hadis-hadis Nabi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Persoalan lain adalah problem metodologi penafsiran terhadap teks-teks agama dan kevakuman (jumud) dalam melakukan analisis terhadap teks-teks dalam konteks kehidupan kekinian yang dinamis dan terus berubah secara kritis.

Bila kita mengamati pernyataan-pernyataan Al-Qur’an yang mengkritik secara tajam terhadap kebudayaan Arab yang diskriminatif dan misoginis terhadap perempuan sebelum Al-Qur’an diturunkan, seharusnya dapat dijadikan dasar metodologi kita untuk mereinterpretasikan teks-teks yang bias gender menjadi sebuah pemahaman baru yang sesuai dengan cita-cita al-Qur’an yaitu kesetaraan dan keadilan.

— Disarikan dari buku Nalar Politik Perempuan Pesantren, (Maria Ulfah Ansor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina Institute, 2006).

Membaca Peta Jalan Pemikiran Gus Dur: Catatan dari Esai Republik Bumi di Surga

Gun Gun Gunawan

Sekretaris LBH Fahmina dan Alumni ISIF Cirebon

ISIF Cirebon — Gus Dur selalu punya cara unik untuk menggugah kesadaran dan membuat kita berpikir ulang tentang banyak hal, baik itu tentang agama, kemanusiaan, geopolitik, atau wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, tokoh nyentrik dan kosmopolit yang terkenal dengan pemikiran yang nyeleneh selalu menawarkan wacana yang bahkan konteksnya bisa menembus batas negara, agama, bahkan zaman.

Pemikirannya kerap mengusik. Tapi justru dari sanalah kesadaran itu tumbuh. Salah satu contoh pokok pikirannya adalah pada esai bernas, “Republik Bumi di Surga: Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat.” Dalam tulisan ini, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melemparkan bola panas tentang wacana gerakan sosial melalui pembacaan kondisi geopolitik gerakan sosial pada masa itu terkhusus yang berwatak keagamaan. Gus Dur melakukan kritik tajam tentang bagaimana agama bekerja—baik secara sadar maupun tersembunyi—dalam mendorong gerakan sosial di masyarakat.

Reformisme dalam Gerakan Keagamaan

Dalam tulisan ini Gus Dur membuka pandangannya dengan mengulas 2 dikotomi gerakan yaitu gerakan revolusioner yang dipelopori oleh kaum Marxis dan gerakan reformis yang dipelopori oleh gerakan bermotifkan keagamaan.

Menurut Gus Dur ada dua kecenderungan berbeda di antara dua gerakan ini. Gerakan reformis biasanya dilatari oleh motif mesianistik dan mileniaristik. Menurut paham reformis paham revolusioner jika tanpa ideologi seperti halnya ideologi agama hanya akan mencapai kemenangan temporal, sisanya akan ada pertentangan kontra revolusi yang bersiap untuk merebut kembali kekuasaan.

Sedangkan menurut gerakan revolusioner paham gerakan keagamaan yang bersifat reformis hanya akan mentok di dua ujung yang semu dan kecenderungan gerakan reformis hanya akan memperkuat struktur yang ada dan melemahkan naluri revolusioner.

Mesianistik dan mileniaristik itu tak memberi angin segar karena tidak bisa merombak struktur dan tak bisa menyusun masyarakat baru yang egalitarian. Makanya Marxis tak percaya gerakan revolusioner yang didasari oleh motif keagamaan.

Marx pada khususnya, beranggapan bahwasanya agama hanya berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi kepada struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif. Buktinya dengan catatan sejarah yang memperlihatkan sikap revolusioner yang temporer belaka, hingga kekuasaan berada di tangan para tokoh reformis.

Artinya watak perjuangan kaum reformis yang bermotifkan keagamaan tak jauh berbeda sama serakahnya dengan kekuatan lain dan yang cenderung mempertahankan status quo. Oleh sebab itu Marxis anti terhadap yang namanya gerakan bermotifkan keagamaan.

Contoh-contoh konkrit bisa dilihat dari gerakan-gerakan bermotifkan keagamaan yang berada di Timur Tengah misalnya seperti revolusioner kaum nasionalis Arab Ba’athisme di Irak dan Syria, Sosialisme di Aljazair pimpinan Ahmed bin Bella dan Pan Islamisme.

Kemudian ada Pan Arabik dari Gamal Abdul Naser di Mesir ada Ikhwanul Musliminnya Hasan al-Banna yang memperoleh dukungan dari Al Azhar.  Adapun dukungan dari al-azhar tersebut menurut Gus Dur bukanlah dukungan atas pandangan revolusioner yang dibawa oleh Ikhwanul muslimin melainkan hanya mendukung kebijaksanaan pihak yang memerintah.

Buktinya setelah Nassar lengser dan diganti oleh Anwar Sadat, Al Azhar berputar haluan dan mendukung kebijaksanaan Anwar Sadat yang berwatak teknokratik yang bertentangan dari arus sosialistik.

Selain itu ada contoh lain seperti kongres rakyat-rakyat muslim di Iran yang melawan raja yang cenderung didorong oleh kepentingan taktis saja. Kemudian ada bukti paling konkret dari ideologi revolusioner dengan kecurigaan kepada motif keagamaan bisa dilihat dari kasus di India.

Tak ada satu pun pandangan revolusioner di India yang memiliki kaitan dengan aspirasi keagamaan kecuali gerakan Hindu Arya Samad yang berpusat di negara bagian Ayana. Motif keagamaan paling militan seperti yang dibawa oleh Mahatma Gandhi sekalipun tidak berwatak revolusioner dan hanya berwatak reformatif belaka dengan hanya menopang pada transformasi pada keinsafan spiritual bukan pada penggulingan kekuasaan.

Agama sebagai Motif Gerakan

Pada sesi selanjutnya Gus Dur menjelaskan bahwa di era 60 sampai 70-an terjadi pergeseran pandangan seperti yang terjadi di Mesir setelah Nasir berhasil mengkonsolidasikan kekuatan revolusioner yaitu gerakan persaudaraan muslim (Ikhwanul Muslimin) yang merupakan titik balik ideologi revolusioner terhadap motif keagamaan dari gerakan masyarakat.

Contoh lain terjadi juga pada Ben Bella dari kekuasaan yang digantikan oleh Huari Boumedienne yang membawa perubahan sikap ideologi revolusioner terhadap aspirasi keagamaan, Bella ironisnya jadi justru sebagai pembela Islam di hadapan ideologi-ideologi sekuler.

Di Amerika Latin ada uskup agung Rio de Janeiro yang mencanangkan perjuangan menolong kaum miskin. Lalu tahun 1995 ada dong hilder melakukan pembentukan konferensi uskup-uskup Amerika Latin (CALEM) yang merumuskan teologi Katolik berwatak revolusioner dan memberi dukungan kepada ideologi revolusioner.

Pada 1968 ada juga gerakan Acau Esperanza (operasi harapan) dan dewan keadilan perdamaian yang mencanangkan perdamaian secara institusional dengan konsep keadilan yang berlingkup makro sebuah pendekatan dalam jargon ideologi-ideologi revolusioner atau dikenal juga dengan sebutan wawasan struktural.

Tahun 1972 muncul juga rumusan baru yaitu rumusan teologi pembebasan Gustavo Merino Guitierez di Peru. Mereka mempersoalkan kebenaran sikap membatasi lingkup pelayanan oleh Gereja terhadap perorangan warga masyarakat tanpa dikaitkan dengan struktur masyarakat. Bagi mereka, spiritualitas bukanlah hanya milik individu saja melainkan juga sesuatu yang imperatif bagi masyarakat.

Mereka  berpandangan bahwa sebuah masyarakat tanpa spiritualitas hanyalah akan berujung pada penindasan ketidakadilan pemerasan dan pemerkosaan atas hak-hak asasi warganya.  Gereja haruslah menegakkan kebenaran memberikan dukungan penuh kepada gerakan-gerakan revolusioner yang memperjuangkan masyarakat yang adil dan benar-benar demokratis.

Walau di sisi negatifnya gerakan-gerakan itu menggunakan metode kekerasan dalam perjuangan mereka sedangkan gereja sendiri tidak turut terlibat dalam tindakan kekerasan itu. Bagi para penganut teologi ini, kekerasan tersebut merupakan refleksi dari kekerasan yang dilakukan oleh sistem kekuasaan dalam struktur yang pincang.

Selain itu perkembangan terjadi di kalangan kaum Katolik di dan non-Katolik di hampir seluruh dunia. Gema revolusioner tidak bersumber hanya dari teologi pembebasan saja melainkan juga pada semangat oikumene gereja-gereja Kristen dan paham Pan Islamic di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Gerakan oikumene ini mempertanyakan kebenaran etik Kristen yang kapitalistik seperti yang pernah didengungkan oleh Max Weber. Sedang wawasan egaliterian dari paham Pan Islamik yang revolusioner didengungkan semisal oleh intelektual santri, Ali Syariati di masa kekuasaan  Syah Reza Pahlevi.

Di India muncul sekte reformasi Hindu Arya Samaj yang mencanangkan bahwasanya keimanan adalah land reform, yang jika tidak diselenggarakan oleh pemerintah haruslah diwujudkan sendiri oleh masyarakat. Karena paham ini, Suani Agnivesh, salah seorang pemukanya, harus berkali-kali masuk penjara di masa pemerintahan Indira Gandhi.

Di kawasan lain juga muncul seperti Filipina, Korea Selatan, dan Hongkong. Di Filipina gerakan masyarakat  menggunakan strategi kolaborasi kritis dengan diprakarsai oleh Kardinal Jaimy Sin. Menurut strategi ini gerakan masyarakat akan mendukung sepenuhnya langkah-langkah konstruktif yang diambil pemerintah tetapi dengan mengajukan koreksi/kritik tuntas atas keadaan yang serba timpang. Strategi ini mendapat respon yang negatif dari presiden Marcos, ia  menuduh bahwa gerakan ini disalahgunakan untuk menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan militer.  Akibatnya, terjadi konflik terbuka antara pendeta Katolik dan pemerintah yang berlangsung bertahun-tahun.

Di Korea Selatan terjadi konflik antara militer yang berkuasa dengan gerakan masyarakat yang dengan skala lebih kecil dari yang terjadi di Filipina. Mereka berfokus pada masalah pemulihan hak-hak asasi manusia dan penegakan kedaulatan hukum. Gerakan ini dirumuskan sebagai perjuangan menegakkan masyarakat sesuai dengan kehendak Tuhan.

Di Hongkong sejumlah pusat komunikasi yang melayani jaringan gerakan-gerakan masyarakat di seluruh Asia Pasifik menyelenggarakan forum untuk membahas konteks perjuangan dengan menerbitkan publikasi periodik. Hal ini berfungsi penting bagi gerakan-gerakan masyarakat yang ada di kawasan Asia Pasifik karena merupakan jaringan tukar menukar pengalaman yang akan memperkaya ragam corak dan isi kiprah mereka dalam mewujudkan aspirasi mereka.

Pembacaan Gus Dur

Gus Dur membaca spektrum perjuangan bermotifkan keagamaan telah bergeser dari titik semula dalam 20 tahun terakhir. Yang melihat bahwasanya ada orientasi yang tidak jelas antara kiprah yang dilakukan yang hanya mengikuti alur cerita konvensional dan jaringan pendidikan yang biasa-biasa saja. Menurut Gus Dur kegiatan yang dilakukan oleh gerakan masyarakat ini tidak memiliki sasaran perombakan masyarakat sama sekali. Hal ini termasuk ke dalam orientasi yang diungkapkan pertama (reformisme).

Tapi di sisi lain muncul orientasi baru yakni memadukan aspirasi keagamaan dan kerangka pemahaman yang bersifat struktural atau dalam kata lain keberagamaan yang revolusioner dalam wawasan dan watak. Tapi menurut Gus Dur watak revolusioner ini masih terbatas pada wawasannya saja belum menjadi sesuatu yang programatik. Gus Dur menyebutnya sebagai revolusioner dalam retorika dan reformistik dalam kerja nyata.

Keadaan seperti ini mengandung bahaya yakni hilangnya kredibilitas karena jarak yang terlalu jauh antara kata dan perbuatan. Hal ini dikawatirkan menjurus kepada terjadinya perpecahan kepribadian. Konsekuensinya terjadinya fragmentasi yang tidak berkesudahan dan cenderung memunculkan terjadinya perpecahan dan memunculkan utopia baru akibat kekecewaan.

Utopia baru itu adalah idealisasi revolusi yang berlebihan di mana dalam merumuskannya harus terperinci dan tuntas. Revolusi seperti ini memiliki kekurangan yakni keterbatasan yang dimilikinya dalam mengayomi kehidupan masyarakat. Nuansa kultural yang ada dalam masyarakat dilihat hanya sebagai satu hal dari sudut pandang yang “merugikan atau menguntungkan bagi revolusi.” Dengan demikian keragaman dikorbankan demi kepentingan mensukseskan revolusi seperti halnya yang terjadi pada kelompok Indian Miskito di Nikaragua.

Selain itu penyeragaman kegiatan ini rentan berakibat pada terjadinya pencurian revolusi untuk menjaga dan mengkonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi. Hal ini seperti terjadi pada revolusi Islam di Iran yang tadinya milik saluran dan aspirasi kekuatan sosial politik yang berkiprah bersama. Tapi revolusi berubah menjadi Revolusi Mullah saja yang dituduhkan dalam Republik Islam Iran dengan partainya sendiri yang bernama sama (Mullah).

Hal yang terjadi di Iran adalah contoh klasik dari revolusi yang tercuri. Dulu Joseph Stalin juga mencuri revolusi Bolshefik dari teman-teman seperjuangannya termasuk bubut musuh bebuyutannya Totsky.

Oleh karena itu dalam gerakan masyarakat model ini, terjadi pertentangan kepentingan, antara berusaha menjaga keragaman budaya, dengan kepentingan sistematis langkah-langkah perjuangan yang dibutuhkan oleh semangat revolusioner gerakan.

Menurut Gus Dur banyak aspek dari gerakan kecenderungan revolusioner minimal dalam wawasan yang menjiwai  gerakan masyarakat yang ang bermotifkan keagamaan. Tapi menurutnya hal ini dirasa tidak cukup dan tulisan ini hanya sebagai pemantik untuk melemparkan pandangan kepada adanya fenomena itu sendiri.

Ia kemudian menutup dengan kesimpulan bahwa wacana gerakan sosial yang mencanangkan “Kerajaan Tuhan di muka bumi” dalam tataran ideologinya ternyata hanya retorika belaka. Ia melihat bahwa yang terjadi pada gerakan sosial di seperempat abad terakhir abad 20 (tahun 80-an)  adalah kemunculan fenomena keagamaan yang berkebalikan, yakni mendirikan sebuah ‘Republik Bumi’ untuk dilestarikan hingga ke akhirat.

Dengan demikian, mimpi tentang “Kerajaan Tuhan di muka bumi” ternyata tak lebih dari slogan ideologis yang hampa makna. Justru di balik gembar-gembor itu, sejarah mencatat sesuatu yang lebih membumi dan mengguncang: lahirnya sebuah “Republik Bumi” — gerakan keagamaan yang bukan hendak menjemput surga di dunia, melainkan menanam akar kehidupan duniawi yang lestari, hingga kelak dibawa sampai akhirat.**

— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mbludus.com (https://mbludus.com/membaca-peta-jalan-pemikiran-gus-dur-catatan-dari-esai-republik-bumi-di-surga/) pada Sabtu, 31 Mei 2025.