by admin | 9 Jun 2025 | Artikel, Mahasiswa & Alumni
Gun Gun Gunawan
Sekretaris LBH Fahmina dan Alumni ISIF Cirebon
ISIF Cirebon — Gus Dur selalu punya cara unik untuk menggugah kesadaran dan membuat kita berpikir ulang tentang banyak hal, baik itu tentang agama, kemanusiaan, geopolitik, atau wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, tokoh nyentrik dan kosmopolit yang terkenal dengan pemikiran yang nyeleneh selalu menawarkan wacana yang bahkan konteksnya bisa menembus batas negara, agama, bahkan zaman.
Pemikirannya kerap mengusik. Tapi justru dari sanalah kesadaran itu tumbuh. Salah satu contoh pokok pikirannya adalah pada esai bernas, “Republik Bumi di Surga: Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat.” Dalam tulisan ini, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melemparkan bola panas tentang wacana gerakan sosial melalui pembacaan kondisi geopolitik gerakan sosial pada masa itu terkhusus yang berwatak keagamaan. Gus Dur melakukan kritik tajam tentang bagaimana agama bekerja—baik secara sadar maupun tersembunyi—dalam mendorong gerakan sosial di masyarakat.
Reformisme dalam Gerakan Keagamaan
Dalam tulisan ini Gus Dur membuka pandangannya dengan mengulas 2 dikotomi gerakan yaitu gerakan revolusioner yang dipelopori oleh kaum Marxis dan gerakan reformis yang dipelopori oleh gerakan bermotifkan keagamaan.
Menurut Gus Dur ada dua kecenderungan berbeda di antara dua gerakan ini. Gerakan reformis biasanya dilatari oleh motif mesianistik dan mileniaristik. Menurut paham reformis paham revolusioner jika tanpa ideologi seperti halnya ideologi agama hanya akan mencapai kemenangan temporal, sisanya akan ada pertentangan kontra revolusi yang bersiap untuk merebut kembali kekuasaan.
Sedangkan menurut gerakan revolusioner paham gerakan keagamaan yang bersifat reformis hanya akan mentok di dua ujung yang semu dan kecenderungan gerakan reformis hanya akan memperkuat struktur yang ada dan melemahkan naluri revolusioner.
Mesianistik dan mileniaristik itu tak memberi angin segar karena tidak bisa merombak struktur dan tak bisa menyusun masyarakat baru yang egalitarian. Makanya Marxis tak percaya gerakan revolusioner yang didasari oleh motif keagamaan.
Marx pada khususnya, beranggapan bahwasanya agama hanya berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi kepada struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif. Buktinya dengan catatan sejarah yang memperlihatkan sikap revolusioner yang temporer belaka, hingga kekuasaan berada di tangan para tokoh reformis.
Artinya watak perjuangan kaum reformis yang bermotifkan keagamaan tak jauh berbeda sama serakahnya dengan kekuatan lain dan yang cenderung mempertahankan status quo. Oleh sebab itu Marxis anti terhadap yang namanya gerakan bermotifkan keagamaan.
Contoh-contoh konkrit bisa dilihat dari gerakan-gerakan bermotifkan keagamaan yang berada di Timur Tengah misalnya seperti revolusioner kaum nasionalis Arab Ba’athisme di Irak dan Syria, Sosialisme di Aljazair pimpinan Ahmed bin Bella dan Pan Islamisme.
Kemudian ada Pan Arabik dari Gamal Abdul Naser di Mesir ada Ikhwanul Musliminnya Hasan al-Banna yang memperoleh dukungan dari Al Azhar. Adapun dukungan dari al-azhar tersebut menurut Gus Dur bukanlah dukungan atas pandangan revolusioner yang dibawa oleh Ikhwanul muslimin melainkan hanya mendukung kebijaksanaan pihak yang memerintah.
Buktinya setelah Nassar lengser dan diganti oleh Anwar Sadat, Al Azhar berputar haluan dan mendukung kebijaksanaan Anwar Sadat yang berwatak teknokratik yang bertentangan dari arus sosialistik.
Selain itu ada contoh lain seperti kongres rakyat-rakyat muslim di Iran yang melawan raja yang cenderung didorong oleh kepentingan taktis saja. Kemudian ada bukti paling konkret dari ideologi revolusioner dengan kecurigaan kepada motif keagamaan bisa dilihat dari kasus di India.
Tak ada satu pun pandangan revolusioner di India yang memiliki kaitan dengan aspirasi keagamaan kecuali gerakan Hindu Arya Samad yang berpusat di negara bagian Ayana. Motif keagamaan paling militan seperti yang dibawa oleh Mahatma Gandhi sekalipun tidak berwatak revolusioner dan hanya berwatak reformatif belaka dengan hanya menopang pada transformasi pada keinsafan spiritual bukan pada penggulingan kekuasaan.
Agama sebagai Motif Gerakan
Pada sesi selanjutnya Gus Dur menjelaskan bahwa di era 60 sampai 70-an terjadi pergeseran pandangan seperti yang terjadi di Mesir setelah Nasir berhasil mengkonsolidasikan kekuatan revolusioner yaitu gerakan persaudaraan muslim (Ikhwanul Muslimin) yang merupakan titik balik ideologi revolusioner terhadap motif keagamaan dari gerakan masyarakat.
Contoh lain terjadi juga pada Ben Bella dari kekuasaan yang digantikan oleh Huari Boumedienne yang membawa perubahan sikap ideologi revolusioner terhadap aspirasi keagamaan, Bella ironisnya jadi justru sebagai pembela Islam di hadapan ideologi-ideologi sekuler.
Di Amerika Latin ada uskup agung Rio de Janeiro yang mencanangkan perjuangan menolong kaum miskin. Lalu tahun 1995 ada dong hilder melakukan pembentukan konferensi uskup-uskup Amerika Latin (CALEM) yang merumuskan teologi Katolik berwatak revolusioner dan memberi dukungan kepada ideologi revolusioner.
Pada 1968 ada juga gerakan Acau Esperanza (operasi harapan) dan dewan keadilan perdamaian yang mencanangkan perdamaian secara institusional dengan konsep keadilan yang berlingkup makro sebuah pendekatan dalam jargon ideologi-ideologi revolusioner atau dikenal juga dengan sebutan wawasan struktural.
Tahun 1972 muncul juga rumusan baru yaitu rumusan teologi pembebasan Gustavo Merino Guitierez di Peru. Mereka mempersoalkan kebenaran sikap membatasi lingkup pelayanan oleh Gereja terhadap perorangan warga masyarakat tanpa dikaitkan dengan struktur masyarakat. Bagi mereka, spiritualitas bukanlah hanya milik individu saja melainkan juga sesuatu yang imperatif bagi masyarakat.
Mereka berpandangan bahwa sebuah masyarakat tanpa spiritualitas hanyalah akan berujung pada penindasan ketidakadilan pemerasan dan pemerkosaan atas hak-hak asasi warganya. Gereja haruslah menegakkan kebenaran memberikan dukungan penuh kepada gerakan-gerakan revolusioner yang memperjuangkan masyarakat yang adil dan benar-benar demokratis.
Walau di sisi negatifnya gerakan-gerakan itu menggunakan metode kekerasan dalam perjuangan mereka sedangkan gereja sendiri tidak turut terlibat dalam tindakan kekerasan itu. Bagi para penganut teologi ini, kekerasan tersebut merupakan refleksi dari kekerasan yang dilakukan oleh sistem kekuasaan dalam struktur yang pincang.
Selain itu perkembangan terjadi di kalangan kaum Katolik di dan non-Katolik di hampir seluruh dunia. Gema revolusioner tidak bersumber hanya dari teologi pembebasan saja melainkan juga pada semangat oikumene gereja-gereja Kristen dan paham Pan Islamic di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Gerakan oikumene ini mempertanyakan kebenaran etik Kristen yang kapitalistik seperti yang pernah didengungkan oleh Max Weber. Sedang wawasan egaliterian dari paham Pan Islamik yang revolusioner didengungkan semisal oleh intelektual santri, Ali Syariati di masa kekuasaan Syah Reza Pahlevi.
Di India muncul sekte reformasi Hindu Arya Samaj yang mencanangkan bahwasanya keimanan adalah land reform, yang jika tidak diselenggarakan oleh pemerintah haruslah diwujudkan sendiri oleh masyarakat. Karena paham ini, Suani Agnivesh, salah seorang pemukanya, harus berkali-kali masuk penjara di masa pemerintahan Indira Gandhi.
Di kawasan lain juga muncul seperti Filipina, Korea Selatan, dan Hongkong. Di Filipina gerakan masyarakat menggunakan strategi kolaborasi kritis dengan diprakarsai oleh Kardinal Jaimy Sin. Menurut strategi ini gerakan masyarakat akan mendukung sepenuhnya langkah-langkah konstruktif yang diambil pemerintah tetapi dengan mengajukan koreksi/kritik tuntas atas keadaan yang serba timpang. Strategi ini mendapat respon yang negatif dari presiden Marcos, ia menuduh bahwa gerakan ini disalahgunakan untuk menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan militer. Akibatnya, terjadi konflik terbuka antara pendeta Katolik dan pemerintah yang berlangsung bertahun-tahun.
Di Korea Selatan terjadi konflik antara militer yang berkuasa dengan gerakan masyarakat yang dengan skala lebih kecil dari yang terjadi di Filipina. Mereka berfokus pada masalah pemulihan hak-hak asasi manusia dan penegakan kedaulatan hukum. Gerakan ini dirumuskan sebagai perjuangan menegakkan masyarakat sesuai dengan kehendak Tuhan.
Di Hongkong sejumlah pusat komunikasi yang melayani jaringan gerakan-gerakan masyarakat di seluruh Asia Pasifik menyelenggarakan forum untuk membahas konteks perjuangan dengan menerbitkan publikasi periodik. Hal ini berfungsi penting bagi gerakan-gerakan masyarakat yang ada di kawasan Asia Pasifik karena merupakan jaringan tukar menukar pengalaman yang akan memperkaya ragam corak dan isi kiprah mereka dalam mewujudkan aspirasi mereka.
Pembacaan Gus Dur
Gus Dur membaca spektrum perjuangan bermotifkan keagamaan telah bergeser dari titik semula dalam 20 tahun terakhir. Yang melihat bahwasanya ada orientasi yang tidak jelas antara kiprah yang dilakukan yang hanya mengikuti alur cerita konvensional dan jaringan pendidikan yang biasa-biasa saja. Menurut Gus Dur kegiatan yang dilakukan oleh gerakan masyarakat ini tidak memiliki sasaran perombakan masyarakat sama sekali. Hal ini termasuk ke dalam orientasi yang diungkapkan pertama (reformisme).
Tapi di sisi lain muncul orientasi baru yakni memadukan aspirasi keagamaan dan kerangka pemahaman yang bersifat struktural atau dalam kata lain keberagamaan yang revolusioner dalam wawasan dan watak. Tapi menurut Gus Dur watak revolusioner ini masih terbatas pada wawasannya saja belum menjadi sesuatu yang programatik. Gus Dur menyebutnya sebagai revolusioner dalam retorika dan reformistik dalam kerja nyata.
Keadaan seperti ini mengandung bahaya yakni hilangnya kredibilitas karena jarak yang terlalu jauh antara kata dan perbuatan. Hal ini dikawatirkan menjurus kepada terjadinya perpecahan kepribadian. Konsekuensinya terjadinya fragmentasi yang tidak berkesudahan dan cenderung memunculkan terjadinya perpecahan dan memunculkan utopia baru akibat kekecewaan.
Utopia baru itu adalah idealisasi revolusi yang berlebihan di mana dalam merumuskannya harus terperinci dan tuntas. Revolusi seperti ini memiliki kekurangan yakni keterbatasan yang dimilikinya dalam mengayomi kehidupan masyarakat. Nuansa kultural yang ada dalam masyarakat dilihat hanya sebagai satu hal dari sudut pandang yang “merugikan atau menguntungkan bagi revolusi.” Dengan demikian keragaman dikorbankan demi kepentingan mensukseskan revolusi seperti halnya yang terjadi pada kelompok Indian Miskito di Nikaragua.
Selain itu penyeragaman kegiatan ini rentan berakibat pada terjadinya pencurian revolusi untuk menjaga dan mengkonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi. Hal ini seperti terjadi pada revolusi Islam di Iran yang tadinya milik saluran dan aspirasi kekuatan sosial politik yang berkiprah bersama. Tapi revolusi berubah menjadi Revolusi Mullah saja yang dituduhkan dalam Republik Islam Iran dengan partainya sendiri yang bernama sama (Mullah).
Hal yang terjadi di Iran adalah contoh klasik dari revolusi yang tercuri. Dulu Joseph Stalin juga mencuri revolusi Bolshefik dari teman-teman seperjuangannya termasuk bubut musuh bebuyutannya Totsky.
Oleh karena itu dalam gerakan masyarakat model ini, terjadi pertentangan kepentingan, antara berusaha menjaga keragaman budaya, dengan kepentingan sistematis langkah-langkah perjuangan yang dibutuhkan oleh semangat revolusioner gerakan.
Menurut Gus Dur banyak aspek dari gerakan kecenderungan revolusioner minimal dalam wawasan yang menjiwai gerakan masyarakat yang ang bermotifkan keagamaan. Tapi menurutnya hal ini dirasa tidak cukup dan tulisan ini hanya sebagai pemantik untuk melemparkan pandangan kepada adanya fenomena itu sendiri.
Ia kemudian menutup dengan kesimpulan bahwa wacana gerakan sosial yang mencanangkan “Kerajaan Tuhan di muka bumi” dalam tataran ideologinya ternyata hanya retorika belaka. Ia melihat bahwa yang terjadi pada gerakan sosial di seperempat abad terakhir abad 20 (tahun 80-an) adalah kemunculan fenomena keagamaan yang berkebalikan, yakni mendirikan sebuah ‘Republik Bumi’ untuk dilestarikan hingga ke akhirat.
Dengan demikian, mimpi tentang “Kerajaan Tuhan di muka bumi” ternyata tak lebih dari slogan ideologis yang hampa makna. Justru di balik gembar-gembor itu, sejarah mencatat sesuatu yang lebih membumi dan mengguncang: lahirnya sebuah “Republik Bumi” — gerakan keagamaan yang bukan hendak menjemput surga di dunia, melainkan menanam akar kehidupan duniawi yang lestari, hingga kelak dibawa sampai akhirat.**
— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mbludus.com (https://mbludus.com/membaca-peta-jalan-pemikiran-gus-dur-catatan-dari-esai-republik-bumi-di-surga/) pada Sabtu, 31 Mei 2025.
by admin | 9 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
E-mail: marzukiwahid@gmail.com
Lihat tulisan sebelumnya…..
ISIF Cirebon — Diakui atau tidak, gerakan pembaharuan pemikiran Islam di negeri ini yang dilakukan oleh sejumlah intelektual yang ada, hingga sekarang tak ada satu karya pun yang monumental untuk dijadikan landasan berfikir dan bertindak yang transformatif bagi umat. Artinya, sementara ini “pembaharuan” di Indonesia masih dalam tahap tekad kuat dan muncul dalam bursa gagasan dan pikiran bebas, tak terkonstruksi secara epistemologis.
Bahkan, tidak sedikit yang masih mendikotomikan kalau NU itu tradisional-konservatif dan Muhammadiyah adalah modernis-pembaharu, tanpa memerinci pokok-pokok perkembangan pemikiran dari kedua organisasi ini, sesuatu yang salah kaprah.
Ada baiknya, barangkali, pada kesempatan ini dikemukakan sekilas gagasan dan visi pembaharuan Hassan Hanafi, seorang filosof dan teolog, pengajar di berbagai universitas dunia, dan pembaharu ternama di Mesir. Hassan Hanafi memang mempunyai program pembaharuan yang disebut al-Turâts wa al-Tajdîd (Warisan Intelektual dan Pembaharuan). Program ini sekaligus menjadi nama bukunya yang menjelaskan metodologi pembaharuannya.
Warisan Intelektual dan Pembaharuan
Pembaharuan pemikiran Islam menurut Hassan Hanafi adalah upaya menafsirkan kembali (merekonstruksi) warisan intelektual Islam (al-turâts al-qadîm) yang tidak sejalan dengan tuntutan zaman (al-turâts al-jadîd), dengan senantiasa mempertimbangkan realitas kontemporer umat Islam (al-wâqi’ al-bâsyir). Artinya, warisan intelektual Islam yang telah usang memang harus ditafsirkan kembali menjadi suatu konstruk pemikiran dan aksi yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Transformasi sosial yang dilakukan Hanafi bisa dipayungi dengan dua kata kunci: “mentransmisikan warisan dan menciptakan yang baru”. Dalam program pembaharuannya, dengan demikian, Hanafi tidak hendak mengambil kebudayaan Barat dan nilai-nilai modernitasnya (al-turâts al-gharbî) secara totalitas sebagai alternatif pengganti warisan Islam yang dianggap usang itu.
Ia juga tidak menginginkan agar tradisi lama tersebut terus dilestarikan tanpa perubahan. Tetapi juga tidak mau jika pembaharuan dilakukan secara ahistoris, terputus dari akar-akar tradisi sebagaimana banyak dilakukan kelompok liberalis. Hanafi tetap menginginkan pembaharuan yang dilakukan tetap memperhatikan warisan Islam lama. Hanya saja, ia harus ditafsirkan terlebih dahulu berdasarkan realitas kontemporer (al-mu’âshirah).
Warisan Barat (al-turâts al-gharbî) tentu harus dipelajari menurut versi kita sebagaimana para orientalis juga mempelajari warisan kita melalui versi mereka sendiri. Hanafi mempelajari warisan intelektual Barat bukan untuk menjadi westernis, melainkan untuk menandingi Barat dengan warisan mereka sendiri yang telah disenyawakan dengan warisan intelektual Islam.
Inti Pembaharuan Hassan Hanafi
Secara singkat, pembaharuan yang dicanangkan Hanafi berusaha mempertemukan tiga nilai yang berada pada tiga dimensi waktu yang berbeda: dulu (al-turâts al-islâmy), kini (al-wâqi’ al-bâsyir), dan esok (al-turâts al-gharbî). Dekonstruksi (pembongkaran) terhadap warisan intelektual lama, menurut Hanafi, merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk mengadakan rekonstruksi.
Mengenai metode dekonstruksi dan berbagai tawaran rekonstruksi yang ia maksud terdapat dalam karyanya, Min al-’Aqîdah ilâ al-Tsaurah (sebanyak 5 jilid masing-masing terdiri dari 600-700-an halaman), Dirâsât Islâmiyah, dan al-Turâts wa al-Tajdîd. Rekonstruksi warisan intelektual Islam klasik dimaksudkan Hanafi agar mempunyai vitalitas dalam menggerakkan umat Islam serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Selain rekonstruksi, juga kita harus berani mengembalikan keuniversalan dan superioritas kebudayaan Barat pada posisi yang wajar dan lokal. Artinya, hegemoni Barat yang demikian dasyat harus dihadapi dengan penuh kearifan dan bijaksana. Setelah itu, kita berusaha mengadakan teori baru untuk menafsirkan kebudayaan manusia secara global dan mendialogkannya dengan hasil rekonstruksi warisan Islam tersebut, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan berpijak umat manusia di zaman modern ini.
Pemikiran pembaharuan Hanafi ini dilatarbelakangi oleh keterbelakangan, kebodohan, dan ketertindasan yang dialami umat Islam yang menurutnya disebabkan oleh pemikiran mereka yang tradisional. Karena itu, Hanafi berpihak kepada hal-hal yang menyangkut persoalan kerakyatan, ketidakadilan, penindasan, dan kebangsaan. Karenanya, gerakan pembaharuan Hanafi lebih dikenal dengan gerakan Kiri Islam-nya (al-Yasâr al-Islâmî). Demikian. Wallâhu A’lam bi al-Shawâb. **
by admin | 3 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
ISIF Cirebon – Istilah “pembaharuan” dalam Islam biasanya merupakan terjemahan dari kata tajdîd yang terdapat dalam literatur hadîts. Tapi kemudian istilah ini muncul ke permukaan dengan predikat bahasa yang beragam, seperti reformisme, modernisme, puritanisme, revivalisme, bahkan fundamentalisme.
Pengertian yang paling dasar dari semua istilah ini adalah “memperbaharui pemahaman terhadap teks-teks agama”. Pembaharuan dilakukan karena beberapa hal. Mungkin karena pemahaman lama dinilai tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Kemungkinan lain karena paham-paham yang ada dianggap telah keluar dari maksud teks yang sebenarnya; karenanya paham tersebut harus diperbaharui, dalam arti dimurnikan.
Gerakan Pembaharuan: Suatu Keharusan
Dalam realitas perjalanan sejarah Islam, gerakan pembaharuan tampil dengan model dan visi yang berbeda. Setidaknya, terdapat tiga model dan visi yang signifikan untuk dicatat. Pertama, kelompok salaf. Kelompok ini memahami tajdîd untuk mengembalikan pemahaman agama yang salah karena distorsi sejarah kepada paham serta ajaran Islam yang sebenarnya sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah dan sahabatnya. Artinya, dalam konsep ini kita harus rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah masa Rasulullah) secara total. Kita harus kembali ke harmonitas masa lampau (al-ihyâ`), memutar jarum jam sejarah.
Kemunduran umat Islam selama ini, menurut kelompok ini, disebabkan mereka tidak menerapkan ajaran yang benar sebagaimana yang dilakukan Rasul. Visi tajdîd semacam ini biasanya disebut dengan gerakan revivalisme. Dalam sejarah, aliran ini diwakili oleh ahl al-hadîts yang berbasis di Madinah, dipelopori Imam Ahmad Ibn Hanbal dan diteruskan oleh Ibn Taymiyah kemudian dikembangkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd Wahab pada abad ke-18 M. Mereka ini juga disebut kelompok puritan.
Kelompok kedua, ahl al-ra’y yang berbasis di Irak. Mereka memahami tajdîd sebagai usaha memperbaharui paham-paham lama yang dianggap lemah dengan cara memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan, ciri, dan inti yang lama. Tampaknya, konsep kedua ini berusaha menawarkan sesuatu yang baru dengan mengkompromikan sesuatu yang lama. Dalam sejarah, visi ini dianut oleh ulama yang biasa disebut ahl al-ra’yi.
Ketiga, kelompok modernis. Tajdîd dalam pandangan mereka adalah menyesuaikan atau mengembangkan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern. Tajdîd dalam pengertian ini sama dengan modernisasi Islam, yakni usaha mengkontekstualisasikan Islam dengan tuntutan modern, keharusan kekinian. Kelompok ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan kelompok reformis, tokohnya seperti al-Thahtawi, al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Ahmad Khan dan Ali Jinah di India, dan lain-lain.
Berdasarkan perspektif sejarah ini, berarti ada tiga visi pemahaman yang sama-sama disebut pembaharuan. Kelompok revivalis cenderung menghidupkan kembali tradisi Rasulullah secara total sebagai jawaban tantangan sekarang; yang berarti berorientasi pada pemahaman tekstual ketimbang kontekstual. Sementara kelompok modernis sebaliknya, mereka berani meninggalkan pemahaman teks demi kepentingan konteks zaman. Konsep yang lama ditinggalkan diganti dengan yang baru (modern).
Ahl al-Ra’yi dalam pemahaman ini sebetulnya berusaha mensintesiskan antara yang lama dan yang baru (antara tradisi dan modernitas). Unsur lama yang baik dipertahankan dan unsur baru yang lebih baik dihadirkan (al-muhâfadhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).
Dengan demikian, gerakan pembaharuan, apapun bentuk dan visinya, memiliki dasar kuat pada warisan pengalaman sejarah kaum muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa tajdîd merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam setelah Nabi SAW meninggal. Nabi sendiri menyatakan bahwa Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbaharui (pemahaman) agamanya, jelas menunjukkan adanya ide tajdîd dalam Islam. Namun, penting dicatat bahwa pembaharuan pemikiran dalam Islam mesti berangkat dari teks dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang demikian dahsyat melintasi teologi, doktrin, dan norma, maka upaya-upaya pembaharuan pemikiran keislaman merupakan suatu keharusan, sebagai konsekuensi logis dari watak dasar Islam yang universal dan transhistoris. Hanya saja persoalannya, visi dan model pembaharuan bagaimana yang relevan dilakukan sebagai jawaban tantangan kontemporer?
Peta Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Selayang Pandang
Islam di Indonesia, dengan berbagai harmoni dan santunnya, juga tidak pernah luput dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan. Dimulai sejak gerakan reformisme Muhammad Abduh yang dianggap rasional-liberal, kemudian di Indonesia berpadu dengan paham Wahabiyah yang skriptual-formal. Inilah benih-benih kaum “modernis” dan “neo-modernis” Islam di Indonesia, yang kemudian mendapat laqab “lokomotif pembaharuan”.
Memperbincangkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, apalagi di masa Orde Baru ini, tidak bisa mengabaikan sosok Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, A. Syafi’i Ma’arif, M. Amien Rais, KH. Achmad Shiddiq, Moeslim Abdurrahman, dan belakangan Masdar F. Mas’udi. Memang menjelang akhir dasawarsa 1970-an sampai dengan dasawarsa 1980-an, khazanah pemikiran Islam diperkaya dengan pemikiran-pemikiran alternatif, baik dalam bidang teologi, politik, maupun sosial, dan ekonomi. Mereka tampil dengan gagasan yang segar meramaikan diskursus intelektual tahun 1980-an.
Dengan mengembangkan pendekatan yang lebih kontekstual, mereka mengetengahkan fungsionalisasi ajaran-ajaran Islam guna mengatasi masalah-masalah umat yang konkret, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, keadilan sosial, demokratisasi, toleransi, dan sebagainya. Ada yang menggunakan analisis struktural-fungsional, ada yang fenomenologis-hermeneutis, dan ada juga yang berangkat dari warisan budaya-tradisi yang dimiliki.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan mereka tidak bersifat normatif dan doktrinal, tetapi lebih berorientasi pada dimensi empiris dan realistis. Karena itu, gagasan-gagasan yang bersifat ideologis hampir jarang dikemukakan, tetapi lebih mengetengahkan pendekatan rasional, akademis, dan praksis terhadap dilema yang dihadapi umat Islam. Karenanya, gagasan yang mempunyai muatan ideologis semacam “negara Islam” sama sekali dinegasikan, dan sebagai gantinya mereka justru memformulasikan pemikiran yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan yang inklusif, dengan berbagai aliran pemikirannya masing-masing.
Nurcholish Madjid, misalnya, terkenal kontroversial dengan isu “desakralisasi”, “sekularisasi Islam”, dan “Islam yes, partai Islam, no”. Mukti Ali sering diidentikkan dengan statemen “agree in disagrement”, setuju dalam perbedaan. Abdurrahman Wahid masyhur dengan gagasan “pribumisasi Islam”. Syafi’i Ma’arif dengan “tidak ada konsep negara Islam”. Kuntowijoyo dengan “ilmu-ilmu sosial profetik”. Harun Nasution dengan “liberalisasi pemikiran Mu’tazilah”. Munawir Sjadzali dengan “reaktualisasi ajaran Islam”. Jalaluddin Rakhmat dengan “Islam alternatif”. Amien Rais dengan “demokrasi Islam”. KH. Achmad Shiddiq dengan “penerimaan asas tunggal Pancasila”. Moeslim Abdurrahman dengan “teologi transformatif”. Masdar F. Mas’udi dengan “persenyawaan pajak-zakat”.
Khusus Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid perlu mendapat perhatian tersendiri, dua tokoh ini selain memang mempunyai basis yang kuat terhadap khazanah keislaman, klasik dan kontemporer, juga mereka mempunyai kepedulian yang kuat sekali tentang perlunya “revitalisasi tradisi” ke arah pemikiran modern Islam. Isu bersama yang menonjol dari mereka adalah universalisme dan kosmopolitanisme Islam sebagai paradigma untuk keluar dari jebakan historis dan sosiologis umat Islam.
Mengenai klasifikasi dan tipikasi gerakan pembaharuan, banyak pengamat memandang berbeda. Budhy Munawar-Rachman, misalnya, dalam tulisannya di Majalah Ulumul Qur’an No. 3 Vol. VI, tahun 1995, memaparkan tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia ke dalam: [1] Islam Rasional, tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi, [2] Islam Peradaban, diwakili dengan Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo, dan [3] Islam Transformatif, menyebut tokoh Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo. Berbeda dengan Greg Barton, pengajar di Deakin University, dalam disertasi PhD-nya. Ia mengidentifikasi kelompk neo-modernisme Islam di Indonesia dari tahun 1968-1980 adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.
Sementara M. Syafi’i Anwar dalam tesis MA, yang kemudian diterbitkan dengan judul Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, menyebut tipologi pemikiran politik cendekiawan muslim Indonesia yang menjadi fenomena dalam dekade 1980-an terbagi ke dalam enam tipe. Masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Formalistik
Kaum formalis Islam selalu menekankan aspek ideologisasi atau politisasi ajaran Islam yang mengarah kepada simbolisme keagamaan secara formal. Tidak jarang mereka mengkalim dengan terminologi “Islam” terhadap sesuatu yang menurut anggapan mereka “islami”, seperti politik Islam, negara Islam, ekonomi Islam, demokrasi Islam, Islamisasi Ilmu, dan sejenisnya. Doktrin keagamaan akhirnya diterjemahkan bukan sekedar rumusan teologis, tetapi juga ke dalam suatu sistem keimanan dan tindakan politik yang komprehensif dan eksklusif. Masuk dalam paradigma ini, di antaranya, adalah M. Amin Rais, A.M. Saefuddin, dan Jalaluddin Rakhmat.
2. Substantivistik
Kaum substantivis mendasarkan asumsi bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu Tuhan. Bagi meraka, pesan-pesan al-Qur’an dan al-Hadits yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, harus ditafsirkan kembali berdasarkan kronologi, rentang waktu, dan kondisi sosial, budaya, dan politik yang melatari terjadinya, kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial yang berlaku pada masa sekarang.
Dalam proses penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan realistik, kaum substansialis cenderung mengambil bentuk kulturalisasi (pembudayaan), bukan politisasi. Dengan demikian mereka mimilih gerakan budaya (cultural movement) daripada gerakan politik (political movement) sebagai strategi perjuangannya. Di antara yang masuk dalam kelompok ini adalah kalangan neo-modernis: Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kelompok modernis: Harun Nasution. Kelompok neo-tradisonalis: K.H. Achmad Shiddiq dan Munawir Sjadzali.
3. Transformatik
Pemikiran transformatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan (basyariyyah). Untuk itu, dalam pandangan kaum transformis Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis.
Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para pemikir transformatif bukanlah pada aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial, ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan sebagainya.
Bahkan, bagi para pemikir transformatif menghendaki teologi bukan sekedar sebagai ajaran yang absurd dan netral, tetapi harus diarahkan sebagai suatu ajaran yang “memihak” dan “membebaskan” mayoritas umat Islam dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan demi terciptanya masyarakat adil dan demokratis. Masuk dalam kategori ini, di antaranya, adalah Koentowijoyo, Muslim Abdurrahman, Masdar F. Mas’udi, dan sebagian kalangan kyai-ulama pondok pesantren. Tak tertinggal dalam tipologi ini kelompok reformis sosial atau sosialisme demokrasi Islam: M. Dawan Rahardjo.
4. Totalistik
Ciri pokok dari pemikiran totalistik adalah adanya sikap utama yang mendasar dengan menganggap bahwa doktrin Islam bersifat total (kâffah), serta mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai, dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit yang meliputi semua bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta melingkupi segi-segi baik individual, kolektif, maupun masyarakat manusia umumnya.
Pemahaman mereka biasanya berangkat dari teks dan selalu bersumber dari wahyu. Konsekuensinya, semua kehidupan bagi kelompok ini harus diresapi dengan norma Islam. Dengan demikian, tidak ada ruang kosong untuk menerima kenyataan yang bersifat partikularistik atau pluralistik. Pendukung tipologi ini adalah mereka yang sering disebut fundamentalisme.
5. Idealistik
Yang dimaksud dengan pemikiran idealistik dalam konteks ini adalah suatu pemikiran yang bertolak dari pandangan pentingnya perjuangan umat untuk berorientasi pada tahapan menuju “Islam cita-cita” (ideal Islam). “Islam cita-cita” adalah Islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang otentik, tetapi belum tentu tercermin dalam tingkah laku sosio-politik umat Islam dalam realitas sejarah mereka.
Perumusan cita-cita ini dimaksudkan untuk membedakan dengan “Islam sejarah” (historic Islam), yakni Islam seperti yang telah dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam, sebagai jawaban terhadap tantangan sejarah yang datang silih berganti. Tetapi, jawaban yang diberikan belum tentu selalu bertolak dari ajaran al-Qur’an yang sebenarnya. A. Syafi’i Ma’arif bisa dimasukkan ke dalam tipologi pemikiran ini.
6. Realistik
Ciri pokok pemikiran realistik adalah melihat keterkaitan atau melakukan penghadapan antara dimensi substantif dari ajaran atau doktrin agama dengan konteks sosio-kultural masyarakat pemeluknya. Bagi pemikir realistik, Islam sebagai agama wahyu yang universal dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin selalu diwarnai oleh perjalanan sejarah dan situasi sosial kultural pemeluknya. Karena itu, melihat ajaran Islam dalam pandangan kelompok ini tidak bisa menafikan realitas umat Islamnya. Masuk dalam format pemikiran ini adalah Taufik Abdullah. **
Bersambung….
by admin | 1 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
Kembali ke Khittah Indonesia 1945
ISIF Cirebon – Tiga belas tahun yang lalu, pada Munas dan Konbes tahun 2012 di Cirebon, Nahdlatul Ulama (NU) mengangkat tema “Kembali ke Khittah Indonesia Tahun 1945”. Ada apa dengan Indonesia Tahun 1945, sehingga harus dijadikan rujukan sebagai Khittah?
Tahun 1945 adalah tahun yang bersejarah bagi NU. Selain kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan, tahun 1945 juga adalah lahirnya fatwa NU tentang Resolusi Jihad untuk melawan para penjajah yang membonceng Jepang. Fatwa ini kemudian menggema menjadi perlawanan Arek-arek Soerobojo, yang kemudian ditetapkan sebagai hari Pahlawan Nasional pada setiap 10 November.
Seperti diketahui, NU adalah organisasi masyarakat sipil (civil society organization) berbasis pondok pesantren yang turut serta mendirikan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Setelah beratus-ratus tahun gigih berjuang melawan penjajah, NU bersama komponen bangsa lain mengisi dan mewarnai kemerdekaan Republik Indonesia. KH. Wahid Hasyim, putera pendiri NU dan ayah kandung Gus Dur, yang saat itu masih belia memang diutus ayahnya mewakili NU untuk bersama-sama kelompok lain membangun fondasi negara Indonesia, menyusun dasar negara Pancasila dan konstitusi Negara Republik Indonesia ini. Ir. Soekarno, proklamator RI, menjadi Presiden RI juga atas hasil istikharah pendiri NU, Hadratusy Syaikh Mbah KH. M. Hasyim Asy’ari.
Walhasil, Tahun 1945 adalah khittah keberadaan Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Khittah ini ditandai dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia. Tanpa tahun 1945, Indonesia tidak akan pernah ada. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak akan pernah rukun dan bersatu. Tanpa UUD 1945, Indonesia tak akan pernah memiliki pemerintahan yang kokoh dan berwibawa. Tanpa Bhineka Tunggal Ika, Indonesia cacat dan tidak utuh. Patutlah, Indonesia Tahun 1945 dijadikan Khittah bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini yang tengah mengalami erosi nasionalisme dan ancaman kebangsaan.
Negara Pancasila, Negara Islam
Salah satu prestasi NU yang paling monumental dalam satu abad sejarahnya adalah pemikiran politiknya tentang hubungan agama dan negara. Pemikiran itu sangat dapat dibanggakan. Di tengah ambisi kuat kalangan modernis dan transnasionalis memimpikan ‘negara Islam’, ‘daulah Islamiyyah’ atau ‘khilafah Islamiyyah’ di bumi Indonesia, NU dengan ‘nalar tradisionalitas’nya dan ‘teologi-pesantren’nya justru mengukuhkan negara Pancasila sebagai bentuk final dalam politik Islam (fiqh siyasah). “Tidak perlu mencari bentuk negara Islam lain, ‘Negara Pancasila adalah Negara Islam’ itu sendiri,” demikian kesimpulan ijtihad politik NU selama seabad.
Kita tahu wacana hubungan agama dan negara dalam Islam adalah wacana yang sangat krusial, telah lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer. Di sejumlah negara yang mayoritas muslim, perdebatan ini tidak saja mengundang konflik antarumat Islam, melainkan menjadi prahara bagi negara.
Indonesia adalah contohnya. Tahun 1950-an, negeri ini geger karena puluhan ribu orang terbunuh akibat perang guna mempertahankan ideologi ‘negara Islam’. Dengan bendera Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sekelompok orang Islam melakukan pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kecenderungan pemikiran mereka mempertentangkan antara Islam dengan negara non-Islam. Pilihannya hitam-putih: negara Islam atau perang. Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah adalah contoh jalan pikirian hitam-putih ini.
Nahdlatul Ulama, melalui evolusi pemikirannya yang panjang, sejak masa penjajahan, perdebatan dasar negara menjelang pemerdekaan negara ini, hingga tahun 1984, telah berhasil mendamaikan atau merekonsiliasi secara teologis wujud ‘negara-bangsa’ dengan Islam. Tentu ini bukan perkara mudah, karena para kiai NU harus berijtihad secara radikal, merevisi teks, dan mengakui realitas empiris sebagai bagian dari ‘kebenaran’ yang harus dipertimbangkan.
Bagi Nahdlatul Ulama, diskusi tentang relasi agama vis-a-vis negara, atau Islam vis-a-vis Pancasila, sudah lama selesai. Keputusan Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada tahun 1984 telah mengakhiri perdebatan ini. Muktamar yang yang berlangsung tanggal 8-12 Desember 1984 itu mengukuhkan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 1983.
Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari bahtsul masa`il ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa.
Nalar keagamaan NU telah menetapkan bahwa negara Indonesia dengan berdasarkan Pancasila sebagai bentuk final negara-bangsa. Bagi saya, kerangka pemikiran ini adalah masterpiece atau magnum opus pemikiran politik NU yang sangat brilliant, yang dimiliki kiai pesantren tradisional sebagai sumbangan atas bangunan teologi negara Pancasila.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia—yang dipimpin oleh para kiai tradisional-pesantren–telah menawarkan suatu penyelesaian teologis yang cemerlang melalui fikih politik dalam hubungan Islam dan Pancasila. Penalaran fikih politik ini tampaknya dapat menjadi pedoman atau inspirasi bagi organisasi keagamaan lain yang masih gamang menghadapi kenyataan ‘negara-modern’ Pancasila.[]
by admin | 28 May 2025 | Artikel
ISIF Cirebon – Hari ini, kita hidup dalam sebuah dunia yang seolah-olah sudah tersihir. Sihir itu bernama gaya hidup hedonistik—semuanya serba instan, glamor, dan serba harus tampak “sukses”. Ia dipromosikan terus-menerus lewat televisi, media sosial, iklan, bahkan ceramah-ceramah keagamaan. Kita seperti dipaksa tunduk kepada satu cara hidup: modern, cepat, dan berbasis teknologi. Siapa yang tak punya HP pintar atau motor keren akan dianggap “tertinggal zaman”.
Tapi gaya hidup ini tidak tumbuh dari tanah yang ramah. Ia mengabaikan ekosistem sosial dan budaya kita. Tidak peduli apakah tradisi dan lingkungan bisa mengikuti atau tidak. Yang penting, semua orang harus kelihatan ‘maju’. Celakanya, yang paling terkena dampaknya justru mereka yang paling lemah: masyarakat kecil, minoritas, dan mereka yang hidup dari sektor informal.
Orang-orang yang lemah, ketika bertindak secara benar dan didukung undang-undang sekalipun, akan tetap dipandang rendah, bahkan tetap berpotensi disalahkan. Sebaliknya, orang yang kuat akan dipandang terhormat dan memperoleh dukungan banyak pihak, sekalipun melanggar peraturan dan undang-undang. Ucapan sarkastik ini bisa dilihat pada kasus-kasus yang menimpa banyak kelompok masyarakat kecil di kota maupun desa. Begitu juga untuk kelompok-kelompok minoritas. Apapun yang mereka lakukan, mereka cenderung akan disalahkan.
Bagi masyarakat lemah yang hidup di kota, selama hidupnya selalu disalahkan. Tinggal di kolong jembatan disalahkan, di bawah jalan tol juga disalahkan, di pinggir rel kereta api juga disalahkan, di kuburan juga disalahkan, apalagi di pinggir rumah orang-orang kaya pasti akan langsung diusir Satpam setempat. Di Mushalla dan Masjid sekarang sudah tertulis ‘dilarang tidur di dalam Masjid’. Jadi, di mana mereka harus tinggal?
Untuk membeli rumah, mereka tidak memiliki uang yang cukup. Sementara, pekerjaan yang dapat mendatangkan uang bagi mereka pun tidak ada. Mencuri pasti disalahkan. Jadi, apapun yang mereka pilih dan kerjakan, dunia akan cenderung menyalahkan mereka. Mereka tidak diterima untuk hidup di kota. Mereka seharusnya tinggal di desa, tetapi tanah-tanah di desa juga telah direbut orang-orang kota untuk perumahan, villa, dan resort. Yang tersisa hanya lahan yang kering kerontang dan tidak menjanjikan.
Kalaupun mereka berada di desa, mereka hanya akan meneruskan kebiasaan hidup di kota. Berjualan teknologi kota yang belum tentu diperlukan di desa dan belum tentu ramah dengan lingkungan maupun tradisi desa. Atau, menjadi calo tenaga kerja yang akan dikirim ke luar kota atau luar negeri. Itupun berarti untuk kepentingan di luar desanya, atau akan tercerabut dari lingkungan desanya. Itupun bisa disalahkan sebagai agen ’perdagangan orang’. Sementara orang-orang yang lebih kuat, seperti perusahaan yang merekrut tenaga kerja untuk dipekerjakan di luar negeri, tidak pernah tersentuh oleh aparat hukum.
Begitu juga kondisi yang menimpa Pedagang Kaki Lima (PKL) di seluruh Indonesia. Mereka akan dipandang salah, tidak tertib, melanggar aturan, dan karena itu terus-menerus akan digusur dan dikejar-kejar. Berbeda dengan para pedagang besar dan pemilik mall-mall. Mereka sebaliknya dielu-elukan sebagai investor dan pemasok devisa bagi negara, sekalipun pada praktiknya mereka: telah menggusur tanah-tanah publik, ruang-ruang umum, cagar budaya, dan mematikan pasar-pasar tradisional.
Dalam urusan-urusan seperti ini, para investor dan pemodal itu seringkali melanggar aturan tata ruang, aturan perizinan, dan aturan persaingan dunia usaha. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang justru ngemplang uang negara melalui fasilitas ‘kredit yang mereka lakukan‘ di bank-bank negara.
Anehnya, para pejabat negara, termasuk Pemerintah Daerah, menganggap mereka sebagai pahlawan devisa dan pejuang ekonomi bangsa. Ini berbalik seratus delapan puluh derajat dengan kondisi yang dihadapi para pedagang kecil yang berada di sektor-sektor informal—yang sering disebut pelaku ekonomi menengah ke bawah.
Usaha ekonomi kecil dan menengah, serta sentra-sentra pasar tradisional adalah anak sah dari model perekonomian awal di Indonesia. Justru pendirian mall-mall lahir dari model perekonomian yang merujuk pada mazhab ekonomi akumulasi modal atau biasa disebut dengan kapitalisme.
Kita seharusnya jujur bahwa meledaknya sentra-sentra ekonomi lemah, atau tepatnya PKL, adalah akibat dari kebijakan pembangunan yang hanya difokuskan pada pembangunan kota. Masyarakat desa tidak lagi tertarik untuk bekerja di desa. Bahkan, tidak ada lowongan pekerjaan yang bisa mereka akses.
Ketika tanah dan sawah sudah dibeli; ketika tanah dan sawah sudah tidak produktif lagi; ketika bekerja di sawah sama sekali tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan tidak memiliki prestis sosial sama sekali, maka semua rakyat desa akan berbondong-bondong tersedot memasuki kota untuk mengadu nasib.
Mereka tidak punya pilihan lagi. Seluruh program pembangunan tidak memihak kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan. Mereka terpaksa mengambil sudut-sudut dan trotoar jalan. Mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk berusaha, bahkan untuk bertahan hidup sekalipun. Pembangunan mall-mall dan sentra-sentra bisnis seringkali tidak menyisakan tempat untuk mereka.
Padahal mayoritas pekerja di dalam mall itu adalah pekerja yang digaji kecil, yang hanya bisa makan di kelas-kelas PKL. Anehnya, yang kita saksikan adalah penggusuran dan pengejaran, atau — meminjam bahasa pemerintah “penertiban.” Mereka tidak diakui, tetapi mereka tetap harus bayar retribusi. Bahkan, penggusuran pun seringkali menciptakan PKL yang baru, yang harus bayar lahan kembali dari awal dan retribusi seperti biasa.
Sepertinya, penggusuran hanya menjadi sirkulasi untuk memperoleh tawaran dari PKL yang baru, dengan model pembayaran baru dan retribusi baru. Ini adalah front pembangunan yang setia menjadi “wirid” pemerintah sejak zaman Orde Baru.
Dalam relasi dengan negara-negara maju, Indonesia selalu disalahkan. Indonesia dilarang menebang hutan sebagai paru-paru dunia. Namun, Indonesia tidak diberi pilihan lain untuk mempertahankan kehidupannya, selain hutan. Padahal hutan adalah sumber daya alam strategis yang dimiliki Indonesia.
Lalu bagaimana? Bahkan kita, bangsa indonesia, dipaksa untuk membeli produk-produk teknologi dan makanan instan produksi negara-negara maju. Kita memanfaatkan hutan salah, tidak membeli produk mereka juga salah, orang lemah — bahkan negara lemah pun memang selalu disalahkan.
Ini harus menjadi kepedulian bersama. Kita memang selalu dikepung oleh kehidupan hedonistik yang mengancam segala kekayaan kita: kekayaan agama, tradisi, dan alam. Budaya instan hedonis inilah yang akan menghancurkan tradisi kebersamaan dan persatuan.
Invasi budaya ini, tanpa kita sadari, telah merasuki seluruh kehidupan kita. Apabila kita tidak memiliki kewaspadaan yang ekstra, kita malah akan berbalik menyalahkan orang-orang yang lemah dan kalah dalam percaturan ekonomi global.
Kasus Porong Sidoarjo Jawa Timur menunjukkan betapa negara tidak memiliki keberpihakan yang jelas kepada rakyat yang tergusur. Bahkan, rakyat digusur dan dikorbankan dengan semburan lumpur Lapindo. Pemerintah gamang memberikan sanksi kepada perusahaan yang mengakibatkan penderitaan permanen rakyat. Negara juga tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk penghidupan korban lumpur Lapindo. Padahal jumlah mereka ribuan orang. Mereka kehilangan rumah, tanah, kehidupan, dan masa depan. Tidak ada yang peduli.
Tidak ada juga gerakan masif yang memaksa negara untuk bertanggung jawab dan melindungi korban. Kelompok-kelompok agama, seperti NU, Muhammadiyah, atau yang lain diam seribu bahasa menyaksikan penindasan massal ini. Tidak juga dari partai politik yang mengatasnamakan Islam atau nasionalisme. Ironis! Ini sangat ironis.
Sepertinya, kita harus memikirkan ulang model keberagamaan, kepartaian, dan kebangsaan kita selama ini. Kita masih saja membiarkan orang-orang lemah dan minoritas kalah dan dikalahkan. Saya teringat dengan pernyataan yang diucapkan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra.,
“Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat di sisiku, karena itu’ aku perjuangkan hak-hak untuknya. Sementara orang — yang kuat di antara kamu, adalah lemah di sisiku, karena itu aku akan memastikan kewajiban mereka dilunasi untuk memenuhi hak-hak yang lain” .[]
— Artikel ini merupakan tulisan K.H. Syarief Utsman Yahya dengan judul asli “Berpihak kepada Rakyat Lemah” dalam buku Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Silakan baca tulisan lengkapnya dalam, Syarif Utsman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008.