(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Ruang Dialog Agama dan Negara dalam Pengadilan Agama

ISIF Cirebon – Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, tetapi sejak awal berdirinya, Indonesia tidak mengambil bentuk negara agama. Para pendiri bangsa memilih jalan tengah: membentuk negara yang menjamin kebebasan beragama, sekaligus tidak tunduk pada tafsir keagamaan tertentu. Pancasila menjadi dasar negara yang menampung keberagaman dan menjadi titik temu antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.

Namun, ini bukan berarti hubungan antara agama dan negara di Indonesia selalu tenang. Sejak awal, terutama dalam konteks Islam, selalu ada perdebatan dan negosiasi. Islam, sebagai agama yang membawa nilai-nilai hukum dan sosial, memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Di sisi lain, negara memiliki kepentingan menjaga kesatuan, stabilitas, dan keadilan bagi semua warganya, tak peduli latar belakang agama mereka.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa negara kerap mengambil posisi sebagai penengah. Di masa Orde Baru, negara cenderung menekan ekspresi politik Islam. Zaman pemerintahan Soeharto antara tahun 1966 hingga 1998, suatu periode ketika Islam, seringkali ditafsirkan berpotensi menjadi ancaman politik terhadap negara yang terpusat, otoritarian, dan sekuler yang telah dibentuk oleh militer.

Namun setelah Reformasi 1998, ruang ekspresi semakin terbuka. Banyak pembatasan atas ekspresi identitas Muslim yang diterapkan selama Pemerintah Orde Baru, dicabut tidak lama setelah kejatuhan Soeharto, yakni pada saat demokratisasi Indonesia menuju era keterbukaan baru. Hal ini mengakibatkan munculnya identitas Islam yang begitu marak dalam kehidupan pribadi dan publik, termasuk dalam politik.

Kelompok-kelompok Islam, baik yang besar maupun kecil, mulai menyuarakan kembali aspirasi untuk membentuk masyarakat yang lebih Islami, termasuk lewat penerapan hukum syariah.

Tentu saja, aspirasi ini tidak tunggal. Ada yang menginginkan penerapan syariah secara penuh, ada pula yang memandang syariah sebagai nilai moral yang bisa hidup berdampingan dengan hukum nasional. Perdebatan ini semakin hidup dalam masyarakat dan politik Indonesia. Di tengah dinamika itu, muncul pertanyaan: bagaimana negara dan agama berdialog secara sehat?

Salah satu ruang dialog itu terlihat dalam lembaga Pengadilan Agama. Sebagai bagian dari sistem peradilan negara, namun khusus menangani perkara umat Islam, Pengadilan Agama menjadi tempat menarik untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dan hukum negara saling berinteraksi.

Pengadilan Agama secara konsisten menunjukkan dukungan terhadap nasionalisme negara yang berlandaskan Pancasila. Dalam menjalankan fungsinya, Pengadilan Agama tidak hanya merujuk pada sumber-sumber hukum Islam tradisional seperti Al-Qur’an, Hadis Nabi, dan fikih klasik, tetapi juga mengadaptasi aturan-aturan hukum negara. Adaptasi ini dilakukan meskipun dalam beberapa kasus dianggap bertentangan dengan interpretasi kaum tradisional dari sumber-sumber tersebut.

Pengadilan Agama di Indonesia yang menangani perkara umat Muslim, di satu sisi telah menjadi agen untuk agenda yang lebih membebaskan, yang mencerminkan aspirasi gerakan reformasi yang telah mendominasi kebijakan negara pada era pasca-Soeharto. Akan tetapi, di sisi lain posisi pengadilan agama juga telah banyak mengabaikan aspirasi organisasi Islam konservatif, yang makin tumbuh menonjol pada masa yang bersamaan.

Pendukung Islamisasi yang konservatif seringkali mendapat kritik di Indonesia karena sikapnya yang terang-terangan menunjukkan permusuhan pada perempuan. Misalnya, dalam pengaturan cara berpakaian perempuan, atau dalam membatasi ruang gerak perempuan di masyarakat. Posiai demikian dilihat oleh Pengadilan Agama dengan sebaliknya.

Pengadilan Agama di Indonesia justru dikenal sebagai salah satu sistem hukum keluarga Islam yang paling responsif terhadap hak-hak perempuan di dunia Muslim. Pengadilan Agama telah memimpin upaya-upaya peradilan untuk memperbaiki kedudukan hukum dan kapasitas perempuan untuk menjalankan hak-hak mereka dalam hal hukum keluarga, khususnya hak untuk bercerai dengan cepat dan murah.

Hal ini bisa dilihat pada proses cerai yang cepat dan murah, fleksibilitas dalam perjanjian pernikahan, serta budaya kelembagaan yang simpati terhadap perempuan menjadi cerminan bahwa nilai-nilai Islam dan nilai keadilan sosial bisa berjalan bersama.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Daniel Lev, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama selama puluhan tahun memang memiliki budaya lembaga yang bersimpati pada perempuan yang berperkara. Dalam salah satu tulisannya ia menyatakan:

“Aturan hukum keluarga Islam di Indonesia telah lama dianggap sebagai salah satu aturan yang paling liberal di dunia muslim. Perjanjian pernikahan diuraikan dengan jelas dan fleksibel, sebagian karena adanya tekanan dan masukan dari organisasiorganisasi perempuan dalam beberapa puluh tahun terakhir.Selain itu, kantor urusan agama dan pengadilan diam-diam telah bersimpati pada perempuan yang mengalami pernikahan yang buruk.”

Dalam pengamatannya, Daniel menemukan kenyataan bahwa pengadilan agama di banyak kasus justru lebih berpihak kepada perempuan pada kasus-kasus perceraiannya.

“Dalam penelitian saya tentang peradilan Islam, yang pada awalnya sempat didasari oleh beberapa miskonsepsi yang umum terjadi, perlahan-lahan saya menyadari bahwa pengadilan umumnya lebih condong pada perempuan yang merupakan klien utama mereka. Mereka jarang menolak permohonan cerai yang diajukan oleh perempuan,” tambahnya.

Para hakim Pengadilan Agama seperti dinyatakan dalam buku “Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru: Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin,” menyatakan bahwa religiusitas Islam mereka seringkali diungkapkan tanpa banyak merujuk pada fikih dan doktrin. Namun, lebih pada keinginan untuk mencapai apa yang mereka lihat sebagai keadilan gender dan transformasi sosial. Posisi ini, apapun manfaatnya, pada kenyataannya bersilangan dari nilai-nilai agama yang diekspresikan oleh para pendukung Islami konservatif di Indonesia.

Dari uraian yang disampaikan di atas jelaslah bahwa dalam hal Pengadilan Agama, agama dan negara tidak dalam posisi yang bertentangan. Justru, keduanya keduanya berdialog secara terbuka dan jujur sehingga nilai-nilai luhur dari keduanya akhirnya saling menguatkan satu sama lain.

— Disarikan dari buku Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru: Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin (Cate Sumner dan Tim Lindsey. “Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru.” Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute: ISIF (2010)).

Link download buku –> Buku_Reformasi_Peradilan

Dari Cirebon, KUPI Kobarkan Semangat Kebangkitan Ulama Perempuan

ISIF CirebonJaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) secara resmi mendeklarasikan Bulan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia dalam acara yang digelar di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon, pada Minggu pagi 18 Mei 2025.

Deklarasi ini bertujuan menjadi gerakan kultural tahunan yang akan dihidupkan oleh komunitas-komunitas di seluruh Indonesia setiap bulan Mei. Pemilihan bulan ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional dan juga menjadi pengingat atas peristiwa kelam Mei 1998, ketika perempuan, warga Tionghoa, dan masyarakat miskin kota menjadi korban kekerasan politik.

“Dengan menjadikan bulan ini sebagai ruang kebangkitan ulama perempuan, KUPI ingin menghadirkan ingatan kritis dan spiritual yang berpihak pada mereka yang paling rentan dan sering dilupakan sejarah,” terang panitia dalam pernyataan resminya.

KUPI mengajak seluruh komunitas, lembaga, dan individu untuk menghidupkan peringatan ini melalui berbagai kegiatan seperti doa bersama, tawassul, puisi, diskusi, pengajian, menulis kisah, hingga aksi sosial. Kegiatan ini juga menjadi momen untuk mendokumentasikan serta menarasikan kiprah para ulama perempuan—nyai, ustadzah, guru ngaji, dan pelayan umat—yang selama ini bekerja dalam kesenyapan namun menopang kehidupan umat dan bangsa.

Dalam sambutannya, Ketua Majelis Dzikir dan Pikir Paser Bumi, Rieke Diah Pitaloka, mengajak masyarakat meneladani kiprah dan semangat ulama perempuan terdahulu.

“Nyai Syarifah Mudaim telah ajarkan kepada kami keturunannya jiwa cahaya Islam yang pantang menyerah, yang akan menuntun kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan di dalam perjuangan,” ujarnya.

Sementara itu, Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI, menekankan bahwa kebangkitan nasional tidak hanya menyangkut isu kebangsaan, tetapi juga isu-isu kemanusiaan.

“Kebangkitan nasional Indonesia tidak semata bicara soal nasionalisme, tidak hanya semata bicara soal isu kebangsaan. Saya kira disini juga bicara soal isu kemanusiaan termasuk isu keadilan sosial, keadilan gender, isu non diskriminasi,” katanya.

Menyambung pernyataan Masruchah, dalam pidato keulamaannya, Alissa Wahid menyoroti andil perempuan untuk mengambil peran dalam berbagai ruang, meskipun diliputi rasa takut. Ia mengutip pesan ayahnya almarhum KH. Abdurrahman Wahid,

“Meskipun kita takut, kita harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ martabat dan harga kita ditetapkan dan ulama perempuan harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tersebut,” jelasnya.

Deklarasi ini diharapkan dapat memperkuat memori kolektif umat tentang peran penting perempuan dalam sejarah Islam Indonesia, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan berkeadaban.** (Gun)

Lima Fondasi Toleransi yang Bisa Jadi Panduan Hidup Rukun di Tengah Perbedaan

ISIF Cirebon – Toleransi adalah salah satu nilai mulia dalam Islam yang sering kali kita dengar, tapi belum tentu kita pahami secara utuh. Dalam istilah Arab, toleransi disebut al-tasamuh atau al-samahah, yang bermakna lapang dada, memberi ruang kepada orang lain, dan tidak memaksakan kehendak. Singkatnya, toleransi berarti tepo seliro dan tenggang rasa dalam kehidupan sosial.

Dalam perkembangannya kemudian penyebutan toleransi “tasamuh” mengandung makna suatu pandangan sikap mental dan cara bertindak memudahkan, lapang dada, lega hati dan berkenan memberi ruang kepada orang lain tidak mempersulit, atau memberatkan atau memaksakan kehendak kepada orang lain.

Dalam praktiknya, toleransi bukan hanya soal “mengizinkan” orang lain berbeda, tapi juga soal menyambut perbedaan itu dengan hati terbuka. Islam mendorong pemeluknya untuk menerima realitas keberagaman, bukan menolak atau menafikannya.

Namun, penting untuk dipahami bahwa menghargai perbedaan agama tidak berarti menyamakan semua agama atau mencampuradukkan keyakinan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan prinsip kebebasan beragama: “Lakum dinukum wa liya din” — “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Artinya, setiap orang punya hak dan kebebasan untuk meyakini dan menjalankan agamanya masing-masing.

Di tengah masyarakat yang semakin beragam dan kompleks, kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai menjadi kebutuhan mendasar. Islam, sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah lama menanamkan nilai-nilai toleransi sebagai bagian penting dari ajarannya.

Salah satu ulama besar, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili, sebagaimana ditulis oleh Buya Husein dalam buku ‘Toleransi dalam Islam,’ menyebutkan bahwa ada lima fondasi utama toleransi dalam Islam.

  1. Persaudaraan atas dasar kemanusiaan (al-ikhwan al-insani).

Islam memandang seluruh manusia sebagai saudara, tanpa memandang suku, bangsa, atau agama. Islam telah mengajarkan kita bahwa semua manusia berasal dari satu jiwa dan harus saling menghormati sebagaimana tercantum dalam  Al-Qur’an.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ۝١

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. An-Nisa [4:1])

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa untuk meraih tujuan tersebut manusia perlu menjalin persatuan dan kesatuan, serta menanamkan kasih sayang antara sesama. Maka, tak ada alasan untuk merasa lebih unggul dari orang lain hanya karena perbedaan identitas.

  1. Pengakuan dan penghormatan terhadap yang lain (al i’tiraf bi al-akhar wa ihtiramuh)

Islam mengajarkan kita untuk mengakui dan menghormati eksistensi orang lain. Artinya, kita tidak boleh merendahkan keyakinan atau pilihan hidup orang lain, meskipun berbeda dengan kita.

Pengakuan atas eksistensi orang lain dengan keyakinannya sesungguhnya adalah sikap mengakui fakta dan realitas akan eksistensi agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia yang berbeda-beda dan harus dihormati. Pengakuan atas pluralisme dan toleransi antar umat beragama hanya berarti memberikan penghargaan kepada pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.

  1. Kesetaraan manusia (al-musawah baina an-nas jami’an)

Semua manusia dipandang setara di hadapan Allah. Tidak ada keistimewaan berdasarkan warna kulit, status sosial, atau keyakinan. Prinsip ini menekankan bahwa semua manusia memiliki nilai yang sama di hadapan Allah, terlepas dari perbedaan ras, sosial, atau agama mereka. Yang membedakan derajat seseorang di sisi Allah adalah tingkat ketakwaannya atau ketaatannya kepada Allah. 

Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13, Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat [49:13])

  1. Keadilan sosial dan hukum (al-’adI fi at-ta’amul)

Toleransi juga berarti berlaku adil terhadap siapa pun, termasuk kepada mereka yang berbeda agama. Keadilan tidak boleh berat sebelah hanya karena perbedaan identitas. Toleransi tidak hanya berarti menerima keberagaman, tetapi juga berlaku adil terhadap semua orang, termasuk mereka yang berbeda agama. Keadilan harus diterapkan secara objektif, tidak memihak, dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan identitas seperti agama.

  1. Kebebasan yang diatur oleh undang-undang (aI-hurriyyah al-munazzamah)

Islam menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan beragama. Namun kebebasan itu juga harus dijaga agar tidak menimbulkan konflik dan tetap menghormati hak orang lain. Dalam konteks Indonesia hal ini sudah terjamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. 

Toleransi dalam Islam bukan sekadar wacana, melainkan nilai yang hidup dalam setiap ajarannya. Saat dunia menghadapi banyak konflik atas nama perbedaan, Islam hadir membawa pesan damai yang relevan sepanjang zaman. Mari saling menghargai, berdampingan dengan damai, dan menebar kasih sayang sesama umat manusia.

 

MISI ISIF ke-VIII Bahas Inklusifitas Agama terhadap Penyandang Disabilitas

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar seri Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) yang ke-VIII secara daring pada Selasa malam, 13 Mei 2025. Pertemuan kali ini mengangkat tema “Tuhan (Agama) dan Pemanusiaan Penyandang Disabilitas: Masalah, Tantangan, Hambatan, dan Ikhtiar untuk Mewujudkannya.”

Kegiatan ini berangkat dari keresahan terhadap isu disabilitas yang kerap luput dari perbincangan keagamaan, padahal isu ini menyangkut aspek kemanusiaan yang fundamental. Forum ini menjadi ruang penting untuk menggali apakah ajaran agama selama ini benar-benar membuka ruang bagi pengalaman hidup penyandang disabilitas, serta untuk merumuskan tantangan dan upaya menuju keadilan dan kesetaraan yang inklusif.

Acara ini menghadirkan Prof. Dr. Arif Maftuhin, M.Ag., M.A.I.S., Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai narasumber utama. Hadir pula Meta Puspitasari, M.A., dari Pusat Layanan Difabel UIN Yogyakarta sebagai penanggap, serta dimoderatori oleh Direktur LP2M ISIF Cirebon, Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I.

Dalam forum ini hadir pula Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Marzuki Wahid, yang turut memberikan sambutan kegiatan. Dalam sambutannya,  ia menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian inisiatif yang berkelanjutan dalam mengangkat isu disabilitas dalam perspektif keagamaan.

“Ini adalah pertemuan kedua. Yang pertama dulu kami adakan secara luring, sebelum Ramadhan kemarin, bersama teman-teman penyandang disabilitas. Lalu sekarang yang kedua secara daring. Mudah-mudahan, ke depan kita bisa menyelenggarakan forum semacam ini secara rutin, baik daring maupun luring,” kata Marzuki Wahid.

Ia pun menyadari bahwa wacana ini bukan hal yang sepenuhnya baru, namun tetap penting untuk terus dihidupkan dan dikembangkan oleh sebanyak mungkin pihak, termasuk oleh ISIF Cirebon.

“Saya tahu ini bukan hal yang benar-benar baru, karena sudah banyak dilakukan oleh teman-teman di tempat lain. Tapi kami ingin juga mengambil bagian, ikut belajar, ikut mendalami kajian ini,” tambahnya.

Di akhir sambutannya, Marzuki berharap agar forum ini dapat menjadi ruang pembelajaran bersama yang berdampak nyata bagi upaya membangun keberagamaan yang inklusif dan mencerahkan.

“Semoga diskusi malam ini bisa memberikan insight dan wawasan bagi kita semua, dan membuat agama benar-benar hadir untuk mereka (penyandang disabilitas), hadir untuk semua orang,” tutupnya.

Menggagas Fikih Inklusif

Diskusi berlanjut dengan pemaparan dua narasumber utama yang menyoroti pentingnya menggagas fiqh yang inklusif—yakni fiqh yang tidak hanya menekankan aspek hukum secara normatif, tetapi juga peka terhadap realitas hidup penyandang disabilitas.

Mengawali pemaparannya, Arif Maftuhin menyampaikan hasil temuannya dari wawancara dengan penyandang disabilitas tentang pengalaman mereka dalam menjalankan praktik keagamaan.

“Temuan saya dari wawancara dengan teman-teman difabel adalah, banyak dari mereka merasa bahwa pendekatan agama yang hanya memberi rukhshah justru membuat agama terasa tidak inklusif. Seperti mereka hanya diberi sisa, bukan bagian yang utuh. Itu menyakitkan secara psikologis,” kata Arif.

Lebih jauh, ia mengkritik bahwa pendekatan rukhshah justru menjadikan negara atau lembaga keagamaan seperti masjid bersikap pasif. Padahal, menurutnya, pendekatan berbasis hak justru menuntut takmir aktif memenuhi hak penyandang disabilitas.

“Kalau Tuli tidak wajib mendengarkan khotbah, maka takmir merasa tidak punya kewajiban menyediakan akses seperti penerjemah bahasa isyarat. Padahal kalau kita bicara hak, maka kewajiban takmir harus aktif menyediakan. Dari pasif menjadi aktif. Hanya dengan begitu kita bisa melakukan perubahan sosial,” jelasnya.

Sebagai alternatif, ia menegaskan pentingnya membangun fikih yang lebih inklusif dan memuliakan, yang membuka ruang keadilan serta kemanusiaan bagi semua golongan, termasuk penyandang disabilitas.

“Saya ingin membangun fikih yang tidak hanya memaklumi, tapi juga memuliakan. Jadi, fikih yang tidak diskriminatif terhadap kelompok rentan. Fikih yang membuka ruang kemanusiaan dan keadilan,” pungkasnya.

Pelibatan Aktif Penyandang Disabilitas

Meta Puspitasari menanggapi pemaparan Prof. Arif dengan menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam ruang keagamaan adalah tanggung jawab bersama yang harus diatasi secara serius. Ia menegaskan bahwa persoalan yang diangkat oleh Prof. Arif adalah tugas bersama yang harus segera ditindaklanjuti.

“Sebenarnya apa yang disampaikan Pak Arif tadi menjadi PR kita bersama. Apa yang disampaikan beliau menunjukkan bahwa Islam itu mudah, Islam itu memberikan kemudahan bagi semua pemeluknya—baik difabel maupun non-difabel.”

Selain itu, Meta menyoroti pelibatan aktif penyandang disabilitas yang masih minim keterlibatnyannya dalam pengambilan keputusan di ranah keagamaan dan sosial.

“Selain persoalan teknis fikih, saya ingin menyoroti juga soal pelibatan difabel dalam ruang-ruang pengambilan keputusan keagamaan dan sosial. Selama ini, apakah kita sudah benar-benar melibatkan teman-teman difabel sebagai subjek aktif, atau hanya objek belas kasih?”

Ia juga mengingatkan bahwa aksesibilitas tidak hanya terbatas pada fisik, melainkan juga akses terhadap pengetahuan agama yang menyeluruh. Lembaga pendidikan dan komunitas keagamaan, menurutnya, perlu menyediakan program khusus agar penyandang disabilitas bisa mendapatkan akses tersebut. Melalui pertemuan ini, ia berharap agar diskusi seperti ini menjadi titik awal perubahan yang nyata dan berkelanjutan.

“Saya berharap diskusi malam ini bisa menjadi langkah awal untuk mendorong perubahan nyata. Fiqih difabel bukan hanya soal norma hukum, tapi juga tentang bagaimana kita menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan penuh rasa kemanusiaan,” tutupnya.**  (Gun)

KUPI Gelar Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia di Cirebon, Berikut Rangkaian Kegiatannya

Di tengah krisis sosial, moral, dan kemanusiaan yang kian mencengkeram, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) akan menggelar Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia, pada Minggu 18 Mei 2025, di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon.

Dengan mengusung tema “Menghidupkan Warisan Ulama Perempuan untuk Keadilan Umat, Bangsa, dan Semesta” KUPI ingin mendorong penguatan identitas ulama perempuan sebagai aktor penting dalam menjawab persoalan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan masa kini.

Kegiatan ini juga menjadi tonggak gerakan spiritual dan sosial untuk meneguhkan kembali peran ulama perempuan dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kedamaian semesta. Deklarasi in juga secara khusus merupakan ajakan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Bulan Mei sebagai gerakan kultural tahunan: Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia.

Deklarasi yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB ini dihadiri oleh jaringan ulama perempuan dari berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Cirebon Raya, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.

Sejumlah tokoh nasional turut hadir dan menyampaikan pandangan keulamaan. Di antaranya Ibu Nyai Hj. Alissa Wahid (Dewan Pertimbangan KUPI) yang menyampaikan pidato utama, KH. Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Siti Mahmudah memimpin doa bersama, serta puisi spiritualitas yang dibacakan oleh Ibu Nyai Hj. Masriya Amva dan Ibu Hj. Rieke Diah Pitaloka.

Rangkaian Kegiatan

Rangkaian kegiatan diawali dengan khataman Al-Qur’an, dilanjutkan dengan pembacaan sholawat dan tawassul yang dipimpin para ulama perempuan dari berbagai daerah.

Lalu, penguatan suasana spiritual semakin khusyuk dengan doa bersama yang dipanjatkan, dipimpin oleh KH. Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Siti Mahmudah.

Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian pidato keulamaan oleh  Ibu Nyai Hj. Alissa Wahid yang menjadi pokok refleksi dalam momentum deklarasi ini.

Pidato ini diikuti dengan pembacaan pernyataan sikap Jaringan KUPI sebagai bentuk komitmen bersama dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan kebangsaan.

Sebagai pelengkap, nuansa spiritual dan sastra hadir melalui pembacaan puisi oleh Ibu Nyai Hj. Masriya Amva dan Hj. Rieke Diah Pitaloka yang mengangkat tema spiritualitas perempuan.

Selain itu, semangat kerja sosial diwujudkan dalam penandatanganan kerja sama penguatan koperasi pesantren antara Hj. Masruchah selaku Sekretaris Majlis Musyawarah KUPI dan perwakilan dari Kementerian Koperasi serta jaringan pesantren.

Sebagai penutup, seluruh peserta melakukan napak tilas dan ziarah ke maqbarah Syekh Dzatul Kahfi, Syarifah Mudaim, dan Sunan Gunung Jati, sebagai bentuk penghormatan terhadap jejak keulamaan yang menjadi inspirasi gerakan KUPI.

Kegiatan ini bersifat terbatas untuk tamu undangan, namun akan disiarkan secara langsung melalui kanal resmi KUPI agar dapat diikuti masyarakat luas. Selain itu, lima lembaga penyangga KUPI—Fahmina, Rahima, Alimat, Gusdurian, dan Aman Indonesia—akan menyelenggarakan nonton bareng dan aktivitas lokal di komunitas masing-masing.** (Gun)