(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

MBG: Makanan Bikin Galau

Sumber gambar: Kompas

Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)

ISIF Cirebon  —  Secara logika, menerima bantuan mestinya bikin senang. Tapi kenyataannya? Orang malah khawatir, bingung, bahkan sesekali ingin tepuk jidat. Bukan sekali dua kali, anak-anak yang seharusnya mendapat gizi cukup, sehat, dan cerdas dari makanan yang dimasak chef bersertifikat dan didampingi ahli gizi, malah sakit setelah makan.

Bayangkan: “menu spesial masa depan” ini ternyata lebih cocok jadi bahan meme daripada kenyataan. Bahkan di Jawa Barat, ribuan anak mengalami hal serupa. Jadi pertanyaannya: ahli gizi atau ahli sulap nih? Kok bisa makanan berubah jadi penyihir yang bikin anak muntah-muntah?

Beberapa kasus ekstrem bikin orang tua geleng-geleng kepala: anak sampai dilarikan ke rumah sakit karena makanan bau dan rasanya “unik”. Unik di sini maksudnya bukan lezat, tapi lebih ke kategori eksperimen sains yang gagal. Ahli gizi dan chef yang digaji mahal ini, apa mereka pakai rumus matematika rahasia atau cuma lempar-lempar bumbu? Jangan-jangan, ini program “Masak Ala Kadarnya” versi triliunan rupiah.

Yang bikin pusing, pemerintah dan pihak terkait seolah menutup mata. Bukannya evaluasi atau introspeksi, malah buka cabang baru di sana-sini. Bukannya “off” dulu, malah “on” terus—kayak lampu yang tak bisa dimatikan. Apakah ini manajemen modern atau sekadar ajang pencitraan dengan menu drama gratis? Anehnya, semakin parah, semakin semangat buka cabang baru. Kalau gini, mungkin sebentar lagi ada menu “Makan Sehat, Sakit Gratis” edisi terbatas di tiap kota.

Di tengah kritik publik, Presiden Prabowo bahkan pernah mengatakan: “Yang keracunan hanya 200 dari 3 juta orang, berarti keberhasilannya 99,99%.” Angka 3 juta orang sekian memang terdengar indah di kalkulator, tapi di lapangan 200 anak itu nyata—muntah, sakit, bahkan masuk rumah sakit. Bagi mereka, itu bukan 0,006%, tapi 100% penderitaan. Kalau logikanya begitu, nanti kalau ada 20 ribu anak yang keracunan pun masih bisa disebut sukses 99%. Wah, ini bukan program makan bergizi, tapi program uji nyali massal.

Ironisnya, yang mestinya jadi menu sehat malah jadi paket hemat: “Nasi Box + Infus Gratis”. Jangan-jangan sebentar lagi ada promo baru: “Tertawa Sebelum Masuk IGD”. Program triliunan rupiah ini lebih cocok jadi stand-up comedy ketimbang kebijakan serius.

Triliunan rupiah sudah digelontorkan, tapi hasilnya ala kadarnya. Kualitas makanan minimal, pengawasan minimal. Tanggung jawab? Juga minimal. Sudah jelas bahwa dana tidak benar-benar turun ke anak-anak, tapi entah menguap ke mana—mungkin jadi bumbu rahasia agar rasa makanan jadi “unik”. Anak-anak, yang seharusnya prioritas, jadi korban. Investasi masa depan berubah jadi eksperimen mahal yang bikin geleng kepala.

Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan sistemik. Banyak pihak terlibat—chef, ahli gizi, penyedia logistik, pemerintah daerah—tapi hasilnya tetap sama: anak-anak sakit, orang tua resah, kepercayaan publik turun. Bukannya diperbaiki, malah menimbulkan pertanyaan serius soal akuntabilitas. Triliunan rupiah seakan menghilang ke dimensi paralel, sementara anak-anak tetap menghadapi menu “bau misterius”.

Kalau ini terus berlanjut, lebih baik dana dialihkan ke program yang lebih aman dan jelas manfaatnya. Makanan untuk anak-anak bukan ajang eksperimen, apalagi ajang pencitraan politik. Anak-anak seharusnya tumbuh sehat, cerdas, dan ceria, bukan trauma atau sakit karena makanan “versi kreatif ala kadarnya”. Sudah saatnya evaluasi serius dilakukan, bukan menambah cabang baru yang kemungkinan besar akan mengulang drama lama.

Yang lebih menyedihkan, triliunan rupiah seakan cuma jadi “uang mainan” buat drama berkepanjangan. Alih-alih membangun generasi cerdas, kita menyaksikan program gagal yang bisa jadi viral karena absurdnya. Pemerintah dan pihak terkait perlu introspeksi: apakah ini benar-benar investasi masa depan, atau cuma show gratis buat konten media sosial? Kalau dana tidak dimanfaatkan dengan benar, itu bukan sekadar sia-sia, tapi juga komedi tragis dengan anak-anak sebagai penonton.

Sudah saatnya ada transparansi, pengawasan ketat, dan evaluasi menyeluruh. Setiap rupiah harus menghasilkan manfaat nyata, bukan lelucon triliunan rupiah ala kadarnya. Anak-anak bukan objek percobaan, dan triliunan rupiah bukan mainan. Kalau ingin masa depan berhasil, jangan lagi ulang drama lama—lebih baik berhenti sejenak, menata ulang, dan memastikan setiap langkah nyata dan berfaedah.[]

ISIF Cirebon Gelar Ekspose Hasil PIT-PAR dan PIT Internasional

Repoter: Noer Fahmiatul Ilmia

Editor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon  — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Ekspose Hasil PIT-PAR dan PIT Internasional di Gedung Hall of Affandi Mochtar pada Selasa–Rabu, 7–8 Oktober 2025. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini disiarkan secara live streaming melalui kanal YouTube ISIF Cirebon dan dihadiri langsung oleh Rektor ISIF KH. Marzuki Wahid, Wakil Rektor Bidang Penelitian Dr. A. Syatori, M.Hum, Direktur LP2M Zaenab Mahmudah, M.E.I., Sekretaris LP2M Siti Latifah, M.E., serta para Dosen Pembimbing Lapangan (DPL).

Dalam kegiatan ini, para mahasiswa mempresentasikan hasil penelitian dan pengabdian masyarakat yang telah mereka lakukan selama dua bulan, baik di tingkat lokal maupun internasional. Presentasi dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban akademik sekaligus ruang reflektif untuk mendialogkan temuan lapangan bersama dosen dan sesama mahasiswa.

Rangkaian Kegiatan

Berbeda dari kegiatan serupa di kampus lain, ekspose di ISIF dilakukan secara lesehan, tanpa nuansa seremonial dan formalitas berlebih. Suasana santai namun khidmat ini menjadi ciri khas ISIF yang berakar pada tradisi pesantren yang mengedepankan kebersahajaan, kedekatan, dan keintiman dalam proses belajar.

Kegiatan hari pertama diisi dengan pemaparan hasil penelitian dari kelompok Dukupuntang dan Rawaurip, sementara hari kedua dilanjutkan oleh kelompok Argasunya, Kujuden, dan Malaysia. Setiap kelompok menampilkan hasil pemetaan lapangan yang meliputi aspek spasial, sosial-budaya, sosial-politik, dan sosial-ekonomi di wilayah mereka masing-masing.

Data yang disajikan kemudian ditanggapi oleh Rektor, LP2M, DPL, serta seluruh peserta yang hadir. Diskusi berjalan interaktif, memperlihatkan proses akademik yang hidup dan partisipatif, sebagaimana semangat Participatory Action Research (PAR) yang menjadi landasan kegiatan ini.

Kegiatan ini sekaligus menandai berakhirnya rangkaian Praktik Islamologi Terapan (PIT) yang telah berlangsung selam dua bulan. PIT sendiri merupakan pendekatan khas ISIF yang mengintegrasikan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat dalam satu kesatuan praksis.

Distingsi ISIF

Berbeda dari penelitian lapangan konvensional, PIT merupakan proses akademik yang membawa mahasiswa keluar dari ruang kuliah untuk mengamati fenomena sosial-keagamaan secara langsung, melakukan participant observation, dan menganalisis dinamika sosial melalui perspektif Islamologi. Dalam proses tersebut, mahasiswa diajak untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam seperti etika, keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian dalam kerja-kerja sosial di masyarakat.

Melalui PIT, teori yang dipelajari di kelas tidak berhenti pada tataran konseptual, tetapi dijembatani dengan realitas empiris. Mahasiswa dilatih menjadi intelektual yang tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga membumi, menggerakkan, dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, serta kedamaian semesta dalam kehidupan masyarakat.

Lokal dan Internasional

Tahun ini, mahasiswa ISIF telah melaksanakan PIT-PAR di beberapa wilayah, tersebar baik lokal maupun internasional. Untuk PIT-PAR lokal, kegiatan berlangsung di Desa Dukupuntang, Desa Rawaurip, Kelurahan Argasunya, dan Desa Kujuden, sedangkan PIT Internasional dilaksanakan di Malaysia.

Selama dua bulan, mahasiswa melakukan pemetaan sosial mencakup dimensi demografi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan. Data yang diperoleh menjadi dasar analisis untuk memahami kondisi masyarakat secara lebih mendalam serta merumuskan strategi pemberdayaan yang relevan dengan konteks lokal.

Kegiatan ditutup dengan pemutaran video pendek dari masing-masing kelompok serta foto bersama seluruh peserta, sekaligus menandai selesainya rangkaian PIT-PAR tahun 2025.[]

 

Cerita PIT-PAR: Mengolah Sampah Plastik Menjadi Kerajinan Bernilai Ekonomi

Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF)

Editor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon  — Sampah plastik merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang hingga kini belum terselesaikan. Jumlahnya terus meningkat setiap hari dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai. Kondisi ini menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, baik bagi tanah, udara, maupun kesehatan manusia.

Di daerah Sumurwuni, Argasunya , permasalahan sampah terasa lebih nyata karena lokasinya berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopiluhur. Keberadaan TPA ini menjadikan kawasan Sumurwuni tidak terlepas dari tumpukan sampah, ditambah dengan masih banyaknya sampah yang berceceran di sekitar lingkungan. Hal ini tidak hanya mengganggu kenyamanan masyarakat, tetapi juga menimbulkan tantangan besar dalam menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan.

Melihat kondisi tersebut, mahasiswa Praktik Islamologi Terapapan (PIT) ISIF berinisiatif menyelenggarakan kegiatan belajar mengolah sampah plastik menjadi kerajinan tangan. Kegiatan ini berlangsung di Baperkam RT 2 RW 07 Sumurwuni Kelurahan Argasunya, pada Jum’at, 13 September 2025. Pertemuan ini bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah secara kreatif dan bermanfaat.

Untuk menunjang kegiatan, mahasiswa PIT menghadirkan Kang Emik, seniman daur ulang sampah plastik asal Tegal Gubug, Cirebon. Ia hadir mendampingi mahasiswa dan masyarakat untuk berbagi pengalaman serta keterampilannya dalam mengubah sampah plastik menjadi karya seni bernilai guna.

Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan masyarakat tidak hanya lebih peduli terhadap lingkungan, tetapi juga terinspirasi untuk melihat sampah sebagai sumber daya yang bisa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat sekaligus bernilai ekonomis.

Peserta kegiatan terdiri dari remaja, bapak-bapak, dan ibu-ibu warga sekitar yang antusias belajar membuat kerajinan. Acara dibuka oleh ketua kelompok PIT, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Kang Emik. Ia menjelaskan berbagai bahan dan alat yang dapat digunakan dalam pembuatan kerajinan, sekaligus menunjukkan contoh hasil karya dari lelehan plastik bekas.

Selanjutnya, Kang Emik menyebarkan cara membuat cetakan sederhana dari kaleng minuman. Para peserta kemudian diberi kesempatan mencoba sendiri. Suasana kegiatan berlangsung hangat, terlihat dari banyaknya pertanyaan dan rasa penasaran warga, khususnya bapak-bapak.

Dari kegiatan ini, para peserta berhasil membuat cetakan sederhana dari aluminium berbentuk bintang. Cetakan tersebut dipilih karena bentuknya yang mudah dibuat dan menarik untuk dijadikan wadah percobaan dalam proses daur ulang plastik. Dengan adanya cetakan ini, peserta dapat lebih mudah membentuk lelehan plastik menjadi karya yang rapi dan seragam.

Selain itu, Kang Emik juga menunjukkan bagaimana lelehan plastik bisa diolah lebih lanjut menggunakan cetakan hingga menghasilkan produk baru yang fungsional dan bernilai estetika. Demonstrasi tersebut memberikan pemahaman lebih kepada masyarakat bahwa sampah plastik tidak hanya bisa dibuat kerajinan sederhana, tetapi juga diolah dengan teknik lebih lanjut sehingga menghasilkan benda yang kuat dan bermanfaat.

Melalui praktik langsung, peserta—khususnya para pemuda—semakin antusias karena dapat menyaksikan proses lengkap mulai dari membuat cetakan, melebur plastik, hingga mencetaknya menjadi karya baru. Hal ini bisa membuka wawasan bahwa dengan kreativitas dan keterampilan, bahwa sampah plastik dapat berubah menjadi barang bernilai guna sekaligus memiliki potensi ekonomis.

Kegiatan belajar bersama di Sumurwuni, Argasunya ini membuktikan bahwa sampah plastik dapat diolah menjadi barang yang bermanfaat dan bernilai seni. Selain menumbuhkan kreativitas, kegiatan ini juga meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.

Harapannya, kegiatan serupa dapat terus berlanjut secara berkesinambungan, sehingga masyarakat terbiasa memanfaatkan sampah plastik menjadi kerajinan yang bernilai. Hal ini juga sekaligus berkontribusi dalam mengurangi polusi lingkungan.[]

ISIF Cirebon Dorong Terwujudnya Rumah Ibadah Ramah Disabilitas

ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) yang ke-10 dengan mengangkat tema “Mewujudkan Tempat Ibadah Ramah Disabilitas”  secara daring pada Selasa malam, 16 Sepetember 2025. Tema ini berangkat dari tantangan nyata yang dihadapi penyandang disabilitas dalam merasakan kenyamanan dan ketenangan beribadah di masjid maupun musholla, tanpa terhalang oleh hambatan fisik, sosial, maupun kultural.

Diskusi kali ini menghadirkan H. Siswadi Abdul Rachim, MBA, selaku Dewan Pembina PPDI sebagai pemantik. Hadir pula Dr. H. Arsyad Hidayat, Lc., MA, Direktur Urais dan Binsyar Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, yang bertindak sebagai penanggap. Sementara jalannya diskusi dimoderatori oleh Lailatul Qoimah, M.S.I., Dekan Fakultas Ushuluddin ISIF Cirebon.

Membumikan Ajaran Islam

Dalam forum ini hadir pula Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Marzuki Wahid, yang turut memberikan sambutan kegiatan. Dalam sambutannya, ia menyerukan perwujudan masyarakat yang inklusif melalui langkah nyata yang tidak berhenti pada wacana semata. Kesadaran kolektif ini, menurutnya, menjadi kunci agar hak-hak penyandang disabilitas benar-benar terpenuhi.

“Hal ini harus segera dimulai dan menjadi kesadaran kolektif kita semua. Tujuannya jelas, agar teman-teman penyandang disabilitas dapat mengakses berbagai aspek kehidupan yang memang merupakan hak mereka,” ungkapnya.

Marzuki juga menyinggung pembumian dalil dan argumentasi teologis  yang selama ini masih berada di ranah “langit” sehingga menghasilkan satu rumusan yang lebih praktis untuk mewujudkan pembangunan rumah ibadah yang inklusif.

“Mustahil bagi kita memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bermunajat dan beribadah dengan khusyuk jika tempat ibadah, termasuk masjid dan mushola, tidak ramah bagi mereka,” terangnya.

Masjid Ramah Disabilitas

Sementara itu, Siswadi Abdul Rachim, selaku Dewan Pembina Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang hadir sebagai pemateri dalam kegiatan ini, membuka pemaparannya dengan menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya diskusi yang telah berlangsung dalam beberapa seri.

“Saya sangat senang dan mendukung sekali ketika isu fikih disabilitas dimunculkan dan itu menjadi harapan dan impian saya dan kawan-kawan disabilitas semuanya,” tutur Siswadi.

Dalam paparannya, ia menyampaikan bahwa Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang di dalamnya telah memuat hak-hak dasar penyandang disabilitas. Dalam undang-undang tersebut, ia menyebutkan  beberapa hak penyandang disabilitas seperti kemudahan akses sarana ibadah, hak untuk memeluk agama secara benar dan baik, memperoleh akses yang layak ke sarana ibadah, mendapatkan kitab suci sesuai kebutuhan, serta hak untuk ikut serta secara aktif dalam organisasi keagamaan.

“Mengenai masjid atau mushola ramah disabilitas, hambatan yang sering dihadapi di lapangan antara lain desain bangunan yang masih bertangga sehingga menyulitkan pengguna kursi roda,” ujar Siswadi.

Lebih jauh, ia juga menyinggung persoalan lain yang kerap dihadapi penyandang disabilitas ketika beribadah di masjid, terutama terkait perdebatan hukum dan sikap sosial jamaah.

“Selain itu, perdebatan tentang hukum membawa kursi roda ke dalam masjid apakah diperbolehkan atau tidak yang menimbulkan masalah bagi jamaah disabilitas, serta faktor sosial jamaah yaitu masih adanya stigma dan kurangnya edukasi tentang pentingnya masjid ramah disabilitas,” tambahnya.

Dalam pandangannya, upaya menciptakan masjid ramah disabilitas perlu dirancang secara sistematis agar tidak berhenti pada wacana semata. Ia menekankan pentingnya langkah konkret yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas.

“Ke depan saya mengusulkan adanya pilot project untuk sosialisasi kepada takmir dan DKM tentang masjid ramah disabilitas. Selain itu, penting pula mengadakan pelatihan tentang masjid ramah disabilitas, termasuk pemahaman tafsir Al-Qur’an dan hadis terkait isu disabilitas,” jelasnya.

Temuan di Lapangan

Pada sesi tanggapan dari Arsyad Hidayat, ia mula-mula mengungkapkan survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat  (P3M) terhadap 47 masjid di lingkungan kantor pemerintahan. Dari data yang ia temukan, ia melihat sebagian besar masjid tidak  fasilitas yang memadai dan ramah disabilitas seperti ramp standar,  parkir khusus, toilet dan tempat wudhu disabilitas, guiding block tunanetra, Al-Qur’an braille, maupun penerjemah bahasa isyarat.

“Saya tidak tahu apakah fenomena ini menjadi fenomena umum dari masjid-mesjid yang ada di tanah air. Sampai saya katakan masjid kementerian yang notabene adalah pusat pemerintahan terjadi seperti ini. Terus terang sangat memprihatinkan,” paparnya.

Selain itu, dalam temuan lanjutannya, ia mendapati bahwa permasalahan yang dihadapi  para penyandang disabilitas tidak hanya terkait rumah ibadah tidak hanya sebatas pada infrastruktur atau sarana prasarana. Ada hal lain yang lebih mengkhawatirkan, utamanya soal pola pikir takmir masjid.

“Dari hasil wawancara dengan beberapa takmir masjid, masih ditemukan mindset yang mengatakan bahwa kelompok disabilitas bisa menggunakan rukhsah. Ini dijadikan pembenar untuk tidak menyiapkan sarana prasarana yang ramah difabel,” kata Arsyad, “menurut saya, pemikiran seperti ini jelas keliru,” tegasnya.

Akan tetapi, upaya mewujudkan rumah ibadah yang ramah difabel tidak bisa hanya dibebankan kepada takmir masjid atau pengurus semata. Dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah sangat dibutuhkan, baik melalui regulasi maupun alokasi bantuan.

“Pemerintah yang ada di pusat, seperti Kementerian Agama Pusat, pemerintah daerah atau mungkin ada lembaga lain dari pemerintah seperti Biro Kesra atau bagian kesejahteraan rakyat, saya pikir bisa menyalurkan bantuan agar bisa merealisasikan rumah ibadah yang ramah bagi jemaah difabel, agar mereka mendapatkan akses yang sama untuk bisa melaksanakan ibadah,” ungkapnya.

Di akhir pemaparan materinya, ia mengungkapkan harapannya terkiat keterlibatan semua pihak dalam mewujudkan lingkungan yang lebih inklusif.

“Mari kita dukung program yang ramah terhadap difabel, penyiapan rumah ibadah yang ramah, pendidikan yang ramah terhadap difabel dan tempat tempat bekerja yang ramah untuk mereka,” tutupnya.[]

Harta Karun Dunia Bernama Indonesia

Oleh: Sukma Hadi Watalam – Dosen ISIF Cirebon

ISIF Cirebon — Pernah nggak kalian kepikiran kenapa dulu bangsa-bangsa asing begitu ngotot ingin menjajah Indonesia? Kalau menurut saya, jawabannya sederhana: karena negeri ini ibarat toko serba ada dengan diskon besar-besaran. Tanahnya subur, hasil pertaniannya melimpah, rempah-rempahnya dulu dihargai lebih mahal daripada emas, lautnya kaya ikan dan Mutiara, bahkan udang pun melimpah. Bukan udang di balik batu, ya, tapi udang yang benar-benar ada di lautan. Belum lagi isi perut buminya penuh dengan harta karun tambang.

Saya pernah membaca sebuah postingan di media sosial yang tiba-tiba muncul begitu saja. Kalau pakai istilah bahasa Indramayunya “seliweran” dan bahasa gaulnya “fyp”. Di situ dijelaskan bahwa ada penelitian, bahwa Indonesia sebenarnya adalah pemain kelas dunia dalam tambang bahkan masuk jajaran top player di sektor natural resources.

Contohnya, untuk produksi emas, Indonesia duduk manis di peringkat 6 dunia, di bawah: Australia, Rusia, Afrika Selatan, Amerika Serikat,  dan China. Sementara untuk produksi batubara, kita menempati posisi nomor 3 setelah China dan India, mengalahkan Amerika Serikat dan Rusia.

Adapun untuk nikel, jangan ditanya lagi. Indonesia adalah juara dunia! Saingannya bukan negara recehan, bukan negara ecek-ecek, tapi raksasa macam China, Amerika, Australia, bahkan Putin loh. Kanada sendiri pun angkat tangan, tak mampu menyaingi kedigdayaan Indonesia.

Jadi, kalau bicara kekayaan alam, Indonesia ibarat “peti harta karun dunia” yang isinya tak habis-habis. Saking banyaknya, kalau disebut satu-satu bisa bikin lidah keseleo: emas, nikel, batubara, ikan, kayu, laut, udara—wah, pokoknya se-aha-aha-aha-aha lah. Tidak bisa dihitung dengan jari.

Tapi, pertanyaan besarnya: kenapa negeri yang begitu kaya raya justru masih begini-begini saja? Mengapa rakyatnya banyak yang hidup pas-pasan, bahkan miskin, padahal tanah airnya bagaikan surga dunia? Kenapa potensi sebesar ini tidak otomatis membuat rakyatnya sejahtera? Apakah karena salah urus? Apakah karena salah kelola? Ataukah memang ada yang sengaja membiarkan?

Ironis sekali. Negeri yang tanahnya subur, tapi masih ada rakyat yang tak mampu membeli beras. Lautnya luas, tapi nelayan sering pulang dengan tangan kosong. Tambangnya berlimpah, tapi masyarakat di sekitar tambang hanya jadi penonton, bahkan ada yang terusir dari tanahnya sendiri. Bukankah itu menyakitkan? Bukankah itu pilu?

Tak heran bila kini muncul suara-suara dari Papua yang ingin merdeka. Kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan, bukan cuma dengan alat berat semacam beko, tapi dengan berbagai cara besar-besaran. Namun, hasilnya tak banyak berdampak bagi rakyat setempat.

Bayangkanlah ironi ini: di atas tanah yang penuh emas, masih ada anak-anak yang berangkat sekolah dengan sandal jepit putus. Di tepian laut yang penuh ikan, masih ada ibu-ibu yang kebingungan membeli lauk untuk makan malam. Di sekitar tambang yang menghasilkan triliunan rupiah, masih ada keluarga yang menyalakan pelita karena tak mampu membeli listrik.

Akhirnya, saya hanya bisa berkata, “Negeri ini memang kaya, tapi sayangnya belum banyak yang benar-benar mengelola dengan kaya hati dan kaya akhlak.”

Kalau kekayaan ini terus salah urus, jangan-jangan kelak anak cucu kita hanya bisa membaca di buku sejarah bahwa dulu Indonesia pernah disebut “harta karun dunia”. Tetapi mereka sendiri sudah tidak bisa lagi merasakannya.[]

Situsjitu

Situsjitu

SitusJitu

Situsjitu

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

Simpatitogel

https://sjsu.seiyunu.edu.ye/

https://ojs.alpa.uy/

https://www.gjeis.com/

hu.edu.ye

odma.od.ua

https://journals.i3l.ac.id/

https://lrc.i3l.ac.id/

https://jpsyh.steizar.ac.id/

https://revistas.peruvianscience.org

https://sdis.inrs.ca/

https://www.efg.inrs.ca/

https://omec.inrs.ca/

https://lsp.inrs.ca/

Slot777

Slot88

Toto 4D

Toto 4D

Slot777

Toto 4D

Toto 4D

Toto 4D