by admin | 24 Dec 2024 | Artikel
ORASI ILMIAH DIREKTUR PENERANGAN AGAMA ISLAM
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita kesempatan untuk berkumpul dalam suasana yang penuh dengan semangat intelektual dan kesadaran moral. Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah bertemakan tantangan global yang melibatkan isu dehumanisasi dan perubahan iklim, serta bagaimana peran penting tokoh agama dan kaum cendekia dalam menjawab permasalahan tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Dunia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang semakin mendesak untuk diatasi. Dehumanisasi, yakni penghilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam relasi sosial, dan perubahan iklim, sebagai akibat eksploitasi alam yang berlebihan, menjadi dua persoalan yang mengancam eksistensi manusia secara global. Dalam konteks ini, peran tokoh agama dan kaum cendekia tidak lagi dapat dipandang sebagai periferal, tetapi justru harus berada di garis depan untuk menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Dehumanisasi menjadi salah satu fenomena yang marak terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari konflik bersenjata, ketidakadilan sosial, hingga eksploitasi tenaga kerja. Fenomena ini mencerminkan hilangnya nilai kemanusiaan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat relevan. Gus Dur pernah mengatakan, “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu.” Pernyataan ini mengingatkan kita akan pentingnya mengembalikan esensi kemanusiaan yang inklusif, melampaui sekat-sekat identitas.
Perubahan iklim adalah krisis global yang tak terhindarkan. Peningkatan suhu bumi, penggundulan hutan, kenaikan permukaan laut, dan bencana alam yang semakin sering terjadi adalah tanda-tanda kerusakan ekologis yang tidak bisa diabaikan. Konsekuensi perubahan iklim tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial, menciptakan gelombang baru pengungsi iklim, konflik sumber daya, dan ketidakstabilan ekonomi.
Fenomena dehumanisasi dan perubahan iklim saling berkelindan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam mencerminkan hilangnya kesadaran akan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab kolektif terhadap sesama makhluk hidup. Kerusakan ekologi ini tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin parah, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.
Di tengah kompleksitas permasalahan ini, agama memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral yang dapat menginspirasi perubahan. Ajaran agama, yang pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab, mampu menjadi panduan dalam mengatasi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Misalnya, dalam Islam, konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Tokoh agama memiliki peran strategis dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan. Melalui dakwah, pendidikan, dan kepemimpinan sosial, mereka dapat mendorong masyarakat untuk mengedepankan solidaritas, empati, dan keadilan. Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari Rabi’a al-Adawiyya, seorang tokoh perempuan Islam yang menekankan cinta kepada Tuhan sebagai jalan menuju cinta kepada sesama manusia. Pemikirannya menegaskan bahwa nilai spiritualitas yang tinggi dapat mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaan sejati.
Selain itu, tokoh agama juga perlu mengambil peran dalam advokasi lingkungan. Mereka dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual, mengajak umat untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam. Wangari Maathai, peraih Nobel Perdamaian asal Kenya, adalah contoh perempuan Muslim yang membuktikan bahwa perjuangan lingkungan dapat berdampingan dengan nilai-nilai keagamaan. Gerakannya, Green Belt Movement, mengajarkan bahwa pelestarian lingkungan adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.
Hadirin yang saya hormati,
Kaum cendekia memiliki peran penting dalam menyusun narasi intelektual yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Kita dapat memberikan analisis kritis terhadap struktur sosial yang menghasilkan dehumanisasi, serta menawarkan solusi yang berbasis keadilan sosial. Dalam hal ini, cendekiawan perlu memadukan wawasan akademik dengan sensitivitas moral untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Dalam isu perubahan iklim, cendekiawan memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan urgensi krisis ekologis melalui penelitian, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik. Kita juga perlu mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan memastikan bahwa solusi ekologis yang ditawarkan tetap berpihak pada keadilan sosial.
Kerja sama antara tokoh agama dan kaum cendekia menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Tokoh agama dapat memberikan landasan moral dan spiritual, sementara kaum cendekia menyediakan analisis kritis dan solusi berbasis data. Sinergi ini memungkinkan terciptanya gerakan yang lebih inklusif dan efektif dalam menjawab tantangan global.
Menuju Indonesia Emas 2045, peran tokoh agama dan kaum cendekia menjadi semakin penting. Mereka harus mampu menjadi katalis perubahan dalam masyarakat, baik dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan maupun dalam mendorong kesadaran ekologis. Visi Indonesia Emas tidak hanya tentang pembangunan ekonomi, tetapi juga tentang pembangunan manusia dan lingkungan yang berkelanjutan.
Salah satu cara untuk mewujudkan sinergi ini adalah melalui pendidikan. Pendidikan berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran ekologis perlu menjadi prioritas, baik di tingkat formal maupun informal. Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai spiritual dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Meskipun tantangan yang kita hadapi besar, kita harus tetap optimis bahwa perubahan dapat terjadi. Dengan kerja keras, sinergi, dan komitmen, kita dapat mewujudkan dunia yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Tokoh agama dan kaum cendekia harus menjadi cahaya penuntun dalam perjalanan ini.
Hadirin yang saya hormati,
Di tengah tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim, sebuah deklarasi lintas agama yang dilakuan beberapa waktu lalu yakni Deklarasi Istiqlal telah menyerukan pentingnya kolaborasi umat beragama untuk menjaga lingkungan hidup dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan. Deklarasi ini mengingatkan kita bahwa tanggung jawab keagamaan tidak hanya berpusat pada hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa agama harus menjadi landasan moral dalam membangun harmoni antara manusia dan lingkungan.
Semangat dari deklarasi tersebut mengajarkan kita bahwa menjaga bumi adalah bagian dari amanah ilahi. Umat beragama dipanggil untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan kebersamaan yang diajarkan agama harus menjadi pilar utama dalam upaya global untuk menghadapi tantangan ini. Deklarasi ini juga menjadi pengingat bahwa harmoni antarumat beragama bukan sekadar idealisme, tetapi kunci keberhasilan dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dengan spirit ini, mari kita jadikan upaya menjaga lingkungan dan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari pengabdian kita kepada Tuhan dan warisan luhur untuk generasi mendatang.
Akhir kata, saya mengajak kita semua untuk menjadikan dehumanisasi dan perubahan iklim sebagai isu bersama yang harus diatasi dengan semangat kolektif. Mari kita berkolaborasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik, tidak hanya bagi kita, tetapi juga bagi generasi mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam upaya mulia ini.
Wallahulmuwafiq Ilaa Awamith Tharieq
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Direktur Penerangan Agama Islam
Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd
— — Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024.
by admin | 24 Dec 2024 | Artikel, Publikasi Ilmiah
ORASI ILMIAH
Lies Marcoes Natsir
Rektor dan para Civitas Akademika ISIF yang terhormat.
Para Kyai Ibu Nyai pengasuh pondok pesantren yang saya muliakan.
Wisudawan Wisudawati yang berbahagia beserta orang tua mereka yang saya hormati.
Para tamu undangan, para alumni dan mahasiswa ISIF yang saya banggakan,
Assalama’laikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Puji dan Syukur kita panjatkan kekadirat Allah SWT dan shalawat serta salam kita limpahkan bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Atas berkat dan karunia Allah serta bimbingan Nabi, kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk acara Wisuda Sarjana ISIF ke 8 tahun 2024.
Sungguh saya sangat terharu pagi ini bisa berdiri di hadapan civitas akademika ISIF dan para wisudawan, orang tua, alumni dan mahasiswa ISIF sekalian. Sungguh tidak menyangka bahwa sesuatu yang semula hanya sebuah gagasan untuk memiliki lembaga yang melahirkan center of excellence benar-benar bisa terwujud. Saya adalah saksi dari sejumlah orang2 idealis yang melahirkan ISIF lalu tumbuh dan berkembangnya. Kita patut menundukkan kepala bagi mereka yang turut membidani ISIF termasuk Alm Kiai Afandi Mochtar.
Ibu Bapak para tamu undangan yang terhormat,
Pertama-tama izinkan saya mengucapkan selamat berbahagia kepada para Wisudawan-Wisudawati. Anda sekalian telah merampungkan satu etape paling menantang, paling penting sekaligus paling indah dari etape-etape lain yang telah dan akan dilalui dalam hidup di masa mendatang.
Masa kuliah adalah masa yang paling monumental karena secara psikologis dan sosial serta pengembangan diri. Ini adalah era yang paling fundamental dalam menentukan jalan hidup kita di masa depan. Dari sisi umur itu adalah tahap paling penting dalam melatih cara bergaul, bernegosiasi, Tarik ulur dengan berbagai relasi, cara berpikir, cara beragrumentasi dan mengembangkan pemahaman yang kelak akan menentukan bagaimana kita memandang kehidupan.
Sebagai antropolog saya mengibaratkan dalam metafor bahwa pada masa kuliah adalah masa membangun pondasi yang kelak akan menentukan bentuk bangunan apa yang hendak diwujudkan, seberapa kokoh bangunan itu, ruang-ruang apa yang dianggap prioritas.
Dan sebagai antropolog yang peduli pada isu perempuan saya tentu ingin melihat bagaimana imajinasi pembagian ruang itu dibayangkan. Seberapa besar dan sehat warga penghuni bangunan itu punya aksesabilitas ke sumber-sumber energi seperti dapur, sumur, meja makan dan ruang istirahat. Tempat-tempat seperti dapur, sumur ruang makan bagi kami perempuan adalah pusat gerak. Bukan hanya ruang tamu atau ruang lain yang biasanya dipamerkan.
Dalam arsitektur hunian Islam di era Abbasiyah dan Usmaniyyah, sebelum masuk ke era penjajahan, rumah-rumah dibangun melingkar ke dalam. Sumur dan halaman belakang menjadi penghubung satu rumah dengan rumah lainnya. Teras belakang merupakan tempat yang paling aman dan nyaman bagi kaum perempuan berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan sharing pengasuhan. Dengan metafora itu kita dapat mengibaratkan perpustakaan, ruang produksi pengetahuan, ruang debat dan diskusi adalah ruang yang menyerupai ruang terras bekalang tempat kaum ibu berinteraksi dalam bangunan arsitektur rumah-rumah kaum Mislim yang membuat warganya bebas mengembangkan pikiran dan berpendapat.
Para wisudawan wisudawati yang saya cintai
Izinkan saya menggunakan pengalaman pribadi bukan untuk diteladani tetapi untuk menjadi bahan renungan atau refkelsi. Tahun 1977 atau sekitar 45 tahun lalu, dengan tanpa pilihan saya kuliah di IAIN Ciputat. Padahal waktu itu saya ingin sekali masuk ke IPB, satu-satunya universitas favorit di kampung kami, agar menjadi tukang insinyur pertanian lulusan IPB. Harap diingat di awal Orde Baru orientasi tentang sarjana yang berasal dari desa akan kembali ke desa untuk membangun desa adalah gagasan ideal pemerintah yang masuk akal bagi kami di desa. Kami tak punya niatan untuk menetap di kota melainkan pulang ke desa sebagai sarjana. Kami tak tahu bahwa ternyata desa telah kebih dulu diopukasi oleh industri pabik dan orang kota.
Tapi orang tua saya menghendaki lain. Saya diminta masuk ke jurusan agama seperti kakak sulung kami, prof Musyrifah Sunanto dosen SKI lulusan IAIN Jogyakarta di IAIN Ciputat. Orang tua kami telah menyekolahkan kakak-kakak saya di jurusan eksakta atau non agama; Setelah yang sulung di IAIN Jogyakarta, kakak laki-laki kuliah di AIP dan melanglang buasa sebagai nahkoda kapal Permina/ Pertamina. Lalu kakak perempuan di Fakultas Ekonomi, dilanjutkan kakak perempuan di MIPA jurusan Kimia, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi dan saya yang ketempuhan kembali ke jalur agama.
Dari pihak Ibu yang akarnya Muhammadiyah di Jogya, orientasi Pendidikan anak-anak adalah agar menjadi priyayi atau interpreuner, sementara dari Pihak ayah yang berasal dari pesantren di Kebarongan Banyumas menghendaki keturunanya masuk ke jalur kajian agama. Saya sendiri tak berinat pada kedua dunia itu, karena saya lebih tertark pada Ilmu – ilmu sosial, sastra dan kehidupan.
Demikianlah dengan rasa kehilangan atas kebanggaan sebagai mahasiswa , saya sering tak mengakui kuliah di IAIN kepada teman-teman seangkatan yang berhasil masuk ke IPB. Saya masuk ke IAIN Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama. Rupanya dalam kurikulum Fak Ushuluddin kami mendapatkan materi Sosiologi dan metode penelitan. Waktu itu kampus IAIN kecil saja, kami menyebutkan seperti pabrik panci. Demikianlah saya menapaki hari-hari sebagai mahasiswa dan aktif di kegiatan ektra serta ikut demonstrasi gerakan Mahasiswa tahun 89.
Lalu bagaimana saya bisa berkembang hingga saat ini.
Pertama-tama adalah Membaca
Sejak SMA saya punya hobi membaca, membaca fiksi cerita-cerita roman dari karya-karya Sastra klasik Pujangga baru hingga era modern saya baca. Di SMAN I Banjar Camis telah tersedia perpustakaan dan saya lebih memilih masuk ke perpustakaan daripada jajan di masa-masa istirahat. Untung waktu it belum ada gadget!
Dalam perkembangannya ketika kuliah di IAIN saya tertarik pada Ilmu-ilmu Sosial kritis. Perpustakaan IAIN lumayan koleksinyha. Tapi itu tak cukup buat saya. Di Jakarta, dengan 2 kali naik bus saya rutin pergi ke perpustakaan British Counsil di Gedung Wijoyo Center di Jln Sudirman, di kantor The Ford Foundaion sekarang. Di sana saya membaca buku-buku karya akademik dan mulai membaca buku berbahasa Inggris dan meted penelitian grounded.
Ada rahasia lain, harus diakui itu juga karena dorongan pacar!. Mantan pacar yang kemudian menjadi suami saya, Ismed Natsir adalah seorang penulis, karya tulisnya di Prisma membuat dia diperhitungkan sebaga intelektual muda dengan pikiran tajam karena dia juga kuliah di Filsafat Driyarkara. Jadi salah satu keindahan masa kuliah adalah mencari pasangan. Cari pasangan yang baik, pintar, bacaanya banyak dan tidak melakukan bentuk violence apapun.
Saya membaca buku tebal serius sejak SMA, Mukaddimah karya Ibnu Haldun saya baca! Lalu apa buku yang sedang say abaca saat ini? Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik draft karya Dr Noor Huda ismail karena kebetulan saya diundang sebagai editornya untuk memastikan elemen GEDSI masuk ke dalam buku itu.
Kedua adalah Menulis
Modal menulis adalah kemampuan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak didekati dalam grammaernya tapi bagaimana itu diterapkan dalam kalimat yang fungsional. Contoh terbaru soal kata para-para. Kalau kita lihat di KBBI parapara artnya langit langit atau jaringn jarring di atas peraian untuk menyiman makanan yang bisa diawetan, sementara para adalah kata penyerta untuk menegaskan kalimat majemuk. Atau kata untuk menunjukkan hal yang tinggi yang lebih baik seperti kata parama, paramadina.
Membaca tulisan orang lain menjadi penting untuk melihat pola-pola kalimat dan cara tuturnya. Sejak SMA saya telah aktif menulis di Bulettin dan Mading. Bangganya bukan main ketika tulisan diterbitkan di Mading. Hingga minggu lalu tulisan saya masih dimuat sebagai opini di Jakarta Post tentang Perkembangan policy Sunat Perempuan. Menulis itu tidak ada kata pension.
Ketika kuliah, bacaan utama yang paling bergengsi adalah jurnal Prisma LP3ES. Jadi untuk mengembangkan teori dan analisis yang baru kita baca Prisma. Di sini pula pertama kali membaca tulisan-tulisan tentang gagasan feminisme dari Julia Suryakusuma dan Marianne Kattopo, Tutty Heraty Nurhadi.
Dari LP3ES, selain dunia pemikiran, kami belajar soal pengembangan masyarakat, pendampingan Masyarakat dan pengabdian masyarakat. Dalam isu tertentu terkait dengan Islam, lahir P3M. Di sana pula saya membaca hasl hasil penelitian sosial keagamaan yang dikenalkan oleh Gus Dur.
Penerbit LP3ES juga menerbitkan buku-buku sosial antropologi kritis seperti Moral Ekonomi Petani buku yang paling pening dalam memahami cara kerja penelitian etnografi dari James Scott Weapons of the Weak. Yang kemudian diterbitkan oleh Grameda. Itu adalah sebuah kajian antropologi perlawanan kaum petani di Sedaka /Kedah di era revolusi hijau ketika FAO mengembangkan pertanian modern yang memiskinkan buruh dan petani cilik. Kelemahan buku itu adalah petani digambarkan dalam dimensi kela seperti tuan tanah, buruh dantengulak , tapi tak secara tajam melihat dimensi gender! Kata petani miskin jadi kata yang tunggal tidak majemuk dan berlapis. .
Buku lainnya adalah Peter L Berger Piramida Korban Manusia yang meletakkan dasar-dasar analisis ketimpangan kelas sosial. Dalam kajian sejarah Islam saya terpesona oleh ketelitian kajian historis Deliar Noer tentang Gerakan Modernis Islam di Indonesia, Lagi-lagi kalau dibaca dengan analissi gender kita akan tahu Pak Deliar tak melihat peran organisasi perempuan Islam. Padahal di Minang, menurut Pak Taufik Abdullah, gerakan kaum muda dimotori oleh kaum ibu yang memastikan kaum lelaki untuk kembali ke praktik Islam yang benar, berhenti sabung ayam, minum tuak dan manin batu/judi. Itu dilakukan oleh kaum perempuan yang seperti sekarang, pusing melihat laki-laki judi online!.
Ada dua buku penting yang sangat berpengaruh kepada pemikiran saya yaitu Kumpulan tulisan di Prisma tahun 1977 “Manusia Dalam Kemelut Sejarah”. Didalamya terdapat pengantar dari Taufik Abdullah, Manusia Dalam Sejarah Sebuah Pengantar; Lalu tulisan tentang Sukarno oleh Pak Onghikham : Mitos Dan Realitas, Lalu “Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus” yang ditulis Y.B. Mangunwijaya; Memimpin adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim ditulis oleh Mohammad Roem; Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian oleh Alfian; Kahar Muzakkar: Profil Patriot Pemberontak oleh Mattulada; lalu tulisan “Revolusi Memakan Anak Sendiri”: Tragedi Amir Sjarifudin oleh Abu Hanifah; dan satu satunya tokoh perempuan Rahmah El Yunusiyyah: Kartini Perguruan Islam oleh Aminuddin Rasyad Dosen Fakultas Tarbiah IAIN Jakarta.
Buku kedua adalah yang editornya suami sendiri Ismed Natsir: Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, juga ban Catatan Harian Seorang Demonstran Soe Hok Gie.
Kala itu di tahun-tahun 80-90an Majalah Mingguan Tempo merupakan majalah dengan kolom-kolom yang istimewa. Di sana pikiran-pikiran kritis dalam isu sosial, politik, keagamaan, sejarah dan isu Pembangunan dapat kita peroleh dari Gus Dur, Umar Kayam, Aswab Mahasin, Romo Mangun, Masri Singarimbun, Onghokham, Toety Herati, Taufik Abdullah dll.
Tetapi untuk menajamkan kemampuan menulis kita harus membaca karya sastra. Suami saya pindah dari LP3ES ke Graffiti Press. Disana terbit buku2 sastra yang indah, “Roti dan Anggur” karya Ignazo Silone yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh Novelis Marianne Katoppo, atau buku Gadis Pantai dari Pramoedya Ananta Toer. Penggamabarannya begitu hidup, kritik atas feodalisme islam di pesantren yang melanggengkan tradisi poligami sebagai pengganti pergundikan di Jawa. Buku “Pramuria dari Lucknow” karya sastrawan Parsi Mohammad Hadi Ruswa, serta Perempuan d Titik Nol karya Nawal El Sadawi. Pada era berikutnya tentu buku-buku karta Pramudya Ananta Toer ikut menyertai bacaan sastra saya Bumi Manusia Anak Segala Bangsa dan Jejak Langkah. Tapi ada juga buku yang saya baca berulangkali Mushahshi yang tebalnya setebal bantal. Karena kalau metafornya buku Telepon kalian pasti tak pernah melihat buku telepon.
Modal Ketiga adalah Menajamkan Analisis Melalui Diskusi
Di Ciputat, saya tumbuh di tengah-tengah pendampingan tokoh-tokoh yang aktif mengembangkan forum diskusi yang dikembangkan sejak era Cak Nur, lalu ada Cak Irhamni dan lanjut Fachry Ali, Azyumardi Azra, Iqbal Abdur Rauf Saimima, Mereka adalah tokoh penting yang mendorong saya berani menulis di koran dan Majalah Panjimas. Memang kala itu belum ada tokoh perempuan selain dalam stuktur organisasi ektra seperti Kohati dan Kopri
Modal Keempat adalah Bergabung dengan Gerakan Feminis
Basis-basis pengetahuan dan critical thinking saya peroleh di luar kampus ketika aktif di kelompok perempuan Kalyanamitra. Di sana dasar-dasar pemikiran kritis tentang feminisme saya peroleh. Gagasan itu kemudian dikembangkan dalam gerakan yang kontekstual yaitu gerakan penyadaran hak-hak perempuan dalam Islam melalui forum Fiq an Nisa. Inilah fondasi penting dalam berkembangnya isu-isu gender dan Islam. Hal ini yang kemudian melahirkan orang seperti Kyai Husein Muhammad, Kiai Faqihuddn Abdul Kodir, Kiai Marzuki Wahid, Nyai Masriah Anva da ratusan nyai yang melahirkan KUPI di Cirebon tahun 2017
Tahap Berikutnya adalah Menentukan Etape Perjalanan yang Cocok dengan Kepribadian Kita.
Karenanya untuk jalan berikutnya adalah mengembangkan minat. Mau jadi apa? Kebetulan selain menulis saya sangat meminati dunia penelitian sejak tahun 1984, dan sampai 2024.minggu lalu saya masih pergi blusukan ke lapangan. Mbahnya adalah Prof Martin van Bruinessen. Selama 1 tahun di tahun 2083-1984 saya belajar langsung etnografi di lapangan, tinggal di kampung kota / urban miskin di Bandung. Itu adalah sekolah yang lengkap, belajar mendengarkan, meneliti, menulis dan menerbitkannya. Tidak ada bidang pekerjaan lain yang betul-betul membuat bergariah selain dalam penelitian. Itu adalah jalan samurai yang tidak ringan. Banyak peneliti berhenti di jalan atau mengandalkan asisten peneliti. Tapi saya merasa dunia penelitian adalah ladang hidup lahir batin , mencari nafkah sekaligus mengasah ketajaman spiritual saya.
Dunia penelitian menggabungkan seluruh tahapan-tahapan yang telah dikemukakan: membaca, menulis, mengasah teori baru, skeptisisme terhadap suatu temuan penelitian, dan curious untuk mencari jawaban.
Minat kedua dalam pengembangan diri adalah menjadi fasilitator dan Trainer dalam isu gender. Guru saya adalah Bang Roem Topatimasang dan Alm Mansour Fakih. Maka saya kemudian mengembangkan modul-modul dan training Islam, gender dan hak-hak reproduksi perempuan. Sampai saat ini saya masih mengisi pelatihan-pelatihan termasuk dalam menulis kritis untuk perguran tinggi di Indonesia Timur dengan program KONEKSI DFAT. Pelatihan terakhir dalam forum yang besar adalah 9 hari melahir para aktivis HAM jaringan Sisters in islam di KL.
Demikianlah kiranya yang dapat saya sampaikan. Ilmu tak datang dari ruang kosong di langit, tapi dengan ilmu kita pasti mampu menggapai langit.
Depok, 23 Desember 2024
Lies Marcoes-Natsir
Wali Amanah Yayasan Fahmina
— Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024.
by admin | 24 Dec 2024 | Berita
ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon resmi mewisuda puluhan mahasiswa dan mahasiswi, dalam Wisuda Sarjana Angkatan VIII di Ballroom Hotel Patra Cirebon. Acara tersebut berlangsung pada Senin, 23 Desember 2024, mulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 13.00 WIB.
Acara wisuda ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk, Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd. (Direktur Penais Kemenag RI), Dr. H. Syamsuddin (KOPERTAIS Wilayah II Jawa Barat), Lies Marcoes Natsir, (Wali Amanah Yayasan Fahmina dan Aktivis Gender Islam), para kyai dari berbagai pondok pesantren, dan para rektor dari berbagai perguruan tinggi.
Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid, dalam sambutannya memberikan pesan kepada para wisudawan dan wisudawati tentang pentingnya menjaga komitmen yang telah diikrarkan saat prosesi wisuda.
“Islam adalah agama keadilan untuk seluruh hamba-Nya dan rahmat bagi seluruh makhluk-Nya. Oleh karena itu, kalian harus menegakkan keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan, dan kedamaian untuk semua,” ujar Kiai Marzuki.
Beliau juga menegaskan komitmen ISIF untuk mencetak lulusan yang bermoral dan berilmu, serta mengingatkan agar para alumni tidak terlibat dalam praktik korupsi maupun kekerasan.
“Kami mengharamkan lulusan ISIF untuk terlibat dalam korupsi atau kekerasan dalam bentuk apa pun. Jika ada alumni ISIF yang melanggar nilai ini, kami tak segan untuk mengevaluasi gelar kesarjanaannya,” tambahnya.
Selain itu, Marzuki Wahid juga menekankan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi komitmen dan visi utama ISIF.
“Laki-laki dan perempuan itu setara. Tugas kalian adalah memperjuangkan keadilan dan kesetaraan untuk semua, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh umat manusia,” tegasnya.
Acara prosesi wisuda ini dipimpin langsung oleh KH. Marzuki Wahid, didampingi segenap pimpinan dan senat akademik ISIF. Prosesi tersebut berlangsung khidmat dan menjadi momen bersejarah bagi puluhan mahasiswa dan mahasiswi yang resmi menyandang gelar sarjana.**
by admin | 17 Dec 2024 | Berita
ISIF Cirebon – Pusat Studi Islam Gender dan Seksualitas (PUSIGAS) ISIF Cirebon bersama Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pemahaman Santri tentang Kekerasan dalam P2GP/Sunat Perempuan dan Pencegahannya.” Acara yang berlangsung di Rumah Joglo, Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina pada Minggu, 15 Desember 2024 ini menghadirkan Lies Marcoes Natsir, konsultan temporal United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, sebagai narasumber utama.
Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen PUSIGAS ISIF untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, salah satunya praktik Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. FGD ini juga diselenggarakan sebagai respons terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang menegaskan larangan praktik P2GP karena dampaknya yang membahayakan kesehatan fisik dan mental anak perempuan.
Angka Sunat Perempuan
Menurut Lies Marcoes, sunat perempuan (P2GP) masih banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, meskipun telah terbukti tidak membawa manfaat apapun bagi perempuan.
“Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, mengungkapkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama di Indonesia menjalani sunat perempuan,” papar Lies.
Angka tersebut menurut Lies, mencerminkan masih kuatnya penerimaan sosial terhadap praktik yang sejatinya berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Dalam diskusi, Lies juga memaparkan hasil penelitiannya terhadap sikap empat organisasi keagamaan besar di Indonesia – Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) – yang memiliki pandangan berbeda-beda terkait praktik P2GP. Yang paling menarik baginya adalah pandangan KUPI yang menggunakan women lives reality (pengalaman khusus perempuan) sebagai alat ukur kemaslahatannya.
“Kalau mau mengetahui sunat perempuan itu adil atau tidak, jangan tanya kepada laki-laki yang memegang ayat, tapi (tanya) kepada pengalaman perempuan yang mengalami langsung sunat perempuan,” ungkap penulis buku Merebut Tafsir ini.
Setelah pemaparan, Lies Marcoes memfasilitasi diskusi bersama para santri Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Para peserta berbagi pengalaman terkait praktik P2GP di daerah asal mereka. Beberapa peserta menyatakan bahwa praktik ini masih dianggap sebagai kewajiban sosial dan ritual adat yang harus dijalankan.
“Jika anak perempuan tidak disunat, mereka akan mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dianggap tidak suci atau tidak sempurna,” ungkap salah seorang peserta.
Sikap Tegas PUSIGAS ISIF terhadap Praktik Sunat Perempuan
Melalui FGD ini, PUSIGAS ISIF menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis di kalangan santri mengenai bahaya Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. Nafida Inarotul Huda, fasilitator dari PUSIGAS, menekankan bahwa praktik P2GP harus dilihat sebagai bentuk kekerasan berbasis gender. Hal ini baginya tidak hanya merugikan perempuan secara fisik tetapi juga melanggar hak asasi perempuan.
“Sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan karena di sana ada upaya melukai alat reproduksi perempuan. Di beberapa kasus, praktik ini mengakibatkan pendarahan hebat, bahkan menyebabkan kematian,” tegas Nafida.
Sebagai lembaga yang berfokus pada isu gender dan keadilan sosial, PUSIGAS ISIF memiliki komitmen kuat untuk menghentikan praktik sunat perempuan. Sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang serta trauma psikologis bagi perempuan.
“Sunat perempuan adalah harmful practices atau praktik yang berbahaya dan merugikan perempuan sehingga penting bagi PUSIGAS ISIF untuk mengadvokasi dan menghentikan praktik ini,” lanjut Direktur PUSIGAS ini.
Peran Santri
Dalam diskusi tersebut, PUSIGAS ISIF juga menekankan pentingnya peran santri sebagai agen perubahan. Santri diharapkan mampu memahami hak-hak reproduksi perempuan serta menyebarkan informasi mengenai dampak buruk P2GP di lingkungan mereka. Dengan pengetahuan yang mereka dapat, santri dapat berkontribusi dalam upaya advokasi dan pencegahan praktik P2GP di masyarakat.
“Kami berharap santri teredukasi dan terinformasi tentang hak-hak reproduksi perempuan, serta memahami dampak sunat perempuan. Selain itu, melalui testimoni dan cerita pengalaman perempuan yang dibagikan dalam forum ini, kita bisa memperkaya khazanah pengalaman khas perempuan,” tambah Nafida.
Pengalaman-pengalaman ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi penting bagi aktivis, advokator, dan pembuat kebijakan. Kesaksian langsung dari perempuan yang mengalami praktik ini dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk segera mengakhiri tradisi dan praktik sunat perempuan.**
by admin | 12 Dec 2024 | Berita
ISIF Cirebon – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Pusat Studi Islam dan Gender (PUSIGA) ISIF , Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, dan Komnas Perempuan menggelar Kuliah Kolaboratif bertajuk “Eksplorasi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Bersama Komnas Perempuan, ” pada Rabu (11/12/2024).
Kegiatan yang bertempat di Rumah Joglo, Majasem, Kota Cirebon ini, menghadirkan Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor , sebagai narasumber utama dan diikuti puluhan Mahasantriwa (santri Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina).
Kegiatan diawali dengan Upacara oleh Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Kyai Marzuki Wahid dan Ny. Nurul Bahrul Ulum, dilanjutkan dengan paparan materi oleh Maria Ulfah Ansor.
Dalam paparannya, Maria mengungkapkan mengenai tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia.
“Dalam catatan Komnas perempuan,” katanya, “kekerasan seksual menduduki posisi kedua dalam jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan.”
Ia menambahkan, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, kekerasan seksual di perguruan tinggi dan pondok pesantren menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai lokasi terjadinya kasus kekerasan seksual.
“Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, terus terang saya merasa malu. Dan yang paling mengharukan, kasus ini terjadi di hampir setiap lembaga keagamaan yang ada di Indonesia,” ujar Komisioner Komnas Perempuan ini.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi dan berbagi cerita. Beberapa peserta membagikan pengalaman mereka terkait kasus kekerasan terhadap perempuan.
Fikri, salah seorang peserta, menyatakan sering menyaksikan kekerasan seksual saat masih bersekolah. Namun, ketika itu, ia menemukan kebingungan korban dalam menentukan pihak yang tepat untuk melapor.
Sementara itu, peserta lain, Lelah, mengisahkan pengalaman pribadinya menyaksikan seorang suami memaksa istrinya berhubungan seksual saat menstruasi. Ketika sang istri menolak, ia justru menjadi korban kekerasan karena mengalami penganiayaan.
Pengalaman serupa juga diceritakan Nani yang pernah bekerja di sebuah pabrik. Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan lazim terjadi di tempat kerja. Yang paling memprihatinkan, kasus-kasus tersebut minim penindakan, terutama yang melibatkan atasan sebagai pelaku.
Maria menutup sesi dengan pentingnya mengawal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Selain itu, Maria mendorong peran aktif tokoh agama, terutama Kyai, untuk ikut berkontribusi secara langsung dalam mengawali isu ini.
Menurutnya, tokoh agama memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat melalui pendekatan nilai-nilai keagamaan yang inklusif dan berkeadilan.
“Kita semua bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung para korban, serta membangun masyarakat yang bebas dari kekerasan seksual,” tegasnya.**