by admin | 28 Jan 2025 | Berita, Kegiatan, Pengabdian Masyarakat
ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar pembekalan bagi mahasiswa yang akan melaksanakan Praktik Islamologi Terapan (PIT) di Aula Aula Affandi Mochtar pada Kamis dan Jumat, 23-24 Januari 2025.
Pembekalan ini menjadi langkah awal bagi mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat untuk melaksanakan pengabdian berbasis Participatory Action Research (PAR). Kegiatan pula ditujukan untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menemukenali dan menyelesaikan masalah secara partisipatif bersama masyarakat.
Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, hadir sebagai pemateri utama dan memberikan pemaparan mendalam terkait falsafah dan konsep dasar PIT ISIF. Dalam sambutannya, rektor yang akrab disapa Kang Zekky ini menegaskan bahwa PIT bukan sekadar program akademik, melainkan upaya bersama untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat desa dengan pendekatan transformatif berbasis nilai-nilai keislaman.
“Melalui PIT, ISIF ingin berkontribusi pada terwujudnya peradaban manusia yang berkemampuan dan berkeadilan, berdasarkan kesadaran kritis,” tuturnya.
Zaenab Mahmudah, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), turut hadir sebagai fasilitator. Dalam paparannya, Zaenab menyoroti distingsi PIT ISIF khususnya penerapan metodologi Participatory Action Research (PAR) sebagai pendekatan pengabdian.
Menurutnya Praktik Islamologi Terapan — yang di perguruan tinggi lain dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN)— merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat yang menjadi bagian dari implementasi Tri Dharma perguruan tinggi Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).
Pada hari kedua, mahasiswa mendapatkan materi terkait konsep dan pelaksanaan PAR yang disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Penelitian, Dr. A. Syatori.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Syatori ini, PAR merupakan aktualisasi konsep belajar partisipatif yang bertujuan untuk melahirkan kesadaran kritis masyarakat.
Selain itu, menurutnya, melalui PAR masyarakat dapat terdorong untuk melakukan upaya mandiri untuk
mewujudkan keswadayaan komunitas masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman.
Pada sesi lain Sekretaris LPPM, Siti Latifah, ME, memberikan pembekalan tentang teknik pemetaan secara sosial dan spasial serta analisis sosial, mencakup dimensi sosial-ekonomi, sosial-budaya, hingga sosial-politik.
Mahasiswa juga diajak berdiskusi dalam kelompok bersama dosen pembimbing lapangan (DPL) untuk menyusun rencana kegiatan PIT di lokasi desa masing-masing kelompok.
Secara keseluruhan pembekalan ini diorientasikan agar mahasiswa ISIF tidak hanya memahami Metodologi PAR secara teoritis. Namun mahasiswa juga mampu menerapkannya secara maksimal dalam praktik PIT sehingga menjadikan desa-desa peredaman sebagai pusat pemberdayaan dan transformasi sosial.
by admin | 21 Jan 2025 | Berita
ISIF Cirebon — Kongres Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama resmi akan digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 31 Januari-1 Februari 2025 di Hotel Bidakara, Jakarta. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-102 NU.
Kongres yang akan dihadiri lebih dari 500 orang baik dari internal maupun kemitraan NU ini menggusung tema “Bersama Umat Wujudkan Keluarga Maslahat.” Kegiatan ini secara spesifik bertujuan untuk menyusun arah strategis NU terkait perwujudan keluarga maslahat sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
Selain itu, melaui kegiatan ini, PBNU bertujuan mempublikasi inisiatif keluarga maslahat mengenai nilai dan prinsip kemaslahatan keluarga serta mengarusutamakan keluarga maslahat NU sebagai isu bersama, fokus gerakan, dan ruang pemberdayaan untuk masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut, Kongres juga bertujuan membangun dan memperluas kemitraan dalam meningkatkan kualitas keluarga Indonesia yang maslahat. Sebagai bagian dari inovasi, PBNU juga akan meluncurkan aplikasi GKMNU (Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama) untuk mempermudah akses informasi dan mendukung keberlanjutan program keluarga maslahat.
Festival Keluarga Indonesia
Selain kongres, PBNU juga akan menggelar Festival Keluarga Indonesia pada 1-2 Februari 2025 di Mall Kota Kasablanka dengan mengusung tema “Keluarga Maslahat Keluarga Hebat.” Festival tersebut terbuka untuk umum dan bisa dihadiri langsung oleh semua kalangan.
Melalui festival ini, PBNU bertujuan menghadirkan NU dalam lanskap awan keluarga Indonesia dan mewujudkan kemaslahatan keluarga Indonesia, khususnya keluarga NU, dengan gerakan khidmah yang solid dan terintegrasi.
Festival ini menghadirkan berbagai pameran menarik yang dapat dikunjungi oleh peserta. Dalam pameran tersebut, tersedia layanan konsultasi untuk keluarga, remaja, beasiswa pendidikan, pengembangan bisnis, kesehatan, serta informasi terkait aplikasi GKMNU. Selain itu, festival ini juga menyelenggarakan talkshow dengan beragam tema inspiratif yang menghadirkan anggota PBNU, tim GKMNU, dan berbagai praktisi ahli di bidang masing-masing.
Festival ini juga akan menampilkan pagelaran seni dan budaya Islam khas Indonesia, yang diramaikan oleh penampilan budayawan serta artis nasional tanah air. Kegiatan ini diharapkan menjadi momentum strategis bagi PBNU dalam mempromosikan kemaslahatan keluarga sebagai isu bersama yang relevan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
by admin | 20 Jan 2025 | Artikel
ISIF Cirebon — Studi keislaman di Nusantara, dilihat dari indikasi muatan-muatan discourse-nya, lebih cenderung pada studi keislaman model Timur Tengah. Artinya, bobot muatan studi keislaman yang berkembang di Indonesia hanya sebatas mengusung tema-tema besar yang selama ini telah melembaga dalam sejarah Islamic studies di Timur Tengah. Sehingga studi keislaman di Indonesia cenderung tidak mempunyai basis faktual khas keindonesiaan, serta tidak terakomodasinya muatan-muatan lokal yang “menyejarah”, “meruang” dan “mewaktu” dalam karakteristik khas Islam Indonesia.
Tema-tema yang diangkat seperti zakat, thaharah, atau mu’amalah sering kali hanya mengikuti tradisi sosio-kultural masyarakat Timur Tengah, tanpa mengakomodasi realitas khas Indonesia. Buku-buku handbook dan kurikulum di lembaga pendidikan Islam—seperti IAIN, UIN, pesantren, dan madrasah—juga masih dominan Timur Tengah sentris. Akibatnya, studi Islam di Indonesia sering kali kehilangan pijakan faktual dan gagal menyerap muatan lokal yang kaya dengan konteks sejarah, budaya, dan tantangan zaman di negeri ini.
Padahal, Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan Timur Tengah. Perbedaan ini tak hanya menyangkut geografi dan budaya, tetapi juga cara masyarakat Indonesia memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Misalnya, tema zakat yang dalam konteks Timur Tengah lebih cocok diterapkan pada masyarakat gurun, sementara di Indonesia, masyarakat agraris punya kebutuhan dan mekanisme sosial berbeda.
Kelemahan Studi Keislaman Indonesia
Islam di Indonesia memiliki karakteristik unik yang berakar pada kekayaan budaya dan tradisi lokal. Namun, dalam studi keislaman Indonesia, muatan lokal khas keindonesiaan tidak terakomodasi. Hal ini menjadikan karakteristik studi keislaman di Indonesia keluar dari akar faktualnya.
Padahal fenomena keberagamaan Islam di Indonesia berlainan dengan keberagamaan Islam di Timur Tengah. Dengan demikian, terdapat beberapa kelemahan dari corak islamic studies di Indonesia yang cenderung Timur Tengah sentris.
Perbedaan tersebut di diakibatkan oleh faktor socio-cultural serta geografi antara Timur Tengah dan Indonesia yang berbeda yang melahirkan pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran teologis yan berbeda pula. Karenanya, mainstream pemikiran keagamaan khas Timur Tengah tidak dapat dipaksakan untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan khas Indonesia.
Selain itu, kecenderungan mengadopsi apa adanya studi keislaman model Timur Tengah, kadang bertentangan dengan budaya dan karakteristik masyarakat Islam lokal. Pemaknaan atas teologi yang dipaksakan akhirnya melahirkan kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang bersifat eksklusif, yang kurang apresiatif terhadap kemajemukan dan perubahan sosial. Munculnya sejumlah paradoks dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sebagian merupakan akibat dari kecenderungan pemahaman dan pemaknaan yang eksklusif.
Paradoks Keberagamaan di Indonesia
Paradoks dalam implementasi nilai-nilai Islam tampak nyata dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan jurang yang lebar antara nilai-nilai ideal agama dan kenyataan praktik keberagamaan sehari-hari. Paradoks kehidupan keagamaan itu bisa dilihat dalam beberapa hal, misalnya:
Pertama, paradoks antara nilai agama yang mengajarkan kesucian dan kedamaian dengan ekspresi perilaku keagamaan yang diwarnai dengan tindakan kotor, kekerasan dan teror.
Kedua, paradoks antara misi agama untuk membebaskan manusia tanpa diskriminasi dengan praktik praktik indoktrinasi yang mengekang jiwa dan nalar umat Islam.
Ketiga, paradoks antara ajaran dasar agama yang mengajarkan kebebasan kesetaraan dan persaudaraan dengan praktik dengan gerakan keagamaan yang membungkam pikiran bebas dan kritik, mempraktikkan agama sebagai sarana diskriminasi, serta menggunakan agama untuk melegitimasi perang yang penuh kebencian.
Corak Islam Indonesia
Untuk membangun studi keislaman yang relevan dan kontekstual, Indonesia perlu menggali karakteristik Islam lokal yang menghargai budaya, tradisi, dan realitas sosial masyarakatnya. Studi Islam tidak harus sekadar mengimpor gagasan Timur Tengah, tetapi perlu merefleksikan keberagaman dan dinamika sosial Indonesia yang kaya.
Islam Indonesia adalah Islam yang ramah, damai, dan inklusif. Dengan menjadikan konteks lokal sebagai pijakan, Islam dapat menjadi kekuatan pembebas yang melahirkan solusi, membuka ruang dialog, dan membangun peradaban tanpa menjadi pembatas atau penyekat gagasan.
— Disarikan dari buku Nalar Islam Nusantara (M.Mukhsin Jamil.dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah al-Irsyad Persis dan NU. Cirebon: Fahmina Institute, 2008).
by admin | 18 Jan 2025 | Artikel
Achmad Nanang Firdaus — Mahasiswa PAI ISIF
ISIF Cirebon – Sabtu pagi, 11 Januari 2025, Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menggelar musyawarah subuh rutinan dengan bahasan yang menarik dan relevan yaitu tentang riba. Tema ini diangkat dari kitab Matan Taqrib karya Imam Abu Syuja’ dan dipandu langsung oleh pengasuh pesantren, KH. Marzuki Wahid, atau yang kami kerap panggil Abi Marzuki.
Para santri hadir dengan penuh antusias. Mereka berharap diskusi ini dapat memperkaya pengetahuan seputar penerapan hukum riba dalam kehidupan sehari-hari.
Diskusi diwarnai berbagai pertanyaan kritis mengenai praktik riba yang kerap dijumpai di masyarakat. Dengan pendekatan khasnya, Abi Marzuki memberikan penjelasan mendalam, mengupas tuntas konsep riba, dan menjawab berbagai pertanyaan yang menjadi ganjalan bagi para santri.
Muamalah: Fleksibel dan Kontekstual
Abi Marzuki menjelaskan perbedaan mendasar antara muamalah dan ibadah. Dalam ibadah, tata caranya bersifat ta’abbudi (ritual) dan tidak selalu dapat dirasionalisasi. Sejak zaman Nabi hingga kini, bentuknya tetap sama di mana pun berada. Sebaliknya, muamalah ini bersifat ijtihadi, yang berarti fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah:
تغير الأحكام بتغيير الأزمنة والأمكنة والأحوال والعوائد
Artinya: perubahan hukum tergantung pada perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat istiadat.
Abi Marzuki juga memaparkan prinsip-prinsip dasar dalam muamalah (mabadi’), yakni:
Pertama, tiadanya kezaliman (‘adamu adz-dhulmi). Kedua, tiadanya penipuan (‘adamu al-gharar). Ketiga, tiadanya spekulasi (‘adamu al-maysir). Keempat, tiadanya eksploitasi (‘adamu al-riba). Kelima, adanya kesepakatan dan kerelaan kedua pihak (al-ittifaq wa at-taradhin).
Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dalam menjawab berbagai persoalan muamalah, khususnya yang berkaitan dengan jual beli.
Memahami Riba: Antara Konsep dan Praktik
Dalam kitab Taqrib, riba didefinisikan sebagai pertukaran barang yang tidak setara dalam ukuran syar’i atau adanya penundaan penyerahan barang yang ditukar. Secara etimologis, riba berarti az-ziyaadah (tambahan). Contoh praktiknya adalah jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak yang tidak dilakukan secara kontan dan setara. Namun, Abi Marzuki mengingatkan bahwa tidak semua tambahan dalam transaksi adalah riba. Jika seorang penjual memberikan bonus kepada pembeli secara sukarela, itu bukan riba, melainkan rezeki. Karena riba yang haram adalah yang mengandung unsur kezaliman, eksploitasi, dan penipuan.
Selain itu, Abi Marzuki menegaskan bahwa riba dilarang karena sifatnya yang merugikan dan menindas pihak tertentu. Misalnya terjadi kecurangan, ketidakadilan, spekulasi berlebihan dan paksaan kepada salah satu pihak.
Hal ini, menurut beliau sangat bertentangan dalam ajaran Islam. Karena di dalam Islam sangat menekankan keadilan dalam semua aspek muamalah.
Polemik Bunga Bank: Perspektif NU
Dalam sesi tanya jawab semakin menarik ketika para santri mengangkat isu bunga bank. Abi Marzuki merujuk pada hasil Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) di Bandar Lampung, 1992. Ada tiga pandangan utama terkait bunga bank:
Pertama, haram. Karena dianggap riba, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, Surah al-Baqarah ayat 275.
Kedua, halal. Karena sebagai fee manajerial yang wajar sesuai regulasi. Ketiga, syubhat. Karena berada di antara halal dan haram.
Abi Marzuki menggarisbawahi bahwa ketiga pandangan ini memberikan pilihan berdasarkan konteks dan pemahaman masing-masing individu.
Islam untuk Kemaslahatan
Di akhir musyawarah, Abi Marzuki menegaskan bahwa syariat Islam hadir untuk mewujudkan kemaslahatan, baik dengan mencegah kerusakan (dar’u al-mafasid) maupun meraih kebaikan (jalbu al-mashalih).
Maka dari itu, dalam muamalah, setiap masalah harus dianalisis dengan mempertimbangkan konteks zaman, tempat, dan keadaan, tanpa meninggalkan prinsip keadilan.
Musyawarah subuh kali ini tidak hanya menambah wawasan para santri tentang hukum riba, tetapi juga mengajak mereka untuk berpikir kritis dan kontekstual dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Dengan demikian, pesantren ini menjadi ruang belajar yang mengedepankan nilai-nilai universal Islam untuk kebaikan bersama. []
— Artikel ini telah terbit sebelumnya di laman Mubdalah.id (https://mubadalah.id/menyingkap-pemikiran-kh-marzuki-wahid-tentang-riba-dalam-musyawarah-taqrib/) pada Jum’at, 17/01/2025.
by admin | 14 Jan 2025 | Artikel
Husein Muhammad
Pendiri ISIF Cirebon dan Ketua Yayasan Fahmina
ISIF Cirebon – Pesantren diakui secara luas merupakan institusi pendidikan sekaligus pusat dakwah Islamiyah paling awal di Indonesia. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan lain yang sudah lama ada di Nusantara.
Penyerapan tradisi ini tampak dalam banyak hal. Nama pesantren sendiri, misalnya, diambil dari bahasa sansekerta. Pesantren berasal dari kata pesantrian, yakni tempat tinggal para santri yang berarti pelajar agama Hindu. Cliffort Geertz, seorang sosiolog dunia terkemuka, mengatakan bahwa Pesantren berarti tempat “santri”, yang secara literal berarti manusia yang baik-baik. Kata santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta “Shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis.
Pakaian sarung atau kopyah yang dikenakan para santri juga adalah pakaian masyarakat Hindu. Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri.
Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, menunjukkan bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya diambil dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Tetapi dalam perkembangan alur ceritanya oleh para ulama lalu dikonversikan ke dalam istilah-istilah Arab-Islam.
Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa yang digunakan dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.
Para Ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Wali Songo dalam menanamkan doktrin Tauhid Islam terkenal sangat toleran terhadap praktik-praktik keagamaan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat. Toleransi mereka terhadap tradisi lokal terutama mistisime yang berasal dari Hindu-Budha membawa dampak positif di mana Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Satu hal yang saya kira menarik adalah kenyataan bagaimana hubungan Islam dan agama-agama lain dapat hidup bersama secara damai. Hal ini dapat dilihat dari rumah-rumah ibadah yang didirikan secara saling berhadapan atau berdekatan.
Kenyataan ini misalnya dapat dilihat di Arjawinangun. Masjid Jami’ dan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiyai Abdullah Sathori, ayah K.H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh pesanten Dar al Tauhid sekarang, dibangun sangat berdekatan dengan dua rumah ibadah non muslim : Vihara dan Gereja. Bangunan antara Vihara dan Gereja sendiri berada dalam posisi berhadap-hadapan dan hanya dipisah oleh jalan raya.
Hubungan antara Kiyai Satori dengan para pemeluk agama non muslim di sana terjalin dengan baik, saling menghargai dan saling membantu. Sampai hari ini hubungan tersebut masih tetap terjalin dengan baik. Tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Bahkan sepanjang sejarahnya pergaulan antara umat Islam dan non muslim di Arjawinangun membawa pengaruh yang besar, di mana banyak warga non muslim, terutama keturunan Tionghoa menjadi muslim dan melaksanakan haji.
Demikianlah, maka saya kira di tengah karut-marutnya hubungan antaragama dan antarumat Islam sendiri dewasa ini, Pesantren menjadi semakin penting untuk mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran toleransi antarberbagai orang sesama bangsa. Pesantren sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk — meminjam istilah KH. Ahmad Shiddiq — ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa) dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Semoga. Amin.
— Disarikan dari tulisan Buya Husein dalam buku “Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman; Potret dari Cirebon” (Marzuki Rais, dkk. Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman: Potret dari Cirebon. Cirebon: Yayasan Fahmina, 2014.)