by admin | 21 Aug 2025 | Artikel, Opini
Oleh: Sukma Hadi Watalam (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Beberapa tahun belakangan ini, kebijakan pemerintah semakin bikin orang cuma bisa elus dada dan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, korupsi makin menjadi-jadi, kekayaan alam dikeruk tapi yang menikmati hanya segelintir orang.
Di dunia pendidikan pun tak kalah aneh; ada program makan bergizi gratis (MBG), tapi kenyataannya banyak siswa yang justru kehilangan selera. Bahkan, ada sekolah yang makanannya sampai basi dan tidak layak disantap. Belum cukup, muncul lagi istilah “sekolah rakyat”, lalu “sekolah konglomerat”. Seolah-olah sekolah yang sudah ada selama ini bukan untuk rakyat. Bukankah semua anak memang berhak sekolah? Entahlah, kadang logikanya susah dicerna.
Belakangan ini tambah ramai lagi, bahkan melebihi hebohnya pesta nadran, ketika guru dan dosen dicap sebagai beban negara. Ironisnya, masih ada guru yang gajinya cuma 300 ribu, itu pun dibayar dengan cara dirapel. Katanya beban negara? Sementara di sisi lain ada yang bisa mengantongi ratusan juta per bulan, masih juga sibuk mencari celah untuk korupsi.
Saking banyaknya hal ganjil, sampai bingung mau mengeluh dari mana. Intinya, rakyat sudah terlalu sering dijadikan bahan eksperimen, sementara pemimpin terus mencari cara agar dompetnya tidak pernah kempes.
Dalam acara kenegaraan juga, entah kenapa, dengan asyiknya para pejabat berjoget-joget seakan-akan mereka sedang menghadiri hajatan kawinan di kampung sebelah. Rasanya, kok aneh ya! Acara resmi yang katanya mewakili rakyat justru lebih mirip panggung hiburan. Sepertinya hal itu tidak layak untuk ditiru, apalagi dijadikan kebiasaan.
Kenapa yah, setiap ada acara, joget-joget selalu dijadikan pelengkap? Kaya sayur tanpa garam kalau gak joget. Padahal, rakyat di bawah sedang pusing mikirin harga beras, listrik, sekolah anak, dan cicilan yang makin mencekik. Tapi di atas sana, para wakil rakyat bisa joget ria dengan senyum lebar, seolah dunia ini baik-baik saja.
Kalau dipikir-pikir, lama-lama acara kenegaraan bisa berubah jadi festival joget nasional. Bayangkan saja, mungkin nanti ada lomba joget kategori “menteri paling lentur”, “gubernur paling lincah”, sampai “bupati paling enerjik di atas panggung”. Rakyat yang nonton? Ya cuma bisa ketawa getir sambil mikir, “Ini yang katanya kerja untuk rakyat, kok malah joget mulu?”
Lucunya lagi, joget ini seperti jadi “obat mujarab” untuk menutupi segala kebijakan aneh. Bikin program gagal? Joget dulu. Ada isu korupsi? Joget dulu. Harga-harga naik? Joget lagi. Lama-lama kita bingung, ini pemerintah atau grup dangdut keliling?
Rakyat yang nonton pun dapat dua hiburan sekaligus: hiburan musik di panggung, dan hiburan batin melihat kelakuan pejabatnya. Bedanya, kalau musik dangdut bikin goyang badan, pejabat berjoget justru bikin goyang kepala sambil ngomong, “Astaghfirullah… Ini negara serius apa negara lawakan?”
Pada akhirnya, satu pertanyaan paling sederhana pun muncul: jangan-jangan negeri ini bukan sedang dijalankan, tapi sedang dijalankan-jalankan?
by admin | 26 Jul 2025 | Artikel, Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon)
ISIF Cirebon — Di setiap perguruan tinggi, selalu ada mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mata kuliah ini dimaksudkan untuk mendekatkan mahasiswa dengan kehidupan masyarakat, agar mahasiswa ketika lulus nanti memahami masalah-masalah sosial yang nyata dihadapi masyarakat. Ilmu yang diperolehnya di kampus tidak hanya benar secara teoritik, tetapi juga mampu menjawab problem nyata yang dialami masyarakat.
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon memandang bahwa KKN harus disesuaikan dengan disiplin ilmu yang digeluti mahasiswa di kampus, bukan sesuatu yang terpisah. Oleh karena ISIF mengambil disiplin “studi Islam” (Islamic studies, dirâsât Islâmiyyah), maka nama KKN dalam Kurikulum Transformatif ISIF 2025 diubah menjadi PIT (Praktik Islamologi Terapan). Oleh karena pelaksanaan PIT ini menggunakan metodologi Participatory Action Research (PAR), maka namanya dipertegas menjadi PIT-PAR, singkatan dari Praktik Islamologi Terapan Berbasis Participatory Action Research.
Mengapa Islamologi Terapan?
Secara epistemologis, Islamologi Terapan adalah pendekatan interdisipliner yang mempelajari Islam tidak hanya sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai living tradition (tradisi hidup) yang berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Konsep “Terapan” menunjukkan orientasi untuk menghubungkan kajian teoretis dengan konteks empiris. Dengan demikian, Praktik Islamologi Terapan (PIT) adalah aktivitas akademik yang membawa mahasiswa keluar dari ruang kuliah di kampus untuk [1] mengamati fenomena sosial keagamaan secara langsung, bahkan terlibat (participant observation), [2] menganalisis dinamika sosial dengan perspektif Islamologi, [3] mengintegrasikan nilai-nilai Islam (etika, keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian) dalam praksis sosial, dan [4] menghasilkan pengetahuan baru yang relevan bagi masyarakat (people knowledge building).
Hal ini selaras dengan paradigma praxis-oriented education, di mana teori didialogkan, dikritisi, dan diperkaya melalui perjumpaan dengan realitas sosial di masyarakat.
Islamologi terapan juga merupakan pengejawantahan dari integrasi konkret Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam dharma pendidikan, mahasiswa menginternalisasi teori, metodologi, dan nilai-nilai keilmuan Islam melalui praktik dan pengalaman di lapangan. PIT secara sadar menggunakan pendekatan ilmiah (Participatory Action Research/PAR) untuk menggali data, menganalisis akar masalah, dan memproduksi pengetahuan baru. Ini adalah pelaksanaan dari dharma penelitian. Dalam waktu yang sama, sebagai manifestasi dari pengabdian kepada masyarakat, PIT juga mendorong mahasiswa berperan aktif bersama komunitas dalam merumuskan solusi sosial dan melakukan aksi nyata untuk keberdayaan masyarakat dalam menghadapi masalahnya.
Dalam teori pendidikan kritis Paulo Freire, hal ini disebut sebagai conscientização, yakni proses kesadaran kritis yang hanya lahir melalui perjumpaan antara refleksi (teori) dan aksi (praktik sosial) secara terus menerus tiada henti (never ending).
Wujud Misi Transformatif
Diketahui bahwa ISIF Cirebon sejak awal berdirinya memosisikan diri sebagai kampus transformatif, yakni sebuah kampus yang tidak sekadar mencetak sarjana agama, melainkan intelektual yang membumi, menggerakkan, dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kedamaian semesta dalam kehidupan masyarakat yang dinamis. Misi transformatif itu bukan sekadar jargon, tetapi diwujudkan melalui praktik akademik yang nyata dan berdampak di masyarakat. Salah satu pilar yang menjembatani ruang akademik dengan realitas sosial adalah Praktik Islamologi Terapan berbasis Participatory Action Research (PIT-PAR).
PIT-PAR adalah ‘tafsir praksis’ dari integrasi Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di ISIF, tiga dimensi dharma tersebut dimaknai sebagai satu kesatuan paradigmatik yang terhubung. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses dialogis yang menumbuhkan kesadaran kritis. Penelitian bukan sekadar pengumpulan data hingga kesimpulan, tetapi memahami realitas sosial untuk terjadi transformasi sosial. Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar bakti sosial, melainkan praksis pembebasan bersama komunitas untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta. Di titik inilah metodologi Participatory Action Research (PAR) yang digunakan dalam PIT menemukan relevansinya.
Paradigma PIT-PAR
PAR bukan sekadar metode penelitian, tetapi paradigma pengetahuan. Ia mendekonstruksi sekat yang menganga antara peneliti dan masyarakat, mengubah relasi “peneliti dan yang diteliti” menjadi “peneliti belajar bersama masyarakat.” Dalam PIT-PAR, mahasiswa dan dosen tidak hadir sebagai “pakar” atau “konsultan” yang membawa solusi instan ke masyarakat atas masalah yang mereka hadapi, melainkan mereka sebagai mitra belajar yang bergerak bersama komunitas.
Melalui metode PAR, kegiatan PIT tidak berhenti pada tahap mengamati, mengidentifikasi, dan menganalisis masalah, melainkan civitas akademika terlibat langsung dalam siklus refleksi-aksi-refleksi-aksi hingga tanpa berkesudahan. Masalah sosial yang ditemukan bukan sekadar didiagnosis dan dianalisis akar strukturnya, melainkan bersama masyarakat dicari alternatif pemecahan yang sesuai konteks lokal dengan aksi nyata, kemudian dievaluasi kembali bersama, lalu dilakukan aksi baru, begitu seterunya. Dengan demikian, PAR adalah metodologi dialogis, kritis, sekaligus praksis—sejalan dengan visi Islamologi Terapan yang dikembangkan ISIF.
Spirit ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang pendidikan kritis. Freire menegaskan, “Education either functions as an instrument to bring about conformity or freedom” (1970). Pendidikan yang sejati adalah proses dialogis yang memampukan manusia membaca realitasnya (conscientização), mengkritisi struktur penindasan, dan bertindak mengubah keadaan. PIT-PAR hadir sebagai medium pendidikan kritis—menyatukan pembelajaran di kampus dengan realitas sosial masyarakat marginal.
Berbeda dengan KKN konvensional yang sering kali hanya berupa kegiatan seremonial di desa, PIT-PAR mengusung spirit transformasi sosial berkelanjutan. Mahasiswa tidak sekadar hadir beberapa minggu, lalu pergi tanpa jejak, tetapi mereka masuk ke komunitas dengan sikap partisipatif, mendengarkan, membangun kesadaran kritis, membangun hubungan sosial kemanusiaan, dan meninggalkan jejak keberdayaan yang menancap pada akar tradisi lokal.
Dalam konteks pendidikan tinggi, metode PAR yang digunakan dalam PIT-PAR menghubungkan riset, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat dalam satu kesatuan siklus. Yakni, identifikasi masalah bersama masyarakat, analisis kritis sebab-akibat dan potensi solusi, perencanaan aksi berbasis partisipasi komunitas, implementasi aksi sosial secara kolektif, serta evaluasi dan refleksi bersama untuk meningkatkan kapasitas komunitas. Hasil akhir dari proses ini adalah transformasi sosial yang tidak hanya mengubah kondisi struktural, tetapi juga menumbuhkan critical consciousness, baik pada mahasiswa maupun masyarakat dampingan.
Melalui pengalaman ini, mahasiswa diharapkan menguasai kompetensi teoritik dan praktik PAR, memahami dinamika sosial berbasis nilai-nilai Islam, serta mampu membangun sinergi antara kampus dan masyarakat. Setelah PIT-PAR selesai, masyarakat tidak ditinggal begitu saja, melainkan tetap didampingi dan dibersamai oleh dosen-dosen dalam menjalankan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Desa atau komunitas PIT-PAR dijadikan sebagai desa dampingan atau kawasan studi oleh civitas akademika Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).
Mengapa PAR Penting?
Metodologi PAR yang melekat pada PIT bukan pilihan teknis, tetapi sebuah manifestasi paradigmatik dari tri dharma perguruan tinggi, yang kemudian menjadi rangkaian metodologis yang sistematis. Dalam dimensi pendidikan, PAR menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa. Mereka belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari realitas kehidupan masyarakat. Mahasiswa dilatih menjadi intelektual organik—yang mampu mendengar, berdialog, dan membangun solusi bersama masyarakat, bukan mendikte dari menara gading akademik.
Dalam dimensi penelitian, PAR menolak netralitas semu yang sering melekat pada riset positivistik. Ia menegaskan bahwa penelitian harus berpihak pada keadilan. Data bukan sekadar dikumpulkan, tetapi diolah bersama masyarakat sebagai alat pembebasan. Dengan PAR, mahasiswa belajar bahwa pengetahuan sejati lahir dari perjumpaan kritis antara teori dan realitas yang dialami masyarakat.
Sebagai pengabdian kepada masyarakat, PAR melampaui pendekatan karitatif. Pengabdian tidak berhenti pada bantuan material, melainkan mendorong kesadaran kritis, perubahan relasi, hingga munculnya keberdayaan struktural yang berkelanjutan. Pengabdian bukan tentang “membantu yang lemah”, tetapi membangun kesadaran bahwa masyarakat memiliki kekuatan kolektif untuk mengubah nasibnya sendiri berangkat dari sumber daya yang dimilikinya saat ini.
Dengan demikian, PAR adalah jembatan antara teori dan praksis, antara kampus dan masyarakat, antara ilmu dan transformasi untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta, misi yang diusung ISIF. Inilah mengapa PIT-PAR menjadi inti dari identitas ISIF sebagai “kampus transformatif.”
Merambah ke Global
Seiring dengan perkembangan ISIF sebagai kampus berbasis gerakan sosial, PIT-PAR kini berkembang dalam tiga skema pelaksanaan. Dua skema pertama telah dilaksanakan sebelumnya, yakni PIT-PAR Reguler dan PIT-PAR Mandiri. Adapun skema PIT-PAR Internasional baru dilaksanakan pada tahun 2025 ini.
PIT-PAR Reguler adalah skema utama dan terjadwal sebagai bagian dari kegiatan akademik setiap semester. PIT-PAR Reguler diselenggarakan di wilayah lokal (desa, kampung, komunitas urban) yang ditentukan oleh kampus. Mahasiswa dari berbagai program studi melaksanakan kegiatan sesuai fokus keilmuannya, misalnya: mahasiswa PAI memperkuat pendidikan agama di masyarakat, mahasiswa Ekonomi Syariah mendampingi penguatan ekonomi komunitas, mahasiswa Hukum Keluarga Islam memfasilitasi literasi hukum keluarga, dan mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir mengembangkan literasi keagamaan berbasis tafsir kontekstual. Skema ini di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) ISIF.
PIT-PAR Mandiri memberi fleksibilitas bagi mahasiswa yang, karena kondisi tertentu –misalnya mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), tidak dapat mengikuti PIT-PAR Reguler. Dalam skema ini, mahasiswa melaksanakan PIT-PAR di daerah asal atau komunitasnya sendiri, dengan rancangan program yang disetujui LP2M. Keunggulan skema ini adalah memungkinkan mahasiswa lebih kontekstual karena mengenal baik komunitasnya dan mendorong mahasiswa menjadi agen perubahan di lingkungannya sendiri.
Adapun skema terbaru, yakni PIT-PAR Internasional, merupakan pengembangan global PIT-PAR yang dilaksanakan di luar Indonesia. Mahasiswa dapat mengikuti program ini untuk belajar tentang isu-isu keislaman, sosial, dan pemberdayaan masyarakat dalam konteks lintas budaya dan negara. Contoh implementasinya adalah praktik pemberdayaan komunitas Muslim minoritas di Asia Tenggara, kolaborasi dengan lembaga internasional dalam isu keadilan sosial dan gender, dialog interkultural dengan masyarakat di luar negeri sebagai learning society. PIT-PAR Internasional memperluas perspektif mahasiswa tentang Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang dapat dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial-budaya dan kewarganegaraan.
Melalui ketiga skema tersebut, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah lapangan, tetapi menjadi model kegiatan akademik transformatif berbasis riset partisipatoris yang membebaskan dan memberdayakan masyarakat dari ketidakadilan struktural, kemiskinan, keterbelakangan, serta problem sosial lainnya. Dengan demikian, PIT-PAR menjadi medium untuk menghadirkan Islam yang humanis, egaliter, dan kontekstual, mengintegrasikan studi Islam klasik dengan ilmu sosial kontemporer, menciptakan lulusan ISIF yang memiliki kompetensi akademik, spiritual, dan sosial, sekaligus sensitif terhadap isu-isu gender, keadilan, dan keberagaman.
ISIF: Bergerak dari Lokal ke Global
Melalui PIT-PAR, ISIF mengukuhkan dirinya sebagai kampus yang tidak hanya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, tetapi juga menggerakkan masyarakat; tidak hanya mencerdaskan masyarakat, tetapi juga memberdayakan kehidupannya; tidak hanya mengkritik, tetapi juga membangun solusi bersama yang berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia yang masih sarat dengan ketimpangan, intoleransi, dan ketidakadilan, kampus agama seperti ISIF tidak cukup hanya memproduksi lulusan yang hafal teks, tetapi harus melahirkan ilmuwan-aktivis yang mampu merumuskan Islam sebagai kekuatan pembebasan sosial. Di sinilah, Islamologi Terapan menemukan relevansinya—Islam yang membumi, Islam yang menyentuh realitas, Islam yang mengubah keadaan, Islam yang mampu mengantarkan terwujudnya keadilan dan kemaslahatan.
Dalam konteks ini, PIT-PAR adalah laboratorium sosial yang membentuk mahasiswa menjadi insan yang tidak hanya kritis, tetapi juga peduli dan berdaya ubah. Dengan dimensi internasionalnya, PIT-PAR menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya agenda lokal, tetapi juga agenda global yang harus diperjuangkan oleh civitas akademika kampus.
Belajar, Bergerak, Berubah
Sebagai kampus transformatif, ISIF melalui PIT-PAR mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dipraktikkan; bukan untuk kemuliaan individu, tetapi untuk keberdayaan masyarakat di mana kita bersamanya. PAR sebagai metodologi bukan sekadar pilihan akademik, tetapi manifestasi komitmen moral kampus pada keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian semesta.
Dengan PIT-PAR, ISIF menegaskan bahwa kampus bukan menara gading, melainkan ruang perjumpaan, dialog, dan transformasi sosial. Selaras dengan gagasan Paulo Freire dan Orlando Fals Borda, bahwa “Education is freedom. Research is liberation. Action is justice.”
Kini, dengan mengusung PIT-PAR Internasional, ISIF menegaskan bahwa transformasi sosial bukan hanya mandat Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetapi juga bagian dari tanggung jawab peradaban Islam di tingkat global. Mahasiswa ISIF tidak hanya menjadi saksi, tetapi aktor perubahan sosial, baik di desa di Cirebon maupun di komunitas transnasional di Malaysia dan Singapura.
PIT-PAR mengajarkan bahwa transformasi sosial dimulai dari keberanian untuk hadir, mendengar, dan bergerak bersama. Jelaslah, PIT-PAR bukan sekadar mata kuliah, tetapi adalah jiwa dari ISIF sebagai kampus transformatif dan jantung praksis akademik ISIF yang menghubungkan kampus dengan realitas sosial.[]
by admin | 22 Jul 2025 | Artikel
Oleh: Ahmad Kamali Hairo (Dosen ISIF Cirebon)
ISIF Cirebon — Dalam konteks kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, moderasi beragama menjadi sebuah keniscayaan. Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengedepankan keseimbangan antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan terhadap praktik beragama orang lain. Moderasi beragama bukan berarti mengurangi kadar keimanan, melainkan menjadikan agama sebagai landasan untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan harmonis.
Konsep ini penting untuk terus digaungkan di tengah menguatnya arus ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Di satu sisi, ada kecenderungan memahami agama secara sempit dan kaku, yang memunculkan sikap eksklusif dan bahkan kekerasan atas nama agama. Di sisi lain, ada pula pandangan yang menafikan peran nilai-nilai spiritual dan merelatifkan semua keyakinan secara ekstrem. Moderasi hadir sebagai jalan tengah yang menjembatani dua kutub ini, menghadirkan wajah beragama yang ramah, adil, dan kontekstual.
Untuk mewujudkan moderasi beragama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan pemahaman yang utuh terhadap nilai-nilai yang menjadi fondasinya. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi panduan moral, tetapi juga menjadi pedoman praktis dalam bersikap dan bertindak di tengah masyarakat yang majemuk. Setidaknya, terdapat lima prinsip utama yang menjadi pilar moderasi beragama dan dapat dijadikan pegangan bagi setiap individu dalam membangun kehidupan yang harmonis dan saling menghargai.
Lima Prinsip Utama Moderasi Beragama
1. Jalan Tengah (Tawassuth)
Mengambil posisi di antara dua ekstrem: tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula meremehkannya. Sikap ini menghindari radikalisme maupun liberalisme, dan memastikan ajaran agama dipahami serta diamalkan secara seimbang.
2. Toleransi (Tasāmuh)
Menghargai perbedaan keyakinan dan praktik beragama. Toleransi bukan berarti menyetujui semua keyakinan, tetapi memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa paksaan maupun diskriminasi.
3. Kesetaraan (Musāwah)
Memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan, tanpa membedakan suku, ras, atau agama. Prinsip ini menolak segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, serta menjamin hak dan martabat yang sama bagi setiap individu.
4. Keadilan (I’tidāl)
Menegakkan kebenaran dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, tanpa memandang latar belakang agama. Keadilan menjadi fondasi utama dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.
5. Dinamis (Tathawwur)
Menyadari bahwa ajaran agama dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan konteks sosial. Prinsip ini mendorong umat beragama untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi tantangan kontemporer tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar agama.
Dengan mengamalkan prinsip-prinsip ini, moderasi beragama menjadi pilar penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu ia turut serta menciptakan peradaban yang beradab dan penuh kasih sayang.
by admin | 13 Jul 2025 | Kolom Rektor
Oleh: Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon dan Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon)
ISIF Cirebon — Jika ada yang mengatakan “the function of leadership is to produce more leaders, not more followers… Your principal moral obligation as a leader is to develop the skill‑set, ‘soft’ and ‘hard,’ of every one of the people in your charge…,” atau “pemimpin sejati menciptakan lebih banyak pemimpin, bukan lebih banyak pengikut,” maka Mas Imam–panggilan akrab dari KH. M. Imam Aziz, adalah pemimpin sejati itu.
Beliau bukan sosok yang suka tampil di atas panggung dan media publik, bukan tipe tokoh yang bangga dipuja-puji namanya, dan bukan pula kiai yang suka membangun followers untuk melayani dan membantu kariernya.
Kiprah dan Gerakan
Dengan caranya yang khas, penuh kesederhanaan, kesabaran, dan ketelatenan, beliau lebih suka melayani, membersamai, mendampingi, dan mengayomi para kader yang berada di bawahnya. Mengajari kader-kadernya untuk membaca realitas, mengeja teori, mengunyah perspektif, hingga menuangkannya dalam bentuk aksi gerakan dan tulisan yang bisa dibaca orang lain.
Komitmen ini dilakukannya secara istiqâmah dan mudâwamah sejak IAIN Yogyakarta mencatatnya sebagai mahasiswa hingga ajal menjemputnya. Beliau rela lulus S1 lebih dari 10 tahun karena komitmen ini. Dengan caranya ini, pada tahun 1992 lahir LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), lembaga kajian keislaman dan penerbitan yang sangat digemari kalangan muda Islam karena kritisisme dan progresivitasnya dalam membaca Islam dan dunia.
Dalam kerja-kerja advokasi, pada tahun 2000 beliau menggagas gerakan Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat), suatu gerakan sosial kemanusiaan yang konsen pada rekonsiliasi kultural atas tragedi politik kemanusiaan tahun 1965, di mana eks PKI menjadi korbannya selama bertahun-tahun.
Dalam bidang pendidikan, pada tahun 2018 dengan kharismanya beliau menggerakkan pendirian pendidikan sekolah dan pesantren Bumi Cendekia di Sleman Yogyakarta. Integrasi sekolah dan pesantren yang sangat digandrungi generasi Milenial dan Gen Z, karena memadukan tradisi klasik pesantren dengan kebutuhan kontemporer revolusi industri 5.0.
Tidak hanya itu, Mas Imam juga aktif di organisasi keagamaan NU. Lama aktif dan menjadi penggerak Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM) PWNU DI Yogyakarta. Lalu, selama dua periode pada 2010-2021 menjadi salah seorang ketua dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Karena dedikasi dan amanahnya, Mas Imam juga dipercaya menjadi Ketua Panitia Muktamar NU dua kali berturut-turut, yakni Muktamar NU ke-33 di Jombang dan Muktamar NU ke-34 di Lampung.
Kepemimpinan Transformatif
Dari sejumlah rintisan yang dilakukan, telah banyak pemimpin lahir menghiasi zamannya. Para pemimpin ini merasa memperoleh penguatan, pencerahan, dan kemampuan, baik dari LKiS, Syarikat, Bumi Cendekia, maupun pendampingan langsung Mas Imam. Kepemimpinan mereka tersebar pada wilayah intelektual, politik, budaya, maupun jurnalistik.
Kata John Maxwell, kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan atau posisi. Tetapi tentang pengaruh yang mampu membawa perubahan transformatif pada individu dan organisasi. Dalam kerangka tangga kepemimpinan Maxwell, Mas Imam bisa dimasukkan dalam level keempat, yakni kepemimpinan people development.
Mas Imam telah berinvestasi dalam pertumbuhan dan pengembangan pemimpin baru. Orang mengikuti Mas Imam karena pemimpin tersebut membantu mereka tumbuh dan berkembang bersamanya. Orang mengikuti Mas Imam bukan karena position (level terendah), bukan permission (level kedua), bukan semata production (level ketiga), tetapi juga belum pada level puncak (pinnacle). Akan tetapi, bisa jadi karena warisan kepemimpinannya yang berkelanjutan, Mas Imam naik pada kepemimpinan puncak (pinnacle), di mana orang mengikuti pemimpin karena visi perjuangan dan kharismanya yang mampu menginspirasi generasi mendatang.
Warisan Pemikiran Mas Imam
“Islam harus menjadi kekuatan pembebas—yang berpihak pada kaum tertindas, membebaskan dari kejumudan, dan mendorong lahirnya masyarakat yang adil, setara, dan bermartabat.” Inilah inti pemikiran Mas Imam yang paling berpengaruh terhadap kehidupan dan generasi bangsa.
Pemikiran dan gerakan Mas Imam dapat simplifikasi ke dalam tiga pilar yang masih relevan untuk masa depan bangsa dan peradaban.
Pertama, transformasi intelektual: Islam sebagai gerakan kritis dan progresif. Dalam banyak tulisannya, Mas Imam menolak Islam yang hanya bersifat normatif dan simbolik. Baginya, Islam harus menjadi nalar kritis terhadap segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh negara, agama, maupun masyarakat. Dalam gerakannya, Mas Imam telah ikut melahirkan generasi intelektual muslim yang berpikir bebas, bernalar kritis, dan berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Tugas kita bukan sekadar menjaga tradisi, tapi menghidupkan tradisi agar tetap menjawab zaman.
Kedua, etika keislaman yang berpihak pada keadilan sosial. Bagi Mas Imam, keberislaman seseorang tak hanya ditentukan oleh ibadah ritual, tetapi sejauh mana agama itu mendorong perubahan sosial. Islam, menurutnya, harus berpihak pada kaum tertindas, kelompok rentan, perempuan yang didiskriminasi, dan masyarakat yang diobjektivikasi. Islam yang tak membela kaum tertindas adalah Islam yang kehilangan ruhnya.
Ketiga, revitalisasi pesantren sebagai agen perubahan. Mas Imam sepanjang hidupnya memperjuangkan agar pesantren tidak hanya menjadi benteng moral, tapi juga menjadi pusat transformasi sosial. Dalam pandangannya, pesantren tidak hanya sebagai kekuatan budaya dan spiritual. Tetapi juga sebagai ruang edukasi politik, advokasi hak, dan penguatan demokrasi. Mas Imam pun mendorong pesantren untuk membuka diri terhadap ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu budaya, HAM, gender, dan demokrasi. Pesantren bukan hanya tempat mengaji, tapi tempat menempa diri untuk mengubah dunia agar lebih baik.
Selamat jalan, Mas Imam. Warisan pemikiran dan gerakanmu akan terus menginspirasi dan mengubah peradaban ke arah yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat.***
by admin | 9 Jul 2025 | Berita
ISIF Cirebon — Wacana proyek penulisan sejarah nasional yang digagas Pemerintah memunculkan banyak kekhawatiran dan kewaspadaan soal penghapusan banyak momen penting dan peminggiran peran perempuan dalam perjalanan sejarah bangsa. Menanggapi persoalan krusial tersebut, ISIF Cirebon menggelar Halaqoh Nasional Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia di Ruang Konvergensi pada Minggu, 06 Juli 2025.
Halaqoh ini hadir sebagai ruang kritis untuk mempertanyakan posisi suara para ulama perempuan dalam narasi sejarah Indonesia. Diskusi ini menghadirkan beberapa tokoh penting, diantaranya: Samia Kotele, MA., Ph.D., peneliti sejarah ulama perempuan Indonesia dan perempuan dari Lyon University, Prancis, Prof. Farish A. Noor, Ph.D., sejarawan Asia Tenggara dari Malaysia, serta Kamala Chandrakirana, MA dari Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia merdeka (KUPI).
Kegiatan ini diikuti secara antusias oleh lebih dari 200 peserta dari empat negara—Australia, Jerman, Malaysia, dan Indonesia—mewakili 18 provinsi, 105 kabupaten/kota, dan lebih dari 150 lembaga, baik hadir secara langsung di Cirebon maupun melalui platform Zoom.
Pada sesi pembuka acara, Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid hadir memberikan sambutan dan mengapresiasi kehadiran para tamu dan peserta halaqoh. Dalam sambutannya, Marzuki menyampaikan sikap penolakannya terhadap penulisan narasi sejarah yang maskulin dan negara-sentris.
“Narasi sejarah yang maskulin dan negara-sentris bukan hanya menciptakan ketimpangan representasi, tapi juga mengingkari kontribusi spiritual, intelektual, dan politik perempuan dalam membentuk wajah keislaman dan kebangsaan kita,” ungkap Marzuki.
Melalui kegiatan ini, ia berharap para peserta dapat menggali akar keulamaan perempuan dalam tradisi keislaman Nusantara dan mengukuhkan kembali otoritas mereka dalam panggung sosial keagamaan.
“Saya berharap ini adalah forum kritis, reflektif, dan akademis, bukan yang lain. Tetapi (melalui forum ini) kita memang ingin merancang dan merefleksikan bagaimana sejarah ulama perempuan Indonesia ditulis ulang secara adil dan bermartabat,” tambahnya.
Selain itu, sejarah yang ditulis tanpa menghadirkan peran perempuan, menurutnya adalah sejarah yang timpang secara epistemik dan tidak utuh secara moral.
“Menulis ulang sejarah bukan sekadar revisi atas kronologi peristiwa, tetapi pembongkaran struktur pengetahuan yang timpang dan pemulihan otoritas epistemik dari mereka yang selama ini disingkirkan,” tegasnya.
Samia Kotele yang hadir sebagai pemateri utama, dalam paparannya, mengungkapkan bahwa penulisan ulang sejarah ulama perempuan Indonesia merupakan bagian dari trajectory bersama yang penting untuk dibangun.
“Saya menggunakan konsep trajectory epistemik untuk melihat ulama perempuan tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari sebuah gerakan pengetahuan, di mana mereka diposisikan sebagai subjek epistemik,” ungkapnya.
Selain itu, Samia menekankan pentingnya pendekatan dekolonial dalam penulisan sejarah untuk mengkritisi dominasi wacana Barat yang selama ini mewarnai pembacaan terhadap pengalaman perempuan Muslim.
“Pendekatan dekolonial menjadi penting untuk menantang narasi dominan yang Eropa-sentris, yang kerap membingkai perempuan sebagai korban pasif atau penerima emansipasi sekuler dari luar,” jelasnya.
Bagi Samia, tantangan utama tidak hanya terletak pada penulisan ulang sejarah, melainkan juga pada upaya memastikan bahwa pengetahuan tersebut dapat dibagikan dan didiseminasikan secara luas kepada masyarakat.
“Menulis sejarah ulama perempuan Indonesia harus memakai perspektif dekolonial. Ini bukan sekadar soal metode, tapi juga soal etika yaitu, bagaimana kita memastikan suara mereka tidak lagi dibungkam oleh warisan kolonial,” tegasnya.
Kritik Historiografi Kolonial
Menanggapi paparan materi Samia Kotele, Prof. Farish A. Noor mengingatkan semua peserta bahwa sejarah bukanlah suatu kebenaran objektif yang netral, melainkan hasil dari proses penafsiran yang sarat kepentingan dan ideologi. Ia menyatakan bahwa sebagai sejarawan, ia merasa prihatin terhadap anggapan bahwa sejarah adalah sesuatu yang pasti dan final.
“Saya sebagai sejarawan sangat peka dan prihatin terhadap realitas bahwa sejarah bukan disiplin yang objektif atau netral. Tidak ada sejarah yang netral. Tiap penulisan sejarah adalah tafsiran, dan tafsiran itu mesti membawa kita pada perdebatan,” ujarnya.
Farish menambahkan bahwa sejarah, seperti halnya ilmu-ilmu sosial lainnya, telah lama dijadikan alat oleh sistem kolonial dan patriarki. Disiplin sejarah, kata dia, telah digunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan yang menindas, termasuk dalam proses penjajahan dan kapitalisme global.
“Kita harus menyadari bahwa sejarah telah menjadi alat penjajahan, seperti halnya banyak disiplin ilmu lain di universitas-universitas. Kolonialisme modern, yang dimulai sejak abad ke-18, tidak hanya membawa senjata, tapi juga membawa sistem ilmu pengetahuan yang membenarkan penindasan,” tegasnya.
Ia juga menyinggung karya-karya sejarah kolonial seperti The History of Java oleh Raffles, yang menurutnya menyajikan sejarah Jawa dari sudut pandang Eropa dan mengaburkan realitas lokal demi kepentingan ekonomi kolonial. Lebih lanjut, Farish mengajak para akademisi dan masyarakat untuk tidak sekadar menyalahkan Barat, tetapi benar-benar memahami bagaimana sistem pengetahuan kolonial bekerja dan terus membentuk cara kita berpikir hingga hari ini.
“Pertanyaannya bukan hanya bagaimana kita menyalahkan narasi Barat, tetapi bagaimana kita bisa menggunakan alat yang sama untuk membebaskan pikiran dan kemanusiaan kita pada zaman ini,” tutupnya.** (Gun)