by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Dalam Islam, visi rahmatan lil ‘alamiin masuk secara inheren dalam ajaran fundamental tauhid. Secara Bahasa, tauhid berarti mengesakan Allah Swt. Kalimat “laa ilaha illallah” yang sering diucapkan setiap muslim laki-laki dan perempuan merupakan bentuk proklamasi tentang keesaan Allah sebagai dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak.
Memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal; pertama, pengakuan keesaan Allah sebagai Khaliq (pencipta), kedua, pernyataan atas kesetaraan manusia baik itu laki-laki dan perempuan sebagai makhluk (yang diciptakan).
Seseorang yang memegang teguh prinsip tauhid, dalam keseharian kehidupannya tidak akan menghambakan dirinya kepada yang lain kecuali Allah Swt dan tidak akan menuhankan dirinya kepada yang lain. Artinya meskipun orang itu miskin, lemah, bodoh, dia tidak akan menghamba kepada yang kaya, kuat, dan pintar.
Sebaliknya ketika dia memilliki kapasitas entah itu secara ekonomi, pangkat, ilmu, dia tidak akan menuhankan dirinya kepada yang miskin secara ekonomi, lemah, dan miskin secara keilmuan. karena orang yang kaya dan yang miskin, yang pintar dengan yang bodoh, yang lemah dan yang kuat, statusnya dan derajatnya sama di depan Allah swt yakni sebagai makhluk.
Nilai prinsip tauhid harus kita praktikkan di berbagai kehidupan sehari-hari baik itu di ranah keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Karena prinsip ini bersifat fundamental yang wajib dipahami dan diamalkan sebagai bukti ketaatan kita kepada Allah Swt.
Semisal dalam ranah keluarga, seorang suami dengan kapasitasnya sebagai kepala keluarga tidak berhak untuk berbuat semena-mena terhadap isterinya, menganggap isteri sebagai pelayan yang harus menuruti semua kemauan suami, karena hal itu seolah-olah seorang suami seperti menuhankan dirinya dan menjadikan isteri sebagai hambanya, dan begitupun sebaliknya isteri tidak boleh menghamba kepada suami. Karena mau bagaimanapun baik suami atau isteri kedudukannya tetap setara yakni sebagai hamba atau sebagai makhluk.
Karena kedudukannya setara maka suami tidak boleh menjadikan isterinya sebagai pelayan yang harus menuruti semua kemauannya, melainkan harus menjadikan isteri sebagai partner agar terbentuk relasi kerjasama antara suami isteri demi tergapainya kesuksesan dunia dan akhirat.
Semisal dalam ruang domestik, biasanya semua pekerjaan yang kaitannya dengan domestik selalu dianggap sebagai pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh isteri dan tidak layak dikerjakan suami. Lalu untuk membangun kerjasama dalam rumah tangga, suami harus turut andil membantu pekerjaan domestik seperti; Isteri nyapu, suami ngepel. Isteri masak, suami cuci piring. Isteri nyuci pakaian, suami jemurin pakaian, dan lain sebagainya.
Begitupun sebaliknya, yaitu dalam ruang publik. Apabila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga, atau suami jatuh sakit, atau usaha suami lagi tidak lancer, maka isteri harus terjun ke ruang publik demi mendapatkan penghasilan agar kebutuhan keluarga tetap terjaga dan terpenuhi.
Relasi kerjasama semacam ini ketika diimplementasikan oleh pasangan suami isteri dalam suatu rumah tangga, kerap akan mendapatkan konsekuensi berupa gunjingan atau cibiran dari masyarakat setempat, karena dianggap melawan budaya yang melekat pada masyarakat itu. Kalau suami membantu pekerjaan domestik, suami akan di judge sebagai suami yang takut isteri, dan isterinya pun sama akan mendapatkan judge sebagai isteri durhaka yang membiarkan suami mengerjakan pekerjaan domestik.
Lalu apabila isteri ikut andil bergelut di ruang publik, suami akan dianggap sebagai suami yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga dengan membiarkan isteri pergi kerja mencari nafkah.
Meskipun relasi kerjasama di dalam rumah tangga dianggap melawan budaya masyarakat, bahkan dianggap melawan kodrat, tetapi ketika hal itu di praktikkan oleh suatu pasangan suami isteri, maka akan menambah keharmonisan rumah tangga dan beban masing-masing pihak (suami isteri) akan terasa ringan karena yang dilakukan adalah kerjasama bukan sama-sama kerja.
Kalau yang dipraktikkannya sama-sama kerja, maka beban kedua belah pihak akan terasa melelahkan. Karena masing-masing merasa lelah, akan timbul perebutan pernyataan bahwa dirinyalah yang paling lelah. Setelah itu keributan akan terjadi dan keharmonisan rumah tangga akan menurun.
Maka dari itu relasi kerjasama antara pasangan suami isteri harus dipraktikkan. Meskipun hal ini bertentangan dengan buadaya masyarakat, tetapi relasi kerjasama antara suami isteri sejalan dengan prinsip tauhid. Prinsip tauhid ini wajib diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap muslim laki-laki dan perempuan.
Salah satu cara mengimplementasikannya ialah dengan cara membangun kerjasama dalam rumah tangga. Kerjasama itu bisa dibangun apabila kedua belah pihak menganggap dirinya setara. Pernyataan bahwa semua orang (laki-laki dan perempuan) kedudukannya setara merupakan salah satu prinsip tauhid.
Prinsip tauhid mengajarkan bahwa yang paling tinggi derajatnya itu adalah Allah Swt sebagai Khaliq, dan yang lainya (manusia) baik itu laki-laki maupun perempuan kedudukannya setara, yakni sebagai makhluk yang harus taat kepada sang Khaliq. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 8 Januari 2022 dengan judul: Implementasi Prinsip Tauhid dalam Rumah Tangga
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON– Pandemi-19 yang telah merebak sejak akhir tahun 2019 ini, masih tetap menjadi perhatian dan meningkatkan kewaspadaan kita semua, untuk terus tanpa letih berdoa agar virus segera lenyap dari muka bumi. Sebab, dari berbagai informasi yang beredar, virus corona kembali mengeluarkan varian baru yang bernama “omicron”. Saat ini banyak saudara kita di luar sana yang sakit terpapar varian ini. Apa doa bagi orang sakit di saat pandemi ini? (Baca: Kekerasan Seksual Meningkat Saat Pandemi, Apa Vaksinnya?)
Untuk meminimalisir penyebaran virus ini, kita harus selalu waspada dengan menerapkan 3 M, yakni antara lain mencuci tangan, memakai masker, dan menjauhi kerumunan. Selain itu untuk memaksimalkan upaya ikhtiar yang sudah dilakukan, tak lupa untuk senantiasa memanjatkan doa, terutama bagi saudara kita yang terpapar virus ini, supaya cepat diberikan kesembuhan. Dan pandemi covid-19 juga segera usai di muka bumi ini. (Baca: Tiga Hikmah bagi Pasangan Suami Istri Pasca Pandemi Covid-19)
Berikut adalah doa bagi orang sakit yang pernah diajarkan Rasulallah SAW saat menjenguk sahabatnya ketika sedang sakit. (Baca: Kisah Perjalanan Haji: Merawat Ibu yang Sakit (Bagian Kedua))
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقْمًا
Allahumma rabban nasi, adzhibil ba’sa. Isyfi. Antas syafi. La syafiya illa anta syifa’an la yughadiru saqaman.
Artinya,: “Tuhanku, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit. Berikanlah kesembuhan karena Kau adalah penyembuh. Tiada yang dapat menyembuhkan penyakit kecuali Kau dengan kesembuhan yang tidak menyisakan rasa nyeri.” (Baca: Apa Sulitnya Menghargai Perempuan yang Alami Nyeri Menstruasi?)
Demikian doa yang diajarkan Rasulallah SAW yang bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga semoga menjadi wasilah, atau perantara agar yang sakit segera disembuhkan, dan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 21 Januari 2022 dengan judul: Sebait Doa bagi Orang Sakit
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Lembaga pendidikan merupakan tempat yang stategis untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi anak didik agar melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, inovatif, dan memiliki moral yang baik.
Namun sayangnya tempat strategis untuk mengembangkan dan menumbuhkan potensi anak itu kini dirusak oleh para pelaku kekerasan seksual. Akibatnya, kini banyak lembaga pendidikan menjadi sarang kekerasan seksual.
Komnas Perempuan mencatat selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual (KS) di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 35 kasus. Diikuti pesantren dengan 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus.
Kasus-kasus KS di lembaga pendidikan yang Komnas Perempuan terima tersebut hanya sebagian kecil dari jumlah kasus yang sebenernya terjadi di lingkungan pendidikan. Karena dari beberapa fakta menyebutkan bahwa banyak korban kekerasan seksual menganggap kasus ini sebagai aib.
Terlebih beberapa korban kekerasan seksual justru enggan speak up dan melaporkan kasusnya. Bahkan kalaupun ada korban yang memiliki keberanian untuk speak up dan melaporkan kasusnya, justru akan mendapatkan ancaman dari keluarga dan termasuk dari lembaga pendidikannya.
Akibatnya, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan akan semakin meningkat, dan predator seksual akan semakin merajalela memangsa korban-korban berikutnya.
Ketika hal ini banyak terjadi, sebetulnya kita membutuhkan sebuah sistem regulasi yang mencakup pelaksanaan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan menetapkannya sebagai hukuman seberat-beratnya. Hal ini tentu untuk mengontrol atau membatasi aksi-aksi yang predator seksual lakukan di lingkungan pendidikan.
Permendikbud
Menyikapi hal tersebut, Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan Penanggulangan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi. Dengan lahirnya peraturan tersebut, besar harapan lingkungan pendidikan, wabil khusus perguruan tinggi menjadi tempat aman dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Dalam pelaksanaannya, peraturan ini mengamanatkan untuk membentuk satuan tugas (Satgas) Pencegahan, Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) yang berisi dari mulai pendidik, tenaga kependidikan dan mahasiswa yang memenuhi kriteria yang telah tertulis di dalam peraturan ini, salah satunya adalah pernah mendampingi korban kekerasan seksual.
Satgas PPKS yang sudah perguruan tinggi bentuk nantinya akan mengawal dan mengusut tuntas apabila terdapat laporan dari korban kekerasan seksual dan akan memberikan rekomendasi sanksi bagi pelaku.
Namun sayangnya, perhatian instansi-instansi pendidikan terhadap amanat peraturan ini masih minim. Dari ratusan ribu perguruan tinggi yang ada di Indonesia, cuma baru beberapa perguruan tinggi yang menerapkan peraturan ini dengan membentuk satgas PPKS.
Kasus di Jawa Barat
Di Jawa barat misalnya, jumlah perguruan tinggi yang ada di Jawa barat kurang lebih sekitar 500 perguruan tinggi. Dari jumlah tersebut sampai saat ini, hanya sekitar 10 perguruan tinggi yang baru membentuk satgas PPKS.
Padahal, menteri pendidikan secara terang-terangan mengancam akan memberikan sanksi administratif berupa pemberhentian saluran bantuan, sarana prasarana. Bahkan ancaman untuk penurunan akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Akibat karena kurangnya perhatian terhadap kasus kekerasan seksual membuat ancaman Menteri Pendidikan tidak terlalu memberikan pengaruh bagi para instansi perguruan tinggi. Termasuk tidak berpengaruh untuk segera gerak cepat (gercep) dalam membentuk satgas PPKS. Mungkin saya lebih menyarankan untuk memberikan sanksi yang lebih berat, misalnya pencabutan izin operasionalnya. Hal ini agar pembentukan satgas PPKS di masing-masing kampus bisa lebih cepat terrealisasi.
Oleh sebab itu, saya berharap setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia sebaiknya memiliki Satgas PPKS. Pasalnya dengan adanya Satgas PPKS setidaknya memberikan ruang aman bagi korban serta mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dengan begitu pelaku-pelaku kekerasan seksual di kampus bisa mikir beribu-ribu kali ketika hendak melancarkan aksinya. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 18 Oktober 2022 dengan judul: Minimnya Perhatian Lembaga Pendidikan Terhadap Kekerasan Seksual
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Di penghujung bulan September, jagat maya dihebohkan dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di salah satu rumah tangga publik figur. Lahirnya kasus tersebut tak luput dari pro kontra penggemar berat dari publik figur tersebut. Terlebih saat korban mencabut laporannya, membuat pihak yang pro terhadap korban kecewa.
Mengenai KDRT, sebetulnya negara sudah menyediakan undang-undang (UU) sebagai payung hukum bagi korban-korban KDRT, yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Melalui undang-undang ini, negara menitik beratkan supaya dalam relasi rumah tangga saling menjaga satu sama lain, tidak melakukan kekerasan (mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga). Apabila terjadi KDRT dalam salah satu keluarga. Maka undang-undang ini sebagai payung hukum untuk melindungi korban dan pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku KDRT.
Dalam realitas masyarakat, KDRT yang masyarakat pahami hanyalah kekerasan berupa fisik saja. Padahal lebih jauh dari itu, dalam pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan Kekerasan dalam rumah tangga dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga.
Mencabut Laporan KDRT dalam Hukum
Menyikapi tindakan korban KDRT yang mencabut laporannya dengan alasan anaknya, secara hukum itu sah-sah saja. Karena memang semua jenis delik dalam KDRT adalah delik aduan.
Delik aduan adalah tindak pidana yang bisa diproses oleh aparat penegak hukum apabila ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan atas tindak pidana tersebut. Artinya tanpa adanya laporan dari korban atau persetujuan dari korban, aparat penegak hukum tidak dapat memproses perkara tersebut, sekalipun banyak saksi yang menyaksikan kejadian tersebut.
Dalam delik aduan, korban dapat mencabut laporan apabila telah terjadi suatu perdamaian di antara korban dan pelaku. Sebagaimana dalam Pasal 75 KUHP menyebutkan bahwa orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam waktu tiga bulan setelah mengajukan pengaduannya.
Lain halnya dengan delik biasa, delik biasa adalah tindak pidana yang dapat langsung memprosesnya oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban atau pihak yang merasa terugikan. Dengan kata lain, tanpa adanya pengaduan atau sekalipun korban telah mencabut laporannya, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut.
Dalam kasus KDRT kemarin yang perlu menggaris bawahinya adalah jenis kekerasan yang pelaku lakukan merupakan bentuk kekerasan berbasis fisik. Biasanya kalau seseorang sudah berani main fisik dalam menyikapi masalah, maka besar kemungkinan ia akan mengulangi tindakan kekerasannya.
Alih-alih setelah mencabut laporannya, membuat pelaku menjadi berhenti bertindak KDRT, yang ada justru semakin parah untuk melakukan tindak KDRT. Maka dari itu, sanksi bagi pelaku KDRT, terutama KDRT berupa fisik, jangan hanya sebatas shock terapy saja (melaporkannya ke polisi, lalu mencabut kembali laporannya). Melainkan hukuman yang benar-benar bisa membuat pelaku jera.
Sanksi Bagi Pelaku
Dalam pemberlakuan sanksi yang bisa membuat pelaku KDRT fisik jera. Apakah delik KDRT fisik harus masuk sebagai delik biasa supaya ketika korban berubah pikiran dan mencabut laporannya ?.
Apabila KDRT berupa fisik, maka ini masuk sebagai delik biasa. Tentunya akan banyak orang yang ikut campur terkait urusan rumah tangga orang lain. Karena urusan rumah tangga merupakan hal yang bersifat privat. Oleh karena itu, siapapun, bahkan orang tuanya sekalipun tidak berhak ikut campur dengan permasalahan rumah tangga orang lain tanpa persetujuannya.
Dalam pemberlakuan sanksi bagi pelaku KDRT, maka membutuhkan keberanian korban dalam melaporkan apa yang korban alami terhadap pihak yang berwajib. Karena terkadang korban-korban KDRT lebih memilih menutup rapat-rapat, bahkan menganggapnya aib yang akan mencoreng reputasi rumah tangganya.
Dengan sikap korban yang berani melaporkan, setidaknya akan membuat para pelaku menjadi jera. Hingga dia tidak akan mengulangi perbuatannya. Selain itu, bisa menjadi contoh, agar para korban lain untuk berani speak up. Dan menyadari bahwa perilaku KDRT bukanlah aib yang akan mencoreng reputasi keluarga. Melainkan pelanggaran yang wajib melaporkan kepada aparat penegak hukum. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 30 Oktober 2022 dengan judul: Problematika KDRT dalam Kacamata Hukum
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Pada Selasa, 6 Desember 2022 pemerintah secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi Undang-undang (UU) KUHP.
Di dalam UU KUHP ini bagi saya mengandung sejumlah pasal yang ngawur, kontroversi dan saya kira tidak sejalan dengan kebebasan demokrasi di negera kita Indonesia.
Serta dalam UU KUHP ini juga menimbulkan sejumlah penolakan dari berbagai pihak.
Misalnya, salah satu pasal yang kontroversi menurut saya adalah tentang tindak pidana kesusilaan, yang tertera dalam pasal 416 bab XV.
Perlu kita ketahui, pasal 416 bab XV ini merupakan salah satu pasal dalam UU KUHP yang mengatur tentang hidup bersama seperti suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah menurut negara.
Perkawinan yang sah menurut negara adalah perkawinan harus berdasarkan ketentuan hukum agama atau kepercayaan masing-masing dan tercatatkan di Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).
Apabila pasangan suami istri tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka perkawinannya tidak sah secara negara.
Oleh sebab itu, dalam pasal ini akan memberikan banyak dampak negatif, karena akan mengkriminalisasi pasangan-pasangan yang telah melangsungkan perkawinan secara agama atau adat, karena ia tidak tercatat di PPN.
Di Indonesia terdapat banyak sekali pasangan-pasangan yang hanya melangsungkan perkawinan hanya secara agama atau adat saja tanpa dicatatkan di PPN.
Berdasarkan hasil riset Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) pada 2015 menyebutkan dari 17 provinsi yang ada di Indonesia, sebanyak 36% dari 89.000 pasangan yang sudah menikah tidak memiliki akta/buku nikah.
Dari sekian banyaknya pasangan-pasangan yang tidak memiliki akta/buku nikah tersebut, semuanya berpotensi terkriminalisasi oleh pasal 416 ini.
Kalau memang pemerintah menginginkan semua warga negaranya tertib administrasi. Maka sebaiknya pemerintah tidak perlu menjadikan perkawinan yang tidak tercatatkan sebagai perilaku pidana.
Solusi Alternatif
Akan tetapi pemerintah bisa memberikan solusi alternatif lain. Misalnya, pertama, pemerintah dapat melakukan sosialisasi dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
Kedua, pemerintah sebaiknya membebaskan pencatatan perkawinan dan isbat nikah (penetapan perkawinan).
Dengan begitu, maka saya kira ke depan tidak ada masyarakat Indonesia yang terpidana hanya gara-gara pekawinanannya tidak tercatat di PNN.
Dan terkait pasal 416 bab XV di atas, sebaiknya pemerintah kembali untuk mengavaluasi, dan mengubah subtansi dari pasal tersebut.
Karena soal pencatatan perkawinan adalah hal yang mudah, yang bisa dilakukan oleh setiap penyuluh agama di setiap daerah masing-masing.
Dan seharusnya pemerintah itu memberikan fasilitas dan akses yang mendukung agar pasangan suami istri yang belum tercatat perkawinannya untuk dapat tercatat secara negera, bukan justru mempidanakan mereka. []
*Tulisan ini telah dimuat di Mubadalah.id pada 10 Desember 2022 dengan judul: Pasal Kontroversi UU KUHP: Perkawinan secara Agama dan Adat akan Dipidanakan
by Admin | 29 Apr 2023 | Artikel
Oleh: Fajar Pahrul Ulum (Mahasiswa AS)
ISIF CIREBON – Sepuluh hari ke belakang, tepatnya pada tanggal 6 Desember 2022 pemerintah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang (UU).
Rencananya dalam jangka tiga tahun kedepan KUHP warisan Belanda akan pemerintah hapus dan menggantinya dengan KUHP produk Indonesia. Selama tenggang waktu tersebut, pemerintah telah mempersilahkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik pasal demi pasal dan men-judicial riview (uji materil) ke Mahkamah konstitusi (MK).
Seperti kita ketahui bersama, pengesahan UU KUHP ini, telah mengundang aksi penolakan dari berbagai pihak, terutama aktivis, akademisi dan praktisi hukum. Karena dari 624 pasal yang terkandung dalam KUHP terdapat pasal-pasal ngawur yang berpotensi mengkriminalisasi orang banyak, salah satunya seperti yang tertulis dalam pasal 265.
Pasal ini mengatur tentang larangan mengganggu ketentraman lingkungan dengan cara melakukan hingar-bingar, berisik, dan seruan atau tanda-tanda bahaya palsu pada malam hari. Adapun hukuman yang akan dikenakan bagi orang yang melakukan tindakan tersebut adalah pidana denda paling banyak kategori II (10 juta rupiah).
Pengertian “malam hari” dalam pasal 265 ini adalah waktu di antara matahari terbenam sampai matahari terbit. Adapun “maksud tanda-tanda bahaya palsu” ini misalnya, memukul kentongan sebagai tanda adanya pencurian padahal sebenarnya kejadian tersebut tidak terjadi.
Akibat Hukum dari Pasal 265
Pasal ini sangat berpotensi mengkriminalisasi banyak masyarakat Indonesia, mengingat kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang kerap memperingati perayaan, terutama merayakan peringatan hari raya besar umat Islam hingga larut malam.
Selain itu, dalam perayaan hari-hari besar juga demikian, misalnya ulang tahun kemerdekaan, di mana dalam perayaan ini masyarakat memeriahkan momen itu dengan event-event yang pelaksanaannya sampai berhari-hari bermalam-malam.
Semua hal di atas apabila dilakukan di malam hari sangat berpotensi terjerat Pasal 265. Karena kata mengganggu yang terkandung dalam pasal ini bersifat subjektif.
Artinya sesuatu yang kita anggap baik dan tidak mengganggu. Misalnya: ritual-ritual keagamaan dengan menggunakan pengeras suara, oleh orang lain hal ini bisa menjadi sebagai sesuatu yang mengganggu.
Terlebih dalam pasal 265 tidak ada spesifikasi dan ukuran mengganggu itu seperti apa. Dengan demikian semua orang bisa terkena dengan pasal ini. Bisa saja karena ada unsur kepentingan tersendiri, atau kebencian terhadap salah satu kelompok.
Oleh sebab itu, pasal ini sangat mungkin bisa menjadi alat untuk mengkriminalisasi orang atau kelompok masyarakat tersebut. Apalagi dampak yang akan terjadi selanjutnya adalah, pemerintah akan mudah memidanakan kelompok masyarakat yang mengganggu di malam hari.
Dengan melihat kemadaratan yang akan terjadi akibat pasal ini, saya sangat menolak dengan keras pengesahan UU KUHP. Terlebih saya juga mengusulkan sebaiknya pasal ini harus men-judicial riview di MK dan menghapusnya dari KUHP. Seperti halnya dalam kaidah fiqh yang menyebutkan:
اَلضَّرَرُ يُزَال
Artinya: Kemudharatan itu harus dihilangkan.
Maka, merujuk kaidah tersebut, Islam sangat menolak segala bentuk kemadaratan yang terjadi di muka bumi. Termasuk kemadaratan yang terdapat di KUHP harus segera pemerintah hapuskan. Karena tujuan dengan adanya undang-undang itu untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia, bukan untuk mengkriminalisasi, apalagi memidanakan masyarakatnya. []
*Tulisan ini telah dimuat di mubadalah.id pada 19 Desember 2022 dengan judul: Segala Bentuk Kemadaratan Dalam UU KUHP Harus Dihapuskan