(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Dari Cirebon, KUPI Kobarkan Semangat Kebangkitan Ulama Perempuan

ISIF CirebonJaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) secara resmi mendeklarasikan Bulan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia dalam acara yang digelar di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon, pada Minggu pagi 18 Mei 2025.

Deklarasi ini bertujuan menjadi gerakan kultural tahunan yang akan dihidupkan oleh komunitas-komunitas di seluruh Indonesia setiap bulan Mei. Pemilihan bulan ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional dan juga menjadi pengingat atas peristiwa kelam Mei 1998, ketika perempuan, warga Tionghoa, dan masyarakat miskin kota menjadi korban kekerasan politik.

“Dengan menjadikan bulan ini sebagai ruang kebangkitan ulama perempuan, KUPI ingin menghadirkan ingatan kritis dan spiritual yang berpihak pada mereka yang paling rentan dan sering dilupakan sejarah,” terang panitia dalam pernyataan resminya.

KUPI mengajak seluruh komunitas, lembaga, dan individu untuk menghidupkan peringatan ini melalui berbagai kegiatan seperti doa bersama, tawassul, puisi, diskusi, pengajian, menulis kisah, hingga aksi sosial. Kegiatan ini juga menjadi momen untuk mendokumentasikan serta menarasikan kiprah para ulama perempuan—nyai, ustadzah, guru ngaji, dan pelayan umat—yang selama ini bekerja dalam kesenyapan namun menopang kehidupan umat dan bangsa.

Dalam sambutannya, Ketua Majelis Dzikir dan Pikir Paser Bumi, Rieke Diah Pitaloka, mengajak masyarakat meneladani kiprah dan semangat ulama perempuan terdahulu.

“Nyai Syarifah Mudaim telah ajarkan kepada kami keturunannya jiwa cahaya Islam yang pantang menyerah, yang akan menuntun kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan di dalam perjuangan,” ujarnya.

Sementara itu, Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI, menekankan bahwa kebangkitan nasional tidak hanya menyangkut isu kebangsaan, tetapi juga isu-isu kemanusiaan.

“Kebangkitan nasional Indonesia tidak semata bicara soal nasionalisme, tidak hanya semata bicara soal isu kebangsaan. Saya kira disini juga bicara soal isu kemanusiaan termasuk isu keadilan sosial, keadilan gender, isu non diskriminasi,” katanya.

Menyambung pernyataan Masruchah, dalam pidato keulamaannya, Alissa Wahid menyoroti andil perempuan untuk mengambil peran dalam berbagai ruang, meskipun diliputi rasa takut. Ia mengutip pesan ayahnya almarhum KH. Abdurrahman Wahid,

“Meskipun kita takut, kita harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ martabat dan harga kita ditetapkan dan ulama perempuan harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tersebut,” jelasnya.

Deklarasi ini diharapkan dapat memperkuat memori kolektif umat tentang peran penting perempuan dalam sejarah Islam Indonesia, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan berkeadaban.** (Gun)

MISI ISIF ke-VIII Bahas Inklusifitas Agama terhadap Penyandang Disabilitas

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar seri Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) yang ke-VIII secara daring pada Selasa malam, 13 Mei 2025. Pertemuan kali ini mengangkat tema “Tuhan (Agama) dan Pemanusiaan Penyandang Disabilitas: Masalah, Tantangan, Hambatan, dan Ikhtiar untuk Mewujudkannya.”

Kegiatan ini berangkat dari keresahan terhadap isu disabilitas yang kerap luput dari perbincangan keagamaan, padahal isu ini menyangkut aspek kemanusiaan yang fundamental. Forum ini menjadi ruang penting untuk menggali apakah ajaran agama selama ini benar-benar membuka ruang bagi pengalaman hidup penyandang disabilitas, serta untuk merumuskan tantangan dan upaya menuju keadilan dan kesetaraan yang inklusif.

Acara ini menghadirkan Prof. Dr. Arif Maftuhin, M.Ag., M.A.I.S., Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai narasumber utama. Hadir pula Meta Puspitasari, M.A., dari Pusat Layanan Difabel UIN Yogyakarta sebagai penanggap, serta dimoderatori oleh Direktur LP2M ISIF Cirebon, Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I.

Dalam forum ini hadir pula Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Marzuki Wahid, yang turut memberikan sambutan kegiatan. Dalam sambutannya,  ia menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian inisiatif yang berkelanjutan dalam mengangkat isu disabilitas dalam perspektif keagamaan.

“Ini adalah pertemuan kedua. Yang pertama dulu kami adakan secara luring, sebelum Ramadhan kemarin, bersama teman-teman penyandang disabilitas. Lalu sekarang yang kedua secara daring. Mudah-mudahan, ke depan kita bisa menyelenggarakan forum semacam ini secara rutin, baik daring maupun luring,” kata Marzuki Wahid.

Ia pun menyadari bahwa wacana ini bukan hal yang sepenuhnya baru, namun tetap penting untuk terus dihidupkan dan dikembangkan oleh sebanyak mungkin pihak, termasuk oleh ISIF Cirebon.

“Saya tahu ini bukan hal yang benar-benar baru, karena sudah banyak dilakukan oleh teman-teman di tempat lain. Tapi kami ingin juga mengambil bagian, ikut belajar, ikut mendalami kajian ini,” tambahnya.

Di akhir sambutannya, Marzuki berharap agar forum ini dapat menjadi ruang pembelajaran bersama yang berdampak nyata bagi upaya membangun keberagamaan yang inklusif dan mencerahkan.

“Semoga diskusi malam ini bisa memberikan insight dan wawasan bagi kita semua, dan membuat agama benar-benar hadir untuk mereka (penyandang disabilitas), hadir untuk semua orang,” tutupnya.

Menggagas Fikih Inklusif

Diskusi berlanjut dengan pemaparan dua narasumber utama yang menyoroti pentingnya menggagas fiqh yang inklusif—yakni fiqh yang tidak hanya menekankan aspek hukum secara normatif, tetapi juga peka terhadap realitas hidup penyandang disabilitas.

Mengawali pemaparannya, Arif Maftuhin menyampaikan hasil temuannya dari wawancara dengan penyandang disabilitas tentang pengalaman mereka dalam menjalankan praktik keagamaan.

“Temuan saya dari wawancara dengan teman-teman difabel adalah, banyak dari mereka merasa bahwa pendekatan agama yang hanya memberi rukhshah justru membuat agama terasa tidak inklusif. Seperti mereka hanya diberi sisa, bukan bagian yang utuh. Itu menyakitkan secara psikologis,” kata Arif.

Lebih jauh, ia mengkritik bahwa pendekatan rukhshah justru menjadikan negara atau lembaga keagamaan seperti masjid bersikap pasif. Padahal, menurutnya, pendekatan berbasis hak justru menuntut takmir aktif memenuhi hak penyandang disabilitas.

“Kalau Tuli tidak wajib mendengarkan khotbah, maka takmir merasa tidak punya kewajiban menyediakan akses seperti penerjemah bahasa isyarat. Padahal kalau kita bicara hak, maka kewajiban takmir harus aktif menyediakan. Dari pasif menjadi aktif. Hanya dengan begitu kita bisa melakukan perubahan sosial,” jelasnya.

Sebagai alternatif, ia menegaskan pentingnya membangun fikih yang lebih inklusif dan memuliakan, yang membuka ruang keadilan serta kemanusiaan bagi semua golongan, termasuk penyandang disabilitas.

“Saya ingin membangun fikih yang tidak hanya memaklumi, tapi juga memuliakan. Jadi, fikih yang tidak diskriminatif terhadap kelompok rentan. Fikih yang membuka ruang kemanusiaan dan keadilan,” pungkasnya.

Pelibatan Aktif Penyandang Disabilitas

Meta Puspitasari menanggapi pemaparan Prof. Arif dengan menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam ruang keagamaan adalah tanggung jawab bersama yang harus diatasi secara serius. Ia menegaskan bahwa persoalan yang diangkat oleh Prof. Arif adalah tugas bersama yang harus segera ditindaklanjuti.

“Sebenarnya apa yang disampaikan Pak Arif tadi menjadi PR kita bersama. Apa yang disampaikan beliau menunjukkan bahwa Islam itu mudah, Islam itu memberikan kemudahan bagi semua pemeluknya—baik difabel maupun non-difabel.”

Selain itu, Meta menyoroti pelibatan aktif penyandang disabilitas yang masih minim keterlibatnyannya dalam pengambilan keputusan di ranah keagamaan dan sosial.

“Selain persoalan teknis fikih, saya ingin menyoroti juga soal pelibatan difabel dalam ruang-ruang pengambilan keputusan keagamaan dan sosial. Selama ini, apakah kita sudah benar-benar melibatkan teman-teman difabel sebagai subjek aktif, atau hanya objek belas kasih?”

Ia juga mengingatkan bahwa aksesibilitas tidak hanya terbatas pada fisik, melainkan juga akses terhadap pengetahuan agama yang menyeluruh. Lembaga pendidikan dan komunitas keagamaan, menurutnya, perlu menyediakan program khusus agar penyandang disabilitas bisa mendapatkan akses tersebut. Melalui pertemuan ini, ia berharap agar diskusi seperti ini menjadi titik awal perubahan yang nyata dan berkelanjutan.

“Saya berharap diskusi malam ini bisa menjadi langkah awal untuk mendorong perubahan nyata. Fiqih difabel bukan hanya soal norma hukum, tapi juga tentang bagaimana kita menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan penuh rasa kemanusiaan,” tutupnya.**  (Gun)

KUPI Gelar Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia di Cirebon, Berikut Rangkaian Kegiatannya

Di tengah krisis sosial, moral, dan kemanusiaan yang kian mencengkeram, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) akan menggelar Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia, pada Minggu 18 Mei 2025, di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon.

Dengan mengusung tema “Menghidupkan Warisan Ulama Perempuan untuk Keadilan Umat, Bangsa, dan Semesta” KUPI ingin mendorong penguatan identitas ulama perempuan sebagai aktor penting dalam menjawab persoalan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan masa kini.

Kegiatan ini juga menjadi tonggak gerakan spiritual dan sosial untuk meneguhkan kembali peran ulama perempuan dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kedamaian semesta. Deklarasi in juga secara khusus merupakan ajakan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Bulan Mei sebagai gerakan kultural tahunan: Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia.

Deklarasi yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB ini dihadiri oleh jaringan ulama perempuan dari berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Cirebon Raya, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.

Sejumlah tokoh nasional turut hadir dan menyampaikan pandangan keulamaan. Di antaranya Ibu Nyai Hj. Alissa Wahid (Dewan Pertimbangan KUPI) yang menyampaikan pidato utama, KH. Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Siti Mahmudah memimpin doa bersama, serta puisi spiritualitas yang dibacakan oleh Ibu Nyai Hj. Masriya Amva dan Ibu Hj. Rieke Diah Pitaloka.

Rangkaian Kegiatan

Rangkaian kegiatan diawali dengan khataman Al-Qur’an, dilanjutkan dengan pembacaan sholawat dan tawassul yang dipimpin para ulama perempuan dari berbagai daerah.

Lalu, penguatan suasana spiritual semakin khusyuk dengan doa bersama yang dipanjatkan, dipimpin oleh KH. Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Siti Mahmudah.

Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian pidato keulamaan oleh  Ibu Nyai Hj. Alissa Wahid yang menjadi pokok refleksi dalam momentum deklarasi ini.

Pidato ini diikuti dengan pembacaan pernyataan sikap Jaringan KUPI sebagai bentuk komitmen bersama dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan kebangsaan.

Sebagai pelengkap, nuansa spiritual dan sastra hadir melalui pembacaan puisi oleh Ibu Nyai Hj. Masriya Amva dan Hj. Rieke Diah Pitaloka yang mengangkat tema spiritualitas perempuan.

Selain itu, semangat kerja sosial diwujudkan dalam penandatanganan kerja sama penguatan koperasi pesantren antara Hj. Masruchah selaku Sekretaris Majlis Musyawarah KUPI dan perwakilan dari Kementerian Koperasi serta jaringan pesantren.

Sebagai penutup, seluruh peserta melakukan napak tilas dan ziarah ke maqbarah Syekh Dzatul Kahfi, Syarifah Mudaim, dan Sunan Gunung Jati, sebagai bentuk penghormatan terhadap jejak keulamaan yang menjadi inspirasi gerakan KUPI.

Kegiatan ini bersifat terbatas untuk tamu undangan, namun akan disiarkan secara langsung melalui kanal resmi KUPI agar dapat diikuti masyarakat luas. Selain itu, lima lembaga penyangga KUPI—Fahmina, Rahima, Alimat, Gusdurian, dan Aman Indonesia—akan menyelenggarakan nonton bareng dan aktivitas lokal di komunitas masing-masing.** (Gun)

 

Diskusi Pemikiran Gus Dur Sesi ke – 10 Kupas Populisme dan Elitisme Pendidikan Pesantren

ISIF CirebonPusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar Diskusi Pemikiran Gus Dur dengan mengupas tema “Pesantren: Pendidikan Populis atau Elitis?” Diskusi yang memasuki sesi ke-10 ini diadakan di bawah rindangnya pohon asem ISIF dan dipandu langsung oleh Direktur Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial, Abdul Rosyidi pada Jumat, 21 Februari 2025.

Diskusi kali ini dipantik oleh Muhammad Abdul Aziz dengan menyoroti relevansi pendidikan pesantren dengan realitas hari ini. Topik ini berangkat dari tulisan Gus Dur berjudul “Pesantren: Pendidikan Populis atau Elitis?” yang terbit tahun 1976 dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS; 1999).

Dalam pemaparannya, Aziz menjelaskan bahwa pesantren mengalami perubahan yang signifikan dalam sistem seleksi dan orientasi pendidikannya dari masa ke masa. Pada awalnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan terbuka (populis) bagi semua kalangan, terutama mereka yang tidak tertampung dalam sistem pendidikan kerajaan.

Namun seiring berjalannya waktu, terjadi penyempitan fungsi pesantren, di mana fokus utamanya menjadi mencetak ulama dengan proses seleksi yang lebih ketat (elitis). Akibatnya, hanya sebagian santri kecil yang benar-benar menjadi ahli agama, sementara di sisi lain tingkat putus sekolah di pesantren cukup tinggi.

Selain itu, Aziz juga menyoroti masalah kepemimpinan dan pembiayaan pesantren. Menurutnya, sistem kepemimpinan yang hierarkis dan turun-temurun sering kali menghambat perubahan yang lebih progresif. Sementara itu, pesantren yang dahulu bergantung pada dukungan masyarakat kini mulai beralih pada pendanaan dari pemerintah, yang juga memiliki keterbatasan anggaran.

Pesantren dan Tantangan Zaman

Menanganggapi pemaparan Aziz, Direktur Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial, Abdul Rosyidi, mengungkapkan bahwa dinamika pesantren dari dulu sampai sekarang selalu terkait erat dengan kondisi masyarakat sekitar.

“Perubahan pesantren dari masa lalu hingga hari ini tidak terlepas dari bagaimana masyarakat menghendaki sebuah lembaga pendidikan keagamaan menemukan bentuk yang dirasa paling sesuai,” ujarnya.

Pria yang akrab disapa Ochid ini, juga menekankan relevansi gagasan-gagasan Gus Dur tentang pesantren dan tantangan yang dihadapinya. Meski tulisan yang dibahas telah berusia hampir lima dekade, pemikirannya tetap aktual dalam memahami bagaimana pesantren beradaptasi di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi saat ini.

“Tulisan Gus Dur yang kita diskusikan hari ini, meski ditulis pada tahun 1976, akan tetapi masih tetap relevan untuk melihat bagaimana pesantren mampu menghadapi tantangan terbesarnya yakni menghadapi zaman yang berubah,” tutupnya.*** (Gunawan)

Diskusi Pemikiran Gus Dur Masuki Sesi Ke-9

ISIF Cirebon – Diskusi Pemikiran Gus Dur yang digelar Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon sudah memasuki pertemuan Ke-9. Diskusi yang digelar pada Jumat, 14 Februari 2025 tersebut dihadiri langsung Rektor ISIF, KH Marzuki Wahid.

Diskusi yang dipantik oleh Siti Robiah, itu mengangkat tema yang relevan dengan kondisi bangsa Indonesia hari ini, yakni “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”. Tema tersebut berangkat dari tulisan Gus Dur berjudul sama yang diterbitkan dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS; 1999).

Dalam pemaparannya, Robiah menjelaskan tentang sejarah Islam yang tidak terlepas dari militer, sejak masa Rasul, masa Islam klasik hingga masa modern sekarang ini. Dia juga mengatakan bahwa banyak di antara pemimpin di negara kita mempunyai latar belakang militer yang kuat.

“Kita tentu mengetahui bagaimana militer sangat kuat terutama pada zaman Orde Baru. Saat itu, militer masuk terlalu dalam di pemerintahan,” katanya.

Obi, panggilan akrab Siti Robiah, juga menjelaskan bahwa militer memang dibutuhkan dan sangat penting bagi keberadaan negara. Akan tetapi, penting juga untuk diingat bahwa memastikan tercapainya tujuan bernegara dan pemenuhan hak-hak warga negara jauh lebih penting.

“Apabila kepemimpinan oleh tokoh dengan latar belakang militer memberangus hak-hak warga negara, kita harus berani untuk melakukan perlawanan, misal dengan perlawanan kultural,” lanjutnya.

Menurutnya, dalam konteks negara Indonesia, kita sebagai orang Islam bisa mulai mempertanyakan apakah pemerintahan ini sudah sesuai dengan nilai dan cita-cita Islam? Apakah hak-hak kita sebagai warga negara sudah terpenuhi? Kalau belum, maka kita semua patut memberikan kritik dan mengoreksi jalannya pemerintahan.

Pemikiran Gus Dur sebagai Teks

Dalam diskusi tersebut, Rektor ISIF KH Marzuki Wahid mengatakan bahwa pemikiran Gus Dur yang bisa dilihat dari tulisan-tulisannya merupakan teks yang bisa dibaca siapapun. Untuk terus menghidupkan dan mengembangkan pemikiran Gus Dur, maka teks itu harus dikaji, dikritik, dan dikembangkan dalam konteks sejarah yang terus berubah.

“Dalam diskusi ini, kita bisa memberikan pandangan terhadap tulisan-tulisannya Gus Dur berdasar apa yang terjadi hari ini. Pemikiran Gus Dur itu kan teks yang bisa terus ditafsirkan tanpa henti,” kata Senior Advisor Jaringan Gusdurian itu.

Kiai Marzuki juga mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara “militer” dan “militerisme”. Militer memang sangat dibutuhkan negara, terutama dalam menjaga kedaulatan negara secara teritorial. Akan tetapi militerisme mengandung pengertian yang berbeda. Ia mengandaikan pemerintahan dengan cara-cara militer atau corak militeristik dalam segala aspek penyelenggaraan negara.

Gus Dur sebagai Pengetahuan

Diskusi Pemikiran Gus Dur sendiri sudah dilakukan Pusat Studi Gus Dur ISIF sebanyak 9 kali, sejak 29 November 2024. Berbagai tema yang berangkat dari pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah diangkat, seperti “Gus Dur Sapa Sira: Overview Biografi Pemikiran dan Gerakan Gus Dur” (Pemantik: KH Marzuki Wahid, Jumat, 29 November 2024), “Mencari Perspektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia” (Pemantik: Wahyu Ilahi, Jumat, 13 Desember 2024), “Agama, Ideologi, dan Pembangunan” (Pemantik: Fuji Ainnayah, Jumat, 27 Desember 2024), dan “Nilai-nilai Indonesia: Apakah Keberadaaannya Kini?” edisi rangkaian Haul ke-15 Gus Dur (Pemantik: Abdul Rosyidi, Jumat, 3 Januari 2025).

Selanjutnya mengangkat tema “Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama” (Pemantik: Mahirotus Shofa, Jumat, 10 Januari 2025), “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan” (Pemantik: Ahmad Hadid, Jumat, 17 Januari 2025), “Mahdiisme dan Protes Sosial” (Pemantik: Noer Fahmiatul Ilmia, Jumat, 24 Januari 2025), “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa” yang dipantik Muflihah pada Jumat, 31 Januari 2025.

Tidak hanya diskusi, Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial ISIF juga merancang sejumlah kegiatan untuk turut serta dalam mengembangkan pemikiran Gus Dur. Semua rangkaian tersebut dilakukan dengan harapan agar pemikiran dan gerakan Gus Dur bisa terus hidup dan selalu kontekstual dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. *** (Abdul Rosyidi)

ISIF Cirebon Jadi Tuan Rumah Haul Gus Dur ke 15

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menjadi tuan rumah malam puncak Peringatan Haul Ke-15 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diselenggarakan oleh Komunitas Gusdurian Cirebon pada Kamis malam, 13 Februari 2025.

Malam puncak haul yang digelar di Aula ISIF Cirebon tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh agama dan penghayat kepercayaan. Dengan mengangkat tema “Agama untuk Kemanusiaan dan Krisis Iklim”, acara ini menegaskan relevansi ajaran Gus Dur dalam menjawab tantangan global saat ini.

Angkat Isu Kemanusiaan dan Lingkungan 

Siti Robiah, Ketua Pelaksana Peringatan Haul Ke-15 Gus Dur dalam sambutannya menyampaikan bahwa keteladanan dan pembelaan Gus Dur dalam memperjuangkan keadilan menjadi inspirasi bagi panitia untuk mengangkat isu kemanusiaan dan lingkungan.

“Pada dasarnya meneladani Gus Dur berarti memperjuangkan keadilan dalam berbagai hal, termasuk (memperjuangkan) keadilan terhadap lingkungan,” jelasnya.

Selain itu, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ISIF Cirebon ini, menambahkan bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh Gus Dur, tidak dapat dipisahkan dari rasa kepedulian terhadap bumi dan lingkungan.

“Perjuangan kemanusiaan tidak hanya terbatas pada aspek sosial dan politik, tetapi juga harus mencakup persoalan lingkungan. Hak untuk hidup di lingkungan yang sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang fundamental,” ungkapnya.

Relevansi Ajaran Gus Dur

Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, yang hadir menyampaikan Orasi Kebudayaan dalam acara tersebut, mengungkapkan rasa kagumnya terhadap antusiasme peserta yang berasal dari latar belakang organisasi dan agama yang beragam.

Menurutnya, kehadiran peserta dari berbagai elemen masyarakat ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur tetap relevan dan dirasakan oleh semua kalangan.

“Pada malam hari ini, saya pribadi dan kita semua, merasa senang sekali karena semua agama hadir malam ini dan turut mendo’akan Guru Bangsa yang telah lima belas tahun mendahului kita,” ungkapnya.

Rektor yang akrab disapa Kang Zekky ini menyoroti bagaimana perjuangan Gus Dur yang tidak hanya dirasakan oleh umat Islam tetapi juga oleh berbagai komunitas lintas iman dan budaya.

“Satu hal yang diperjuangkan Gus Dur adalah kemanusiaan. Karena kita manusia dan merasa diperjuangkan sisi kemanusiaannya oleh Gus Dur, maka tak heran semua orang tergerak untuk datang (ke sini) meng-hauli Gus Dur,” tambahnya.

Selain itu, ia menegaskan bahwa warisan perjuangan Gus Dur tidak terbatas pada satu kelompok atau bangsa, tetapi mencakup seluruh umat manusia.

“Gus Dur, meskipun ia muslim, meskipun ia NU, tapi perjuangan Gus Dur tidak hanya relevan bagi orang Islam. Perjuangan Gus Dur bukan hanya untuk Indonesia, tapi lebih universal, perjuangan Gus Dur adalah untuk kemanusiaan,” tutupnya. *** (Gunawan)