(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

ISIF Cirebon Gelar Pembekalan Praktik Islamologi Terapan Berbasis PAR

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar pembekalan bagi mahasiswa yang akan melaksanakan Praktik Islamologi Terapan (PIT) di Aula Aula Affandi Mochtar pada Kamis dan Jumat, 23-24 Januari 2025.

Pembekalan ini menjadi langkah awal bagi mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat untuk melaksanakan pengabdian berbasis Participatory Action Research (PAR). Kegiatan pula ditujukan untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menemukenali dan menyelesaikan masalah secara partisipatif bersama masyarakat.

Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, hadir sebagai pemateri utama dan memberikan pemaparan mendalam terkait falsafah dan konsep dasar PIT ISIF. Dalam sambutannya, rektor yang akrab disapa Kang Zekky ini menegaskan bahwa PIT bukan sekadar program akademik, melainkan upaya bersama untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat desa dengan pendekatan transformatif berbasis nilai-nilai keislaman.

“Melalui PIT, ISIF ingin berkontribusi pada terwujudnya peradaban manusia yang berkemampuan dan berkeadilan, berdasarkan kesadaran kritis,” tuturnya.

Zaenab Mahmudah, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), turut hadir sebagai fasilitator. Dalam paparannya, Zaenab menyoroti distingsi PIT ISIF khususnya penerapan metodologi Participatory Action Research (PAR) sebagai pendekatan pengabdian.

Menurutnya Praktik Islamologi Terapan — yang di perguruan tinggi lain dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN)— merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat yang menjadi bagian dari implementasi Tri Dharma perguruan tinggi Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).

Pada hari kedua, mahasiswa mendapatkan materi terkait konsep dan pelaksanaan PAR yang disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Penelitian, Dr. A. Syatori.

Menurut pria yang akrab disapa Gus Syatori ini, PAR merupakan aktualisasi konsep belajar partisipatif yang bertujuan untuk melahirkan kesadaran kritis masyarakat.

Selain itu, menurutnya, melalui PAR masyarakat dapat terdorong untuk melakukan upaya mandiri untuk
mewujudkan keswadayaan komunitas masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman.

Pada sesi lain Sekretaris LPPM, Siti Latifah, ME, memberikan pembekalan tentang teknik pemetaan secara sosial dan spasial serta analisis sosial, mencakup dimensi sosial-ekonomi, sosial-budaya, hingga sosial-politik.

Mahasiswa juga diajak berdiskusi dalam kelompok bersama dosen pembimbing lapangan (DPL) untuk menyusun rencana kegiatan PIT di lokasi desa masing-masing kelompok.

Secara keseluruhan pembekalan ini diorientasikan agar mahasiswa ISIF tidak hanya memahami Metodologi PAR secara teoritis. Namun mahasiswa juga mampu menerapkannya secara maksimal dalam praktik PIT sehingga menjadikan desa-desa peredaman sebagai pusat pemberdayaan dan transformasi sosial.

Peringati Harlah NU ke-102, PBNU Gelar Kongres Keluarga Maslahat dan Festival Keluarga Indonesia

ISIF Cirebon — Kongres Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama resmi akan digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 31 Januari-1 Februari 2025 di Hotel Bidakara, Jakarta. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-102 NU.

Kongres yang akan dihadiri lebih dari 500 orang baik dari internal maupun kemitraan NU ini menggusung tema “Bersama Umat Wujudkan Keluarga Maslahat.” Kegiatan ini secara spesifik bertujuan untuk menyusun arah strategis NU terkait perwujudan keluarga maslahat sesuai dengan tantangan yang dihadapi.

Selain itu, melaui kegiatan ini, PBNU bertujuan mempublikasi inisiatif keluarga maslahat mengenai nilai dan prinsip kemaslahatan keluarga serta mengarusutamakan keluarga maslahat NU sebagai isu bersama, fokus gerakan, dan ruang pemberdayaan untuk masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, Kongres juga bertujuan membangun dan memperluas kemitraan dalam meningkatkan kualitas keluarga Indonesia yang maslahat. Sebagai bagian dari inovasi, PBNU juga akan meluncurkan aplikasi GKMNU (Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama) untuk mempermudah akses informasi dan mendukung keberlanjutan program keluarga maslahat.

Festival Keluarga Indonesia

Selain kongres, PBNU juga akan menggelar Festival Keluarga Indonesia pada 1-2 Februari 2025 di Mall Kota Kasablanka dengan mengusung tema “Keluarga Maslahat Keluarga Hebat.” Festival tersebut terbuka untuk umum dan bisa dihadiri langsung oleh semua kalangan.

Melalui festival ini, PBNU bertujuan menghadirkan NU dalam lanskap awan keluarga Indonesia dan mewujudkan kemaslahatan keluarga Indonesia, khususnya keluarga NU, dengan gerakan khidmah yang solid dan terintegrasi.

Festival ini menghadirkan berbagai pameran menarik yang dapat dikunjungi oleh peserta. Dalam pameran tersebut, tersedia layanan konsultasi untuk keluarga, remaja, beasiswa pendidikan, pengembangan bisnis, kesehatan, serta informasi terkait aplikasi GKMNU. Selain itu, festival ini juga menyelenggarakan talkshow dengan beragam tema inspiratif yang menghadirkan anggota PBNU, tim GKMNU, dan berbagai praktisi ahli di bidang masing-masing.

Festival ini juga akan menampilkan pagelaran seni dan budaya Islam khas Indonesia, yang diramaikan oleh penampilan budayawan serta artis nasional tanah air. Kegiatan ini diharapkan menjadi momentum strategis bagi PBNU dalam mempromosikan kemaslahatan keluarga sebagai isu bersama yang relevan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Ilmu Tak Datang dari Langit Tapi dengan Ilmu Kita Bisa Menggapai Langit

ORASI ILMIAH

Lies Marcoes Natsir

 

Rektor dan para Civitas Akademika ISIF yang terhormat.

Para Kyai Ibu Nyai pengasuh pondok pesantren yang saya muliakan.

Wisudawan Wisudawati yang berbahagia beserta orang tua mereka yang saya hormati.

Para tamu undangan, para alumni dan mahasiswa ISIF yang saya banggakan,  

Assalama’laikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Puji dan Syukur kita panjatkan kekadirat Allah SWT dan shalawat serta salam kita limpahkan bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Atas berkat dan karunia Allah serta bimbingan Nabi,  kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk acara Wisuda Sarjana ISIF ke 8 tahun 2024.

Sungguh saya sangat terharu pagi ini bisa  berdiri di hadapan civitas akademika ISIF dan para wisudawan, orang tua, alumni dan mahasiswa ISIF sekalian. Sungguh tidak menyangka  bahwa sesuatu yang semula hanya sebuah gagasan untuk memiliki lembaga yang melahirkan center of excellence  benar-benar bisa terwujud. Saya adalah saksi dari sejumlah orang2 idealis   yang melahirkan ISIF lalu tumbuh dan berkembangnya. Kita patut menundukkan kepala bagi mereka yang turut membidani ISIF termasuk Alm Kiai Afandi Mochtar.

Ibu Bapak para tamu undangan yang terhormat, 

Pertama-tama izinkan saya mengucapkan selamat berbahagia kepada para Wisudawan-Wisudawati. Anda sekalian telah merampungkan satu etape paling menantang, paling penting sekaligus paling indah dari etape-etape lain yang telah dan akan dilalui dalam hidup di masa mendatang.

Masa kuliah adalah masa yang paling monumental karena secara psikologis dan sosial serta pengembangan diri.  Ini adalah era yang paling fundamental dalam menentukan jalan hidup kita di masa depan. Dari sisi umur itu adalah tahap paling penting dalam melatih cara bergaul, bernegosiasi, Tarik ulur dengan berbagai relasi, cara berpikir, cara beragrumentasi dan mengembangkan pemahaman yang kelak akan menentukan bagaimana kita memandang kehidupan.

Sebagai antropolog saya mengibaratkan dalam metafor bahwa pada masa kuliah adalah masa  membangun  pondasi yang  kelak akan menentukan bentuk bangunan apa yang hendak diwujudkan, seberapa kokoh bangunan itu, ruang-ruang apa yang dianggap prioritas.

Dan sebagai antropolog  yang peduli pada isu perempuan saya tentu ingin melihat bagaimana imajinasi pembagian ruang itu dibayangkan. Seberapa besar dan sehat  warga penghuni bangunan itu punya aksesabilitas ke sumber-sumber energi seperti dapur, sumur, meja makan dan ruang istirahat. Tempat-tempat seperti dapur, sumur ruang makan  bagi kami perempuan adalah pusat gerak. Bukan hanya ruang tamu atau ruang lain yang biasanya dipamerkan.

Dalam arsitektur hunian Islam di era Abbasiyah  dan Usmaniyyah, sebelum masuk ke era penjajahan, rumah-rumah dibangun melingkar ke dalam. Sumur dan halaman belakang menjadi penghubung satu rumah dengan rumah  lainnya.  Teras belakang merupakan tempat yang paling aman dan nyaman bagi kaum perempuan berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan sharing pengasuhan.  Dengan metafora itu  kita dapat mengibaratkan perpustakaan, ruang produksi pengetahuan, ruang debat dan diskusi adalah ruang yang menyerupai ruang terras bekalang tempat kaum ibu berinteraksi dalam bangunan arsitektur rumah-rumah kaum Mislim yang membuat warganya  bebas mengembangkan pikiran dan berpendapat.

Para wisudawan wisudawati yang saya cintai

Izinkan saya menggunakan pengalaman pribadi bukan untuk diteladani tetapi untuk menjadi bahan renungan atau refkelsi.  Tahun 1977 atau sekitar 45 tahun lalu, dengan tanpa pilihan saya kuliah di IAIN Ciputat. Padahal waktu itu saya ingin sekali masuk ke IPB, satu-satunya universitas favorit di kampung kami, agar menjadi tukang insinyur pertanian lulusan IPB. Harap diingat di awal Orde Baru orientasi tentang sarjana yang berasal dari desa akan kembali ke desa untuk membangun desa adalah gagasan ideal pemerintah yang masuk akal bagi kami di desa. Kami tak punya niatan untuk menetap di kota melainkan pulang ke desa sebagai sarjana. Kami tak tahu bahwa ternyata desa telah kebih dulu diopukasi oleh industri pabik dan orang kota.

Tapi orang tua saya menghendaki lain. Saya diminta masuk ke jurusan agama seperti kakak sulung kami, prof Musyrifah Sunanto dosen SKI lulusan IAIN Jogyakarta di IAIN Ciputat. Orang tua kami telah menyekolahkan kakak-kakak  saya di  jurusan eksakta atau non agama; Setelah yang sulung di IAIN Jogyakarta, kakak laki-laki  kuliah di AIP dan melanglang buasa sebagai nahkoda kapal Permina/ Pertamina. Lalu kakak perempuan di Fakultas Ekonomi, dilanjutkan kakak perempuan di MIPA  jurusan Kimia, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi dan saya yang ketempuhan kembali ke jalur agama.

Dari pihak Ibu yang akarnya Muhammadiyah di Jogya, orientasi Pendidikan anak-anak adalah agar menjadi priyayi atau interpreuner, sementara  dari Pihak ayah yang berasal dari pesantren di Kebarongan Banyumas menghendaki keturunanya   masuk ke jalur kajian agama. Saya sendiri tak berinat pada kedua dunia itu, karena saya lebih tertark pada Ilmu – ilmu sosial, sastra dan kehidupan.

Demikianlah dengan rasa kehilangan atas kebanggaan sebagai mahasiswa , saya sering tak mengakui kuliah di  IAIN kepada  teman-teman seangkatan yang berhasil masuk ke IPB. Saya masuk ke IAIN Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama. Rupanya dalam kurikulum Fak Ushuluddin kami mendapatkan materi Sosiologi dan metode penelitan.  Waktu itu kampus IAIN kecil saja, kami menyebutkan seperti pabrik panci. Demikianlah saya menapaki hari-hari sebagai mahasiswa dan aktif di kegiatan ektra serta ikut demonstrasi gerakan Mahasiswa tahun 89.

Lalu bagaimana saya bisa berkembang hingga saat ini.

Pertama-tama adalah Membaca

Sejak SMA saya punya hobi membaca, membaca fiksi cerita-cerita roman dari karya-karya Sastra klasik Pujangga baru hingga era modern saya baca. Di SMAN I Banjar Camis  telah tersedia perpustakaan dan saya lebih memilih masuk ke perpustakaan daripada jajan di masa-masa istirahat. Untung waktu it belum ada gadget!

Dalam perkembangannya ketika kuliah di IAIN saya tertarik pada Ilmu-ilmu Sosial kritis.  Perpustakaan IAIN lumayan koleksinyha. Tapi itu tak cukup buat saya. Di Jakarta, dengan 2 kali naik bus saya rutin pergi ke perpustakaan British Counsil di Gedung Wijoyo Center di Jln Sudirman, di kantor The Ford Foundaion sekarang. Di sana saya membaca buku-buku karya akademik dan mulai membaca buku berbahasa Inggris dan meted penelitian grounded.

Ada rahasia lain, harus diakui itu juga karena dorongan pacar!. Mantan pacar yang kemudian menjadi suami saya, Ismed Natsir adalah seorang penulis, karya tulisnya di Prisma membuat dia diperhitungkan sebaga intelektual muda dengan pikiran tajam karena dia juga kuliah di Filsafat Driyarkara. Jadi salah satu keindahan masa kuliah adalah mencari pasangan. Cari pasangan yang baik, pintar, bacaanya banyak dan tidak melakukan bentuk violence apapun.

Saya membaca buku tebal serius sejak  SMA, Mukaddimah karya Ibnu Haldun saya baca! Lalu apa  buku yang sedang say abaca saat ini? Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik draft karya Dr Noor Huda ismail karena kebetulan saya diundang sebagai editornya untuk memastikan elemen GEDSI masuk ke dalam buku itu.

Kedua adalah Menulis

Modal menulis adalah kemampuan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak didekati dalam grammaernya tapi bagaimana itu diterapkan dalam kalimat yang fungsional. Contoh terbaru soal kata para-para.  Kalau kita lihat di KBBI parapara artnya langit langit atau jaringn jarring di atas peraian untuk menyiman  makanan yang bisa diawetan, sementara para adalah kata penyerta untuk menegaskan kalimat majemuk. Atau kata untuk menunjukkan hal yang tinggi yang lebih baik seperti kata parama, paramadina.

Membaca tulisan orang lain menjadi penting untuk melihat pola-pola kalimat dan cara tuturnya. Sejak SMA saya telah aktif menulis di  Bulettin dan Mading. Bangganya bukan main ketika tulisan diterbitkan di Mading. Hingga minggu lalu tulisan saya masih dimuat sebagai opini di Jakarta Post tentang Perkembangan policy Sunat Perempuan. Menulis itu tidak ada kata pension.

Ketika kuliah, bacaan utama yang paling bergengsi adalah jurnal Prisma LP3ES. Jadi untuk mengembangkan teori dan analisis yang baru kita baca Prisma. Di sini pula pertama kali membaca tulisan-tulisan tentang gagasan feminisme dari  Julia Suryakusuma dan Marianne Kattopo, Tutty Heraty Nurhadi.

Dari LP3ES, selain dunia pemikiran, kami belajar soal pengembangan masyarakat, pendampingan Masyarakat dan pengabdian masyarakat. Dalam isu tertentu terkait dengan Islam, lahir P3M. Di sana pula saya membaca hasl hasil penelitian sosial keagamaan yang dikenalkan oleh Gus Dur.

Penerbit LP3ES juga menerbitkan buku-buku sosial antropologi kritis seperti Moral Ekonomi Petani buku yang paling pening dalam memahami cara kerja penelitian etnografi dari James Scott Weapons of the Weak. Yang kemudian diterbitkan oleh Grameda.  Itu adalah sebuah kajian antropologi perlawanan kaum petani di Sedaka /Kedah di era revolusi hijau ketika FAO mengembangkan pertanian modern yang memiskinkan buruh dan petani cilik.  Kelemahan buku itu adalah petani digambarkan dalam dimensi kela seperti tuan tanah, buruh dantengulak , tapi tak secara tajam melihat dimensi gender! Kata petani miskin jadi kata yang tunggal tidak majemuk dan berlapis. .

Buku lainnya adalah Peter L Berger Piramida Korban Manusia yang meletakkan dasar-dasar analisis ketimpangan kelas sosial. Dalam kajian sejarah Islam saya terpesona oleh ketelitian kajian historis  Deliar Noer tentang Gerakan Modernis Islam di Indonesia, Lagi-lagi kalau dibaca dengan analissi gender kita akan tahu Pak Deliar tak melihat peran organisasi perempuan Islam. Padahal di Minang, menurut Pak Taufik Abdullah, gerakan kaum muda  dimotori oleh kaum ibu yang memastikan kaum lelaki untuk kembali ke praktik Islam yang benar, berhenti sabung ayam, minum tuak dan manin batu/judi. Itu dilakukan oleh kaum perempuan yang seperti sekarang, pusing melihat laki-laki judi online!.

Ada dua buku penting yang sangat berpengaruh kepada pemikiran saya yaitu Kumpulan tulisan di Prisma tahun 1977 “Manusia Dalam Kemelut Sejarah”. Didalamya terdapat pengantar dari Taufik Abdullah,  Manusia Dalam Sejarah Sebuah Pengantar;  Lalu tulisan tentang Sukarno oleh Pak Onghikham : Mitos Dan Realitas, Lalu “Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus” yang ditulis Y.B. Mangunwijaya; Memimpin adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim ditulis oleh Mohammad Roem; Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian oleh Alfian; Kahar Muzakkar: Profil Patriot Pemberontak oleh Mattulada; lalu tulisan “Revolusi Memakan Anak Sendiri”: Tragedi Amir Sjarifudin oleh Abu Hanifah; dan satu satunya tokoh perempuan Rahmah El Yunusiyyah: Kartini Perguruan Islam oleh Aminuddin Rasyad Dosen Fakultas Tarbiah IAIN Jakarta.

Buku kedua adalah yang editornya suami sendiri Ismed Natsir: Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, juga ban Catatan Harian Seorang Demonstran Soe Hok Gie.

Kala itu di tahun-tahun 80-90an Majalah Mingguan Tempo merupakan majalah dengan kolom-kolom yang istimewa. Di sana  pikiran-pikiran kritis dalam isu sosial, politik, keagamaan,  sejarah  dan isu Pembangunan dapat kita peroleh dari Gus Dur, Umar Kayam, Aswab Mahasin, Romo Mangun, Masri Singarimbun, Onghokham, Toety Herati, Taufik Abdullah dll.

Tetapi untuk menajamkan kemampuan menulis kita harus membaca karya sastra. Suami saya pindah dari LP3ES ke Graffiti Press. Disana terbit buku2 sastra yang indah, “Roti dan Anggur” karya Ignazo Silone yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh Novelis Marianne Katoppo, atau buku Gadis Pantai dari Pramoedya Ananta Toer. Penggamabarannya begitu hidup, kritik atas feodalisme islam di pesantren yang melanggengkan tradisi poligami sebagai pengganti pergundikan di Jawa. Buku “Pramuria dari Lucknow” karya sastrawan Parsi Mohammad Hadi Ruswa, serta Perempuan d Titik Nol karya Nawal El Sadawi. Pada era berikutnya tentu buku-buku karta Pramudya Ananta Toer ikut menyertai bacaan sastra saya Bumi Manusia Anak Segala Bangsa dan Jejak Langkah. Tapi ada juga buku yang saya baca berulangkali Mushahshi yang tebalnya setebal bantal. Karena kalau metafornya buku Telepon kalian pasti tak pernah melihat buku telepon.

Modal Ketiga adalah Menajamkan Analisis Melalui Diskusi

Di  Ciputat, saya tumbuh di tengah-tengah pendampingan tokoh-tokoh yang aktif mengembangkan forum diskusi yang dikembangkan sejak era Cak Nur, lalu ada Cak Irhamni dan lanjut Fachry Ali, Azyumardi Azra, Iqbal Abdur Rauf Saimima, Mereka adalah  tokoh penting yang mendorong saya berani menulis di  koran dan Majalah Panjimas. Memang kala itu belum ada tokoh perempuan selain dalam stuktur organisasi ektra seperti Kohati dan Kopri

Modal Keempat adalah Bergabung dengan Gerakan Feminis

Basis-basis pengetahuan dan critical thinking saya peroleh di luar kampus ketika aktif di kelompok perempuan Kalyanamitra. Di sana dasar-dasar pemikiran kritis tentang feminisme saya peroleh. Gagasan itu kemudian dikembangkan dalam gerakan yang kontekstual yaitu gerakan penyadaran hak-hak perempuan dalam Islam melalui forum Fiq an Nisa. Inilah fondasi penting dalam berkembangnya isu-isu gender dan Islam. Hal ini yang kemudian melahirkan orang seperti Kyai Husein Muhammad, Kiai Faqihuddn Abdul Kodir, Kiai Marzuki Wahid, Nyai Masriah Anva da ratusan  nyai yang melahirkan KUPI di Cirebon tahun 2017

Tahap Berikutnya adalah  Menentukan Etape Perjalanan yang Cocok dengan Kepribadian Kita.

Karenanya untuk jalan berikutnya adalah mengembangkan minat. Mau jadi apa? Kebetulan selain menulis saya sangat meminati dunia penelitian sejak tahun 1984, dan sampai 2024.minggu lalu saya masih pergi blusukan ke lapangan. Mbahnya adalah Prof Martin van Bruinessen. Selama 1 tahun di tahun 2083-1984 saya belajar langsung etnografi di lapangan, tinggal di kampung kota / urban miskin di Bandung. Itu adalah sekolah yang lengkap, belajar mendengarkan, meneliti, menulis dan menerbitkannya. Tidak ada bidang pekerjaan lain yang betul-betul membuat bergariah  selain dalam penelitian. Itu adalah jalan samurai yang tidak ringan. Banyak peneliti berhenti di jalan atau mengandalkan asisten peneliti. Tapi saya merasa dunia penelitian adalah ladang hidup lahir batin , mencari nafkah sekaligus mengasah ketajaman spiritual saya.

Dunia penelitian menggabungkan seluruh tahapan-tahapan yang telah dikemukakan: membaca, menulis, mengasah teori baru, skeptisisme terhadap suatu temuan penelitian, dan curious untuk mencari jawaban.

Minat kedua dalam pengembangan diri adalah menjadi fasilitator dan Trainer dalam isu gender. Guru saya adalah Bang Roem Topatimasang dan Alm Mansour Fakih. Maka saya kemudian mengembangkan modul-modul dan training  Islam, gender dan hak-hak reproduksi perempuan. Sampai saat ini saya masih mengisi pelatihan-pelatihan termasuk dalam menulis kritis untuk perguran tinggi di Indonesia Timur dengan program KONEKSI DFAT. Pelatihan terakhir dalam forum yang besar adalah 9 hari melahir para aktivis HAM jaringan Sisters in islam di KL.

Demikianlah kiranya yang dapat saya sampaikan. Ilmu tak datang dari ruang kosong di langit, tapi dengan ilmu kita pasti mampu menggapai langit.

Depok, 23 Desember 2024

Lies Marcoes-Natsir

Wali Amanah Yayasan Fahmina

 

— Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024. 

Wisuda Sarjana ISIF Cirebon Angkatan VIII: Rektor Tekankan Sikap Anti Korupsi dan Kekerasan

ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon resmi mewisuda puluhan mahasiswa dan mahasiswi, dalam Wisuda Sarjana Angkatan VIII di Ballroom Hotel Patra Cirebon. Acara tersebut berlangsung pada Senin, 23 Desember 2024, mulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 13.00 WIB.

Acara wisuda ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk, Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd. (Direktur Penais Kemenag RI), Dr. H. Syamsuddin (KOPERTAIS Wilayah II Jawa Barat), Lies Marcoes Natsir, (Wali Amanah Yayasan Fahmina dan Aktivis Gender Islam), para kyai dari berbagai pondok pesantren, dan para rektor dari berbagai perguruan tinggi.

Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid, dalam sambutannya memberikan pesan kepada para wisudawan dan wisudawati tentang pentingnya menjaga komitmen yang telah diikrarkan saat prosesi wisuda.

“Islam adalah agama keadilan untuk seluruh hamba-Nya dan rahmat bagi seluruh makhluk-Nya. Oleh karena itu, kalian harus menegakkan keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan, dan kedamaian untuk semua,” ujar Kiai Marzuki.

Beliau juga menegaskan komitmen ISIF untuk mencetak lulusan yang bermoral dan berilmu, serta mengingatkan agar para alumni tidak terlibat dalam praktik korupsi maupun kekerasan.

“Kami mengharamkan lulusan ISIF untuk terlibat dalam korupsi atau kekerasan dalam bentuk apa pun. Jika ada alumni ISIF yang melanggar nilai ini, kami tak segan untuk mengevaluasi gelar kesarjanaannya,” tambahnya.

Selain itu, Marzuki Wahid juga menekankan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi komitmen dan visi utama ISIF.

“Laki-laki dan perempuan itu setara. Tugas kalian adalah memperjuangkan keadilan dan kesetaraan untuk semua, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh umat manusia,” tegasnya.

Acara prosesi wisuda ini dipimpin langsung oleh KH. Marzuki Wahid, didampingi segenap pimpinan dan senat akademik ISIF. Prosesi tersebut berlangsung khidmat dan menjadi momen bersejarah bagi puluhan mahasiswa dan mahasiswi yang resmi menyandang gelar sarjana.**

Melalui FGD, PUSIGA ISIF Tegaskan Komitmen Hentikan Praktik Sunat Perempuan

ISIF Cirebon – Pusat Studi Islam Gender dan Seksualitas  (PUSIGAS) ISIF Cirebon bersama Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pemahaman Santri tentang Kekerasan dalam P2GP/Sunat Perempuan dan Pencegahannya.” Acara yang berlangsung di Rumah Joglo, Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina pada Minggu, 15 Desember 2024 ini menghadirkan Lies Marcoes Natsir, konsultan temporal United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, sebagai narasumber utama.

Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen PUSIGAS ISIF untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, salah satunya praktik Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. FGD ini juga diselenggarakan sebagai respons terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang menegaskan larangan praktik P2GP karena dampaknya yang membahayakan kesehatan fisik dan mental anak perempuan.

Angka Sunat Perempuan

Menurut Lies Marcoes, sunat perempuan (P2GP) masih banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, meskipun telah terbukti tidak membawa manfaat apapun bagi perempuan.

“Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, mengungkapkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama di Indonesia menjalani sunat perempuan,” papar Lies.

Angka tersebut menurut Lies, mencerminkan masih kuatnya penerimaan sosial terhadap praktik yang sejatinya berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Dalam diskusi, Lies juga memaparkan hasil penelitiannya terhadap sikap empat organisasi keagamaan besar di Indonesia – Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) – yang memiliki pandangan berbeda-beda terkait praktik P2GP. Yang paling menarik baginya adalah pandangan KUPI yang menggunakan women lives reality (pengalaman khusus perempuan) sebagai alat ukur kemaslahatannya.

“Kalau mau mengetahui sunat perempuan itu adil atau tidak, jangan tanya kepada laki-laki yang memegang ayat, tapi (tanya) kepada pengalaman perempuan yang mengalami langsung sunat perempuan,” ungkap penulis buku Merebut Tafsir ini.

Setelah pemaparan, Lies Marcoes memfasilitasi diskusi bersama para santri Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Para peserta berbagi pengalaman terkait praktik P2GP di daerah asal mereka. Beberapa peserta menyatakan bahwa praktik ini masih dianggap sebagai kewajiban sosial dan ritual adat yang harus dijalankan.

“Jika anak perempuan tidak disunat, mereka akan mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dianggap tidak suci atau tidak sempurna,” ungkap salah seorang peserta.

Sikap Tegas PUSIGAS ISIF terhadap Praktik Sunat Perempuan

Melalui FGD ini, PUSIGAS ISIF menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis di kalangan santri mengenai bahaya Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. Nafida Inarotul Huda, fasilitator dari PUSIGAS, menekankan bahwa praktik P2GP harus dilihat sebagai bentuk kekerasan berbasis gender.  Hal ini baginya tidak hanya merugikan perempuan secara fisik tetapi juga melanggar hak asasi perempuan.

“Sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan karena di sana ada upaya melukai alat reproduksi perempuan. Di beberapa kasus, praktik ini mengakibatkan pendarahan hebat, bahkan menyebabkan kematian,” tegas Nafida.

Sebagai lembaga yang berfokus pada isu gender dan keadilan sosial, PUSIGAS ISIF memiliki komitmen kuat untuk menghentikan praktik sunat perempuan. Sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan  menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang serta trauma psikologis bagi perempuan.

“Sunat perempuan adalah harmful practices atau praktik yang berbahaya dan merugikan perempuan sehingga penting bagi PUSIGAS ISIF untuk mengadvokasi dan menghentikan praktik ini,” lanjut Direktur PUSIGAS ini.

Peran Santri

Dalam diskusi tersebut, PUSIGAS ISIF juga menekankan pentingnya peran santri sebagai agen perubahan. Santri diharapkan mampu memahami hak-hak reproduksi perempuan serta menyebarkan informasi mengenai dampak buruk P2GP di lingkungan mereka. Dengan pengetahuan yang mereka dapat, santri dapat berkontribusi dalam upaya advokasi dan pencegahan praktik P2GP di masyarakat.

“Kami berharap santri teredukasi dan terinformasi tentang hak-hak reproduksi perempuan, serta memahami dampak sunat perempuan. Selain itu, melalui testimoni dan cerita pengalaman perempuan yang dibagikan dalam forum ini, kita bisa memperkaya khazanah pengalaman khas perempuan,” tambah Nafida.

Pengalaman-pengalaman ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi penting bagi aktivis, advokator, dan pembuat kebijakan. Kesaksian langsung dari perempuan yang mengalami praktik ini dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk segera mengakhiri tradisi dan praktik sunat perempuan.**

 

Maria Ulfah Ansor: Kampus dan Pesantren Jadi Lokasi Tertinggi Kasus Kekerasan Seksual

ISIF Cirebon – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Pusat Studi Islam dan Gender (PUSIGA) ISIF , Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, dan Komnas Perempuan menggelar Kuliah Kolaboratif bertajuk “Eksplorasi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Bersama Komnas Perempuan, ” pada Rabu (11/12/2024).

Kegiatan yang bertempat di Rumah Joglo, Majasem, Kota Cirebon ini, menghadirkan Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor , sebagai narasumber utama dan diikuti puluhan Mahasantriwa (santri Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina).

Kegiatan diawali dengan Upacara oleh Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Kyai Marzuki Wahid dan Ny. Nurul Bahrul Ulum, dilanjutkan dengan paparan materi oleh Maria Ulfah Ansor.

Dalam paparannya, Maria mengungkapkan mengenai tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia.

“Dalam catatan Komnas perempuan,” katanya, “kekerasan seksual menduduki posisi kedua dalam jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan.”

Ia menambahkan, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, kekerasan seksual di perguruan tinggi dan pondok pesantren menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai lokasi terjadinya kasus kekerasan seksual.

“Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, terus terang saya merasa malu. Dan yang paling mengharukan, kasus ini terjadi di hampir setiap lembaga keagamaan yang ada di Indonesia,” ujar Komisioner Komnas Perempuan ini.

Kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi dan berbagi cerita. Beberapa peserta membagikan pengalaman mereka terkait kasus kekerasan terhadap perempuan.

Fikri, salah seorang peserta, menyatakan sering menyaksikan kekerasan seksual saat masih bersekolah. Namun, ketika itu, ia menemukan kebingungan korban dalam menentukan pihak yang tepat untuk melapor.

Sementara itu, peserta lain, Lelah, mengisahkan pengalaman pribadinya menyaksikan seorang suami memaksa istrinya berhubungan seksual saat menstruasi. Ketika sang istri menolak, ia justru menjadi korban kekerasan karena mengalami penganiayaan.

Pengalaman serupa juga diceritakan Nani yang pernah bekerja di sebuah pabrik. Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan lazim terjadi di tempat kerja. Yang paling memprihatinkan, kasus-kasus tersebut minim penindakan, terutama yang melibatkan atasan sebagai pelaku.

Maria menutup sesi dengan pentingnya mengawal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Selain itu, Maria mendorong peran aktif tokoh agama, terutama Kyai, untuk ikut berkontribusi secara langsung dalam mengawali isu ini.

Menurutnya, tokoh agama memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat melalui pendekatan nilai-nilai keagamaan yang inklusif dan berkeadilan.

“Kita semua bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung para korban, serta membangun masyarakat yang bebas dari kekerasan seksual,” tegasnya.**