by admin | 24 Dec 2024 | Artikel, Publikasi Ilmiah
ORASI ILMIAH
Lies Marcoes Natsir
Rektor dan para Civitas Akademika ISIF yang terhormat.
Para Kyai Ibu Nyai pengasuh pondok pesantren yang saya muliakan.
Wisudawan Wisudawati yang berbahagia beserta orang tua mereka yang saya hormati.
Para tamu undangan, para alumni dan mahasiswa ISIF yang saya banggakan,
Assalama’laikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Puji dan Syukur kita panjatkan kekadirat Allah SWT dan shalawat serta salam kita limpahkan bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Atas berkat dan karunia Allah serta bimbingan Nabi, kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk acara Wisuda Sarjana ISIF ke 8 tahun 2024.
Sungguh saya sangat terharu pagi ini bisa berdiri di hadapan civitas akademika ISIF dan para wisudawan, orang tua, alumni dan mahasiswa ISIF sekalian. Sungguh tidak menyangka bahwa sesuatu yang semula hanya sebuah gagasan untuk memiliki lembaga yang melahirkan center of excellence benar-benar bisa terwujud. Saya adalah saksi dari sejumlah orang2 idealis yang melahirkan ISIF lalu tumbuh dan berkembangnya. Kita patut menundukkan kepala bagi mereka yang turut membidani ISIF termasuk Alm Kiai Afandi Mochtar.
Ibu Bapak para tamu undangan yang terhormat,
Pertama-tama izinkan saya mengucapkan selamat berbahagia kepada para Wisudawan-Wisudawati. Anda sekalian telah merampungkan satu etape paling menantang, paling penting sekaligus paling indah dari etape-etape lain yang telah dan akan dilalui dalam hidup di masa mendatang.
Masa kuliah adalah masa yang paling monumental karena secara psikologis dan sosial serta pengembangan diri. Ini adalah era yang paling fundamental dalam menentukan jalan hidup kita di masa depan. Dari sisi umur itu adalah tahap paling penting dalam melatih cara bergaul, bernegosiasi, Tarik ulur dengan berbagai relasi, cara berpikir, cara beragrumentasi dan mengembangkan pemahaman yang kelak akan menentukan bagaimana kita memandang kehidupan.
Sebagai antropolog saya mengibaratkan dalam metafor bahwa pada masa kuliah adalah masa membangun pondasi yang kelak akan menentukan bentuk bangunan apa yang hendak diwujudkan, seberapa kokoh bangunan itu, ruang-ruang apa yang dianggap prioritas.
Dan sebagai antropolog yang peduli pada isu perempuan saya tentu ingin melihat bagaimana imajinasi pembagian ruang itu dibayangkan. Seberapa besar dan sehat warga penghuni bangunan itu punya aksesabilitas ke sumber-sumber energi seperti dapur, sumur, meja makan dan ruang istirahat. Tempat-tempat seperti dapur, sumur ruang makan bagi kami perempuan adalah pusat gerak. Bukan hanya ruang tamu atau ruang lain yang biasanya dipamerkan.
Dalam arsitektur hunian Islam di era Abbasiyah dan Usmaniyyah, sebelum masuk ke era penjajahan, rumah-rumah dibangun melingkar ke dalam. Sumur dan halaman belakang menjadi penghubung satu rumah dengan rumah lainnya. Teras belakang merupakan tempat yang paling aman dan nyaman bagi kaum perempuan berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan sharing pengasuhan. Dengan metafora itu kita dapat mengibaratkan perpustakaan, ruang produksi pengetahuan, ruang debat dan diskusi adalah ruang yang menyerupai ruang terras bekalang tempat kaum ibu berinteraksi dalam bangunan arsitektur rumah-rumah kaum Mislim yang membuat warganya bebas mengembangkan pikiran dan berpendapat.
Para wisudawan wisudawati yang saya cintai
Izinkan saya menggunakan pengalaman pribadi bukan untuk diteladani tetapi untuk menjadi bahan renungan atau refkelsi. Tahun 1977 atau sekitar 45 tahun lalu, dengan tanpa pilihan saya kuliah di IAIN Ciputat. Padahal waktu itu saya ingin sekali masuk ke IPB, satu-satunya universitas favorit di kampung kami, agar menjadi tukang insinyur pertanian lulusan IPB. Harap diingat di awal Orde Baru orientasi tentang sarjana yang berasal dari desa akan kembali ke desa untuk membangun desa adalah gagasan ideal pemerintah yang masuk akal bagi kami di desa. Kami tak punya niatan untuk menetap di kota melainkan pulang ke desa sebagai sarjana. Kami tak tahu bahwa ternyata desa telah kebih dulu diopukasi oleh industri pabik dan orang kota.
Tapi orang tua saya menghendaki lain. Saya diminta masuk ke jurusan agama seperti kakak sulung kami, prof Musyrifah Sunanto dosen SKI lulusan IAIN Jogyakarta di IAIN Ciputat. Orang tua kami telah menyekolahkan kakak-kakak saya di jurusan eksakta atau non agama; Setelah yang sulung di IAIN Jogyakarta, kakak laki-laki kuliah di AIP dan melanglang buasa sebagai nahkoda kapal Permina/ Pertamina. Lalu kakak perempuan di Fakultas Ekonomi, dilanjutkan kakak perempuan di MIPA jurusan Kimia, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi dan saya yang ketempuhan kembali ke jalur agama.
Dari pihak Ibu yang akarnya Muhammadiyah di Jogya, orientasi Pendidikan anak-anak adalah agar menjadi priyayi atau interpreuner, sementara dari Pihak ayah yang berasal dari pesantren di Kebarongan Banyumas menghendaki keturunanya masuk ke jalur kajian agama. Saya sendiri tak berinat pada kedua dunia itu, karena saya lebih tertark pada Ilmu – ilmu sosial, sastra dan kehidupan.
Demikianlah dengan rasa kehilangan atas kebanggaan sebagai mahasiswa , saya sering tak mengakui kuliah di IAIN kepada teman-teman seangkatan yang berhasil masuk ke IPB. Saya masuk ke IAIN Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama. Rupanya dalam kurikulum Fak Ushuluddin kami mendapatkan materi Sosiologi dan metode penelitan. Waktu itu kampus IAIN kecil saja, kami menyebutkan seperti pabrik panci. Demikianlah saya menapaki hari-hari sebagai mahasiswa dan aktif di kegiatan ektra serta ikut demonstrasi gerakan Mahasiswa tahun 89.
Lalu bagaimana saya bisa berkembang hingga saat ini.
Pertama-tama adalah Membaca
Sejak SMA saya punya hobi membaca, membaca fiksi cerita-cerita roman dari karya-karya Sastra klasik Pujangga baru hingga era modern saya baca. Di SMAN I Banjar Camis telah tersedia perpustakaan dan saya lebih memilih masuk ke perpustakaan daripada jajan di masa-masa istirahat. Untung waktu it belum ada gadget!
Dalam perkembangannya ketika kuliah di IAIN saya tertarik pada Ilmu-ilmu Sosial kritis. Perpustakaan IAIN lumayan koleksinyha. Tapi itu tak cukup buat saya. Di Jakarta, dengan 2 kali naik bus saya rutin pergi ke perpustakaan British Counsil di Gedung Wijoyo Center di Jln Sudirman, di kantor The Ford Foundaion sekarang. Di sana saya membaca buku-buku karya akademik dan mulai membaca buku berbahasa Inggris dan meted penelitian grounded.
Ada rahasia lain, harus diakui itu juga karena dorongan pacar!. Mantan pacar yang kemudian menjadi suami saya, Ismed Natsir adalah seorang penulis, karya tulisnya di Prisma membuat dia diperhitungkan sebaga intelektual muda dengan pikiran tajam karena dia juga kuliah di Filsafat Driyarkara. Jadi salah satu keindahan masa kuliah adalah mencari pasangan. Cari pasangan yang baik, pintar, bacaanya banyak dan tidak melakukan bentuk violence apapun.
Saya membaca buku tebal serius sejak SMA, Mukaddimah karya Ibnu Haldun saya baca! Lalu apa buku yang sedang say abaca saat ini? Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik draft karya Dr Noor Huda ismail karena kebetulan saya diundang sebagai editornya untuk memastikan elemen GEDSI masuk ke dalam buku itu.
Kedua adalah Menulis
Modal menulis adalah kemampuan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak didekati dalam grammaernya tapi bagaimana itu diterapkan dalam kalimat yang fungsional. Contoh terbaru soal kata para-para. Kalau kita lihat di KBBI parapara artnya langit langit atau jaringn jarring di atas peraian untuk menyiman makanan yang bisa diawetan, sementara para adalah kata penyerta untuk menegaskan kalimat majemuk. Atau kata untuk menunjukkan hal yang tinggi yang lebih baik seperti kata parama, paramadina.
Membaca tulisan orang lain menjadi penting untuk melihat pola-pola kalimat dan cara tuturnya. Sejak SMA saya telah aktif menulis di Bulettin dan Mading. Bangganya bukan main ketika tulisan diterbitkan di Mading. Hingga minggu lalu tulisan saya masih dimuat sebagai opini di Jakarta Post tentang Perkembangan policy Sunat Perempuan. Menulis itu tidak ada kata pension.
Ketika kuliah, bacaan utama yang paling bergengsi adalah jurnal Prisma LP3ES. Jadi untuk mengembangkan teori dan analisis yang baru kita baca Prisma. Di sini pula pertama kali membaca tulisan-tulisan tentang gagasan feminisme dari Julia Suryakusuma dan Marianne Kattopo, Tutty Heraty Nurhadi.
Dari LP3ES, selain dunia pemikiran, kami belajar soal pengembangan masyarakat, pendampingan Masyarakat dan pengabdian masyarakat. Dalam isu tertentu terkait dengan Islam, lahir P3M. Di sana pula saya membaca hasl hasil penelitian sosial keagamaan yang dikenalkan oleh Gus Dur.
Penerbit LP3ES juga menerbitkan buku-buku sosial antropologi kritis seperti Moral Ekonomi Petani buku yang paling pening dalam memahami cara kerja penelitian etnografi dari James Scott Weapons of the Weak. Yang kemudian diterbitkan oleh Grameda. Itu adalah sebuah kajian antropologi perlawanan kaum petani di Sedaka /Kedah di era revolusi hijau ketika FAO mengembangkan pertanian modern yang memiskinkan buruh dan petani cilik. Kelemahan buku itu adalah petani digambarkan dalam dimensi kela seperti tuan tanah, buruh dantengulak , tapi tak secara tajam melihat dimensi gender! Kata petani miskin jadi kata yang tunggal tidak majemuk dan berlapis. .
Buku lainnya adalah Peter L Berger Piramida Korban Manusia yang meletakkan dasar-dasar analisis ketimpangan kelas sosial. Dalam kajian sejarah Islam saya terpesona oleh ketelitian kajian historis Deliar Noer tentang Gerakan Modernis Islam di Indonesia, Lagi-lagi kalau dibaca dengan analissi gender kita akan tahu Pak Deliar tak melihat peran organisasi perempuan Islam. Padahal di Minang, menurut Pak Taufik Abdullah, gerakan kaum muda dimotori oleh kaum ibu yang memastikan kaum lelaki untuk kembali ke praktik Islam yang benar, berhenti sabung ayam, minum tuak dan manin batu/judi. Itu dilakukan oleh kaum perempuan yang seperti sekarang, pusing melihat laki-laki judi online!.
Ada dua buku penting yang sangat berpengaruh kepada pemikiran saya yaitu Kumpulan tulisan di Prisma tahun 1977 “Manusia Dalam Kemelut Sejarah”. Didalamya terdapat pengantar dari Taufik Abdullah, Manusia Dalam Sejarah Sebuah Pengantar; Lalu tulisan tentang Sukarno oleh Pak Onghikham : Mitos Dan Realitas, Lalu “Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus” yang ditulis Y.B. Mangunwijaya; Memimpin adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim ditulis oleh Mohammad Roem; Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian oleh Alfian; Kahar Muzakkar: Profil Patriot Pemberontak oleh Mattulada; lalu tulisan “Revolusi Memakan Anak Sendiri”: Tragedi Amir Sjarifudin oleh Abu Hanifah; dan satu satunya tokoh perempuan Rahmah El Yunusiyyah: Kartini Perguruan Islam oleh Aminuddin Rasyad Dosen Fakultas Tarbiah IAIN Jakarta.
Buku kedua adalah yang editornya suami sendiri Ismed Natsir: Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, juga ban Catatan Harian Seorang Demonstran Soe Hok Gie.
Kala itu di tahun-tahun 80-90an Majalah Mingguan Tempo merupakan majalah dengan kolom-kolom yang istimewa. Di sana pikiran-pikiran kritis dalam isu sosial, politik, keagamaan, sejarah dan isu Pembangunan dapat kita peroleh dari Gus Dur, Umar Kayam, Aswab Mahasin, Romo Mangun, Masri Singarimbun, Onghokham, Toety Herati, Taufik Abdullah dll.
Tetapi untuk menajamkan kemampuan menulis kita harus membaca karya sastra. Suami saya pindah dari LP3ES ke Graffiti Press. Disana terbit buku2 sastra yang indah, “Roti dan Anggur” karya Ignazo Silone yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh Novelis Marianne Katoppo, atau buku Gadis Pantai dari Pramoedya Ananta Toer. Penggamabarannya begitu hidup, kritik atas feodalisme islam di pesantren yang melanggengkan tradisi poligami sebagai pengganti pergundikan di Jawa. Buku “Pramuria dari Lucknow” karya sastrawan Parsi Mohammad Hadi Ruswa, serta Perempuan d Titik Nol karya Nawal El Sadawi. Pada era berikutnya tentu buku-buku karta Pramudya Ananta Toer ikut menyertai bacaan sastra saya Bumi Manusia Anak Segala Bangsa dan Jejak Langkah. Tapi ada juga buku yang saya baca berulangkali Mushahshi yang tebalnya setebal bantal. Karena kalau metafornya buku Telepon kalian pasti tak pernah melihat buku telepon.
Modal Ketiga adalah Menajamkan Analisis Melalui Diskusi
Di Ciputat, saya tumbuh di tengah-tengah pendampingan tokoh-tokoh yang aktif mengembangkan forum diskusi yang dikembangkan sejak era Cak Nur, lalu ada Cak Irhamni dan lanjut Fachry Ali, Azyumardi Azra, Iqbal Abdur Rauf Saimima, Mereka adalah tokoh penting yang mendorong saya berani menulis di koran dan Majalah Panjimas. Memang kala itu belum ada tokoh perempuan selain dalam stuktur organisasi ektra seperti Kohati dan Kopri
Modal Keempat adalah Bergabung dengan Gerakan Feminis
Basis-basis pengetahuan dan critical thinking saya peroleh di luar kampus ketika aktif di kelompok perempuan Kalyanamitra. Di sana dasar-dasar pemikiran kritis tentang feminisme saya peroleh. Gagasan itu kemudian dikembangkan dalam gerakan yang kontekstual yaitu gerakan penyadaran hak-hak perempuan dalam Islam melalui forum Fiq an Nisa. Inilah fondasi penting dalam berkembangnya isu-isu gender dan Islam. Hal ini yang kemudian melahirkan orang seperti Kyai Husein Muhammad, Kiai Faqihuddn Abdul Kodir, Kiai Marzuki Wahid, Nyai Masriah Anva da ratusan nyai yang melahirkan KUPI di Cirebon tahun 2017
Tahap Berikutnya adalah Menentukan Etape Perjalanan yang Cocok dengan Kepribadian Kita.
Karenanya untuk jalan berikutnya adalah mengembangkan minat. Mau jadi apa? Kebetulan selain menulis saya sangat meminati dunia penelitian sejak tahun 1984, dan sampai 2024.minggu lalu saya masih pergi blusukan ke lapangan. Mbahnya adalah Prof Martin van Bruinessen. Selama 1 tahun di tahun 2083-1984 saya belajar langsung etnografi di lapangan, tinggal di kampung kota / urban miskin di Bandung. Itu adalah sekolah yang lengkap, belajar mendengarkan, meneliti, menulis dan menerbitkannya. Tidak ada bidang pekerjaan lain yang betul-betul membuat bergariah selain dalam penelitian. Itu adalah jalan samurai yang tidak ringan. Banyak peneliti berhenti di jalan atau mengandalkan asisten peneliti. Tapi saya merasa dunia penelitian adalah ladang hidup lahir batin , mencari nafkah sekaligus mengasah ketajaman spiritual saya.
Dunia penelitian menggabungkan seluruh tahapan-tahapan yang telah dikemukakan: membaca, menulis, mengasah teori baru, skeptisisme terhadap suatu temuan penelitian, dan curious untuk mencari jawaban.
Minat kedua dalam pengembangan diri adalah menjadi fasilitator dan Trainer dalam isu gender. Guru saya adalah Bang Roem Topatimasang dan Alm Mansour Fakih. Maka saya kemudian mengembangkan modul-modul dan training Islam, gender dan hak-hak reproduksi perempuan. Sampai saat ini saya masih mengisi pelatihan-pelatihan termasuk dalam menulis kritis untuk perguran tinggi di Indonesia Timur dengan program KONEKSI DFAT. Pelatihan terakhir dalam forum yang besar adalah 9 hari melahir para aktivis HAM jaringan Sisters in islam di KL.
Demikianlah kiranya yang dapat saya sampaikan. Ilmu tak datang dari ruang kosong di langit, tapi dengan ilmu kita pasti mampu menggapai langit.
Depok, 23 Desember 2024
Lies Marcoes-Natsir
Wali Amanah Yayasan Fahmina
— Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024.
by admin | 24 Dec 2024 | Berita
ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon resmi mewisuda puluhan mahasiswa dan mahasiswi, dalam Wisuda Sarjana Angkatan VIII di Ballroom Hotel Patra Cirebon. Acara tersebut berlangsung pada Senin, 23 Desember 2024, mulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 13.00 WIB.
Acara wisuda ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk, Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd. (Direktur Penais Kemenag RI), Dr. H. Syamsuddin (KOPERTAIS Wilayah II Jawa Barat), Lies Marcoes Natsir, (Wali Amanah Yayasan Fahmina dan Aktivis Gender Islam), para kyai dari berbagai pondok pesantren, dan para rektor dari berbagai perguruan tinggi.
Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid, dalam sambutannya memberikan pesan kepada para wisudawan dan wisudawati tentang pentingnya menjaga komitmen yang telah diikrarkan saat prosesi wisuda.
“Islam adalah agama keadilan untuk seluruh hamba-Nya dan rahmat bagi seluruh makhluk-Nya. Oleh karena itu, kalian harus menegakkan keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan, dan kedamaian untuk semua,” ujar Kiai Marzuki.
Beliau juga menegaskan komitmen ISIF untuk mencetak lulusan yang bermoral dan berilmu, serta mengingatkan agar para alumni tidak terlibat dalam praktik korupsi maupun kekerasan.
“Kami mengharamkan lulusan ISIF untuk terlibat dalam korupsi atau kekerasan dalam bentuk apa pun. Jika ada alumni ISIF yang melanggar nilai ini, kami tak segan untuk mengevaluasi gelar kesarjanaannya,” tambahnya.
Selain itu, Marzuki Wahid juga menekankan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi komitmen dan visi utama ISIF.
“Laki-laki dan perempuan itu setara. Tugas kalian adalah memperjuangkan keadilan dan kesetaraan untuk semua, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh umat manusia,” tegasnya.
Acara prosesi wisuda ini dipimpin langsung oleh KH. Marzuki Wahid, didampingi segenap pimpinan dan senat akademik ISIF. Prosesi tersebut berlangsung khidmat dan menjadi momen bersejarah bagi puluhan mahasiswa dan mahasiswi yang resmi menyandang gelar sarjana.**
by admin | 17 Dec 2024 | Berita
ISIF Cirebon – Pusat Studi Islam Gender dan Seksualitas (PUSIGAS) ISIF Cirebon bersama Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pemahaman Santri tentang Kekerasan dalam P2GP/Sunat Perempuan dan Pencegahannya.” Acara yang berlangsung di Rumah Joglo, Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina pada Minggu, 15 Desember 2024 ini menghadirkan Lies Marcoes Natsir, konsultan temporal United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, sebagai narasumber utama.
Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen PUSIGAS ISIF untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, salah satunya praktik Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. FGD ini juga diselenggarakan sebagai respons terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang menegaskan larangan praktik P2GP karena dampaknya yang membahayakan kesehatan fisik dan mental anak perempuan.
Angka Sunat Perempuan
Menurut Lies Marcoes, sunat perempuan (P2GP) masih banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, meskipun telah terbukti tidak membawa manfaat apapun bagi perempuan.
“Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, mengungkapkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama di Indonesia menjalani sunat perempuan,” papar Lies.
Angka tersebut menurut Lies, mencerminkan masih kuatnya penerimaan sosial terhadap praktik yang sejatinya berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Dalam diskusi, Lies juga memaparkan hasil penelitiannya terhadap sikap empat organisasi keagamaan besar di Indonesia – Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) – yang memiliki pandangan berbeda-beda terkait praktik P2GP. Yang paling menarik baginya adalah pandangan KUPI yang menggunakan women lives reality (pengalaman khusus perempuan) sebagai alat ukur kemaslahatannya.
“Kalau mau mengetahui sunat perempuan itu adil atau tidak, jangan tanya kepada laki-laki yang memegang ayat, tapi (tanya) kepada pengalaman perempuan yang mengalami langsung sunat perempuan,” ungkap penulis buku Merebut Tafsir ini.
Setelah pemaparan, Lies Marcoes memfasilitasi diskusi bersama para santri Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Para peserta berbagi pengalaman terkait praktik P2GP di daerah asal mereka. Beberapa peserta menyatakan bahwa praktik ini masih dianggap sebagai kewajiban sosial dan ritual adat yang harus dijalankan.
“Jika anak perempuan tidak disunat, mereka akan mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dianggap tidak suci atau tidak sempurna,” ungkap salah seorang peserta.
Sikap Tegas PUSIGAS ISIF terhadap Praktik Sunat Perempuan
Melalui FGD ini, PUSIGAS ISIF menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis di kalangan santri mengenai bahaya Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. Nafida Inarotul Huda, fasilitator dari PUSIGAS, menekankan bahwa praktik P2GP harus dilihat sebagai bentuk kekerasan berbasis gender. Hal ini baginya tidak hanya merugikan perempuan secara fisik tetapi juga melanggar hak asasi perempuan.
“Sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan karena di sana ada upaya melukai alat reproduksi perempuan. Di beberapa kasus, praktik ini mengakibatkan pendarahan hebat, bahkan menyebabkan kematian,” tegas Nafida.
Sebagai lembaga yang berfokus pada isu gender dan keadilan sosial, PUSIGAS ISIF memiliki komitmen kuat untuk menghentikan praktik sunat perempuan. Sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang serta trauma psikologis bagi perempuan.
“Sunat perempuan adalah harmful practices atau praktik yang berbahaya dan merugikan perempuan sehingga penting bagi PUSIGAS ISIF untuk mengadvokasi dan menghentikan praktik ini,” lanjut Direktur PUSIGAS ini.
Peran Santri
Dalam diskusi tersebut, PUSIGAS ISIF juga menekankan pentingnya peran santri sebagai agen perubahan. Santri diharapkan mampu memahami hak-hak reproduksi perempuan serta menyebarkan informasi mengenai dampak buruk P2GP di lingkungan mereka. Dengan pengetahuan yang mereka dapat, santri dapat berkontribusi dalam upaya advokasi dan pencegahan praktik P2GP di masyarakat.
“Kami berharap santri teredukasi dan terinformasi tentang hak-hak reproduksi perempuan, serta memahami dampak sunat perempuan. Selain itu, melalui testimoni dan cerita pengalaman perempuan yang dibagikan dalam forum ini, kita bisa memperkaya khazanah pengalaman khas perempuan,” tambah Nafida.
Pengalaman-pengalaman ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi penting bagi aktivis, advokator, dan pembuat kebijakan. Kesaksian langsung dari perempuan yang mengalami praktik ini dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk segera mengakhiri tradisi dan praktik sunat perempuan.**
by admin | 12 Dec 2024 | Berita
ISIF Cirebon – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Pusat Studi Islam dan Gender (PUSIGA) ISIF , Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, dan Komnas Perempuan menggelar Kuliah Kolaboratif bertajuk “Eksplorasi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Bersama Komnas Perempuan, ” pada Rabu (11/12/2024).
Kegiatan yang bertempat di Rumah Joglo, Majasem, Kota Cirebon ini, menghadirkan Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor , sebagai narasumber utama dan diikuti puluhan Mahasantriwa (santri Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina).
Kegiatan diawali dengan Upacara oleh Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Kyai Marzuki Wahid dan Ny. Nurul Bahrul Ulum, dilanjutkan dengan paparan materi oleh Maria Ulfah Ansor.
Dalam paparannya, Maria mengungkapkan mengenai tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia.
“Dalam catatan Komnas perempuan,” katanya, “kekerasan seksual menduduki posisi kedua dalam jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan.”
Ia menambahkan, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, kekerasan seksual di perguruan tinggi dan pondok pesantren menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai lokasi terjadinya kasus kekerasan seksual.
“Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, terus terang saya merasa malu. Dan yang paling mengharukan, kasus ini terjadi di hampir setiap lembaga keagamaan yang ada di Indonesia,” ujar Komisioner Komnas Perempuan ini.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi dan berbagi cerita. Beberapa peserta membagikan pengalaman mereka terkait kasus kekerasan terhadap perempuan.
Fikri, salah seorang peserta, menyatakan sering menyaksikan kekerasan seksual saat masih bersekolah. Namun, ketika itu, ia menemukan kebingungan korban dalam menentukan pihak yang tepat untuk melapor.
Sementara itu, peserta lain, Lelah, mengisahkan pengalaman pribadinya menyaksikan seorang suami memaksa istrinya berhubungan seksual saat menstruasi. Ketika sang istri menolak, ia justru menjadi korban kekerasan karena mengalami penganiayaan.
Pengalaman serupa juga diceritakan Nani yang pernah bekerja di sebuah pabrik. Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan lazim terjadi di tempat kerja. Yang paling memprihatinkan, kasus-kasus tersebut minim penindakan, terutama yang melibatkan atasan sebagai pelaku.
Maria menutup sesi dengan pentingnya mengawal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Selain itu, Maria mendorong peran aktif tokoh agama, terutama Kyai, untuk ikut berkontribusi secara langsung dalam mengawali isu ini.
Menurutnya, tokoh agama memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat melalui pendekatan nilai-nilai keagamaan yang inklusif dan berkeadilan.
“Kita semua bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung para korban, serta membangun masyarakat yang bebas dari kekerasan seksual,” tegasnya.**
by admin | 7 Dec 2024 | Berita
Sejumlah elemen yang tergabung dalam Lingkar Fahmina mengecam langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan yang melarang penyelenggaraan kegiatan Jalsah Salanah di Manis Lor.
Kegiatan yang akan diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) itu dibatalkan secara tiba-tiba lantaran turunnya surat larangan yang diterbitkan Pemkab Kuningan.
Surat larangan tersebut bernomor 200.1.4.3/4697/BKBP perihal Pelaksanaan Kegiatan Jalsah Salanah JAI di Kabupaten Kuningan tertanggal 4 Desember 2024 yang meminta agar kegiatan tersebut tidak dilaksanakan.
Alasannya, sebagaimana disampaikan Pj Bupati Kuningan Agus Toyib, kegiatan Jalsah Salanah dapat menyebabkan kondusivitas daerah terganggu.
Agus Toyib juga menyampaikan bahwa larangan tersebut merupakan hasil pertemuan dengan unsur Forkopimda Kabupaten Kuningan, Forkopimcam Jalaksana, Ketua Ormas Keagamaan, dan FKUB.
Surat tersebut dilanjutkan dengan surat Sekda Kabupaten Kuningan Nomor 200.1.4.3/4666/BKBP perihal Pemberhentian Kegiatan Persiapan Jalsah Salanah JAI di Kuningan yang dibuat 5 Desember 2024.
Dalam surat ini diduga Pj Sekda mengancam jika kegiatan persiapan Jalsah Salanah tidak dihentikan, maka akan dilakukan penertiban sebagaimana mestinya.
Merepons hal itu sejumlah perwakilan dari berbagai elemen yang tergabung dalam Lingkar Fahmina bertemu untuk menyikapi tindakan Pemkab Kuningan.
Sebelum menggelar pertemuan, sejumlah perwakilan turun ke lokasi melakukan pengamatan di lapangan yang ada di Desa Manis Lor pada Jumat, 6 Desember 2024 pukul 10.00-11.30 WIB.
Mereka di antaranya Rektor ISIF Marzuki Wahid, Direktur Fahmina Institute Marzuki Rais, Direktur LBH Fahmina Mukhtaruddin, sejumlah dosen ISIF dan aktivis Fahmina.
Hasil pengamatan di lapangan, sebagaimana disampaikan juru bicara Lingkar Fahmina, Marzuki Rais, menemukan semua jalan menuju kawasan JAI Manis Lor ditutup oleh aparat keamanan di mana terlihat dalam pemblokiran jalan personel Polisi, TNI dan Satpol PP.
“Akhirnya, kami jalan kaki dari jalan raya menuju kawasan JAI di Manis Lor. Kami lihat tenda-tenda tempat Jalsah Salanah sudah dibongkar, petanda bahwa JAI tidak akan menyelenggarakan kegiatan Jalsah Salanah karena larangan dari Pemerintah Kuningan,” ungkap Marzuki Rais.
Dia menyampaikan, diperoleh informasi dari pimpinan JAI bahwa Jalsah Salanah bahwa sedianya akan dilaksanakan sebelum Pilkada 2024, namun karena menghormati suasana Pilkada, akhirna diundur setelahnya.
“Warga JAI Manis Lor pun telah bersiap menyambut tamu yang akan datang dari berbagai daerah se-Indonesia pada 6 Desember 2024,” sambungnya.
Bahkan, kata dia, setelah diterbitkan surat pemberhentian oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan sekalipun, 2000-an Jamaat Ahmadiyah Manislor menandatangani untuk tetap diselenggarakan Jalsah Salanah karena persiapannya yang sudah matang.
Dikatakan, persiapan pelaksanaan Jalsah Salanah telah dilakukan warga JAI Manis Lor sejak dua bulan yang lalu, namun gagal gegera surat pemberhentian dari Pemkab Kuningan yang datang tiba-tiba.
Melihat hal itu, Lingkar Fahmina memandang bahwa tindakan Pemkab Kuningan adalah pelanggaran atas konstitusi sebagaimana diundangkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Termasuk soal keyakinan, UUD 45 Pasal 29 ayat (2) juga menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan.
Selain itu, lanjut dia, tindakan Pemkab Kuningan juga menciderai demokrasi Pancasila yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan.
Tindakannya bukan saja tidak menghargai kelompok minoritas dan kelompok rentan, melainkan telah menciderai kemanusiaan dari ibu-ibu dan anak-anak, baik yang tinggal di Manis Lor maupun yang terpaksa menginap di jalan karena dipaksa untuk pulang kembali ke daerahnya.
Disampaikan, tindakan diskriminasi dan intoleransi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan ini berkontribusi terhadap posisi Jawa Barat sebagai daerah yang terendah tingkat toleransinya.
“Sebagaimana Indeks Kerukunan Umat Beragama yang dikeluarkan Kementerian Agama RI tahun 2024 memosisikan Jawa Barat sebagai 10 besar provinsi yang intoleran di Indonesia,” ucap Marzuki Rais.
Atas dasar argument tersebut, sambung Marzuki Rais, Lingkar Fahmina menyampaikan sejumlah tuntutan antara lain:
1. Menuntut Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mencabut surat pemberhentian Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor Kuningan yang seharusnya dilaksanakan sejak 6 Desember sampai 8 Desember 2024.
2. Menuntut Forkopimda Kabupaten Kuningan terutama aparat Kepolisian dan Satpol PP agar memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan terhadap warga Ahmadiyah yang mengikuti kegiatan Jalsah Salanah di Manislor Kuningan. Tidak malah tunduk pada kebijakan yang diskriminatif dan ancaman kelompok-kelompok intoleran yang justru memecah belah kesatuan bangsa.
3. Menuntut Pemerintah Pusat, khususnya Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Mabes Polri untuk menginstruksikan kepada jajarannya di Kabupaten Kuningan agar mencabut kebijakan pemberhentian Jalsah Salanah dan memberikan jaminan keamanan kepada semua warga Ahmadiyah yang hadir sebagai warga negara Indonesia.
4. Menuntut Pemerintah Kabupaten untuk menghormati dan melindungi para perempuan dan anak-anak yang datang ke Kuningan untuk mengikuti Jalsah Salanah, bukan malah menahan untuk tidak masuk kawasan Manislor, dan ‘mengusir’nya untuk kembali ke daerah tanpa mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan jamaat Ahmadiyah.
5. Mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga toleransi di atas perbedaan yang ada serta memperkuat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman dengan menjalankan konstitusi dan pengamalan ajaran agama yang tawassuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh, sebagaimana yang disampaikan Presiden Prabowo dan program unggulan Kementerian Agama RI.
Pihaknya meminta masyarakat agar terus memperjuangkan keadilan, penghormatan hak asasi manusia, toleransi, dan kebebasan beragama di Indonesia, agar cita-cita kemerdekaan bisa dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia.
Sejumlah elemen Lingkar Fahmina yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain:
- Marzuki Rais (Direktur Fahmina Institute)
- Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina)
- Mukhtaruddin, SH (Direktur LBH Fahmina)
- Abdul Hamid (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Jamblang Cirebon)
- Arijalusshobirin (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Arjawinangun Cirebon)
- Abdul Barih (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Gebang Cirebon)
- Izzi Maulana (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Losari Cirebon)
- H. Achmad Rivai (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Weru Cirebon)
- Haryono (Pelita Perdamaian Cirebon)
- Heru Kusumo (Penggerak Moderasi Beragama Kota Cirebon)
- Intan Damayanti (Fatayat NU dan Pengerak moderasi Kab Majalengka)
- Rizki Fadillah (Ketua Komunitas Kita Mengabdi)
- Ahmad Koer Afandi (Ketua Komunitas Deru Majalengka Bangkit)
- Anggara (Kordinator Steering Committe KUMPPARAN Kab Majalengka )
- Yuli Elita Theresia Hutauruk (Lingjar Fahmina Kuningan)
- Ahmad khoer afandi (Ketua Komunitas Deru Majalengka Bangkit)
- Anggara (Kordinator Steering Committe KUMPPARAN Kab Majalengka )
- Fiki Hasbi (IPNNU Kab Majalengka)
- Dinda Maulida (Pengerak moderasi Majalengka)
- Fredrico Oktavinus (Pemuda Katolik Kabupaten Cirebon)
- Pipih Indah Permatasari (Penggerak Moderasi Beragama Babakan Cirebon)
- Silviana Rohmah (Penggerak Moderasi Beragama Ciledug Cirebon)
- Devi Farida (Forkolim Remaja Cirebon Timur)
- Bayu (Forum pemuda Lintas Agama (Komsulin) Kedawung Cirebon)
- Zanuba (Forum Lintas Agama (Kelabang) Kec. Lemah Abang Cirebon). ***
— Artikel ini dihimpun dari laman CirebonTimes.com (https://www.cirebontimes.com/nasional/79414102556/pemkab-kuningan-dituding-langgar-konstitusi-terkait-pelarangan-jalsah-salanah-di-manis-lor-lingkar-fahmina-segera-cabut-surat-larangannya?page=4) yang terbit pada Sabtu, 7 Desember 2024 pukul 13:09 WIB dengan judul: “Pemkab Kuningan Dituding Langgar Konstitusi Terkait Pelarangan Jalsah Salanah di Manis Lor, Lingkar Fahmina: Segera Cabut Surat Larangannya!“
by admin | 1 Dec 2024 | Buku, Mahasiswa & Alumni
Oleh Sukma Aulia Rohman
Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan penuh keberagaman. Baik keragaman gender, sifat, ras, suku, serta kepribadian. Keragaman hal tersebut dapat menjadikan dunia ini penuh warna warni. Dalam kepercayaan agama Islam, keragaman tersebut sengaja diciptakan Tuhan agar manusia saling mengenal.
Dalam aspek sosial, manusia tidak dapat tumbuh dan menjalani hidup seorang diri. Melainkan manusia pasti membutuhkan manusia lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan.
Dalam menjalani kehidupan sebagai mahluk sosial, manusia perlu menjaga kesehatan dirinya baik fisik maupun mental. Karena dunia ini bersifat dinamis maka berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial tidak dapat dihindari.
Menjaga kesehatan mental dapat berpengaruh pada kualitas hidup karena antara mental dan kepribadian memiliki korelasi yang kuat. Tak jarang dikemukakan oleh ahli kesehatan bahwa banyak kasus dimana seseorang yang mengalami sakit secara fisik ternyata dipengaruhi oleh kesehatan mentalnya.
Contoh sederhana dalam hal ini adalah ketika seseorang sedang dilanda patah hati akibat putus cinta. Maka beberapa orang akan melakukan tindakan sebagai bentuk responsif dengan cara tidak mau makan, mengurung diri, bahkan sampai melakukan tindakan self harm atau bahkan lebih parah yaitu bunuh diri. Hal tersebut mereka lakukan karena adanya tekanan emosional yang kemudian direalisasikan oleh fisik.
Untuk mencegah melakukan tindakan yang merugikan akibat tidak terkontrolnya emosi, para ahli Psikologi memaparkan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga agar emosi kita tetap stabil. Diantaranya adalah melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain game, jalan-jalan atau healing, berhias, membaca buku dan lain sebagainya.
Tentang Novel Solilokui
Membaca buku merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurai emosi atau rasa kesal yang ada dalam jiwa. Kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup ketika kita menemukan hal yang relate dengan apa yang kita rasakan.
Ada banyak macam jenis buku baik fiksi maupun non fiksi yang berbicara mengenai realita kehidupan yang terjadi. Salah satu buku fiksi menarik yang akhir-akhir ini saya baca adalah novel Solilokui karya Nana Sastrawan.
Novel Solilokui ini merupakan karya sastra bercorak Psiokologi serta Filsafat yang membaluti nilai-nilai kehidupan dalam aspek sosial, teologi, maupun personal. Novel berjumlah 103 halaman ini bagi sebagian orang akan terasa tipis, namun bagi saya pribadi diperlukan pengulangan untuk membacanya lebih dari satu kali. Karena seperti halnya Novel sastra kebanyakan, yang banyak menggunakan kalimat Metofara dalam penulisannya.
Novel ini meggunakan kata orang pertama atau “Aku” yang melakoni perannya sebagai tokoh utama yang akan menarik imajinasi para pembaca ke dalam alur cerita yang cukup menguras energi.
Skeptisisme tokoh “Aku”
Dalam novel ini tokoh aku digambarkan sebagai sosok yang memiliki beberapa gangguan Psikologis seperti kecemasan, depresi, halusinasi, yang membuat ia ingin bunuh diri ditanggal kelahirannya. Tanggal kelahirannya atau kelahirannya ke dunia seolah menjadi sebab mengapa ia menderita sehingga kemudian ia mengatakan bahwa “Aku merasakan bahwa, takdir ku adalah mati bunuh diri, tak ada yang lain”.
Tokoh aku seolah menentang Tuhan karena menurutnya takdirnya adalah mati. Padahal jika kita memandang menggunakan perspektif hukum islam, maka percaya kepada takdir merupakan suatu keharusan bagi seluruh manusia. Tuhan tentu saja memiliki skenario yang tidak diketahui oleh siapapun.
Namun kepercayaan umat islam terhadap takdir ini mungkin saja ditolak oleh beberapa golongan. Diantranya adalah golongan Skeptisisme yang berarti ragu atau meragukan segala sesuatu.
Tokoh “Aku” pada bab pertama, melontarkan pertanyaan soal realita yang terjadi. “mengapa kita lahir sebagai manusia?”.
Pertanyaan tokoh “Aku” secara tidak langsung menanyakan mengapa Tuhan menciptakan manusia? Atau mengapa kita ditakdirkan sebagai manusia? Pertanyaan semacam ini merupakan bentuk keraguan terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta atau yang menciptakan manusia.
Dalam filsafat, orang yang bertanya seperti demikian disebut Skeptis atau dapat disebut juga Skeptisisme. Skeptisisme dapat diartikan sebagai sikap meragukan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya.
Skepstis pada dasarnya mendorong kita untuk lebih berpikir kritis namun jika kita salah dalam berpikir maka skeptis dapat menghantarkan kita untuk tidak mempercayai Tuhan. Seperti teori Skeptisisme David Hume yang mengatakan bahwa “ tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk meyakinkan keberadaan Allah”. Hal tersebut ia katakan karena ia mendengar apa yang dikatakan oleh teolog bahwa Tuhan itu maha sempurna.
Hume menolak keras perkataan teolog tersebut karena ia melihat banyak ketidaksempurnaan yang ada di alam ini seperti kejahatan, penyiksaan, dan keburukan. Jika Tuhan disebut maha sempurna, adanya bukti tersebut dapat dipahami juga bahwa Tuhan tidak maha sempurna, bahkan Tuhan merupakan pelaku kejahatan. Pernyataan dari Hume di atas akan dirasa sebuah kebenaran jika dipahami oleh seseorang yang merasa bahwa hidupnya hanya berisi penderitaan, keputusasaan atau bahkan menganggap bahwa takdirnya adalah mati seperti tokoh “Aku”.
Gangguan psikologi tokoh “Aku”
Tokoh “Aku” dalam novel ini memiliki beberapa gangguan terhadap jiwanya. Pada mulanya penulis Novel ini hanya menceritakan tokoh “Aku” yang mengalami gangguan dalam kejiwaanya seperti penderitaan, kecemasan, halusinasi, keputusasaan, hingga mengutuk Tuhan, tanpa menjelaskan latar belakang mengapa tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut.
Kemudian penulis baru menceritakan alasan tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut pada tengah Novel yaitu karena ia telah membunuh ibu dan istrinya. Kemudian tokoh aku mengalami depresi, kecemasan, hingga halusinasi selama ia mengasingkan diri ke sebuah villa di perbukitan.
Jika kita melihat dari alur cerita yang disajikan oleh penulis, maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa segala bentuk gangguan jiwa hingga keinginan bunuh diri tokoh “Aku” disebabkan karena ia telah membunuh ibu dan istrinya.
Dalam perspektif Psikologi, ada satu bahasan menarik mengenai kondisi jiwa para pelaku pembunuhan. Secara gamblang mungkin dapat dikatakan bahwa pelaku pembunuhan akan mengalami beberapa hal di antaranya adalah diliputi rasa bersalah, dihantui oleh bayang-bayang korban, hingga mengalami halusinasi yang semuanya dapat menggoncang kondisi kejiwaan secara otomatis. Namun di sini kita akan mencoba menggali kondisi pelaku pembunuhan saat atau setelah melakukan pembunuhan.
Dinamika Emosional pelaku pembunuhan
Sebelum membahas lebih lanjut terkait kondisi emosional pelaku pembunuhan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah sifat agresif seseorang sudah ada sejak ia lahir? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa teori yang dikemukaan oleh para ahli psikologi di antaranya adalah teori Bandura (1973 dalam Batrol & Batrol). Ia mengatakan bahwa sifat agresif manusia merupakan hasil dari belajar Psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan tindak kejahatan oleh orang di sekitar yang kemudian memunculkan pengulangan paparan disertai dengan penguatan sehingga semakin memicu orang untuk melakukan tindak kejahatan dari apa yang ia lihat.
Berdasarkan teori Bandura, maka ada kemungkinan bahwa pelaku pembunuhan melakukan tindakannya karena sebelumnya ia pernah melihat tindakan yang sama, baik melihat secara langsung atau tidak langsung seperti melalui buku bacaan, ragam tontonan, dan lain sebagainya.
Jika seseorang melakukan aksi pembunuhan karena ia pernah menyaksikan hal yang sama, maka apa yang ada di benaknya saat dan setelah ia melakukan pembunuhan?.
Dalam hal ini, beberapa temuan berdasarkan hasil penelitian terhadap para pelaku pembunuhan mencoba menjawab bagaimana kondisi emosional pelaku pembunuhan.
Dalam melakukan tindakan pembunuhan, para pelaku ini melakukan sebuah tindakan Implusif yang artinya melakukan suatu tindakan tanpa berpikir panjang atau tanpa merefleksikan akibat dari perilakunya. Seperti saat tokoh “Aku” menusuk dada ibunya dengan belati. Kemudian dalam Novel ini disebutkan “Hatiku hancur atau lebih tepatnya marah terhadap diri sendiri. Mengapa harus aku lakukan?”. Narasi tersebut menandakan bahwa ia telah melakukan tindakan Implusif.
Kemudian pelaku pembunuhan akan dihantui oleh perasaan bingung, ketakutan dan bayangan rasa bersalah. Perasaan tersebut akan terus menghantui pelaku dan kemudian mendorong ia untuk melakukan beberapa tindakan salah satu atau yang paling umumnya adalah melarikan diri.
Rasa trauma terhadap benda tajam juga akan menghantui benak pelaku, dan tak sedikit dari pelaku pembunuhan yang akan ketakutan ketika melihat benda yang pernah ia gunakan untuk melakukan pembunuhan.
Penutup
Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari beberapa permasalahan hidup. Terkadang beberapa permasalahan yang hadir dalam hidup tak pernah disangka-sangka kedatangannya. Dalam perspekti psikologi, segala permasalahan yang kita hadapi tentu saja akan berdampak pada kondisi kejiwaan kita.
Kondisi kejiwaan yang buruk, serta ketidakmampuan kita untuk mengontrol emosi, akan berdampak buruk pada diri. Kita bisa menyalahkan bahkan mengutuk takdir yang Tuhan berikan kepada kita.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menggapai kehabagiaan agar kondisi kejiwaan kita dapat tetap stabil salah satunya adalah membaca buku.
Buku Solilokui karya Nana Sastrawan ini, layak untuk dibaca dan dapat kita petik pelajaran untuk senantiasa menjaga emosi serta mengontrol diri agar kita tidak melakukan tindakan konyol yang akan berujung pada penyesalan serta penghakiman terhadap Tuhan.
Bahagia dapat kita peroleh melalui beberapa cara. Namun pada hakikatnya bahagia adalah saat kita terhindar dari emosi negatif yang membuat kita merasa terganggu.
— Artikel ini telah terbit lebih dahulu pada Senin, 25 November 2024 di laman https://mbludus.com (https://mbludus.com/dampak-gangguan-psikologis-dan-pengaruhnya-terhadap-skeptisisme-analisis-tokoh-aku-dalam-novel-solilokui/) dengan judul “Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui.”