by admin | 18 Sep 2025 | Berita, Kegiatan, Mahasiswa & Alumni
Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF)
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Sampah plastik merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang hingga kini belum terselesaikan. Jumlahnya terus meningkat setiap hari dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai. Kondisi ini menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, baik bagi tanah, udara, maupun kesehatan manusia.
Di daerah Sumurwuni, Argasunya , permasalahan sampah terasa lebih nyata karena lokasinya berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopiluhur. Keberadaan TPA ini menjadikan kawasan Sumurwuni tidak terlepas dari tumpukan sampah, ditambah dengan masih banyaknya sampah yang berceceran di sekitar lingkungan. Hal ini tidak hanya mengganggu kenyamanan masyarakat, tetapi juga menimbulkan tantangan besar dalam menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Melihat kondisi tersebut, mahasiswa Praktik Islamologi Terapapan (PIT) ISIF berinisiatif menyelenggarakan kegiatan belajar mengolah sampah plastik menjadi kerajinan tangan. Kegiatan ini berlangsung di Baperkam RT 2 RW 07 Sumurwuni Kelurahan Argasunya, pada Jum’at, 13 September 2025. Pertemuan ini bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah secara kreatif dan bermanfaat.
Untuk menunjang kegiatan, mahasiswa PIT menghadirkan Kang Emik, seniman daur ulang sampah plastik asal Tegal Gubug, Cirebon. Ia hadir mendampingi mahasiswa dan masyarakat untuk berbagi pengalaman serta keterampilannya dalam mengubah sampah plastik menjadi karya seni bernilai guna.
Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan masyarakat tidak hanya lebih peduli terhadap lingkungan, tetapi juga terinspirasi untuk melihat sampah sebagai sumber daya yang bisa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat sekaligus bernilai ekonomis.
Peserta kegiatan terdiri dari remaja, bapak-bapak, dan ibu-ibu warga sekitar yang antusias belajar membuat kerajinan. Acara dibuka oleh ketua kelompok PIT, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Kang Emik. Ia menjelaskan berbagai bahan dan alat yang dapat digunakan dalam pembuatan kerajinan, sekaligus menunjukkan contoh hasil karya dari lelehan plastik bekas.
Selanjutnya, Kang Emik menyebarkan cara membuat cetakan sederhana dari kaleng minuman. Para peserta kemudian diberi kesempatan mencoba sendiri. Suasana kegiatan berlangsung hangat, terlihat dari banyaknya pertanyaan dan rasa penasaran warga, khususnya bapak-bapak.
Dari kegiatan ini, para peserta berhasil membuat cetakan sederhana dari aluminium berbentuk bintang. Cetakan tersebut dipilih karena bentuknya yang mudah dibuat dan menarik untuk dijadikan wadah percobaan dalam proses daur ulang plastik. Dengan adanya cetakan ini, peserta dapat lebih mudah membentuk lelehan plastik menjadi karya yang rapi dan seragam.
Selain itu, Kang Emik juga menunjukkan bagaimana lelehan plastik bisa diolah lebih lanjut menggunakan cetakan hingga menghasilkan produk baru yang fungsional dan bernilai estetika. Demonstrasi tersebut memberikan pemahaman lebih kepada masyarakat bahwa sampah plastik tidak hanya bisa dibuat kerajinan sederhana, tetapi juga diolah dengan teknik lebih lanjut sehingga menghasilkan benda yang kuat dan bermanfaat.
Melalui praktik langsung, peserta—khususnya para pemuda—semakin antusias karena dapat menyaksikan proses lengkap mulai dari membuat cetakan, melebur plastik, hingga mencetaknya menjadi karya baru. Hal ini bisa membuka wawasan bahwa dengan kreativitas dan keterampilan, bahwa sampah plastik dapat berubah menjadi barang bernilai guna sekaligus memiliki potensi ekonomis.
Kegiatan belajar bersama di Sumurwuni, Argasunya ini membuktikan bahwa sampah plastik dapat diolah menjadi barang yang bermanfaat dan bernilai seni. Selain menumbuhkan kreativitas, kegiatan ini juga meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.
Harapannya, kegiatan serupa dapat terus berlanjut secara berkesinambungan, sehingga masyarakat terbiasa memanfaatkan sampah plastik menjadi kerajinan yang bernilai. Hal ini juga sekaligus berkontribusi dalam mengurangi polusi lingkungan.[]
by admin | 18 Sep 2025 | Agenda, Berita
ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) yang ke-10 dengan mengangkat tema “Mewujudkan Tempat Ibadah Ramah Disabilitas” secara daring pada Selasa malam, 16 Sepetember 2025. Tema ini berangkat dari tantangan nyata yang dihadapi penyandang disabilitas dalam merasakan kenyamanan dan ketenangan beribadah di masjid maupun musholla, tanpa terhalang oleh hambatan fisik, sosial, maupun kultural.
Diskusi kali ini menghadirkan H. Siswadi Abdul Rachim, MBA, selaku Dewan Pembina PPDI sebagai pemantik. Hadir pula Dr. H. Arsyad Hidayat, Lc., MA, Direktur Urais dan Binsyar Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, yang bertindak sebagai penanggap. Sementara jalannya diskusi dimoderatori oleh Lailatul Qoimah, M.S.I., Dekan Fakultas Ushuluddin ISIF Cirebon.
Membumikan Ajaran Islam
Dalam forum ini hadir pula Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Marzuki Wahid, yang turut memberikan sambutan kegiatan. Dalam sambutannya, ia menyerukan perwujudan masyarakat yang inklusif melalui langkah nyata yang tidak berhenti pada wacana semata. Kesadaran kolektif ini, menurutnya, menjadi kunci agar hak-hak penyandang disabilitas benar-benar terpenuhi.
“Hal ini harus segera dimulai dan menjadi kesadaran kolektif kita semua. Tujuannya jelas, agar teman-teman penyandang disabilitas dapat mengakses berbagai aspek kehidupan yang memang merupakan hak mereka,” ungkapnya.
Marzuki juga menyinggung pembumian dalil dan argumentasi teologis yang selama ini masih berada di ranah “langit” sehingga menghasilkan satu rumusan yang lebih praktis untuk mewujudkan pembangunan rumah ibadah yang inklusif.
“Mustahil bagi kita memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bermunajat dan beribadah dengan khusyuk jika tempat ibadah, termasuk masjid dan mushola, tidak ramah bagi mereka,” terangnya.
Masjid Ramah Disabilitas
Sementara itu, Siswadi Abdul Rachim, selaku Dewan Pembina Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang hadir sebagai pemateri dalam kegiatan ini, membuka pemaparannya dengan menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya diskusi yang telah berlangsung dalam beberapa seri.
“Saya sangat senang dan mendukung sekali ketika isu fikih disabilitas dimunculkan dan itu menjadi harapan dan impian saya dan kawan-kawan disabilitas semuanya,” tutur Siswadi.
Dalam paparannya, ia menyampaikan bahwa Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang di dalamnya telah memuat hak-hak dasar penyandang disabilitas. Dalam undang-undang tersebut, ia menyebutkan beberapa hak penyandang disabilitas seperti kemudahan akses sarana ibadah, hak untuk memeluk agama secara benar dan baik, memperoleh akses yang layak ke sarana ibadah, mendapatkan kitab suci sesuai kebutuhan, serta hak untuk ikut serta secara aktif dalam organisasi keagamaan.
“Mengenai masjid atau mushola ramah disabilitas, hambatan yang sering dihadapi di lapangan antara lain desain bangunan yang masih bertangga sehingga menyulitkan pengguna kursi roda,” ujar Siswadi.
Lebih jauh, ia juga menyinggung persoalan lain yang kerap dihadapi penyandang disabilitas ketika beribadah di masjid, terutama terkait perdebatan hukum dan sikap sosial jamaah.
“Selain itu, perdebatan tentang hukum membawa kursi roda ke dalam masjid apakah diperbolehkan atau tidak yang menimbulkan masalah bagi jamaah disabilitas, serta faktor sosial jamaah yaitu masih adanya stigma dan kurangnya edukasi tentang pentingnya masjid ramah disabilitas,” tambahnya.
Dalam pandangannya, upaya menciptakan masjid ramah disabilitas perlu dirancang secara sistematis agar tidak berhenti pada wacana semata. Ia menekankan pentingnya langkah konkret yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas.
“Ke depan saya mengusulkan adanya pilot project untuk sosialisasi kepada takmir dan DKM tentang masjid ramah disabilitas. Selain itu, penting pula mengadakan pelatihan tentang masjid ramah disabilitas, termasuk pemahaman tafsir Al-Qur’an dan hadis terkait isu disabilitas,” jelasnya.
Temuan di Lapangan
Pada sesi tanggapan dari Arsyad Hidayat, ia mula-mula mengungkapkan survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terhadap 47 masjid di lingkungan kantor pemerintahan. Dari data yang ia temukan, ia melihat sebagian besar masjid tidak fasilitas yang memadai dan ramah disabilitas seperti ramp standar, parkir khusus, toilet dan tempat wudhu disabilitas, guiding block tunanetra, Al-Qur’an braille, maupun penerjemah bahasa isyarat.
“Saya tidak tahu apakah fenomena ini menjadi fenomena umum dari masjid-mesjid yang ada di tanah air. Sampai saya katakan masjid kementerian yang notabene adalah pusat pemerintahan terjadi seperti ini. Terus terang sangat memprihatinkan,” paparnya.
Selain itu, dalam temuan lanjutannya, ia mendapati bahwa permasalahan yang dihadapi para penyandang disabilitas tidak hanya terkait rumah ibadah tidak hanya sebatas pada infrastruktur atau sarana prasarana. Ada hal lain yang lebih mengkhawatirkan, utamanya soal pola pikir takmir masjid.
“Dari hasil wawancara dengan beberapa takmir masjid, masih ditemukan mindset yang mengatakan bahwa kelompok disabilitas bisa menggunakan rukhsah. Ini dijadikan pembenar untuk tidak menyiapkan sarana prasarana yang ramah difabel,” kata Arsyad, “menurut saya, pemikiran seperti ini jelas keliru,” tegasnya.
Akan tetapi, upaya mewujudkan rumah ibadah yang ramah difabel tidak bisa hanya dibebankan kepada takmir masjid atau pengurus semata. Dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah sangat dibutuhkan, baik melalui regulasi maupun alokasi bantuan.
“Pemerintah yang ada di pusat, seperti Kementerian Agama Pusat, pemerintah daerah atau mungkin ada lembaga lain dari pemerintah seperti Biro Kesra atau bagian kesejahteraan rakyat, saya pikir bisa menyalurkan bantuan agar bisa merealisasikan rumah ibadah yang ramah bagi jemaah difabel, agar mereka mendapatkan akses yang sama untuk bisa melaksanakan ibadah,” ungkapnya.
Di akhir pemaparan materinya, ia mengungkapkan harapannya terkiat keterlibatan semua pihak dalam mewujudkan lingkungan yang lebih inklusif.
“Mari kita dukung program yang ramah terhadap difabel, penyiapan rumah ibadah yang ramah, pendidikan yang ramah terhadap difabel dan tempat tempat bekerja yang ramah untuk mereka,” tutupnya.[]
by admin | 6 Sep 2025 | Agenda, Artikel, Kegiatan Mahasiswa
Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF Cirebon)
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Pada tanggal 28 Agustus mahasiswa PIT-PAR ISIF mengunjungi tempat produksi batu bata merah di Desa Argasunya tepatnya di wilayah RT 2 RW 7 Sumurwuni. Di tengah derasnya arus moderenisasi dan munculnya bahan bangunan baru, warga Sumurwuni masih mempertahankan produksi batu bata merah. Meskipun produksi ini bukan sebagai mata pencaharian utama, tapi produksi ini hanya musiman saja.
Proses pembuatan batu bata merah ini masih dilakukan dengan cara tradisional, mulai dari mengolah tanah, mencetak, menjemur, hingga membakarnya pun masih menggunakan cara tradisional. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga ekstra dan hanya dilakukan saat musim kemarau atau disebut musim ketiga oleh masyarakat Sumurwuni. Hasil batu bata sangat diminati karena kualitas batu bata buatan masyarakat Sumurwuni ini dikenal kuat dan tahan lama.
Pembuatan batu bata ini sudah berlangsung sejak lama. Di wilayah Sumurwuni ini terdapat dua tempat produksi batu bata merah. Tempat produksi yang mahasiswa PIT-PAR ISIF ini kunjungi adalah milik Bapak Mahmud (52), beliau adalah warga asli Sumurwuni di RT 2 RW 7.
Pak Mahmud ini selain mempunyai tempat produksi batu bata merah, beliau juga mempunyai peternakan ayam yang dijual sebagai ayam potong. Ia juga memanfaatkan kototoran ayamnya sebagai pupuk organik yang kemudian dijual kembali.
Awalnya, tutur Pak Mahmud, produksi batu bata ini tidak diperjualbelikan, hanya untuk kebutuhan pribadi. Tapi lama kelamaan banyak masyarakat yang mengetahui dan tertarik memesan batu bata merah Pak Mahmud. Proses pembuatan batu bata merah tersebut bukan dilakukan oleh Pak Mahmud sendiri, tapi dilakukan juga oleh Pak Udin (55). Pak Udin ini dibantu oleh satu orang pekerja lainnya dan terkadang Pak Mahmud juga ikut membantu proses pembuatannya.
Proses Pembuatan Batu Bata Merah
Proses pembuatan batu bata merah ini dimulai dari pembelian tanah Cadas, tanah cadas ini di beli dari tambang di wilayah Argasunya tepatnya di Cibogo. Tanah Cadas ini di beli dengan harga 200 ribu per dump truk. Dari 1 dump truk ini dapat menghasilkan 2.000 batu bata.
Tanah cadas kemudian diolah untuk menjadi adonan batu bata. Adonan batu bata merah ini tidak ada campuran lain, hanya dicampur dengan air saja. Menurut Pak Mahmud, tanah cadas ini sudah mengandung pasir, jadi tidak perlu ada campuran lain. Sedangkan untuk air yang dipakaii adalah air yang bersumber dari sumur yang dibuat sendiri oleh Pak Mahmud sendiri.
Setelah tanah sudah mencapai tekstur yang sempurna, kemudian siap di catak menjadi bentuk batu bata yang diinginkan. Ada dua ukuran batu bata yang di produksi oleh Pak Mahmud, yaitu ada ukuran besar dan kecil. Yang ukuran besar dihargai 1.200 rupiah dan yang ukuran kecil dihargai 1.000 rupiah.
Setelah pencetakan, proses berlanjut ke tahap penjemuran. Waktu penjemuran ini tergantung cuacanya, jika cuacanya panas hanya membutuhkan waktu seminggu saja untuk kering. Namun jika cuacanya sedang mendung atau berawan memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Setelah dijemur, bata akan dibakar, dengan waktu pembakaran yang membutuhkan waktu seharian penuh.
Setelah semua proses itu selesai dan keadaan batu bata sudah dingin, tinggal menunggu pembeli mengambil batu batanya. Karena biasanya batu bata ini dibuat karna adanya pesanan atau ada juga pembeli yang tanpa memesan dulu. Konsumen ini biasanya dari sekitar wilayah Argasunya saja, tapi ada juga konsumen dari luar yaitu dari wilayah Mandirancan Kuningan.
Penopang Ekonomi Keluarga
Bata merah Sumurwuni lahir dari tanah cadas yang keras, sekeras kenyataan hidup warganya. Namun dari kerja berat itu, lahir kekuatan dan kemampuan bertahan dalam himpitan. Setiap bata yang keluar dari tungku seakan membawa pesan bahwa rakyat kecil selalu punya cara untuk bertahan.
Bagi warga Sumurwuni, menjadi pengrajin batu bata memang bukan pilihan utama mata pencaharian utama. Menurut Pak Mahmud pilihan menjadi pengrajian batu bata adalah pilihan terakhir bagi sebagian warga untuk tetap bisa bertahan hidup.
“Yang membuat batu bata ini ya orang susah, kalo bukan orang susah mah tidak bakal buat batu kaya gini” ujarnya.
Meskipun penuh tantangan dan hasilnya tidak seberapa, warga tetap menjalankannya dengan ikhlas karena ini menjadi salah satu sumber penghidupan tambahan bagi keluarga mereka. Produksi batu bata juga dilakukan secara musiman, biasanya saat permintaan meningkat atau ketika kondisi cuaca memungkinkan.
Meski bersifat musiman, nilai jual batu bata cukup tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan ini mampu membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Meskipun penghasilan dari batu bata bersifat sementara, peranannya sangat penting dalam menopang kehidupan keluarga para pengrajin.
Di tengah keterbatasan dan derasnya arus modernisasi, mereka masih berusaha mempertahankan cara-cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Produksi batu bata merah memang hanya bersifat musiman, tetapi keberadaannya menjadi penopang penting dalam kehidupan warga Sumurwuni. Lebih dari sekadar mata pencaharian tambahan, pekerjaan ini adalah bukti keteguhan masyarakat dalam bertahan hidup dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan mereka.[]
by admin | 6 Sep 2025 | Artikel, Kegiatan, Kegiatan Mahasiswa
Penulis: Nurdin (Mahasiswa ISIF Cirebon)
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Mahasiswa PIT-PAR Kelompok 3 Desa Kejuden melaksanakan aksi sosial kedua berupa pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan budidaya bunga tujuh rupa pada Rabu, 3 September 2025. Desa Kejuden sendiri masih memiliki banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan secara produktif, sehingga mahasiswa bersama masyarakat melihat peluang besar untuk mengelolanya melalui perkebunan bunga.
Kegiatan ini menggandeng Mas Malik, seorang petani bunga yang sudah lebih dulu mengembangkan usaha di Blok Walikukun. Ia bahkan sudah mendirikan usaha dengan nama PT Mekar Jaya Mulya, yang menanam beragam jenis bunga seperti kingkong, kenanga, cempaka, melati, mawar, cakrak cakrik, hingga soka. Proses penanaman dilakukan dengan media sekam padi, pupuk kandang, dan cocopit. Untuk bunga kingkong, penanaman dilakukan melalui biji, sedangkan jenis lainnya menggunakan stek batang.
Menariknya, bunga kingkong sudah bisa dipanen setelah dua bulan, dan hasil panennya bisa berlangsung terus hingga tiga bulan ke depan. Permintaan pasar juga cukup stabil, dengan pesanan yang biasanya ramai pada hari Selasa dan Kamis. Selain dipasarkan di Desa Kejuden, bunga-bunga ini juga dikirim ke berbagai daerah lain, seperti Trusmi, Gunung Jati, Kramat, Jabang Bayi, Kanoman, Jamblang, Palimanan, hingga Plumbon.
Menurut koordinator kegiatan, Aad Sa’dullah, pendekatan yang digunakan dalam program ini adalah capital budgeting. Tujuannya agar lahan-lahan kosong dapat diberdayakan menjadi lebih produktif, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Kejuden. Mahasiswa berperan sebagai fasilitator, sementara Mas Malik menjadi pendamping dan penggerak. Ia tidak hanya mengajak warga untuk terlibat, tetapi juga mendorong anak-anak muda agar mau belajar sekaligus melanjutkan usaha perkebunan bunga.
Meski demikian, usaha ini tetap menghadapi tantangan, terutama serangan hama seperti kupu-kupu (kleper), wereng, dan belalang. Untuk mengatasinya, Mas Malik rutin melakukan penyemprotan pestisida dan memberikan pupuk penyubur tanaman seminggu sekali.
Terhadap pelaksanaan kegiatan, warga menyambut baik inisiatif ini. Bahrun, salah seorang warga Desa Kejuden, mengungkapkan rasa senangnya karena Mas Malik mau berbagi ilmu dan pengalaman dengan masyarakat. Menurutnya, peluang distribusi sudah cukup terbuka, sehingga warga tidak perlu khawatir dengan pemasaran jika ingin memulai usaha perkebunan bunga.
Mahasiswa PIT-PAR pun berharap, dengan adanya kerja sama ini, masyarakat maupun pemerintah desa bisa lebih memanfaatkan lahan kosong dan tanah bengkok yang selama ini terbengkalai. Tradisi masyarakat Cirebon yang masih banyak menggunakan bunga dalam acara pernikahan, tujuh bulanan, ziarah kubur, maupun upacara kematian, menjadikan usaha budidaya bunga tujuh rupa sebagai peluang ekonomi yang berkelanjutan.[]
by admin | 28 Aug 2025 | Berita
Penulis: Muhibbatul Hasanah
Editor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Mahasiswa Praktik Islamologi Terapan (PIT) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menginisiasi ruang dialog bersama masyarakat melalui Rembug Warga di Desa Dukupuntang, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jumat malam 22 Agustus 2025.
Kegiatan yang berlangsung di Musholla Arrahmah ini dihadiri oleh para kiai sepuh, ustadz, ketua RT dan RW, tokoh masyarakat, serta warga setempat. Forum rembug ini difokuskan pada penggalian sejarah, situs budaya, serta tradisi masyarakat Dukupuntang yang hingga kini masih dijaga oleh warganya.
Sejarah Dukupuntang
Dalam forum dijelaskan bahwa Desa Dukupuntang merupakan hasil penggabungan dua desa, yaitu Dukumalang dan Puntang, pada masa Hindia Belanda sekitar tahun 1912. Nama “Duku” berasal dari Dukumalang, sementara “Puntang” diambil dari Puntang.
Sejarah panjang Dukupuntang berkaitan erat dengan masa peperangan Kesultanan Cirebon melawan Ratu Galuh (Rajagaluh). Puntang dulunya menjadi benteng pertahanan pasukan Cirebon, sementara Dukumalang dikenal dari kisah pohon-pohon besar yang malang melintang di jalan desa.
Selain itu, menurut cerita rakyat, Desa Puntang pernah menjadi tempat pengungsian ribuan orang pelarian dari Bagdad, termasuk empat anak Sultan Bagdad. Mereka ikut membentuk komunitas desa dengan membawa tradisi, salah satunya musik gembyung.
Hingga kini, masyarakat Dukupuntang masih memegang teguh sejumlah pantangan leluhur, di antaranya larangan memakan daging kijang dan oyong (gambas) yang diyakini dapat menimbulkan penyakit gatal. Pantangan ini menjadi bagian dari kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.
Tradisi, Pendidikan, dan Generasi Muda
Acara dibuka dengan sambutan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), dilanjutkan dengan pemaparan narasumber mengenai pentingnya situs budaya dan peran tokoh masyarakat dalam pendidikan. Diskusi berlangsung hangat dengan berbagai masukan dari para kiai, tokoh masyarakat, dan warga.
Hasil rembug menekankan perlunya pelestarian budaya yang terintegrasi dengan pendidikan generasi muda. Dari forum rembug ini, warga dan tokoh masyarakat Desa Dukupuntang sepakat untuk memperkuat pelestarian tradisi dan budaya lokal. Situs-situs bersejarah dan adat istiadat yang masih ada akan dirawat secara berkala sebagai warisan yang harus dijaga.
Para tokoh budaya dan pendidikan juga diberi ruang lebih besar untuk membimbing masyarakat, terutama generasi muda, agar tetap memiliki akar kuat pada tradisi leluhur sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman.
Selain itu, warga bersama mahasiswa ISIF menyepakati pembentukan tim khusus dokumentasi dan pelestarian budaya. Tim ini nantinya akan bertugas mendata, merawat, dan mengembangkan potensi budaya Dukupuntang. Ke depan, forum juga merancang agenda tahunan kegiatan budaya yang melibatkan partisipasi aktif seluruh warga desa.***
by admin | 28 Aug 2025 | Agenda, Berita, Kegiatan Mahasiswa
Penulis: Nurdin
Edotor: Gun Gun Gunawan
ISIF Cirebon — Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon yang sedang menjalankan mata kuliah Praktik Islamologi Terapan (PIT) dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR) kembali menggelar Rembug Warga di Desa Kejuden, Kecamatan Depok, Cirebon, pada Kamis malam 23 Agustus 2025.
Kegiatan yang berlangsung di Masjid Jami’ Al-Hidayah ini merupakan forum rembug ketiga setelah sebelumnya membahas pemetaan spasial, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Kali ini, mahasiswa PIT PAR kelompok 3 bersama warga mendiskusikan isu penting seputar isu sosial pendidikan di Desa Kejuden.
Dalam forum ini, turut hadir Ibu Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I. (Direktur LP2M ISIF), Bapak Sukma Hadi, M.Pd. (Dosen Pembimbing Lapangan), perangkat desa, tokoh agama, tokoh pemuda, serta perwakilan warga dari beberapa blok di Kejuden.
Pendidikan, Fondasi Transformasi Sosial
Dalam sambutannya, Ketua Kelompok PIT Kejuden, Nurdin, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar praktik lapangan, melainkan proses belajar langsung dari masyarakat.
“Kegiatan PIT PAR merupakan kegiatan belajar mahasiswa di lapangan dengan maksud dan tujuan bisa belajar sambil praktik langsung bersama masyarakat. Kami siap berpartisipasi menjadi bagian dari desa Kejuden untuk meningkatkan kembali perekonomiaan, budaya, dan pendidikan,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu, Sukma Hadi menekankan pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama kemajuan bangsa. Ia mencontohkan bagaimana Jepang bangkit kembali pascaperang dengan memprioritaskan pendidikan dan guru.
“Indonesia dalam pendidikannya di juluki macan Asia, karena negara – negara tetangga kita Malaysia, Singapura, bahkan Jepang pun belajar di Indonesia, kuliah disini, sekolah disini, belajar disini,” kata Sukma.
Namun, menurutnya, kondisi kini berbeda jauh. Ia menambahkan bahwa hal itu disebabkan tingkat membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Saat ini, katanya, sebagian besar masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai.
“Di Indonesia tingkat membacanya kurang sekali.dan kebanyakan warga Indonesia menggunakan HP, dari balita sampai sepuh, sehingga mempengaruhi IQ dan pendidikan warga Indonesia.”
Potret Pendidikan Kejuden
Direktur LP2M, Ibu Zaenab Mahmudah yang hadir dalam kegiatan mengapresiasi kegiatan PIT-PAR Kejuden yang telah berlangsung sebulan dan menilai mahasiswa sudah memasuki fase penting setelah sebulan tinggal di Kejuden.
“Masih ada 28 hari lagi untuk teman teman melakukan aksi, sekarang harus terjun ke masyarakat dan mencoba untuk melakukan pemberdayaan bersama masyarakat, segera merumuskan untuk teman – teman apa yang ingin dilakukan.”
Hasil diskusi menunjukkan bahwa Desa Kejuden memiliki lembaga pendidikan formal maupun nonformal yang beragam, mulai dari PAUD, TK, DTA, SDN 1 dan 2 Kejuden, SDIT, yayasan pendidikan, hingga Pondok Pesantren Darul Kirom.
Pesantren Darul Kirom, misalnya, masih mempertahankan metode klasik Al-Baghdadiyah, metode tradisional membaca Al-Qur’an yang sistematis dan telah teruji di pesantren. Metode ini dinilai efektif untuk pemula, namun menuntut kesabaran tinggi dari guru dan santri.
Meski demikian, rembug warga juga menemukan sejumlah problem pendidikan di Kejuden, antara lain:
- Akses sekolah dasar yang tidak merata, sehingga sebagian warga lebih memilih menyekolahkan anak ke desa tetangga.
- Kekurangan tenaga pengajar di Yayasan Al-Anwariyah.
- Penurunan jumlah santri di Pondok Pesantren Darul Kirom.
- Belum adanya SMP/MTS/SMA di wilayah Kejuden.
- Maraknya penggunaan gawai di kalangan anak hingga lansia yang memengaruhi minat belajar dan mengaji.
- Minimnya budaya membaca buku di kalangan anak-anak maupun orang dewasa.
Forum menyepakati bahwa semua metode pembelajaran memiliki nilai positif masing-masing. Namun yang terpenting adalah bagaimana masyarakat membiasakan pendidikan sejak dini, terutama membangun budaya membaca dan membatasi penggunaan gawai pada anak.