ISIF Cirebon – Diskusi Pemikiran Gus Dur yang digelar Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon sudah memasuki pertemuan Ke-9. Diskusi yang digelar pada Jumat, 14 Februari 2025 tersebut dihadiri langsung Rektor ISIF, KH Marzuki Wahid.
Diskusi yang dipantik oleh Siti Robiah, itu mengangkat tema yang relevan dengan kondisi bangsa Indonesia hari ini, yakni “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”. Tema tersebut berangkat dari tulisan Gus Dur berjudul sama yang diterbitkan dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS; 1999).
Dalam pemaparannya, Robiah menjelaskan tentang sejarah Islam yang tidak terlepas dari militer, sejak masa Rasul, masa Islam klasik hingga masa modern sekarang ini. Dia juga mengatakan bahwa banyak di antara pemimpin di negara kita mempunyai latar belakang militer yang kuat.
“Kita tentu mengetahui bagaimana militer sangat kuat terutama pada zaman Orde Baru. Saat itu, militer masuk terlalu dalam di pemerintahan,” katanya.
Obi, panggilan akrab Siti Robiah, juga menjelaskan bahwa militer memang dibutuhkan dan sangat penting bagi keberadaan negara. Akan tetapi, penting juga untuk diingat bahwa memastikan tercapainya tujuan bernegara dan pemenuhan hak-hak warga negara jauh lebih penting.
“Apabila kepemimpinan oleh tokoh dengan latar belakang militer memberangus hak-hak warga negara, kita harus berani untuk melakukan perlawanan, misal dengan perlawanan kultural,” lanjutnya.
Menurutnya, dalam konteks negara Indonesia, kita sebagai orang Islam bisa mulai mempertanyakan apakah pemerintahan ini sudah sesuai dengan nilai dan cita-cita Islam? Apakah hak-hak kita sebagai warga negara sudah terpenuhi? Kalau belum, maka kita semua patut memberikan kritik dan mengoreksi jalannya pemerintahan.
Pemikiran Gus Dur sebagai Teks
Dalam diskusi tersebut, Rektor ISIF KH Marzuki Wahid mengatakan bahwa pemikiran Gus Dur yang bisa dilihat dari tulisan-tulisannya merupakan teks yang bisa dibaca siapapun. Untuk terus menghidupkan dan mengembangkan pemikiran Gus Dur, maka teks itu harus dikaji, dikritik, dan dikembangkan dalam konteks sejarah yang terus berubah.
“Dalam diskusi ini, kita bisa memberikan pandangan terhadap tulisan-tulisannya Gus Dur berdasar apa yang terjadi hari ini. Pemikiran Gus Dur itu kan teks yang bisa terus ditafsirkan tanpa henti,” kata Senior Advisor Jaringan Gusdurian itu.
Kiai Marzuki juga mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara “militer” dan “militerisme”. Militer memang sangat dibutuhkan negara, terutama dalam menjaga kedaulatan negara secara teritorial. Akan tetapi militerisme mengandung pengertian yang berbeda. Ia mengandaikan pemerintahan dengan cara-cara militer atau corak militeristik dalam segala aspek penyelenggaraan negara.
Gus Dur sebagai Pengetahuan
Diskusi Pemikiran Gus Dur sendiri sudah dilakukan Pusat Studi Gus Dur ISIF sebanyak 9 kali, sejak 29 November 2024. Berbagai tema yang berangkat dari pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah diangkat, seperti “Gus Dur Sapa Sira: Overview Biografi Pemikiran dan Gerakan Gus Dur” (Pemantik: KH Marzuki Wahid, Jumat, 29 November 2024), “Mencari Perspektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia” (Pemantik: Wahyu Ilahi, Jumat, 13 Desember 2024), “Agama, Ideologi, dan Pembangunan” (Pemantik: Fuji Ainnayah, Jumat, 27 Desember 2024), dan “Nilai-nilai Indonesia: Apakah Keberadaaannya Kini?” edisi rangkaian Haul ke-15 Gus Dur (Pemantik: Abdul Rosyidi, Jumat, 3 Januari 2025).
Selanjutnya mengangkat tema “Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama” (Pemantik: Mahirotus Shofa, Jumat, 10 Januari 2025), “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan” (Pemantik: Ahmad Hadid, Jumat, 17 Januari 2025), “Mahdiisme dan Protes Sosial” (Pemantik: Noer Fahmiatul Ilmia, Jumat, 24 Januari 2025), “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa” yang dipantik Muflihah pada Jumat, 31 Januari 2025.
Tidak hanya diskusi, Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial ISIF juga merancang sejumlah kegiatan untuk turut serta dalam mengembangkan pemikiran Gus Dur. Semua rangkaian tersebut dilakukan dengan harapan agar pemikiran dan gerakan Gus Dur bisa terus hidup dan selalu kontekstual dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. *** (Abdul Rosyidi)
ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menjadi tuan rumah malam puncak Peringatan Haul Ke-15 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diselenggarakan oleh Komunitas Gusdurian Cirebon pada Kamis malam, 13 Februari 2025.
Malam puncak haul yang digelar di Aula ISIF Cirebon tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh agama dan penghayat kepercayaan. Dengan mengangkat tema “Agama untuk Kemanusiaan dan Krisis Iklim”, acara ini menegaskan relevansi ajaran Gus Dur dalam menjawab tantangan global saat ini.
Angkat Isu Kemanusiaan dan Lingkungan
Siti Robiah, Ketua Pelaksana Peringatan Haul Ke-15 Gus Dur dalam sambutannya menyampaikan bahwa keteladanan dan pembelaan Gus Dur dalam memperjuangkan keadilan menjadi inspirasi bagi panitia untuk mengangkat isu kemanusiaan dan lingkungan.
“Pada dasarnya meneladani Gus Dur berarti memperjuangkan keadilan dalam berbagai hal, termasuk (memperjuangkan) keadilan terhadap lingkungan,” jelasnya.
Selain itu, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ISIF Cirebon ini, menambahkan bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh Gus Dur, tidak dapat dipisahkan dari rasa kepedulian terhadap bumi dan lingkungan.
“Perjuangan kemanusiaan tidak hanya terbatas pada aspek sosial dan politik, tetapi juga harus mencakup persoalan lingkungan. Hak untuk hidup di lingkungan yang sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang fundamental,” ungkapnya.
Relevansi Ajaran Gus Dur
Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, yang hadir menyampaikan Orasi Kebudayaan dalam acara tersebut, mengungkapkan rasa kagumnya terhadap antusiasme peserta yang berasal dari latar belakang organisasi dan agama yang beragam.
Menurutnya, kehadiran peserta dari berbagai elemen masyarakat ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur tetap relevan dan dirasakan oleh semua kalangan.
“Pada malam hari ini, saya pribadi dan kita semua, merasa senang sekali karena semua agama hadir malam ini dan turut mendo’akan Guru Bangsa yang telah lima belas tahun mendahului kita,” ungkapnya.
Rektor yang akrab disapa Kang Zekky ini menyoroti bagaimana perjuangan Gus Dur yang tidak hanya dirasakan oleh umat Islam tetapi juga oleh berbagai komunitas lintas iman dan budaya.
“Satu hal yang diperjuangkan Gus Dur adalah kemanusiaan. Karena kita manusia dan merasa diperjuangkan sisi kemanusiaannya oleh Gus Dur, maka tak heran semua orang tergerak untuk datang (ke sini) meng-hauli Gus Dur,” tambahnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa warisan perjuangan Gus Dur tidak terbatas pada satu kelompok atau bangsa, tetapi mencakup seluruh umat manusia.
“Gus Dur, meskipun ia muslim, meskipun ia NU, tapi perjuangan Gus Dur tidak hanya relevan bagi orang Islam. Perjuangan Gus Dur bukan hanya untuk Indonesia, tapi lebih universal, perjuangan Gus Dur adalah untuk kemanusiaan,” tutupnya. *** (Gunawan)
ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) dengan mengangkat tema “Fiqh Aplikatif untuk Penyandang Disabilitas” di Ruang Konvergensi ISIF, pada Rabu, 12 Februari 2025.
Dalam forum ini, hadir perwakilan ulama perempuan, akademisi, praktisi, serta aktivis penyandang disabilitas. Mereka membahas bagaimana ajaran Islam dapat lebih inklusif dalam menjamin hak-hak penyandang disabilitas dalam mengamalkan agamanya.
Dalam diskusi, para peserta aktif berpendapat dan menyoroti betapa pentingnya pendekatan fiqh aplikatif yang tidak hanya berlandaskan hukum Islam, tetapi juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial.
Alifatul Arifiati, peserta dari Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan, menyoroti realitas sosial yang masih banyak melekatkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Contohnya, pandangan bahwa penyandang disabilitas terlahir dari kesalahan dalam tata cara hubungan seksual.
Stigma ini, menurutnya, memperlihatkan bias yang masih melekat dalam interpretasi keagamaan terhadap kelompok penyandang disabilitas. Selain itu, ia menegaskan bahwa isu disabilitas masih belum menjadi perhatian utama dalam wacana keagamaan.
“Ketika berbicara tentang forum atau kajian keagamaan, pembahasan mengenai disabilitas masih sangat minim. Saya pernah diminta mencari ulama perempuan atau tokoh Muslim yang benar-benar fokus pada isu ini, dan itu sangat sulit menemukannya. Masih sangat sedikit ulama perempuan yang membahas disabilitas dan menempatkannya sebagai ruang khidmahnya,” ujarnya.
Peran Media dalam Membangun Narasi Inklusif
Fitri Nurazizah, perwakilan dari Mubadalah.id turut menggarisbawahi peran media dalam membentuk narasi tentang disabilitas. Banyak media, yang menurutnya, masih belum bisa melunturkan stigma terhadap penyandang disabilitas.
“Sangat penting bagi media untuk mengonfirmasi langsung kepada penyandang disabilitas guna memastikan bahwa istilah yang digunakan tidak menimbulkan stigma,” ujarnya.
Dalam upaya menghadirkan perspektif yang lebih inklusif, media alternatif berperan penting dalam memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang sering terpinggirkan.
“Oleh karena itu, media alternatif seperti Mubadalah.id mencoba menghadirkan narasi yang lebih adil. Kami juga mendorong penyandang disabilitas untuk turut terlibat aktif menuliskan langsung (di Mubadalah.id) pengalaman mereka sendiri,” lanjutnya.
Implementasi Kebijakan yang Belum Optimal
Jojo Suparjo, perwakilan dari Perkumpulan Penyundang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Cirebon, berpendapat bahwa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di rumah ibadah masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Banyak penyandang disabilitas yang ingin beribadah dengan nyaman, tetapi fasilitas yang mendukung mereka masih terbatas. Misalnya, belum tersedia tempat duduk untuk wudhu yang memadai, lantai yang licin, serta akses menuju tempat ibadah yang belum ramah bagi mereka.
Selain itu, Jojo juga menyoroti lemahnya implementasi kebijakan terkait disabilitas. Menurutnya, pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan kepedulian terhadap para penyandang disabilitas. Jojo juga melihat lemahnya implementasi kebijakan terkait disabilitas.
“Peraturan yang ada saat ini tentang disabilitas hanya sebatas produk hukum di atas kertas saja, sedangkan implementasinya belum maksimal,” tegasnya.
Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, yang hadir sebagai narasumber, menegaskan bahwa dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban negara. Sementara itu, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak mereka.
Ia menekankan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum yang setara dan hak asasi yang sama sebagai warga negara Indonesia. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat dan memiliki hak untuk hidup, berkembang, serta berkontribusi secara adil dan bermartabat.
“Kita sebetulnya sama, tidak ada perbedaan sedikitpun. Ada satu jargon yang saya senang untuk mengutipnya, yaitu ‘No one left behind.’ Tidak boleh ada satu pun yang tertinggal dalam proses pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan segala aspek kehidupan, termasuk penyandang disabilitas,” tegasnya.
Komitmen ISIF
Melalui diskusi ini, ISIF ingin mengintegrasikan nilai-nilai keislaman yang selama ini menjadi basis kajian ISIF dengan perspektif hak-hak penyandang disabilitas. Di sisi lain, hasil-hasil diskusi diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan bagi semua elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan adanya diskusi rutin seperti MISI, diharapkan terbentuk pemahaman yang lebih luas dan kebijakan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas dalam ruang-ruang sosial dan keagamaan.
Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen ISIF dalam upaya memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas dalam bingkai keadilan dan kesetaraan dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan yang kuat dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.* (Gunawan)
ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar pembekalan bagi mahasiswa yang akan melaksanakan Praktik Islamologi Terapan (PIT) di Aula Aula Affandi Mochtar pada Kamis dan Jumat, 23-24 Januari 2025.
Pembekalan ini menjadi langkah awal bagi mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat untuk melaksanakan pengabdian berbasis Participatory Action Research (PAR). Kegiatan pula ditujukan untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menemukenali dan menyelesaikan masalah secara partisipatif bersama masyarakat.
Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, hadir sebagai pemateri utama dan memberikan pemaparan mendalam terkait falsafah dan konsep dasar PIT ISIF. Dalam sambutannya, rektor yang akrab disapa Kang Zekky ini menegaskan bahwa PIT bukan sekadar program akademik, melainkan upaya bersama untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat desa dengan pendekatan transformatif berbasis nilai-nilai keislaman.
“Melalui PIT, ISIF ingin berkontribusi pada terwujudnya peradaban manusia yang berkemampuan dan berkeadilan, berdasarkan kesadaran kritis,” tuturnya.
Zaenab Mahmudah, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), turut hadir sebagai fasilitator. Dalam paparannya, Zaenab menyoroti distingsi PIT ISIF khususnya penerapan metodologi Participatory Action Research (PAR) sebagai pendekatan pengabdian.
Menurutnya Praktik Islamologi Terapan — yang di perguruan tinggi lain dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN)— merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat yang menjadi bagian dari implementasi Tri Dharma perguruan tinggi Institut Studi Islam Fahmina (ISIF).
Pada hari kedua, mahasiswa mendapatkan materi terkait konsep dan pelaksanaan PAR yang disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Penelitian, Dr. A. Syatori.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Syatori ini, PAR merupakan aktualisasi konsep belajar partisipatif yang bertujuan untuk melahirkan kesadaran kritis masyarakat.
Selain itu, menurutnya, melalui PAR masyarakat dapat terdorong untuk melakukan upaya mandiri untuk mewujudkan keswadayaan komunitas masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman.
Pada sesi lain Sekretaris LPPM, Siti Latifah, ME, memberikan pembekalan tentang teknik pemetaan secara sosial dan spasial serta analisis sosial, mencakup dimensi sosial-ekonomi, sosial-budaya, hingga sosial-politik.
Mahasiswa juga diajak berdiskusi dalam kelompok bersama dosen pembimbing lapangan (DPL) untuk menyusun rencana kegiatan PIT di lokasi desa masing-masing kelompok.
Secara keseluruhan pembekalan ini diorientasikan agar mahasiswa ISIF tidak hanya memahami Metodologi PAR secara teoritis. Namun mahasiswa juga mampu menerapkannya secara maksimal dalam praktik PIT sehingga menjadikan desa-desa peredaman sebagai pusat pemberdayaan dan transformasi sosial.
ISIF Cirebon – Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menerima kunjungan dan dialog antaragama dari pelajar BPK Penabur Cirebon yang dipimpin oleh Pendeta Kukuh dari GKI Pamitran, di Rumah Joglo Cirebon pada Senin malam, 21 Oktober 2024.
Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan santri dan pelajar, yang saling berdialog dan berbagi pengetahuan serta pengalaman keagamaan. Tujuan utama kunjungan ini adalah untuk mempererat hubungan antara Mahasantriwa (sebutan khusus bagi santri PP Luhur Manhajiy Fahmina) yang beragama Islam dan pelajar BPK Penabur yang beragama Kristen.
Dalam kegiatan ini, para pelajar Kristen dari BPK Penabur berbincang dengan para Mahasantriwa terkait kehidupan sehari-hari di pesantren, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Islam dan isu-isu yang sering muncul dalam hubungan antara umat Islam dan Kristen. Melalui dialog antaragama yang interaktif, mereka berbagi pengalaman keagamaan, pengetahuan, dan pandangan tentang perbedaan serta kesamaan dalam kehidupan beragama.
Dalam Berbagai Kyai Marzuki Wahid , Pimpinan Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, kegiatan ini merupakan momen penting untuk memperkuat silaturahmi dan toleransi antarumat beragama di antara umat Islam dan Kristen.
“Saya terus terang senang, bahagia, dan terharu atas kunjungan teman-teman ke Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Momen ini menjadi momen yang tepat untuk berdialog dan mengklarifikasi apa-apa yang teman-teman ingin ketahui tentang Islam,” kata Kyai Marzuki.
Dalam wawancara dengan Kyai Marzuki, ia juga menekankan bahwa kegiatan ini sejalan dengan misi pesantren dalam menghargai perbedaan dan membangun kerjasama dengan berbagai kelompok keagamaan.
“Perdamaian, keadilan dan kemanusiaan harus diwujudkan melalui kerja sama multipihak, termasuk dengan teman-teman dari agama yang berbeda,” ungkap Kyai Marzuki.
Selain itu, menurutnya, kunjungan ini merupakan langkah konkret dalam upaya Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina untuk mendidik generasi muda agar lebih terbuka, toleran, serta siap hidup berdampingan dengan masyarakat dalam yang plural.
“Dengan kunjungan ini kami ingin mendidik Mahasantriwa Luhur Manhajiy Fahmina untuk berpikir inklusif, toleran, dan moderat terhadap pihak-pihak yang berdeda dengan mereka” tambahnya.
Ia juga berharap agar kegiatan ini dapat menjadi bagian dari edukasi bagi para Mahasantriwa untuk semakin menghargai perbedaan dan memperkuat hubungan lintas agama. Dengan adanya dialog seperti ini, harapannya para santri dan pelajar bisa lebih memahami pentingnya toleransi antarumat beragama dan menyebarkan nilai-nilai perdamaian di lingkungan mereka masing-masing.
“Kita bisa bergaul dengan siapa pun dan di mana pun, asalkan tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan,” tutupnya.[]
ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menunjukkan komitmennya dalam mengintegrasikan nilai-nilai keadilan gender ke dalam dunia pendidikan dengan menyelenggarakan Workshop Penguatan Perspektif Ke-ISIF-an dan Keadilan Gender bagi Dosen ISIF Cirebon. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Konvergensi ISIF selama empat hari, mulai dari Selasa hingga Jumat, 15-18 Oktober 2024.
Workshop ini menghadirkan para pemateri ahli dari Yayasan Fahmina yang dikenal aktif memperjuangkan isu keadilan gender dan kemanusiaan. Marzuki Wahid, Faqihuddin Abdul Kodir, dan Buya Husein Muhammad, bersama dengan Rika Rosvianti (Neqy) dari Komunitas perEMPUan, mendampingi dan memandu langsung jalannya workshop.
Selama pelatihan, para dosen diajak mendalami keterampilan dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dengan pendekatan yang responsif terhadap isu gender. Tak hanya itu, mereka juga diberi pemahaman mendalam tentang pentingnya menegakkan keadilan gender sebagai bagian dari misi kemanusiaan yang lebih luas, serta menciptakan perdamaian semesta melalui pendidikan.
Workshop ini bertujuan agar dosen mampu mengembangkan bahan ajar yang tidak hanya peka terhadap isu gender, tetapi juga mendukung pencapaian kesetaraan di dalam kelas dan di seluruh lingkungan pendidikan ISIF.
Dalam sambutan Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, menegaskan bahwa integrasi nilai-nilai keadilan gender dalam pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari visi besar ISIF. Ia juga menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai ke-ISIF-an oleh para dosen sebagai penggerak utama perubahan di kampus.
“Workshop ini bertujuan untuk mengintegrasikan visi kampus dengan visi masing-masing dosen yang nantinya dituangkan dalam pembelajaran,” ucapnya.
Kegiatan ini menjadi wadah bagi dosen untuk memperkuat pemahaman mereka mengenai konsep keadilan gender, yang tidak hanya relevan dalam konteks kajian Islam tetapi juga dalam berbagai program studi lainnya. Selain itu, workshop ini diharapkan menghasilkan tenaga pendidik yang memiliki pemahaman kuat tentang isu-isu gender dan mampu mendidik mahasiswa dengan fondasi keadilan gender sebagai prinsip utama.
Lebih lanjut, Marzuki Wahid juga menyampaikan agar workshop ini tidak hanya sekadar menjadi pelatihan teknis, tetapi mampu memberikan dorongan bagi para dosen untuk merumuskan strategi dan pendekatan baru dalam pengajaran yang lebih inklusif dan adil gender.
“Saya berharap hasil dari workshop ini dapat menghasilkan inovasi baru dan revolusi dalam pembelajaran di perguruan tinggi, keluar dari kebiasaan lama dan berani mencoba praktik baru yang lebih tepat berbasis perspektif keadilan gender dan memerdekakan manusia,” tutupnya.[]