(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme: Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui

Oleh Sukma Aulia Rohman

Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan penuh keberagaman. Baik keragaman gender, sifat, ras, suku, serta kepribadian. Keragaman hal tersebut dapat menjadikan dunia ini penuh warna warni. Dalam kepercayaan agama Islam, keragaman tersebut sengaja diciptakan Tuhan agar manusia saling mengenal.

Dalam aspek sosial, manusia tidak dapat tumbuh dan menjalani hidup seorang diri. Melainkan manusia pasti membutuhkan manusia lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan.

Dalam menjalani kehidupan sebagai mahluk sosial, manusia perlu menjaga kesehatan dirinya baik fisik maupun mental. Karena dunia ini bersifat dinamis maka berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial tidak dapat dihindari.

Menjaga kesehatan mental dapat berpengaruh pada kualitas hidup karena antara mental dan kepribadian memiliki korelasi yang kuat. Tak jarang dikemukakan oleh ahli kesehatan bahwa banyak kasus dimana seseorang yang mengalami sakit secara fisik ternyata dipengaruhi oleh kesehatan mentalnya.

Contoh sederhana dalam hal ini adalah ketika seseorang sedang dilanda patah hati akibat putus cinta. Maka beberapa orang akan melakukan tindakan sebagai bentuk responsif dengan cara tidak mau makan, mengurung diri, bahkan sampai melakukan tindakan self harm atau bahkan lebih parah yaitu bunuh diri. Hal tersebut mereka lakukan karena adanya tekanan emosional yang kemudian direalisasikan oleh fisik.

Untuk mencegah melakukan tindakan yang merugikan akibat tidak terkontrolnya emosi, para ahli Psikologi memaparkan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga agar emosi kita tetap stabil. Diantaranya adalah melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain game, jalan-jalan atau healing, berhias, membaca buku dan lain sebagainya.

Tentang Novel Solilokui

Membaca buku merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurai emosi atau rasa kesal yang ada dalam jiwa. Kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup ketika kita menemukan hal yang relate dengan apa yang kita rasakan.

Ada banyak macam jenis buku baik fiksi maupun non fiksi yang berbicara mengenai realita kehidupan yang terjadi. Salah satu buku fiksi menarik yang akhir-akhir ini saya baca adalah novel Solilokui karya Nana Sastrawan.

Novel Solilokui ini merupakan karya sastra bercorak Psiokologi serta Filsafat yang membaluti nilai-nilai kehidupan dalam aspek sosial, teologi, maupun personal. Novel berjumlah 103 halaman ini bagi sebagian orang akan terasa tipis, namun bagi saya pribadi diperlukan pengulangan untuk membacanya lebih dari satu kali. Karena seperti halnya Novel sastra kebanyakan, yang banyak menggunakan kalimat Metofara dalam penulisannya.

Novel ini meggunakan kata orang pertama atau “Aku” yang melakoni perannya sebagai tokoh utama yang akan menarik imajinasi para pembaca ke dalam alur cerita yang cukup menguras energi.

Skeptisisme tokoh “Aku”

Dalam novel ini tokoh aku digambarkan sebagai sosok yang memiliki beberapa gangguan Psikologis seperti kecemasan, depresi, halusinasi, yang membuat ia ingin bunuh diri ditanggal kelahirannya. Tanggal kelahirannya atau kelahirannya ke dunia seolah menjadi sebab mengapa ia menderita sehingga kemudian ia mengatakan bahwa “Aku merasakan bahwa, takdir ku adalah mati bunuh diri, tak ada yang lain”.

Tokoh aku seolah menentang Tuhan karena menurutnya takdirnya adalah mati. Padahal jika kita memandang menggunakan perspektif hukum islam, maka percaya kepada takdir merupakan suatu keharusan bagi seluruh manusia. Tuhan tentu saja memiliki skenario yang tidak diketahui oleh siapapun.

Namun kepercayaan umat islam terhadap takdir ini mungkin saja ditolak oleh beberapa golongan. Diantranya adalah golongan Skeptisisme yang berarti ragu atau meragukan segala sesuatu.

Tokoh “Aku” pada bab pertama, melontarkan pertanyaan soal realita yang terjadi. “mengapa kita lahir sebagai manusia?”.

Pertanyaan tokoh “Aku” secara tidak langsung menanyakan mengapa Tuhan menciptakan manusia? Atau mengapa kita ditakdirkan sebagai manusia? Pertanyaan semacam ini merupakan bentuk keraguan terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta atau yang menciptakan manusia.

Dalam filsafat, orang yang bertanya seperti demikian disebut Skeptis atau dapat disebut juga Skeptisisme. Skeptisisme dapat diartikan sebagai sikap meragukan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya.

Skepstis pada dasarnya mendorong kita untuk lebih berpikir kritis namun jika kita salah dalam berpikir maka skeptis dapat menghantarkan kita untuk tidak mempercayai Tuhan. Seperti teori Skeptisisme David Hume yang mengatakan bahwa “ tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk meyakinkan keberadaan Allah”. Hal tersebut ia katakan karena ia mendengar apa yang dikatakan oleh teolog bahwa Tuhan itu maha sempurna.

Hume menolak keras perkataan teolog tersebut karena ia melihat banyak ketidaksempurnaan yang ada di alam ini seperti kejahatan, penyiksaan, dan keburukan. Jika Tuhan disebut maha sempurna, adanya bukti tersebut dapat dipahami juga bahwa Tuhan tidak maha sempurna, bahkan Tuhan merupakan pelaku kejahatan. Pernyataan dari Hume di atas akan dirasa sebuah kebenaran jika dipahami oleh seseorang yang merasa bahwa hidupnya hanya berisi penderitaan, keputusasaan atau bahkan menganggap bahwa takdirnya adalah mati seperti tokoh “Aku”.

Gangguan psikologi tokoh “Aku”

Tokoh “Aku” dalam novel ini memiliki beberapa gangguan terhadap jiwanya. Pada mulanya penulis Novel ini hanya menceritakan tokoh “Aku” yang mengalami gangguan dalam kejiwaanya seperti penderitaan, kecemasan, halusinasi, keputusasaan, hingga mengutuk Tuhan, tanpa menjelaskan latar belakang mengapa tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut.

Kemudian penulis baru menceritakan alasan tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut pada tengah Novel yaitu karena ia telah membunuh ibu dan istrinya. Kemudian tokoh aku mengalami depresi, kecemasan, hingga halusinasi selama ia mengasingkan diri ke sebuah villa di perbukitan.

Jika kita melihat dari alur cerita yang disajikan oleh penulis, maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa segala bentuk gangguan jiwa hingga keinginan bunuh diri tokoh “Aku” disebabkan karena ia telah membunuh ibu dan istrinya.

Dalam perspektif Psikologi, ada satu bahasan menarik mengenai kondisi jiwa para pelaku pembunuhan. Secara gamblang mungkin dapat dikatakan bahwa pelaku pembunuhan akan mengalami beberapa hal di antaranya adalah diliputi rasa bersalah, dihantui oleh bayang-bayang korban, hingga mengalami halusinasi yang semuanya dapat menggoncang kondisi kejiwaan secara otomatis. Namun di sini kita akan mencoba menggali kondisi pelaku pembunuhan saat atau setelah melakukan pembunuhan.

Dinamika Emosional pelaku pembunuhan

Sebelum membahas lebih lanjut terkait kondisi emosional pelaku pembunuhan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah sifat agresif seseorang sudah ada sejak ia lahir? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa teori yang dikemukaan oleh para ahli psikologi di antaranya adalah teori Bandura (1973 dalam Batrol & Batrol). Ia mengatakan bahwa sifat agresif manusia merupakan hasil dari belajar Psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan tindak kejahatan oleh orang di sekitar yang kemudian memunculkan pengulangan paparan disertai dengan penguatan sehingga semakin memicu orang untuk melakukan tindak kejahatan dari apa yang ia lihat.

Berdasarkan teori Bandura, maka ada kemungkinan bahwa pelaku pembunuhan melakukan tindakannya karena sebelumnya ia pernah melihat tindakan yang sama, baik melihat secara langsung atau tidak langsung seperti melalui buku bacaan, ragam tontonan, dan lain sebagainya.

Jika seseorang melakukan aksi pembunuhan karena ia pernah menyaksikan hal yang sama, maka apa yang ada di benaknya saat dan setelah ia melakukan pembunuhan?.

Dalam hal ini, beberapa temuan berdasarkan hasil penelitian terhadap para pelaku pembunuhan mencoba menjawab bagaimana kondisi emosional pelaku pembunuhan.

Dalam melakukan tindakan pembunuhan, para pelaku ini melakukan sebuah tindakan Implusif yang artinya melakukan suatu tindakan tanpa berpikir panjang atau tanpa merefleksikan akibat dari perilakunya. Seperti saat tokoh “Aku” menusuk dada ibunya dengan belati. Kemudian dalam Novel ini disebutkan “Hatiku hancur atau lebih tepatnya marah terhadap diri sendiri. Mengapa harus aku lakukan?”. Narasi tersebut menandakan bahwa ia telah melakukan tindakan Implusif.

Kemudian pelaku pembunuhan akan dihantui oleh perasaan bingung, ketakutan dan bayangan rasa bersalah. Perasaan tersebut akan terus menghantui pelaku dan kemudian mendorong ia untuk melakukan beberapa tindakan salah satu atau yang paling umumnya adalah melarikan diri.

Rasa trauma terhadap benda tajam juga akan menghantui benak pelaku, dan tak sedikit dari pelaku pembunuhan yang akan ketakutan ketika melihat benda yang pernah ia gunakan untuk melakukan pembunuhan.

Penutup

Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari beberapa permasalahan hidup. Terkadang beberapa permasalahan yang hadir dalam hidup tak pernah disangka-sangka kedatangannya. Dalam perspekti psikologi, segala permasalahan yang kita hadapi tentu saja akan berdampak pada kondisi kejiwaan kita.

Kondisi kejiwaan yang buruk, serta ketidakmampuan kita untuk mengontrol emosi, akan berdampak buruk pada diri. Kita bisa menyalahkan bahkan mengutuk takdir yang Tuhan berikan kepada kita.

Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menggapai kehabagiaan agar kondisi kejiwaan kita dapat tetap stabil salah satunya adalah membaca buku.

Buku Solilokui karya Nana Sastrawan ini, layak untuk dibaca dan dapat kita petik pelajaran untuk senantiasa menjaga emosi serta mengontrol diri agar kita tidak melakukan tindakan konyol yang akan berujung pada penyesalan serta penghakiman terhadap Tuhan.

Bahagia dapat kita peroleh melalui beberapa cara. Namun pada hakikatnya bahagia adalah saat kita terhindar dari emosi negatif yang membuat kita merasa terganggu.

 

— Artikel ini telah terbit lebih dahulu pada Senin, 25 November 2024 di laman https://mbludus.com (https://mbludus.com/dampak-gangguan-psikologis-dan-pengaruhnya-terhadap-skeptisisme-analisis-tokoh-aku-dalam-novel-solilokui/) dengan judul “Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui.” 

Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina Sambut Kunjungan dan Dialog Antaragama Pelajar BPK Penabur

ISIF Cirebon – Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menerima kunjungan dan dialog antaragama dari pelajar BPK Penabur Cirebon yang dipimpin oleh Pendeta Kukuh dari GKI Pamitran, di Rumah Joglo Cirebon pada Senin malam, 21 Oktober 2024.

Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan santri dan pelajar, yang saling berdialog dan berbagi pengetahuan serta pengalaman keagamaan. Tujuan utama kunjungan ini adalah untuk mempererat hubungan antara Mahasantriwa (sebutan khusus bagi santri PP Luhur Manhajiy Fahmina) yang beragama Islam dan pelajar BPK Penabur yang beragama Kristen.

Dalam kegiatan ini, para pelajar Kristen dari BPK Penabur berbincang dengan para Mahasantriwa terkait kehidupan sehari-hari di pesantren, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Islam dan isu-isu yang sering muncul dalam hubungan antara umat Islam dan Kristen. Melalui dialog antaragama yang interaktif, mereka berbagi pengalaman keagamaan, pengetahuan, dan pandangan tentang perbedaan serta kesamaan dalam kehidupan beragama.

Dalam Berbagai Kyai Marzuki Wahid , Pimpinan Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, kegiatan ini merupakan momen penting untuk memperkuat silaturahmi dan toleransi antarumat beragama di antara umat Islam dan Kristen.

“Saya terus terang senang, bahagia, dan terharu atas kunjungan teman-teman ke Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Momen ini menjadi momen yang tepat untuk berdialog dan mengklarifikasi apa-apa yang teman-teman ingin ketahui tentang Islam,” kata Kyai Marzuki.

Dalam wawancara dengan Kyai Marzuki, ia juga menekankan bahwa kegiatan ini sejalan dengan misi pesantren dalam menghargai perbedaan dan membangun kerjasama dengan berbagai kelompok keagamaan.

“Perdamaian, keadilan dan kemanusiaan harus diwujudkan melalui kerja sama multipihak, termasuk dengan teman-teman dari agama yang berbeda,” ungkap Kyai Marzuki.

Selain itu, menurutnya, kunjungan ini merupakan langkah konkret dalam upaya Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina untuk mendidik generasi muda agar lebih terbuka, toleran, serta siap hidup berdampingan dengan masyarakat dalam yang plural.

“Dengan kunjungan ini kami ingin mendidik Mahasantriwa Luhur Manhajiy Fahmina untuk berpikir inklusif, toleran, dan moderat terhadap pihak-pihak yang berdeda dengan mereka” tambahnya.

Ia juga berharap agar kegiatan ini dapat menjadi bagian dari edukasi bagi para Mahasantriwa untuk semakin menghargai perbedaan dan memperkuat hubungan lintas agama. Dengan adanya dialog seperti ini, harapannya para santri dan pelajar bisa lebih memahami pentingnya toleransi antarumat beragama dan menyebarkan nilai-nilai perdamaian di lingkungan mereka masing-masing.

“Kita bisa bergaul dengan siapa pun dan di mana pun, asalkan tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan,” tutupnya.[]

— Reporter: Gun Gun Gunawan

Perkuat Perspektif Ke-ISIF-an dan Kapasitas Dosen, ISIF Cirebon Gelar Workshop Keadilan Gender

ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menunjukkan komitmennya dalam mengintegrasikan nilai-nilai keadilan gender ke dalam dunia pendidikan dengan menyelenggarakan Workshop Penguatan Perspektif Ke-ISIF-an dan Keadilan Gender bagi Dosen ISIF Cirebon. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Konvergensi ISIF selama empat hari, mulai dari Selasa hingga Jumat, 15-18 Oktober 2024.

Workshop ini menghadirkan para pemateri ahli dari Yayasan Fahmina yang dikenal aktif memperjuangkan isu keadilan gender dan kemanusiaan. Marzuki Wahid, Faqihuddin Abdul Kodir, dan Buya Husein Muhammad, bersama dengan Rika Rosvianti (Neqy) dari Komunitas perEMPUan, mendampingi dan memandu langsung jalannya workshop.

Selama pelatihan, para dosen diajak mendalami keterampilan dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dengan pendekatan yang responsif terhadap isu gender. Tak hanya itu, mereka juga diberi pemahaman mendalam tentang pentingnya menegakkan keadilan gender sebagai bagian dari misi kemanusiaan yang lebih luas, serta menciptakan perdamaian semesta melalui pendidikan.

Workshop ini bertujuan agar dosen mampu mengembangkan bahan ajar yang tidak hanya peka terhadap isu gender, tetapi juga mendukung pencapaian kesetaraan di dalam kelas dan di seluruh lingkungan pendidikan ISIF.

Dalam sambutan Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid,  menegaskan bahwa integrasi nilai-nilai keadilan gender dalam pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari visi besar ISIF. Ia juga menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai ke-ISIF-an oleh para dosen sebagai penggerak utama perubahan di kampus.

“Workshop ini bertujuan untuk mengintegrasikan visi kampus dengan visi masing-masing dosen yang nantinya dituangkan dalam pembelajaran,” ucapnya.

Kegiatan ini  menjadi wadah bagi dosen untuk memperkuat pemahaman mereka mengenai konsep keadilan gender, yang tidak hanya relevan dalam konteks kajian Islam tetapi juga dalam berbagai program studi lainnya. Selain itu, workshop ini diharapkan menghasilkan tenaga pendidik yang memiliki pemahaman kuat tentang isu-isu gender dan mampu mendidik mahasiswa dengan fondasi keadilan gender sebagai prinsip utama.

Lebih lanjut, Marzuki Wahid juga menyampaikan agar workshop ini tidak hanya sekadar menjadi pelatihan teknis, tetapi mampu memberikan dorongan bagi para dosen untuk merumuskan strategi dan pendekatan baru dalam pengajaran yang lebih inklusif dan adil gender.

“Saya berharap hasil dari workshop ini dapat menghasilkan inovasi baru dan revolusi dalam pembelajaran di perguruan tinggi, keluar dari kebiasaan lama dan berani mencoba praktik baru yang lebih tepat berbasis perspektif keadilan gender dan memerdekakan manusia,” tutupnya.[]

Kolaborasi Mahasiswa dan Alumni ISIF Luncurkan Buku Perempuan Penggerak Perdamaian untuk Suarakan Peran Perempuan Lintas Iman

ISIF Cirebon — Buku ‘Perempuan Penggerak Perdamaian: Cerita Perempuan Lintas Iman Menjaga Perdamaian di Ciayumajakuning’ secara resmi diluncurkan di Rumah Rengganis, Cirebon, pada Sabtu, 5 Oktober 2024.  Acara ini dihadiri oleh puluhan peserta yang berasal dari berbagai elemen, komunitas, dan organisasi lintas iman, termasuk kalangan pondok pesantren dan mahasiswa.

Buku ini merupakan kolaborasi antara mahasiswa dan alumni ISIF, yang mengisahkan enam tokoh perempuan lintas iman yang aktif dalam menjaga perdamaian di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Tiga tokoh perempuan yang menyumbangkan cerita mereka dalam buku tersebut, yaitu Juwita Djatikusumah, Cici Situmorang, dan Alifatul Arifiati, turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi bedah buku.

Selain itu, kehadiran enam penulis buku juga menambah semarak acara, yang terdiri dari mahasiswa ISIF, Siti Robiah dan Fuji Ainayyah, serta alumni ISIF, Gun Gun Gunawan, Fajar Pahrul Ulum, Fitri Nurajizah, dan Fachrul Misbahuddin.

Ketua Program Beda Setara, Fitri Nurajizah, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penulisan buku ini didasari oleh pandangan sosial yang sering mengabaikan peran perempuan dalam menyuarakan perdamaian. “Teman-teman Beda Setara melihat bahwa perempuan selalu dianggap tidak ikut berkontribusi dalam upaya-upaya menjaga perdamaian dan menyuarakan nilai-nilai toleransi,” ujarnya.

Fitri menambahkan bahwa meskipun ada perempuan yang terlibat, peran mereka sering dianggap remeh. “Ternyata ada banyak sekali perempuan yang ikut terlibat bahkan menjadi inisiator untuk menyebarkan atau menjaga perdamaian,” lanjutnya.

Dalam kesempatan ini, Fitri juga menyoroti keunikan cara perempuan dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi. “Ada yang mulai dari rumah ke komunitas, ada yang memang mulai dari kegelisahan, dan ada yang dikarebakan menjadi korban diskriminasi,” katanya.

Fitri berharap, dengan diterbitkannya buku ini, akan muncul lebih banyak karya yang menuliskan tentang peran perempuan dalam gerakan perdamaian, tidak hanya di Ciayumajakuning, tetapi juga di wilayah lain di Indonesia. “Kami berharap buku ini menginspirasi anak-anak muda untuk menuliskan dan menyebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian,” tutupnya.

ISIF Cirebon Gelar Seminar Hasil Praktik Lapangan Profesi Secara Terbuka

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) menggelar Seminar Hasil Praktik Lapangan Profesi (PLP) bertempat di ruang Konvergensi yang berlangsung pada Senin, 30 September 2024. Kegiatan ini menjadi ajang penting bagi para mahasiswa untuk mempresentasikan hasil praktik lapangan yang telah mereka jalani. Sebanyak 37 peserta dari tiga program studi—Ekonomi Syariah, Pendidikan Agama Islam, dan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir—terlibat dalam kegiatan tersebut. Mereka terbagi ke dalam delapan kelompok, masing-masing memaparkan pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan selama praktik di berbagai lokasi.

Seminar PLP ini dijadwalkan berlangsung selama dua hari, mulai 30 September hingga 1 Oktober 2024. Ada perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan pelaksanaan seminar PLP tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya acara ini hanya terbatas bagi penguji dan peserta, kali ini seminar dilaksanakan secara terbuka, memberikan kesempatan bagi seluruh civitas akademika ISIF untuk turut serta menyimak hasil-hasil yang disajikan. Langkah ini diambil dengan tujuan untuk memperluas cakupan manfaat dari kegiatan tersebut dan mendorong terjadinya pertukaran ide di antara mahasiswa dan dosen yang hadir.

Menurut Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ISIF, Zaenab Mahmudah, Lc. ME.I., keputusan untuk menggelar seminar secara terbuka bukan tanpa alasan. Ia menjelaskan bahwa format baru ini diharapkan mampu menyebarluaskan pengetahuan yang diperoleh peserta selama menjalani PLP, sehingga lebih banyak mahasiswa yang bisa mengambil manfaat dari pengalaman tersebut.

“Seminar ini dilaksanakan supaya pengetahuan yang didiapat mahasiswa bisa dibagikan lebih menyeluruh, jadi tidak hanya mandek di ruang pengujian antara mahasiswa dan dosen penguji,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya berbagi pengalaman lapangan secara terbuka, terutama agar mahasiswa lain dapat memahami tantangan dan peluang yang dihadapi peserta PLP saat berada di lokasi praktik.

“Kalau dulu hanya antar penguji dan mahasiswa, dengan format seperti ini seluruh mahasiswa jadi mengetahui antara lokasi di sana seperti apa, pengalamannya seperti apa, dan ilmu yang didapatnya seperti apa,” tambahnya.

Program PLP, lanjutnya, merupakan bagian dari upaya kampus untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi dunia kerja, dengan memberikan pengalaman langsung sesuai dengan bidang studi mereka.

“PLP diselenggarakan jelas sebagai latihan berpraktik profesi bagi mahasiswa. Mahasiswa jadi punya pengalaman belajar di sekolah sebagai seorang guru bagi yang PAI, dan sebagai seorang pengusaha kalau yang Ekonomi Syariah,” katanya menjelaskan.

Dengan digelarnya Seminar Hasil PLP secara terbuka, diharapkan para peserta dapat lebih dalam mengeksplorasi pengetahuan dan berbagi wawasan dengan mahasiswa lainnya. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mendorong terjadinya diskusi yang lebih produktif di kampus, sehingga dapat melahirkan ide-ide baru.

“Seminar ini bertujuan untuk membuka ruang diskusi di kampus supaya ide dan gagasan dapat tumbuh dan berkembang dan dapat didiskusikan,” tutupnya.

ISIF Tawarkan Solusi Pendidikan Terjangkau melalui Konsep Desa Kampus-Kampus Desa

Oleh: Abdulloh (Sekretaris Pusat Gus Dur Studies)

ISIF CIREBON – Di tengah tingginya imbauan tentang pentingnya pendidikan, banyak masyarakat kelas bawah yang menganggap tidak penting untuk melanjutkan hingga ke jenjang perguruan tinggi karena biaya yang mahal. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja, mereka sudah merasa kesulitan.

Harga komoditas yang tidak bersahabat dan kenaikan harga pupuk semakin menyulitkan para petani. Sehingga, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka hanya menjadi mimpi belaka.

Namun Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), sebuah perguruan tinggi swasta yang lahir dari rahim para aktivis, peduli terhadap kemaslahatan bersama, memberikan harapan baru. Belum lama ini, ISIF mengunjungi masyarakat kelas bawah di Blok Karangsetu, Desa Cempaka, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, untuk menawarkan konsep ‘Desa Kampus-Kampus Desa’.

Konsep ini bertujuan memberikan kesempatan kepada anak-anak petani, buruh pengrajin rotan, dan buruh bangunan untuk mendapatkan pendidikan tinggi dengan mudah dan terjangkau. Dengan konsep ini, mahasiswa tidak lagi belajar di gedung-gedung tinggi, tetapi di desa mereka sendiri.

Dalam kesempatan itu, di hadapan puluhan masyarakat desa, tokoh agama, sesepuh desa, dan remaja. Rektor ISIF, KH Marzuki Wahid menjelaskan, kampus desa ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tinggi tanpa harus datang ke kampus, memakai sepatu, atau berpakaian formal.

“Kita menetapkan desa sebagai kampusnya. Jadi mahasiswa bisa belajar sesuai dengan kultur dan budaya masing-masing. Ijazah yang dikeluarkan ISIF setara dengan kampus lainnya. Lulusan ISIF sudah banyak yang tersebar di berbagai tempat dan bekerja sesuai dengan keterampilan jurusan yang mereka ambil di ISIF,” kata KH. Marzuki Wahid.

Kunjungan dari civitas akademika ISIF ini mendapat respon luar biasa dari tokoh agama setempat, Mustari, menurutnya, di wilayah blok tempat tinggalnya, tidak ada satu pun sarjana.

“Dengan kehadiran ISIF ini, saya pribadi akan mendorong masyarakat, khususnya di blok kami, untuk mengikuti konsep kampus desa-desa kampus ini. Ini akan menjadi sejarah bagi kami, bahwa blok kami akan memiliki sarjana,” ungkap Mustari.

Dengan konsep ‘Desa Kampus-Kampus Desa’, ISIF berupaya mendekatkan pendidikan tinggi kepada masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan oleh tingginya biaya dan hambatan akses. Program ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi banyak keluarga di desa-desa untuk meraih mimpi mereka mendapatkan pendidikan tinggi dan meningkatkan kualitas hidup mereka. []

Tulisan ini telah dimuat di Kabar Cirebon pada 1 Agustus 2024 dengan judul: ISIF Tawarkan Solusi Pendidikan Terjangkau melalui Konsep Desa Kampus-Kampus Desa