by Admin | 8 Mar 2023 | Berita
ISIF CIREBON – Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II resmi menetapkan bahwa hukum melakukan pembiaran sampah yang merusak kelestarian lingkungan dan mengancam keselamatan manusia, terutama perempuan, adalah haram.
Keharaman membiarkan sampah yang tidak dikelola dengan tepat itu akan berdampak serius pada kerusakan lingkungan dan mengancam kehidupan manusia. Baik pada perempuan, seperti dapat menyebabkan kemandulan dan keguguran. Maupun pada laki-laki yang menyebabkan impotensi, dan kepada anak yang menyebabkan pertumbuhan stunting.
Meskipun Indonesia telah memiliki UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun permasalahan sampah masih belum teratasi dengan baik, dan masih mengancam keberlanjutan lingkungan dan keselamatan manusia, terutama perempuan.
Oleh sebab itu, Musyawarah Keagamaan KUPI memutuskan sikap keagamaan dan pandangan bahwa pertama, hukum melakukan pembiaran sampah yang merusak kelestarian lingkungan dan mengancam keselamatan manusia, terutama perempuan, adalah haram.
Kedua, hukum membangun infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah untuk keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan adalah wajib bagi yang memiliki wewenang, yaitu pemimpin dan para pemegang kebijakan dengan semua fasilitas yang dimiliki.
Ketiga, semua pihak, baik individu, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun korporasi, wajib mengurangi dan mengelola sampah, sesuai kemampuan dan kewenangan masing-masing, serta membangun kesadaran warga tentang bahaya sampah yang tidak dikelola dan tata cara pengelolaannya, baik dengan cara sederhana maupun dengan penggunaan teknologi maju yang berwawasan lingkungan.
Perintah Menjaga Lingkungan Dalam Al-Qur’an
Di dalam surat ar-Rum ayat 41, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah bersumber dari aktivitas manusia. Allah SWT akan membuat manusia merasakan akibat perbuatannya itu, agar mereka kembali ke jalan yang benar (QS. ar-Rum 30: 41).
Ayat tersebut menunjukkan larangan membuat kerusakan lingkungan hidup yang digambarkan dengan kerusakan di darat dan laut dan manusia diseru agar menghentikan aktivitasnya yang merusak itu. Alih-alih merusak, manusia sebagai khalifah fil ardl harus merawat dan melestarikan lingkungan yang sehat (QS. al-Baqarah 2 : 30).
Demikian pula sunnah Nabi SAW menegaskan, bahwa semua manusia adalah pemimpin dalam hidupnya dan harus mempertanggungjawabkan aktivitasnya. []
by Admin | 14 Jan 2023 | Berita
ISIF CIREBON – Dalam isu ekstremisme dan terorisme, Cirebon kerap kali disebut sebagai daerah zona merah. Hal ini, disebabkan karena banyaknya teroris yang berasal dari Cirebon dan tertangkap di wilayah Cirebon. Mereka juga terhubung dengan jaringan teroris nasional dan internasional.
Hasil kajian mutakhir yang disusun oleh Yayasan Satu Keadilan, sampai 2022 ini terdapat 60 warga Kota dan Kabupaten Cirebon yang terlibat dalam kasus terorisme dan ditangkap Densus 88.
Dengan maraknya kasus terorisme di Cirebon, serta banyak yang tertangkap Densus 88, menyebabkan Cirebon masuk sebagai zona merah radikalisme agama.
Sebagai kota wali, tentu saja hal ini sangat ironis. Sebab, ajaran toleransi yang sudah diwariskan sejak lama oleh Sunan Gunung Jati menjadi tereduksi oleh peristiwa intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.
Imron Rosyadi, Bupati Kabupaten Cirebon, mengakui bahwa isu radikalisme dan ekstremisme masih menjadi persoalan dan tantangan yang harus dituntaskan. Hal ini, bupati sampaikan saat perwakilan dari Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon, Yayasan Satu Keadilan (YSK) Bogor, dan Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) melakukan audiensi pada Kamis, 12 Januari 2023 di Pendopo Bupati Jln. Kartini Cirebon.
Pada kesempatan itu, Bupati juga menyampaikan perlunya keterlibatan banyak pihak, termasuk dari elemen masyarakat sipil untuk menuntaskan ekstremisme, rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme.
Pada hari yang sama (12/1/23), Yayasan Satu Keadilan (YSK) juga mempertemukan sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) se-Cirebon Raya yang peduli dengan isu ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Pertemuan ini diikuti oleh 17 OMS.
Di antaranya adalah Fahmina Institute, Lesbumi Cirebon, Umah Ramah, WCC Balqis, Fatayat NU Cirebon, Koalisi Perempuan Indonesia, GP Ansor Cirebon, PSGA IAIN Cirebon, Inspiration House, Pelita Perdamaian, Pemuda Muhammadiyah Cirebon, IPPNU Cirebon, Nasyiatul Aisyiah Cirebon, Forum Jabar Bergerak, GMNI, Gusdurian, Gerak Puan UGJ, dan ISIF Cirebon.
Tantangan Rehabilitasi
Pertemuan ini selain mendiskusikan hasil analisis situasi terkini Cirebon terkait ekstremisme dan tantangan serta peluang rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme, juga menyepakati pembentukan Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi.
Hadir sebagai narasumber dalam pertemuan ini adalah Marzuki Rais dari Fahmina Institute. “Upaya pencegahan ekstremisme dan radikalisme di Cirebon telah banyak dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil, namun inisiasi yang serius untuk rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme belum banyak dilakukan. Densus 88 dan BNPT telah melakukannya dalam pendekatan sosial ekonomi dan keamanan,” kata Marzuki Rais.
“Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon yang terbentuk hari ini dimaksudkan untuk memperkuat secara kolektif dan sinergis gerakan OMS yang secara parsial telah melakukan gerakan pada isu spesifik pada kecamatan masing-masing,” sambung Syamsul Alam Agus, Sekretaris YSK, pada pertemuan tersebut.
Forum OMS Cirebon juga sudah menyepakati deklarasi, visi, misi, dan kode perilaku yang harus ditaati oleh semua anggota Forum. Agenda utamanya selain mengadakan pertemuan rutin dengan Pemerintah Daerah, menginisiasi payung hukum rehabilitasi dan reintegrasi, juga memperkuat kapasitas Forum dalam isu rehabilitasi, reintegrasi, dan mitigasi risiko keamanan.
Agenda ini disambut baik oleh Bupati Cirebon Imron Rosyadi. “Jika perlu pertemuan di Pendopo Bupati, silakan. Pemerintah membuka diri untuk kerja sama dengan Organisasi Masyarakat Sipil. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam menanggulangi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme,” pungkasnya.[]
by Admin | 26 Dec 2022 | Publikasi Ilmiah
Tulisan ini adalah Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda Sarjana Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Angkatan VI, 24 Desember 2022, di Hotel Prima Cirebon.
Pengantar
Perkenankan saya memulai dengan mengucapkan ‘Selamat!’ kepada mahasiswa-mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) yang wisuda pada hari ini.
ISIF adalah sebuah aspirasi. Dia bagian dari perjuangan besar untuk menghadirkan kehidupan yang adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbagi refleksi tentang membangun pengetahuan transformatif. Saya bicara hari ini bukan sebagai akademisi atau ilmuwan dalam sebuah disiplin ilmu tertentu. Saya hanya seorang penggerak yang terus berpikir kritis di ruang publik dengan sumber daya yang tersedia di ruang publik demi majunya perjuangan besar yang sama-sama sedang diupayakan ini.
Krisis dan Momen Transformatif
Tantangan yang dihadapi dalam perjuangan ini semakin besar dan kompleks sekarang. Pandemi Covid-19 tidak sekedar mengakibatkan porak-porandanya kehidupan umat manusia sedunia. Menyebarnya virus corona ke seantero dunia juga merupakan sebuah pesan dari alam. Melalui partikel mungil yang tak kasat mata ini, alam sedang bersuara bahwa manusia ini telah terlalu jauh menjarah ke ruang hidup alam semesta. Keserakahannya nyaris tidak menyisakan lagi habitat yang aman dan sentosa bagi makhluk-makhluk penghuni lainnya – flora dan fauna yang selama ini ikut memastikan keberlanjutan hidup di Bumi.
Para ilmuwan menyatakan bahwa pandemi sudah pasti akan terjadi lagi jika kita tidak mengubah sistem produksi pangan, membatasi urbanisasi dan industri, menggagas ulang cara transportasi, dan mengurangi peningkatan suhu udara di tengah perubahan iklim. Artinya, pandemi ini akan berulang jika kita tidak melakukan perubahan sistemik, jika kita tidak mampu membayangkan dan membangun sistem ekonomi yang regeneratif – yang menjamin keberlanjutan bukan mematahkannya.
Perang di Ukraina bukan saja membawa kesengsaraan bagi warga negara Ukraina melainkan juga menunjukkan betapa rapuhnya tatanan dunia bahkan di pusat-pusat kekuasaan seperti Dewan Keamanan PBB dan Eropa. Hak veto yang dipegang oleh Rusia dan Cina di Dewan Keamanan PBB, sebagai hasil kesepakatan pasca Perang Dunia II, tidak memungkinkan adanya pihak mana pun yang dapat mencegah serangan Rusia ini. Menghadapi boikot ekonomi oleh negara-negara pembela Ukraina, Rusia malah menghentikan penjualan gandum dan bahan bakar dan mengakibatkan krisis pangan di Afrika serta krisis energi di Eropa.
Lebih dari itu, fakta perang di kawasan Eropa Timur ini telah membuat pemerintahan di mana-mana sibuk mempersenjatai diri sejalan dengan menguatnya logika perang, termasuk di Cina, Jepang, Indonesia dan negara-negara Eropa yang selama ini bergantung pada kekuatan militer Amerika melalui NATO.
Tetapi bagaimana membuat perubahan sistemik di tengah ruang demokrasi yang semakin menyempit? Menurut lembaga internasional yang terus mengamati kondisi demokrasi di dunia, pada akhir tahun 2021, separuh dari 173 negara mengalami kemunduran paling tidak dalam satu aspek kehidupan demokrasi. Bahkan Eropa, kawasan yang selama ini membanggakan diri sebagai pusat demokrasi dunia, harus mengakui bahwa separuh dari negara-negara di sana mengalami kemerosotan demokrasi.[1] Sementara itu, otoritarianisme semakin kuat mengakar di mana-mana, termasuk di kawasan kita, Asia Pasifik, di mana 85% dari penduduknya tengah hidup dalam konteks demokrasi yang serba mundur dan melemah.
Dalam konteks ini, bukankah akan semakin sulit dan berisiko untuk menyuarakan urgensi perubahan sistemik yang niscaya akan menggoyahkan – bahkan mensyaratkan pembongkaran – dari tatanan hierarki kuasa yang selama ini mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat?
Semua ini semakin kompleks saat kita juga sedang penuh kegamangan dalam berhadapan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari kita. Di satu pihak, media sosial menciptakan peluang-peluang baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dengan kemampuan untuk menembus waktu dan jarak dalam sekejap. Media sosial memudahkan kita berkomunikasi dengan kekuatan visual yang dinamis dan berdaya gugah secara instan.
Akan tetapi, di pihak lain, revolusi teknologi informasi dan komunikasi ini juga pegang andil besar dalam menyebarkan kebencian dan menguatkan cara berpolitik yang bertumpu pada rasa takut dan serba curiga kepada orang yang berbeda dari diri dan golongan sendiri. Perlu juga kita simak dampak media sosial pada kesehatan mental anak muda. Sebuah survei yang dijalankan sepanjang 10 tahun (2009-2019) di Amerika[2], misalnya, menemukan bahwa perempuan remaja yang mulai menggunakan media sosial pada usia ke-13 dan terus meningkat frekuensi penggunaannya semakin rentan risiko bunuh diri.
Sebenarnya dalam sejarah peradaban manusia, kita beberapa kali mengalami gejolak besar akibat adanya teknologi baru. Antara lain, Benedict Anderson, pakar ilmu politik, sejarawan dan Indonesianis kondang, memaparkan bagaimana munculnya mesin cetak pada abad ke-15 untuk memroduksi injil Gutenberg menjadi cikal bakal bagi lahirnya penerbit buku yang, pada gilirannya, memungkinkan penyebaran gagasan-gagasan baru, termasuk tentang bangsa dan kebangsaan atau konsep nasion dan nasionalisme. Empat abad setelahnya, proses membayangkan keberadaan sebuah komunitas politik yang berbatas dan berdaulat – disebut ‘imagined community’ – mewujudkan diri pada era dekolonisasi, termasuk di bumi pertiwi kita.
Sebagaimana mesin cetak Gutenberg dulu, mungkin teknologi digital yang juga tanpa preseden akan jadi cikal bakal bagi lahirnya suatu formasi kehidupan sosial-politik yang sama sekali berbeda dari apa yang kita kenal hari ini. Bukan tidak mungkin bahwa, hari ini, umat manusia sekali lagi berada dalam sebuah momen transformatif yang pastinya bakal berlangsung panjang.
Gagasan-gagasan baru yang didasarkan pada kekuatan imajinasi sudah mulai bermunculan sebenarnya. Salah satunya yang baik kita simak adalah sebuah manifesto yang disebut ‘Care Manifesto’, yaitu ajakan untuk membayangkan ulang seluruh sistem politik, ekonomi, tatanan global serta sistem kerabat dan komunitas agar dipandu oleh komitmen untuk saling merawat.
Para penggagas, sebuah kumpulan ilmuwan dan aktivis yang disebut ‘The Care Collective’, membuat manifesto ini sebagai wujud dari penyikapan politik mereka atas fakta interdependensi dari segala dimensi sistem kehidupan. Gagasan, atau lebih tepatnya seruan, yang mereka buat ini merupakan respons atas segala biaya sosial, politik dan personal yang harus ditanggung umat manusia akibat sikap tidak peduli (carelessness) yang hegemonik selama ini. Mereka berkeyakinan bahwa:
Care, atau saling rawat, adalah kemampuan diri dan kemampuan bersama untuk menyediakan kondisi politik, sosial, material dan emosional yang memungkinkan mayoritas orang dan makhluk hidup di bumi ini untuk hidup sentosa, seiring dengan planet di mana mereka berada. Hal ini termasuk kapasitas dan kegiatan bersama untuk merawat segala yang dibutuhkan bagi kesejahteraan dan tumbuh-kembangnya kehidupan. Di atas segalanya, tekad untuk menempatkan upaya saling merawat sebagai poros utama berarti komitmen untuk mengakui dan menerima fakta interdependensi dari segala aspek kehidupan kita.
Secara khusus, hal ini menuntut kesiapan untuk memberi perhatian pada kerja perawatan yang berlangsung dalam keluarga, di sekolah dan di ruang-ruang pelayanan sosial lainnya serta kesediaan untuk merawat para aktivis yang tengah mengupayakan alternatif-alternatif kolaboratif, ekonomi solidaritas dan kepustakaan dari perjuangannya. Mewujudkan kemampuan bersama untuk saling merawat juga mencakupi kapasitas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang menjamin perumahan yang terjangkau, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memperluas kawasan hijau di bumi ini.
Kumpulan ‘Care Collective’ ini tidak sedang mengajukan sebuah teori yang sudah jadi tetapi mengajak kita untuk berimajinasi secara radikal. Bisa jadi, imajinasi untuk menata ulang sistem kehidupan atas dasar prinsip saling rawat hari ini sama radikalnya dengan imajinasi beberapa abad yang lalu saat otoritas absolut raja dan agamawan dibayangkan perlu dan bisa digantikan dengan kedaulatan rakyat di ruang demokrasi. Hari ini dan saat itu, imajinasi radikal seperti ini bukannya mimpi di siang bolong melainkan sebuah aspirasi berlandaskan analisis yang seksama dan berani tentang kondisi ketidakadilan dalam tatanan sosial politik yang ada.
Apakah analisis kita tentang berbagai masalah ketidakadilan hari ini mampu menghasilkan daya imajinasi yang radikal tentang masa depan yang berbeda dan lebih baik? Apakah cara berpengetahuan kita cukup memadai untuk merealisasikan sebuah perubahan sistemik sebagaimana dituntut oleh era pandemi ini?
Cara Berpengetahuan untuk Perubahan Sistemik
Sementara perspektif sejarah membantu kita untuk memahami bagaimana proses transformasi sistem sosial-politik berlangsung dari jaman ke jaman, sebagai aktor perubahan, kita harus bertanya bagaimana cara membongkar tatanan ketidakadilan yang penuh kemapanan?
Dalam konteks ini, perkenankan saya merujuk pada pertanyaan yang diajukan oleh Sally Haslanger[3], seorang filosof feminis di Amerika Serikat: Bagaimana cara melakukan disrupsi atas proses reproduksi sosial dari suatu sistem kemasyarakatan yang penuh ketidakadilan dan menggantikannya dengan sebuah sistem yang lebih baik?
Menurut Haslanger, suatu masyarakat adalah sistem yang kompleks yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkait-kelindan. Cara kerja unsur-unsurnya tidak selalu linear layaknya garis lurus yang sederhana dan sering kali jalannya pun penuh hal-hal tak terduga. Kendati demikian, ada pola dan keteraturan yang menjamin stabilitas sistem ini berkat kemampuannya untuk senantiasa menata diri atas dasar umpan balik dari berbagai unsur-unsurnya tanpa membutuhkan otoritas sentral.
Dalam pandangan Haslanger, di dalam setiap sistem kemasyarakatan terdapat struktur yang merupakan jaringan relasi yang dibentuk melalui praktik sosial. Struktur sosial tidak hanya mengambil wujud institusional tetapi juga dibentuk oleh proses pembelajaran sosial dan interaksi yang kompleks antar sosok pelaku, budaya dan dunia material.
Sebuah sistem yang penuh ketidakadilan bisa stabil, dalam arti mampu secara langgeng menjalankan proses reproduksi sosial, melalui tiga hal, menurut Haslanger: kuasa, pemberian makna (intelligibility) dan kondisi material (materiality). Artinya, jika kita menginginkan perubahan sistemik maka perubahan yang diupayakan haruslah mencakupi ketiga sumber stabilitas ini. Haslanger meyakini bahwa perubahan ini mensyaratkan perubahan hukum, karena sistem hukum punya andil besar dalam melanggengkan hierarki sosial. Tetapi, hukum (perubahan hukum) tidak berdiri sendiri dan saling berkelindan dengan budaya (perubahan budaya). Struktur hadir dalam interaksi dengan pemaknaan sosial. Menariknya, Haslanger percaya bawha perubahan hukum hanya efektif jika terjadi sebagai akibat dari gerakan sosial yang telah mampu mengubah praktik sosial di akar rumput.
Keyakinan Haslanger akan peran gerakan sosial didasarkan pada amatannya bahwa, dibandingkan dengan institusi-institusi legal formal, gerakan sosial mempunyai kebebasan lebih besar untuk mengkaji ulang (rethink) asumsi-asumsi dasar kita dan untuk menggoyahkan atau melakukan disrupsi pada status quo. Gerakan sosial fasih menciptakan praktik-praktik tandingan serta mengembangkan jaringan sosial baru. Melalui kerja pengorganisasiannya, gerakan sosial punya kemampuan mendorong terjadinya pergeseran paradigma (paradigm shift). Demikian pandangan filosof ini.
Cara pandang Sally Haslanger sejalan dengan mereka yang mengadvokasikan pendekatan transdisiplin dalam dunia pendidikan dan riset. Mereka menekankan bahwa pengetahuan mengalir dari dua arah: dari dunia keilmuan (science) ke masyarakat dan dari masyarakat ke dunia keilmuan, dari akademia dan juga dari dunia luar akademia. Pendekatan transdisiplin mengakui bahwa masyarakat juga pencipta pengetahuan yang absah dan bahkan mampu menggugat produk pengetahuan karya para ilmuwan.[4]
Pendekatan ini mengakui adanya ragam cara berpengetahuan (ways of knowing) dan kemajemukan epistemologi. Berlawanan dengan ini adalah rejim keilmuan yang sekadar membakukan (dan membekukan) batas-batas pemisah antar disiplin dan melanggengkan hierarki dalam berilmu. Sayangnya, masih terlalu banyak lembaga-lembaga pendidikan formal kita yang mengemban rejim keilmuan seperti ini.
Kepeloporan KUPI
Para mahasiswa yang berwisuda hari ini, Anda perlu bangga sebagai lulusan ISIF yang merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia. KUPI merupakan wujud nyata dari pendekatan keilmuan yang transdisiplin di mana ulama, akademisi, aktivis dan penyintas membangun pengetahuan secara interaktif bersama untuk perubahan yang transformatif.
Badriyah Fayumi berulang kali menegaskan bahwa KUPI adalah gerakan intelektual, gerakan keagamaan dan gerakan kultural sekaligus. Bisa kita bayangkan bagaimana filosof Sally Haslanger akan segera mengenali potensi kekuatan gerakan KUPI untuk mendorong perubahan sistemik.
Nur Rofiah menekankan sifat kolektif dari keilmuan dan penyikapan yang dihasilkan oleh ulama perempuan KUPI serta keberakaran yang khas pada pengalaman biologis dan sosial perempuan. Ini adalah wujud dari cara berpengetahuan perempuan dan bukti atas kemajemukan epistemologi yang patut diakui dan dirayakan sebagai prasyarat keadilan yang hakiki.
Dalam pusaran gerakan KUPI, Faqihuddin Abdul Kodir melakukan ajakan kepada laki-laki dan perempuan untuk berani membuat imajinasi radikal, yaitu untuk menggantikan relasi yang penuh ketimpangan kuasa dengan relasi atas dasar prinsip kesalingan di semua aspek kehidupan.
Semua inilah contoh nyata dari upaya membangun pengetahuan transformatif, yaitu cara berpengetahuan yang punya niat dan kemampuan untuk mengubah secara sistemik tatanan kehidupan yang penuh ketidakadilan dan pengrusakan. Otentisitas keilmuan KUPI adalah sumber kekuatan dan legitimasinya yang perlu dirawat bersama. Aspirasi dan komitmennya untuk tetap relevan di tengah berbagai krisis bangsa dan dunia membuat KUPI terus berkembang dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, kepada Anda yang wisuda hari ini, semoga pilihan peran di masyarakat yang Anda ambil setelah lulus dari ISIF diwarnai oleh aspirasi yang diemban ISIF sebagai bagian dari sebuah gerakan besar untuk membangun kehidupan yang lebih adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua. Jadilah warga bangsa dan warga dunia yang berkiprah mulia dan kritis di tengah krisis dan momen transformatif yang sedang kita hadapi bersama.[]
Kamala Chandrakira adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Fahmina, Anggota Kelompok Kerja Komisi HAM PBB (2010-2017), Komisi Nasional Perempuan (Sekjen: 1998-2003, Ketua: 2003-2009), Pendiri Musawah, lulusan S1 Jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia (1979-1981), S1 Sosiologi, Universitas Sophia Tokyo (1981-1983), Magister Sains bidang Sosiologi Pembangunan, Universitas Cornell, Ithaca, New York (1984-1988).
Sumber:
[1] https://www.idea.int/news-media/news/global-democracy-weakens-2022
[2] https://www.newswise.com/articles/10-year-study-shows-elevated-suicide-risk-from-excess-social-media-time-for-teen-girls
[3] Sally Haslanger, Social Justice, Culture and Law, 26 Mei 2022.
[4] https://www.uu.nl/en/research/transdisciplinary-field-guide/get-started/why-transdisciplinary-research
by Admin | 16 Nov 2022 | Berita
Ketika Islam bermula, perempuan memiliki akses dan peran setara terhadap teks kitab suci, yang memungkinkan mereka membentuk otoritas penafsiran. Namun, seiring waktu, peran itu tenggelam dan banyak tafsir lahir tanpa disertai sensitivitas gender.
Peneliti sejarah Islam dari Perancis, Samia Kotele menyebut salah satu prinsip dalam agama Islam adalah kesetaraan. Karena prinsip itu pula, sejumlah perempuan di era Nabi Muhammad, mampu memulai tradisi dalam bidang keagamaan. Peran perempuan dalam tafsir, misalnya, sudah terlibat. Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam agama menjadi semakin terpinggirkan.
“Partisipasi perempuan dalam ranah keagamaan menurun seiring dengan perkembangan ranah produksi keagamaan dan konstruksi normatif, itu sekitar abad ke delapan,” kata Samia.
Kandidat Ph.D di Institut Studi Politik, Lyon, Prancis, itu berbicara dalam kolokium ulama perempuan seri pertama, pada Minggu (26/12) malam. Tema yang dibahas adalah pertanyaan bernada protes: Mengapa Ulama Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah. Samia telah melakuan penelitian berkaitan dengan isu tersebut selama dua tahun, dan akan memulai penelitian lapangan di Indonesia saat ini.
Marginalisasi dan Interpretasi
Dalam konteks masa lalu, lanjut Samia, muncul sekelompok perempuan di lingkaran terdekat Nabi, yang punya akses terhadap teks kitab suci. Fenomena marginalisasi mulai terlihat jelas pada saat itu dibuktikan dengan hanya sekelompok perempuan tertentu yang memiliki akses terhadap teks keagamaan.
“Perempuan di lingkaran Nabi tidak hanya berpartipasi dalam produksi keilmuan Islam, tetapi juga terlibat dalam tradisi pemikiran kritis di dalam keilmuan tersebut,” tambah Samia.
Penurunan peran ulama perempuan seiring waktu melahirkan kondisi baru terkait interpretasi teks keagamaan.
“Marjinalisasi perempuan dalam tradisi ini, memungkinkan ulama laki-laki untuk menginterpretasikan ayat-ayat suci dalam perspektif laki-laki,” ujarnya lagi.
Karena kondisi itulah, Samia menilai suara para ulama perempuan tetap tidak terdengar, sebab terpinggirkan dari domain ideologis.
Indonesia menjadi penting dalam kebangkitan peran ulama perempuan di abad ke-20. Ketika Muhammadiyah berdiri misalnya, mereka langsung mendirikan organisasi nasional untuk perempuan. Selain itu, dalam peta muslim dunia, peran Indonesia juga penting, dan salah satu yang paling penting adalah terkait pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan bagi perempuan sudah ada sejak awal, misalnya melalui pesantren. Meski tetap muncul perbedaan, setidaknya kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan cukup terbuka jika dibandingkan dengan kondisi di mayoritas negara berpenduduk muslim lainnya, khususnya di wilayah Arab.
Karena sejarah panjang itu pulalah, kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 dapat dipahami. KUPI sendiri mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki perspektif gender untuk memahami teks-teks keagamaan.
Hilang dari Sejarah
Aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia menilai penelitian yang dilakukan Samia sangat penting bagi sejarah gerakan perempuan Indonesia. Ita sendiri saat ini tengah melakukan penelitian terkait marginalisasi gerakan perempuan Indonesia, sesudah peristiwa 65.
“Peristiwa 30 September 1965 itu mempunyai dampak yang sangat besar, terhadap gerakan perempuan, termasuk gerakan ulama perempuan,” kata Ita yang juga turut mendirikan Komnas Perempuan.
Fakta peminggiran peran ulama perempuan, dinilai Ita sangat jarang dibahas dalam kajian sejarah Indonesia. Padahal hal tersebut penting, untuk menjadi pengetahuan bersama.
Karena keterbatasan sumber tertulis, narasi oral nampaknya akan menjadi sumber data dalam studi semacam ini.
“Ini akan memanggil kembali memori dari ulama perempuan, tentang bagaimana perjuangannya, dan ini penting disimpan sebagai arsip,” tambah Ita yang juga aktif di Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS).
Ita bahkan menyebut, gerakan perempuan tidak hanya dibungkam, tetapi dibunuh oleh sejarah.
Akibat pembungkaman panjang itu, banyak pihak di Indonesia bahkan tidak menyadari keberadaan dan peran ulama perempuan, seperti dikatakan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon, Jawa Barat, Marzuki Wahid.
“Kita baru sadar ada ulama perempuan dan istilah ulama perempuan, akhir-akhir ini, terutama ketika ada KUPI dan sebelumnya. Betapa pentingnya kehadiran dan peran ulama perempuan dalam panggung sejarah dan panggung kehidupan hari ini,” kata Marzuki.
Seluruh proses perbincangan mengenai sejarah dan peran ulama perempuan, penting untuk dicatat karena KUPI akan menyelenggarakan kongres keduanya pada November 2022.
Pengurus KUPI sekaligus pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nur Rofiah turut menyampaikan keprihatinannya atas kondisi yang menimpa ulama perempuan di Indonesia.
“Benar-benar sosoknya seperti tidak ada. Banyak ulama perempuan penting, tetapi dalam narasi sejarah tidak muncul sama sekali,” ujar Nur Rofiah.
Dia memberi contoh, Sultanah atau Sultan perempuan di Aceh yang meski perannya besar dalam sejarah Indonesia, tetapi tidak muncul dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Sementara dalam Islam, banyak pula tokoh ulama perempuan yang dahsyat, namun tidak muncul dalam tarikh Islam.
“Misalnya Ummu Salamah, yang baru kita tahu belakangan setelah gencar kita bicara perspektif perempuan, termasuk dalam sejarah,” tambah Nur Rofiah. [ns/rs]
Sumber: Tulisan telah dimuat di voaindonesia.com pada 27 Desember 2021.
by Admin | 2 Nov 2022 | Mahasiswa & Alumni, Publikasi dan Kegiatan SUPI
Oleh: Dalpa Waliatul Maula (Mahasantriwa SUPI ISIF Cirebon)
ISIF CIREBON – Saya adalah seorang mahasantriwa SUPI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) semester satu. Saya bersyukur bisa mengikuti kegiatan Camping Sangalikur, yaitu camping lintas iman. Camping ini diinisiasi oleh paroki dari berbagai gereja se-wilayah III Cirebon.
Melalui kegiatan camping lintas iman ini, saya belajar tentang bagaimana pentingnya saling mengenal, menghargai dan juga menghormati setiap keyakinan orang lain. Di sini saya bertemu dengan sekitar 70 teman dari berbagai latar belakang yang berbeda, ada yang Kristen, Hindu, Katolik dan ada juga teman-teman dari penghayat Sunda Wiwitan.
Sejak kecil saya sering mendengar bahwa sebagai muslimah yang baik, kita tidak boleh bergaul atau berteman dengan orang yang berbeda agama. Sebab, khawatir akan mendorong kita untuk pindah agama. Sebenarnya narasi-narasi ini juga sering aku dengar sih di media sosial, terutama di setiap hari Natal tiba.
Tapi, sejak masuk dan belajar di ISIF, aku diajarkan untuk berani membuka diri dan tidak takut untuk bergaul dengan orang yang berbeda denganku, baik beda agama, suku, ras ataupun keyakinan yang lain. Maka dari itu, aku tertarik ketika pertama kali diajak untuk ikut Camping Sangalikur. Aku berpikir bahwa dengan ikut belajar di kegiatan ini akan menambah wawasanku tentang makna toleransi.
Sebelum berangkat ke lokasi camping, saya dan teman-teman peserta yang lain berkumpul di Gereja Bunda Maria Cirebon. Itu adalah pengalaman pertamaku masuk ke rumah ibadah teman-teman Katolik. Awalnya ada rasa takut dan khawatir, namun aku melihat bahwa orang-orang di sana sangat ramah dan sama sekali tidak menakutkan seperti yang sering aku dengar. Dan dengan cepat aku pun mendapatkan teman yaitu Kak Dwi. Dia adalah salah satu remaja yang aktif di Gereja Bunda Maria.
Melalui obrolan ringan bersama Kak Dwi, aku jadi tau bahwa bahwa yang diajarkan di agama Kristen juga tidak jauh berbeda dengan Islam, yaitu selalu mendorong umatnya untuk selalu berbuat baik, menebar manfaat dan saling meberikan kasih sayang kepada seluruh manusia.
Selain itu, di Kristen juga ternyata ada budaya ziarahnya lho. Ah ternyata sikap berprasangka buruk itu emang timbul dari kurangnya pengetahuan kita tentang relaitas yang ada di lingkungan kita.
Setelah menunggu peserta kupul semua, akhirnya kami berangkat ke lokasi camping. Selama perjalanan dari Cirebon ke lokasi, aku senang sekali mendapatkan banyak teman yang asik dan santai. Sehingga tanpa waktu yang lamu, aku pun mendapatkan banyak teman.
Sebelum kegiatan di mulai, kami secara bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku pikir selain untuk menujukan rasa nasionalisme kita sebagai warga Indonesia, lagu ini juga mengingatkan kita bahwa walaupun kita berbeda, tapi kita harus tetap bersatu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Husein Muhammad bahwa perbedaan itu adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa.
Setelah itu, kami juga diajak untuk bermain satu game yang menurutku game ini membuat kami tambah saling mengenal satu sama lain. Sebab, dalam game tersebut kami saling berkenalan sambil menyampaikan kesan dan harapan setelah mengikuti Camping Sangalikur.
Selain acara yang dikemas secara asik, juga materi yang disampaikan oleh para narasumber juga keren-keren. Misalnya materi mengenai moderasi beragama yang disampaikan oleh Pak Marzuki Wahid. Beliau menyampaikan bahwa Tuhan itu memang satu, tapi cara penyebutan dan jalan menuju Tuhan itu banyak.
Dengan begitu, kita tidak perlu heboh dengan keragaman tersebut, justru harus kita rayakan dengan cara saling menghargai dan menghormati pilihan orang lain.
Selain itu, Pak Marzuki juga menambahkan bahwa mengutamakan kemanusiaan di atas segala sesuatu itu sangat penting, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Gus Dur. Gus Dur tidak pernah memandang orang yang berbeda itu rendah, sebab sejatinya di hadapan Tuhan semua manusia itu sama. Yang membedakankan ialah tingkat ketakwaannya, bukan agama ataupun latar belakang sosial lainnya.
Lalu yang terakhir, selain bersyukur bisa mengikuti camping lintas iman, aku juga berharap lebih banyak anak muda yang bisa ikut terlibat dalam ruang-ruang dialog lintas iman. Karena dengan ruang dialog seperti ini, kita bisa saling mengenal satu sama lain, saling berbagi cerita, pengalaman dan membangun relasi pertemanan yang solid. Karena seperti pepatah yang sering kita dengar bahwa “Tak kenal, maka tak sayang. Kalau udah kenal bisa lah kita jadi teman”. []
by Admin | 31 Oct 2022 | Publikasi Ilmiah
Oleh : Imam Malik Riduan (Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon; Kandidat Doktor pada School of Social Sciences Western Syndney University, Australia)
ISIF CIREBON – Agama memiliki kapasitas untuk tampil sebagai salah satu jalan keluar bagi persoalan dunia. Pesan itulah yang tampaknya ingin disampaikan oleh forum agamawan R20 (Religion of Twenty) pada 2-3 November 2022 di Bali.
Pemerintah Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 memberikan dukungan penuh kepada inisiatif Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf itu dengan menjadikan ajang R20 sebagai official engagement G20. Dengan demikian, presidensi G20 telah memproklamasikan agama sebagai komponen yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendesain solusi persoalan global. Dengan kata lain, beberapa saat lagi Indonesia akan menutup era peminggiran agama dari ranah publik untuk kemudian berbalik mengampanyekannya sebagai bagian dari solusi bagi tantangan global.
Ketua panitia acara ini, Ahmad Suaedy, dalam tulisannya di Kompas (22/10/2022), mengatakan, acara ini akan dihadiri oleh setidaknya 100 pemimpin agama dunia dan 200 tokoh agama dari Indonesia. Tokoh-tokoh agama itu, menurut dia, datang dari berbagai latar belakang aliran dan sekte.
Tidak seperti seminar dan konferensi serta forum-forum lain, kata Ahmad Suaedy dalam artikelnya, forum ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin agama dan sekte itu untuk melakukan refleksi tentang kekurangan dan kelebihan serta tradisi yang negatif ataupun yang positif untuk kemudian mencari jawaban bersama atas apa yang bisa dilakukan oleh agama-agama ini untuk memecahkan berbagai masalah kemanusiaan di dunia.
Melalui tulisan pendek itu, panitia R20 memberikan tiga sinyal penting agar cita-cita menjadikan agama sebagai solusi dapat terwujud. Pertama, inklusivisme. Kedua, kesadaran akan adanya persoalan dalam ekspresi keberagamaan. Ketiga, pentingnya menumbuhkan sikap-sikap reflektif untuk menggali jawaban atas solusi persoalan global dari dalam entitas agama. Untuk menjadikan tiga pesan tersebut sebuah gerakan internasional, terlebih dahulu sikap meminggirkan agama dari ranah publik haruslah diakhiri.
Agama sebagai Masalah
Agama yang diprediksi hanya akan mengisi ruang-ruang pribadi pemeluknya, setidaknya sampai awal abad ke-20 ini, masih eksis memberi pengaruh bagi kehidupan sosial. Para pemikir terkemuka, seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Freudm berpendapat bahwa pengaruh agama secara bertahap akan memudar seiring dengan gelombang sekularisasi akibat masifnya rasionalisasi, birokratisasi, dan urbanisasi. Usaha-usaha meminggirkan agama telah banyak terjadi, konsensus mengenai terpinggirnya agama dari ruang publik sampai saat ini tidak terbukti.
Sayangnya, kini agama lebih dikenal sebagai entitas yang menghambat laju modernisasi. Sikap konservatif kelompok-kelompok agama dianggap sebagai tantangan bagi kemajuan dunia. Secara sangat mengejutkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan jujur mengakui hal tersebut. Pengakuan itulah yang kiranya menjadi kata kunci yang dapat kita gunakan untuk membedah logika R20.
Untuk lebih jelasnya penulis, secara verbatim, akan mengingatkan apa yang telah dikatakan oleh Ahmad Suaedy yang mengutip statement Gus Yahya sebagai inisiator R20 dalam tulisannya di media ini. ”KH Yahya Cholil Staquf melihat situasi dunia dan kemanusiaan kini mengharuskan keterlibatan langsung agama … Ini bukan karena agama punya jawaban terhadap isu-isu tersebut, melainkan justru ada masalah besar di dalam agama-agama itu sendiri yang selama ini coba dihindari untuk dibicarakan dan dicari pemecahannya.”
Secara jujur, inisiator R20 insaf bahwa agama telah menjadi bagian dari persoalan yang ingin dicarikan solusi. Mengenai posisi agama atas persoalan global telah menjadi perdebatan yang panjang. Juergensmeyer (2004) dalam Is Religion the Problem? menggambarkan terjadinya perubahan imajinasi terhadap agama, dalam hal ini Islam, sejak tragedi 9/11.
Bayangan tentang agama yang sederhana dan membawa ketenangan telah digantikan oleh gambaran agama yang politis, bahkan dalam hal-hal tertentu sangat dekat dengan kekerasan. Apakah kini topeng agama telah terkuak dan yang tampak adalah wajah aslinya, atau sebenarnya agama hanyalah korban? Demikian pertanyaan yang dilontarkan Director of Global and International Studies at the University of California, Santa Barbara, itu. Sayangnya, pertanyaan kritis itu sampai saat ini belum menemukan jawabannya.
Senyatanya kita bisa beranjak meninggalkan perdebatan mengenai posisi agama dan menjadikan kedua pertanyaan yang dilontarkan oleh Juergensmeyer sebagai titik tolak untuk memberikan kontribusi kepada kemajuan dunia. Gus Yahya sebagai pemimpin organisasi Islam dengan pengikut terbanyak di dunia ini memilih berangkat dari fakta adanya kelompok agama tertentu yang menggunakan idiom-idiom agama untuk menyulut api perlawanan terhadap narasi pembangunan global.
Sejatinya penulis tidak terlalu sepakat dengan titik dari mana Gus Yahya bertolak. Namun, kesadaran untuk mengakui adanya persoalan dan semangat untuk menjadi bagian dari solusi dari seorang tokoh sebesar Gus Yahya harus diapresiasi. Gagasan ini tentu tidak lahir dari pikiran politis semata tanpa didasari perenungan yang mendalam.
Cara Kaum Beragama Memecahkan Masalah
Agama saat ini lebih sering dianggap hanya sebagai sumber legitimasi, baik oleh kelompok yang mendukung maupun menentang arus global. Agama dalam sejarahnya telah secara unik memiliki fungsi ganda, menjadi justifikasi bagi gerakan progresif, dan pada saat yang sama menjadi sumber legitimasi bagi terjadinya kekacauan.
Studi yang dilakukan oleh Omelicheva dari Departemen Ilmu Politik Universitas Kansas berargumen bahwa sebagai sebuah sistem kepercayaan, Islam (baca agama) memanifestasikan dirinya melalui wacana-wacana, yang tidak hanya memberikan kejelasan pada praktik-praktik keagamaan dan kepercayaan, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kontrol dan regulasi sosial. Karena itu, tidak berlebihan jika ketua panitia R20 menyebut forum R20 ini sebagai jalur pacu (runway) untuk keberhasilan presidensi G20 tahun 2022 di Indonesia.
Agama sudah saatnya untuk tidak merasa puas hanya dengan menjadi tukang stempel. Agama harus sudah mulai mencari jalan keluar atas persoalan global dari khazanah yang ada dalam dirinya. Lalu bagaimana cara komunitas beragama mencari solusi?
Salah satu pembeda antara kaum beragama dan kelompok lainnya dalam mencari solusi atas permasalahan mereka adalah pada pelibatan Tuhan. Kelompok beragama selalu melibatkan Tuhan, dalam kadarnya masing-masing, dalam setiap langkah yang mereka ambil. Penulis belum menemukan hasil penelitian dalam konteks Indonesia mengenai hal ini.
Laporan sebuah penelitian yang melibatkan 197 jemaah gereja di Midwestern Amerika serikat memberikan clue kepada kita mengenai pelibatan Tuhan dalam usaha seorang beragama. Peneliti, Keneth I dan tim, memaparkan ada tiga model pelibatan Tuhan dalam kegiatan penganut agama saat menyelesaikan masalahnya. Ketiganya secara berurutan adalah self directing, deferring, dan collaborative.
Kelompok pertama, self-directing, teridentifikasi sebagai orang-orang yang menganggap Tuhan telah memberikan karunia berupa kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan kebebasan memilih solusi apa yang seharusnya mereka ambil. Untuk itu, bagi seorang religius yang masuk kategori ini, Tuhan tidak berperan secara langsung dalam proses pemecahan masalah (problem solving).
Orang dengan tipe kedua akan menunggu Tuhan memberikan petunjuk sebelum mereka mengambil sikap untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka menganggap Tuhan adalah sumber solusi, karena itu menunggu tanda-tanda dari Tuhan sebelum bereaksi atas apa pun adalah sikap paling religius menurut mereka.
Kemudian kelompok ketiga, collaborative, memilih memosisikan Tuhan sebagai partner dalam hidup. Orang-orang yang masuk pada kategori ini mengatakan, ”Tuhan selalu bersama kami dan memberikan kekuatan.”
Penulis tidak berani menerka-nerka model manakah yang akan dipakai pada perhelatan yang anti-mainstream itu. Bisa jadi R20 akan memunculkan kategori keempat yang belum pernah ada. Di luar semua kategori itu, mengamati cara para pemuka agama menyelesaikan masalah tetaplah sesuatu yang menarik. Apalagi, acara ini disediakan sebagai landasan pacu untuk presidensi G20 yang motonya adalah ”Recover Together, Recover Stronger”.
Tidak ada Kelompok yang Tertinggal
Terlepas di mana Tuhan diposisikan oleh agamawan R20 di Bali nanti, inklusivisme tetaplah harus diupayakan. Seperti yang juga ditulis oleh Suaedy, inisiatif R20 tidak bisa dilepaskan dari pengalaman Nahdlatul Ulama yang keluar dari kedua mainstream cara pandang relasi agama dan negara. Menurut Suaedy, NU bukanlah organisasi masyarakat eksklusif yang memaksakan doktrin agama, juga bukan ormas yang selalu bersepakat dengan skenario sekularisasi. Klaim ini akan diuji dalam mekanisme kerja R20 dalam proses mengambil keputusan.
Disadari atau tidak, arus sekularisasi telah meminggirkan sebagian masyarakat beragama. Munculnya istilah kelompok radikal atau ekstremis dalam diskursus relasi agama dan negara adalah bukti adanya kelompok masyarakat yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh pengusung sekularisme.
Panitia R20 tidak boleh membiarkan ada kelompok yang tertinggal, seekstrem apa pun cara pandangnya, dalam membicarakan agama dan persoalan global. Sejauh apa pun perbedaan cara pandang kelompok yang dianggap radikal, mereka tetaplah komunitas yang memiliki hak bersuara dalam perbincangan mengenai agama. Pelibatan kelompok ekstrem dalam menyusun konsensus R20 akan menjadi salah satu kunci bagi kesuksesan NU untuk terus menjadi aktor pengubah peradaban. []
Sumber : tulisan telah dimuat pada 30 Oktober 2022 di Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/menguji-inklusivisme-agamawan-r20