Catatan PLP : Teori Vs Realita
Penulis : Fajar Pahrul Ulum, Mahasiswa PLP ISIF di LBH Bandung
ISIF CIREBON – Di penghujung hari melaksanakan Praktik Lapangan Profesi (PLP) di LBH Bandung, tepatnya hari Jumat, 23 September 2022, saya diajak oleh Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) LBH Bandung untuk ikut serta dan menyaksikan bagaimana tim APBH mendampingi korban Operasi Tangkap Tangan (OTT) aksi demonstrasi aliansi mahasiswa di gedung DPRD Kota Bandung pada Kamis, 22 September 2022.
Tercatat jumlah korban OTT sebanyak 16 orang, satu di antaranya adalah perempuan. Mereka merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada Bandung. Berdasarkan keterangan salah satu tim APBH LBH Bandung, yang menjadi korban OTT tersebut kebanyakan salah tangkap. Seperti tim medis, dan mahasiswa yang pulang dari kampus dan kebetulan waktu pulang melewati arah yang tengah terjadi chaos.
Pada saat tim APBH datang ke Polrestabes Bandung untuk mendampingi korban OTT, mereka dihalang-halangi untuk bertemu korban dan menyebabkan pendampingan korban sulit dilaksanakan karena belum ada surat kuasa dari korban.
Ditambah lagi, beberapa orang tua dan saudara dari korban yang datang ke Polrestabes pun tidak diperkenankan untuk bertemu. Padahal, jangankan yang masih status terperiksa, yang sudah naik status menjadi tersangka dan terdakwa pun dalam KUHAP diatur mengenai hak-hak tersangka yang salah satunya adalah tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa.
Ini statusnya masih terperiksa, dan keluarganya ingin bertemu untuk memastikan anak/saudaranya yang berstatus terperiksa tersebut baik-baik aja, tapi masih saja tidak diizinkan.
Tim APBH terus melakukan negosiasi dengan aparat supaya hak-hak korban OTT tersebut tidak dilanggar. Tapi aparat tersebut malah berdalih bahwa dirinya hanya patuh pada perintah atasan. Padahal setiap Aparat Penegak Hukum, yang dalam hal ini adalah polisi harus patuh terhadap KUHAP dalam memeriksa atau memproses suatu perkara, bukan pada atasan.
Setelah beberapa kali tim APBH melakukan negosiasi dengan aparat tersebut, akhirnya keluarga korban diperkenankan untuk menemui korban, dan pemberian kuasa hukum oleh korban kepada tim APBH dapat ditempuh sehingga tim APBH menjadi lebih leluasa menangani perkara tersebut.
Sekitar pukul 15.30, satu persatu korban OTT dikeluarkan dari tahanan. Terpancar dalam raut wajahnya perasaan sumringah dan berkata “akhirnya bisa menghirup lagi udara segar setelah hampir satu hari satu malam terkurung di lapas”.
Sebelum mereka dibebaskan, mereka dipaksa untuk membuat surat pernyataan tertulis sebagai syarat dibebaskan. Dalam surat pernyataan tersebut, terdapat beberapa poin yang dianggap janggal. Salah satunya ‘bersedia datang ke Polrestabes apabila ada pemanggilan untuk keperluan tertentu’.
Masalahnya, polisi hanya berhak memanggil seseorang hanya untuk dua kepentingan saja, pertama sebagai saksi, kedua sebagai terlapor. Selain dua kepentingan tersebut polisi tidak berhak memanggil seseorang. Dan apabila kita dipanggil polisi selain dua kepentingan tersebut, kita berhak menolak.
Karena khawatir polisi menyalah gunakan surat pernyataan yang dibuat secara terpaksa oleh korban tersebut, tim APBH memberikan penguatan kepada korban terkait hak pihak kepolisian dalam melakukan pemanggilan seseorang guna jaga-jaga apabila ada pemanggilan lagi oleh pihak kepolisian.
Setelah selesai melakukan penguatan pada korban-korban OTT, salah satu tim APBH menepuk pundak saya sambil berkata:
“Bagaimana perasaannya belajar hukum langsung di lapangan? Bikin streskan? Serumit apapun materi-materi hukum yang kamu pelajari di kelas, lebih rumit lagi belajar hukum langsung di lapangan. Karena memang aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam beracara itu kebanyakan oleh APH yang dalam hal ini polisi, tidak dipakai. Mereka lebih tunduk pada perintah atasannya ketimbang pada peraturan perundangan-undangan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).” []