(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Rembug Warga Ke-3  PIT-PAR ISIF Kejuden, Mahasiswa Libatkan Warga Kejuden Cari Solusi Problem Sosial-Pendidikan

Penulis: Nurdin

Edotor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon — Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon yang sedang menjalankan mata kuliah Praktik Islamologi Terapan (PIT) dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR) kembali menggelar Rembug Warga di Desa Kejuden, Kecamatan Depok, Cirebon, pada Kamis malam 23 Agustus 2025.

Kegiatan yang berlangsung di Masjid Jami’ Al-Hidayah ini merupakan forum rembug ketiga setelah sebelumnya membahas pemetaan spasial, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Kali ini, mahasiswa PIT PAR kelompok 3 bersama warga mendiskusikan isu penting seputar isu sosial pendidikan di Desa Kejuden.

Dalam forum ini, turut hadir Ibu Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I. (Direktur LP2M ISIF), Bapak Sukma Hadi, M.Pd. (Dosen Pembimbing Lapangan), perangkat desa, tokoh agama, tokoh pemuda, serta perwakilan warga dari beberapa blok di Kejuden.

Pendidikan, Fondasi Transformasi Sosial

Dalam sambutannya, Ketua Kelompok PIT Kejuden, Nurdin, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar praktik lapangan, melainkan proses belajar langsung dari masyarakat.

“Kegiatan PIT PAR merupakan kegiatan belajar mahasiswa di lapangan  dengan maksud dan tujuan bisa belajar sambil praktik langsung bersama masyarakat. Kami siap berpartisipasi  menjadi bagian dari desa Kejuden untuk meningkatkan kembali perekonomiaan, budaya, dan pendidikan,” ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Sukma Hadi menekankan pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama kemajuan bangsa. Ia mencontohkan bagaimana Jepang bangkit kembali pascaperang dengan memprioritaskan pendidikan dan guru.

“Indonesia dalam pendidikannya di juluki macan Asia, karena negara – negara tetangga kita Malaysia, Singapura, bahkan Jepang pun belajar di Indonesia, kuliah disini, sekolah disini, belajar disini,” kata Sukma.

Namun, menurutnya, kondisi kini berbeda jauh. Ia menambahkan bahwa hal itu disebabkan tingkat membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Saat ini, katanya, sebagian besar masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai.

“Di Indonesia tingkat membacanya kurang sekali.dan kebanyakan warga Indonesia menggunakan HP, dari balita sampai sepuh, sehingga mempengaruhi IQ dan pendidikan warga Indonesia.”

Potret Pendidikan Kejuden

Direktur LP2M, Ibu Zaenab Mahmudah yang hadir dalam kegiatan mengapresiasi kegiatan PIT-PAR Kejuden yang telah berlangsung sebulan dan menilai mahasiswa sudah memasuki fase penting setelah sebulan tinggal di Kejuden.

“Masih ada 28 hari lagi untuk teman teman melakukan aksi, sekarang harus terjun ke masyarakat dan mencoba untuk melakukan pemberdayaan bersama masyarakat, segera merumuskan untuk teman – teman apa yang ingin dilakukan.”

Hasil diskusi menunjukkan bahwa Desa Kejuden memiliki lembaga pendidikan formal maupun nonformal yang beragam, mulai dari PAUD, TK, DTA, SDN 1 dan 2 Kejuden, SDIT, yayasan pendidikan, hingga Pondok Pesantren Darul Kirom.

Pesantren Darul Kirom, misalnya, masih mempertahankan metode klasik Al-Baghdadiyah, metode tradisional membaca Al-Qur’an yang sistematis dan telah teruji di pesantren. Metode ini dinilai efektif untuk pemula, namun menuntut kesabaran tinggi dari guru dan santri.

Meski demikian, rembug warga juga menemukan sejumlah problem pendidikan di Kejuden, antara lain:

  • Akses sekolah dasar yang tidak merata, sehingga sebagian warga lebih memilih menyekolahkan anak ke desa tetangga.
  • Kekurangan tenaga pengajar di Yayasan Al-Anwariyah.
  • Penurunan jumlah santri di Pondok Pesantren Darul Kirom.
  • Belum adanya SMP/MTS/SMA di wilayah Kejuden.
  • Maraknya penggunaan gawai di kalangan anak hingga lansia yang memengaruhi minat belajar dan mengaji.
  • Minimnya budaya membaca buku di kalangan anak-anak maupun orang dewasa.

Forum menyepakati bahwa semua metode pembelajaran memiliki nilai positif masing-masing. Namun yang terpenting adalah bagaimana masyarakat membiasakan pendidikan sejak dini, terutama membangun budaya membaca dan membatasi penggunaan gawai pada anak.

Catatan PLP : Teori Vs Realita

Penulis : Fajar Pahrul Ulum, Mahasiswa PLP ISIF di LBH Bandung

ISIF CIREBON – Di penghujung hari melaksanakan Praktik Lapangan Profesi (PLP) di LBH Bandung, tepatnya hari Jumat, 23 September 2022, saya diajak oleh Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) LBH Bandung untuk ikut serta dan menyaksikan bagaimana tim APBH mendampingi korban Operasi Tangkap Tangan (OTT) aksi demonstrasi aliansi mahasiswa di gedung DPRD Kota Bandung pada Kamis, 22 September 2022.

Tercatat jumlah korban OTT sebanyak 16 orang, satu di antaranya adalah perempuan. Mereka merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada Bandung. Berdasarkan keterangan salah satu tim APBH LBH Bandung, yang menjadi korban OTT tersebut kebanyakan salah tangkap. Seperti tim medis, dan mahasiswa yang pulang dari kampus dan kebetulan waktu pulang melewati arah yang tengah terjadi chaos.

Pada saat tim APBH datang ke Polrestabes Bandung untuk mendampingi korban OTT, mereka dihalang-halangi untuk bertemu korban dan menyebabkan pendampingan korban sulit dilaksanakan karena belum ada surat kuasa dari korban.

Ditambah lagi, beberapa orang tua dan saudara dari korban yang datang ke Polrestabes pun tidak diperkenankan untuk bertemu. Padahal, jangankan yang masih status terperiksa, yang sudah naik status menjadi tersangka dan terdakwa pun dalam KUHAP diatur mengenai hak-hak tersangka yang salah satunya adalah tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa.

Ini statusnya masih terperiksa, dan keluarganya ingin bertemu untuk memastikan anak/saudaranya yang berstatus terperiksa tersebut baik-baik aja, tapi masih saja tidak diizinkan.

Tim APBH terus melakukan negosiasi dengan aparat supaya hak-hak korban OTT tersebut tidak dilanggar. Tapi aparat tersebut malah berdalih bahwa dirinya hanya patuh pada perintah atasan. Padahal setiap Aparat Penegak Hukum, yang dalam hal ini adalah polisi harus patuh terhadap KUHAP dalam memeriksa atau memproses suatu perkara, bukan pada atasan.

Setelah beberapa kali tim APBH melakukan negosiasi dengan aparat tersebut, akhirnya keluarga korban diperkenankan untuk menemui korban, dan pemberian kuasa hukum oleh korban kepada tim APBH dapat ditempuh sehingga tim APBH menjadi lebih leluasa menangani perkara tersebut.

Sekitar pukul 15.30, satu persatu korban OTT dikeluarkan dari tahanan. Terpancar dalam raut wajahnya perasaan sumringah dan berkata “akhirnya bisa menghirup lagi udara segar setelah hampir satu hari satu malam terkurung di lapas”.

Sebelum mereka dibebaskan, mereka dipaksa untuk membuat surat pernyataan tertulis sebagai syarat dibebaskan. Dalam surat pernyataan tersebut, terdapat beberapa poin yang dianggap janggal. Salah satunya ‘bersedia datang ke Polrestabes apabila ada pemanggilan untuk keperluan tertentu’.

Masalahnya, polisi hanya berhak memanggil seseorang hanya untuk dua kepentingan saja, pertama sebagai saksi, kedua sebagai terlapor. Selain dua kepentingan tersebut polisi tidak berhak memanggil seseorang. Dan apabila kita dipanggil polisi selain dua kepentingan tersebut, kita berhak menolak.

Karena khawatir polisi menyalah gunakan surat pernyataan yang dibuat secara terpaksa oleh korban tersebut, tim APBH memberikan penguatan kepada korban terkait hak pihak kepolisian dalam melakukan pemanggilan seseorang guna jaga-jaga apabila ada pemanggilan lagi oleh pihak kepolisian.

Setelah selesai melakukan penguatan pada korban-korban OTT, salah satu tim APBH menepuk pundak saya sambil berkata:

“Bagaimana perasaannya belajar hukum langsung di lapangan? Bikin streskan? Serumit apapun materi-materi hukum yang kamu pelajari di kelas, lebih rumit lagi belajar hukum langsung di lapangan. Karena memang aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam beracara itu kebanyakan oleh APH yang dalam hal ini polisi, tidak dipakai. Mereka lebih tunduk pada perintah atasannya ketimbang pada peraturan perundangan-undangan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).” []