(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Cerita PIT-PAR: Ketahanan Ekonomi Pengrajin Batu Bata Merah Argasunya

Penulis: Alfiyah Salsabila (Mahasiswa ISIF Cirebon)
Editor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon — Pada tanggal 28 Agustus mahasiswa PIT-PAR ISIF mengunjungi tempat produksi batu bata merah di Desa Argasunya tepatnya di wilayah RT 2 RW 7 Sumurwuni. Di tengah derasnya arus moderenisasi dan munculnya bahan bangunan baru, warga Sumurwuni masih mempertahankan produksi batu bata merah. Meskipun produksi ini bukan sebagai mata pencaharian utama, tapi produksi ini hanya musiman saja.

Proses pembuatan batu bata merah ini masih dilakukan dengan cara tradisional, mulai dari mengolah tanah, mencetak, menjemur, hingga membakarnya pun masih menggunakan cara tradisional. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga ekstra dan hanya dilakukan saat musim kemarau atau disebut musim ketiga oleh masyarakat Sumurwuni. Hasil batu bata sangat diminati karena kualitas batu bata buatan masyarakat Sumurwuni ini dikenal kuat dan tahan lama.

Pembuatan batu bata ini sudah berlangsung sejak lama. Di wilayah Sumurwuni ini terdapat dua tempat produksi batu bata merah.  Tempat produksi yang mahasiswa PIT-PAR ISIF ini kunjungi adalah milik Bapak Mahmud (52), beliau adalah warga asli Sumurwuni di RT 2 RW 7.

Pak Mahmud ini selain mempunyai tempat produksi batu bata merah, beliau juga mempunyai peternakan ayam yang dijual sebagai ayam potong. Ia juga memanfaatkan kototoran ayamnya sebagai pupuk organik yang kemudian dijual kembali.

Awalnya, tutur Pak Mahmud,  produksi batu bata ini tidak diperjualbelikan, hanya untuk kebutuhan pribadi. Tapi lama kelamaan banyak masyarakat yang mengetahui dan tertarik memesan batu bata merah Pak Mahmud. Proses pembuatan batu bata merah tersebut bukan dilakukan oleh Pak Mahmud sendiri, tapi dilakukan juga oleh Pak Udin (55). Pak Udin ini dibantu oleh satu orang pekerja lainnya dan terkadang Pak Mahmud  juga ikut membantu proses pembuatannya.

Proses Pembuatan Batu Bata Merah

Proses pembuatan batu bata merah ini dimulai dari pembelian tanah Cadas, tanah cadas ini di beli dari tambang di wilayah Argasunya tepatnya di Cibogo. Tanah Cadas ini di beli dengan harga 200 ribu per dump truk. Dari  1 dump truk ini dapat menghasilkan 2.000 batu bata.

Tanah cadas kemudian diolah untuk menjadi adonan batu bata. Adonan batu bata merah ini tidak ada campuran lain,  hanya dicampur dengan air saja. Menurut Pak Mahmud, tanah cadas ini sudah mengandung pasir, jadi tidak perlu ada campuran lain.  Sedangkan untuk air yang dipakaii adalah air yang bersumber dari sumur yang dibuat sendiri oleh Pak Mahmud sendiri.

Setelah tanah sudah mencapai tekstur yang sempurna, kemudian siap di catak menjadi bentuk batu bata yang diinginkan. Ada dua ukuran batu bata yang di produksi oleh Pak Mahmud, yaitu ada ukuran besar dan kecil. Yang ukuran besar dihargai 1.200 rupiah dan yang ukuran kecil dihargai 1.000 rupiah.

Setelah pencetakan, proses berlanjut ke tahap penjemuran. Waktu penjemuran ini tergantung cuacanya, jika cuacanya panas hanya membutuhkan waktu seminggu saja untuk kering. Namun jika cuacanya sedang mendung atau berawan memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Setelah dijemur, bata akan dibakar, dengan waktu pembakaran yang membutuhkan waktu seharian penuh.

Setelah semua proses itu selesai dan keadaan batu bata sudah dingin, tinggal menunggu pembeli mengambil batu batanya. Karena biasanya batu bata ini dibuat karna adanya pesanan atau ada juga pembeli yang tanpa memesan dulu. Konsumen ini biasanya dari sekitar wilayah Argasunya saja, tapi ada juga konsumen dari luar yaitu dari wilayah Mandirancan Kuningan.

Penopang Ekonomi Keluarga

Bata merah Sumurwuni lahir dari tanah cadas yang keras, sekeras kenyataan hidup warganya. Namun dari kerja berat itu, lahir kekuatan dan kemampuan bertahan dalam himpitan. Setiap bata yang keluar dari tungku seakan membawa pesan bahwa rakyat kecil selalu punya cara untuk bertahan.

Bagi warga Sumurwuni, menjadi pengrajin batu bata  memang bukan pilihan utama mata pencaharian utama. Menurut Pak Mahmud pilihan menjadi pengrajian batu bata adalah pilihan terakhir bagi sebagian warga untuk tetap bisa bertahan hidup.

“Yang membuat batu bata ini ya orang susah, kalo bukan orang susah mah tidak bakal buat batu kaya gini” ujarnya.

Meskipun penuh tantangan dan hasilnya tidak seberapa, warga tetap menjalankannya dengan ikhlas karena ini menjadi salah satu sumber penghidupan tambahan bagi keluarga mereka. Produksi batu bata juga dilakukan secara musiman, biasanya saat permintaan meningkat atau ketika kondisi cuaca memungkinkan.

Meski bersifat musiman, nilai jual batu bata cukup tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan ini mampu membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Meskipun penghasilan dari batu bata bersifat sementara, peranannya sangat penting dalam menopang kehidupan keluarga para pengrajin.

Di tengah keterbatasan dan derasnya arus modernisasi, mereka masih berusaha mempertahankan cara-cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Produksi batu bata merah memang hanya bersifat musiman, tetapi keberadaannya menjadi penopang penting dalam kehidupan warga Sumurwuni. Lebih dari sekadar mata pencaharian tambahan, pekerjaan ini adalah bukti keteguhan masyarakat dalam bertahan hidup dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan mereka.[]

Cerita PIT-PAR: Pemberdayaan Ekonomi Melalui Budidaya Bunga Tujuh Rupa

Penulis: Nurdin (Mahasiswa ISIF Cirebon)

Editor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon — Mahasiswa PIT-PAR Kelompok 3 Desa Kejuden melaksanakan aksi sosial kedua berupa pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan budidaya bunga tujuh rupa pada Rabu, 3 September 2025. Desa Kejuden sendiri masih memiliki banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan secara produktif, sehingga mahasiswa bersama masyarakat melihat peluang besar untuk mengelolanya melalui perkebunan bunga.

Kegiatan ini menggandeng Mas Malik, seorang petani bunga yang sudah lebih dulu mengembangkan usaha di Blok Walikukun. Ia bahkan sudah mendirikan usaha dengan nama PT Mekar Jaya Mulya, yang menanam beragam jenis bunga seperti kingkong, kenanga, cempaka, melati, mawar, cakrak cakrik, hingga soka. Proses penanaman dilakukan dengan media sekam padi, pupuk kandang, dan cocopit. Untuk bunga kingkong, penanaman dilakukan melalui biji, sedangkan jenis lainnya menggunakan stek batang.

Menariknya, bunga kingkong sudah bisa dipanen setelah dua bulan, dan hasil panennya bisa berlangsung terus hingga tiga bulan ke depan. Permintaan pasar juga cukup stabil, dengan pesanan yang biasanya ramai pada hari Selasa dan Kamis. Selain dipasarkan di Desa Kejuden, bunga-bunga ini juga dikirim ke berbagai daerah lain, seperti Trusmi, Gunung Jati, Kramat, Jabang Bayi, Kanoman, Jamblang, Palimanan, hingga Plumbon.

Menurut koordinator kegiatan, Aad Sa’dullah,  pendekatan yang digunakan dalam program ini adalah capital budgeting. Tujuannya agar lahan-lahan kosong dapat diberdayakan menjadi lebih produktif, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Kejuden. Mahasiswa berperan sebagai fasilitator, sementara Mas Malik menjadi pendamping dan penggerak. Ia tidak hanya mengajak warga untuk terlibat, tetapi juga mendorong anak-anak muda agar mau belajar sekaligus melanjutkan usaha perkebunan bunga.

Meski demikian, usaha ini tetap menghadapi tantangan, terutama serangan hama seperti kupu-kupu (kleper), wereng, dan belalang. Untuk mengatasinya, Mas Malik rutin melakukan penyemprotan pestisida dan memberikan pupuk penyubur tanaman seminggu sekali.

Terhadap pelaksanaan kegiatan, warga menyambut baik inisiatif ini. Bahrun, salah seorang warga Desa Kejuden, mengungkapkan rasa senangnya karena Mas Malik mau berbagi ilmu dan pengalaman dengan masyarakat. Menurutnya, peluang distribusi sudah cukup terbuka, sehingga warga tidak perlu khawatir dengan pemasaran jika ingin memulai usaha perkebunan bunga.

Mahasiswa PIT-PAR pun berharap, dengan adanya kerja sama ini, masyarakat maupun pemerintah desa bisa lebih memanfaatkan lahan kosong dan tanah bengkok yang selama ini terbengkalai. Tradisi masyarakat Cirebon yang masih banyak menggunakan bunga dalam acara pernikahan, tujuh bulanan, ziarah kubur, maupun upacara kematian, menjadikan usaha budidaya bunga tujuh rupa sebagai peluang ekonomi yang berkelanjutan.[]

Rembug Warga Ke-3  PIT-PAR ISIF Kejuden, Mahasiswa Libatkan Warga Kejuden Cari Solusi Problem Sosial-Pendidikan

Penulis: Nurdin

Edotor: Gun Gun Gunawan

ISIF Cirebon — Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon yang sedang menjalankan mata kuliah Praktik Islamologi Terapan (PIT) dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR) kembali menggelar Rembug Warga di Desa Kejuden, Kecamatan Depok, Cirebon, pada Kamis malam 23 Agustus 2025.

Kegiatan yang berlangsung di Masjid Jami’ Al-Hidayah ini merupakan forum rembug ketiga setelah sebelumnya membahas pemetaan spasial, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Kali ini, mahasiswa PIT PAR kelompok 3 bersama warga mendiskusikan isu penting seputar isu sosial pendidikan di Desa Kejuden.

Dalam forum ini, turut hadir Ibu Zaenab Mahmudah, Lc., M.E.I. (Direktur LP2M ISIF), Bapak Sukma Hadi, M.Pd. (Dosen Pembimbing Lapangan), perangkat desa, tokoh agama, tokoh pemuda, serta perwakilan warga dari beberapa blok di Kejuden.

Pendidikan, Fondasi Transformasi Sosial

Dalam sambutannya, Ketua Kelompok PIT Kejuden, Nurdin, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar praktik lapangan, melainkan proses belajar langsung dari masyarakat.

“Kegiatan PIT PAR merupakan kegiatan belajar mahasiswa di lapangan  dengan maksud dan tujuan bisa belajar sambil praktik langsung bersama masyarakat. Kami siap berpartisipasi  menjadi bagian dari desa Kejuden untuk meningkatkan kembali perekonomiaan, budaya, dan pendidikan,” ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Sukma Hadi menekankan pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama kemajuan bangsa. Ia mencontohkan bagaimana Jepang bangkit kembali pascaperang dengan memprioritaskan pendidikan dan guru.

“Indonesia dalam pendidikannya di juluki macan Asia, karena negara – negara tetangga kita Malaysia, Singapura, bahkan Jepang pun belajar di Indonesia, kuliah disini, sekolah disini, belajar disini,” kata Sukma.

Namun, menurutnya, kondisi kini berbeda jauh. Ia menambahkan bahwa hal itu disebabkan tingkat membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Saat ini, katanya, sebagian besar masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai.

“Di Indonesia tingkat membacanya kurang sekali.dan kebanyakan warga Indonesia menggunakan HP, dari balita sampai sepuh, sehingga mempengaruhi IQ dan pendidikan warga Indonesia.”

Potret Pendidikan Kejuden

Direktur LP2M, Ibu Zaenab Mahmudah yang hadir dalam kegiatan mengapresiasi kegiatan PIT-PAR Kejuden yang telah berlangsung sebulan dan menilai mahasiswa sudah memasuki fase penting setelah sebulan tinggal di Kejuden.

“Masih ada 28 hari lagi untuk teman teman melakukan aksi, sekarang harus terjun ke masyarakat dan mencoba untuk melakukan pemberdayaan bersama masyarakat, segera merumuskan untuk teman – teman apa yang ingin dilakukan.”

Hasil diskusi menunjukkan bahwa Desa Kejuden memiliki lembaga pendidikan formal maupun nonformal yang beragam, mulai dari PAUD, TK, DTA, SDN 1 dan 2 Kejuden, SDIT, yayasan pendidikan, hingga Pondok Pesantren Darul Kirom.

Pesantren Darul Kirom, misalnya, masih mempertahankan metode klasik Al-Baghdadiyah, metode tradisional membaca Al-Qur’an yang sistematis dan telah teruji di pesantren. Metode ini dinilai efektif untuk pemula, namun menuntut kesabaran tinggi dari guru dan santri.

Meski demikian, rembug warga juga menemukan sejumlah problem pendidikan di Kejuden, antara lain:

  • Akses sekolah dasar yang tidak merata, sehingga sebagian warga lebih memilih menyekolahkan anak ke desa tetangga.
  • Kekurangan tenaga pengajar di Yayasan Al-Anwariyah.
  • Penurunan jumlah santri di Pondok Pesantren Darul Kirom.
  • Belum adanya SMP/MTS/SMA di wilayah Kejuden.
  • Maraknya penggunaan gawai di kalangan anak hingga lansia yang memengaruhi minat belajar dan mengaji.
  • Minimnya budaya membaca buku di kalangan anak-anak maupun orang dewasa.

Forum menyepakati bahwa semua metode pembelajaran memiliki nilai positif masing-masing. Namun yang terpenting adalah bagaimana masyarakat membiasakan pendidikan sejak dini, terutama membangun budaya membaca dan membatasi penggunaan gawai pada anak.

Catatan PLP : Teori Vs Realita

Penulis : Fajar Pahrul Ulum, Mahasiswa PLP ISIF di LBH Bandung

ISIF CIREBON – Di penghujung hari melaksanakan Praktik Lapangan Profesi (PLP) di LBH Bandung, tepatnya hari Jumat, 23 September 2022, saya diajak oleh Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) LBH Bandung untuk ikut serta dan menyaksikan bagaimana tim APBH mendampingi korban Operasi Tangkap Tangan (OTT) aksi demonstrasi aliansi mahasiswa di gedung DPRD Kota Bandung pada Kamis, 22 September 2022.

Tercatat jumlah korban OTT sebanyak 16 orang, satu di antaranya adalah perempuan. Mereka merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada Bandung. Berdasarkan keterangan salah satu tim APBH LBH Bandung, yang menjadi korban OTT tersebut kebanyakan salah tangkap. Seperti tim medis, dan mahasiswa yang pulang dari kampus dan kebetulan waktu pulang melewati arah yang tengah terjadi chaos.

Pada saat tim APBH datang ke Polrestabes Bandung untuk mendampingi korban OTT, mereka dihalang-halangi untuk bertemu korban dan menyebabkan pendampingan korban sulit dilaksanakan karena belum ada surat kuasa dari korban.

Ditambah lagi, beberapa orang tua dan saudara dari korban yang datang ke Polrestabes pun tidak diperkenankan untuk bertemu. Padahal, jangankan yang masih status terperiksa, yang sudah naik status menjadi tersangka dan terdakwa pun dalam KUHAP diatur mengenai hak-hak tersangka yang salah satunya adalah tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa.

Ini statusnya masih terperiksa, dan keluarganya ingin bertemu untuk memastikan anak/saudaranya yang berstatus terperiksa tersebut baik-baik aja, tapi masih saja tidak diizinkan.

Tim APBH terus melakukan negosiasi dengan aparat supaya hak-hak korban OTT tersebut tidak dilanggar. Tapi aparat tersebut malah berdalih bahwa dirinya hanya patuh pada perintah atasan. Padahal setiap Aparat Penegak Hukum, yang dalam hal ini adalah polisi harus patuh terhadap KUHAP dalam memeriksa atau memproses suatu perkara, bukan pada atasan.

Setelah beberapa kali tim APBH melakukan negosiasi dengan aparat tersebut, akhirnya keluarga korban diperkenankan untuk menemui korban, dan pemberian kuasa hukum oleh korban kepada tim APBH dapat ditempuh sehingga tim APBH menjadi lebih leluasa menangani perkara tersebut.

Sekitar pukul 15.30, satu persatu korban OTT dikeluarkan dari tahanan. Terpancar dalam raut wajahnya perasaan sumringah dan berkata “akhirnya bisa menghirup lagi udara segar setelah hampir satu hari satu malam terkurung di lapas”.

Sebelum mereka dibebaskan, mereka dipaksa untuk membuat surat pernyataan tertulis sebagai syarat dibebaskan. Dalam surat pernyataan tersebut, terdapat beberapa poin yang dianggap janggal. Salah satunya ‘bersedia datang ke Polrestabes apabila ada pemanggilan untuk keperluan tertentu’.

Masalahnya, polisi hanya berhak memanggil seseorang hanya untuk dua kepentingan saja, pertama sebagai saksi, kedua sebagai terlapor. Selain dua kepentingan tersebut polisi tidak berhak memanggil seseorang. Dan apabila kita dipanggil polisi selain dua kepentingan tersebut, kita berhak menolak.

Karena khawatir polisi menyalah gunakan surat pernyataan yang dibuat secara terpaksa oleh korban tersebut, tim APBH memberikan penguatan kepada korban terkait hak pihak kepolisian dalam melakukan pemanggilan seseorang guna jaga-jaga apabila ada pemanggilan lagi oleh pihak kepolisian.

Setelah selesai melakukan penguatan pada korban-korban OTT, salah satu tim APBH menepuk pundak saya sambil berkata:

“Bagaimana perasaannya belajar hukum langsung di lapangan? Bikin streskan? Serumit apapun materi-materi hukum yang kamu pelajari di kelas, lebih rumit lagi belajar hukum langsung di lapangan. Karena memang aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam beracara itu kebanyakan oleh APH yang dalam hal ini polisi, tidak dipakai. Mereka lebih tunduk pada perintah atasannya ketimbang pada peraturan perundangan-undangan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).” []

situsjitu

Simpatitogel

hu.edu.ye

odma.od.ua

https://siakad.staibu.ac.id/

https://journals.i3l.ac.id/

https://lrc.i3l.ac.id/

https://observatorioambientallamatanza.unlam.edu.ar/

https://jpsyh.steizar.ac.id/

https://sjii.es/

Toto 4D

Toto 4D

Simpatitogel

Angkasa17

Toto 4d

slot dana

Slot777

Situs Gacor

toto macau

Toto 4D

Toto 4D

situs toto

Toto 4D

https://revistas.peruvianscience.org

Toto 4D

Simpatitogel

Slot Gacor

Situsjitu

Situsjitu

Situsjitu

Slot Jepang

slot jepang

Toto 4d

jurnal.stai-tangho.ac.id

SLOT 4D

SLOT JEPANG

Simpatitogel

SIMPATITOGEL

simpatitogel

Angkasa17

Angkasa17

Angkasa17