(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Dari Cirebon, KUPI Kobarkan Semangat Kebangkitan Ulama Perempuan

ISIF CirebonJaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) secara resmi mendeklarasikan Bulan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia dalam acara yang digelar di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon, pada Minggu pagi 18 Mei 2025.

Deklarasi ini bertujuan menjadi gerakan kultural tahunan yang akan dihidupkan oleh komunitas-komunitas di seluruh Indonesia setiap bulan Mei. Pemilihan bulan ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional dan juga menjadi pengingat atas peristiwa kelam Mei 1998, ketika perempuan, warga Tionghoa, dan masyarakat miskin kota menjadi korban kekerasan politik.

“Dengan menjadikan bulan ini sebagai ruang kebangkitan ulama perempuan, KUPI ingin menghadirkan ingatan kritis dan spiritual yang berpihak pada mereka yang paling rentan dan sering dilupakan sejarah,” terang panitia dalam pernyataan resminya.

KUPI mengajak seluruh komunitas, lembaga, dan individu untuk menghidupkan peringatan ini melalui berbagai kegiatan seperti doa bersama, tawassul, puisi, diskusi, pengajian, menulis kisah, hingga aksi sosial. Kegiatan ini juga menjadi momen untuk mendokumentasikan serta menarasikan kiprah para ulama perempuan—nyai, ustadzah, guru ngaji, dan pelayan umat—yang selama ini bekerja dalam kesenyapan namun menopang kehidupan umat dan bangsa.

Dalam sambutannya, Ketua Majelis Dzikir dan Pikir Paser Bumi, Rieke Diah Pitaloka, mengajak masyarakat meneladani kiprah dan semangat ulama perempuan terdahulu.

“Nyai Syarifah Mudaim telah ajarkan kepada kami keturunannya jiwa cahaya Islam yang pantang menyerah, yang akan menuntun kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan di dalam perjuangan,” ujarnya.

Sementara itu, Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI, menekankan bahwa kebangkitan nasional tidak hanya menyangkut isu kebangsaan, tetapi juga isu-isu kemanusiaan.

“Kebangkitan nasional Indonesia tidak semata bicara soal nasionalisme, tidak hanya semata bicara soal isu kebangsaan. Saya kira disini juga bicara soal isu kemanusiaan termasuk isu keadilan sosial, keadilan gender, isu non diskriminasi,” katanya.

Menyambung pernyataan Masruchah, dalam pidato keulamaannya, Alissa Wahid menyoroti andil perempuan untuk mengambil peran dalam berbagai ruang, meskipun diliputi rasa takut. Ia mengutip pesan ayahnya almarhum KH. Abdurrahman Wahid,

“Meskipun kita takut, kita harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ martabat dan harga kita ditetapkan dan ulama perempuan harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tersebut,” jelasnya.

Deklarasi ini diharapkan dapat memperkuat memori kolektif umat tentang peran penting perempuan dalam sejarah Islam Indonesia, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan berkeadaban.** (Gun)

ISIF Tegaskan Komitmen Inklusif, MISI VII Bahas Fiqh Aplikatif bagi Penyandang Disabilitas

ISIF Cirebon Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menggelar Monthly Islamic Studies Initiatives (MISI) dengan mengangkat tema “Fiqh Aplikatif untuk Penyandang Disabilitas” di Ruang Konvergensi ISIF, pada Rabu, 12 Februari 2025.

Dalam forum ini, hadir perwakilan ulama perempuan, akademisi, praktisi, serta aktivis penyandang disabilitas. Mereka membahas bagaimana ajaran Islam dapat lebih inklusif dalam menjamin hak-hak penyandang disabilitas dalam mengamalkan agamanya.

Dalam diskusi, para peserta aktif berpendapat dan menyoroti betapa pentingnya pendekatan fiqh aplikatif yang tidak hanya berlandaskan hukum Islam, tetapi juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial.

Alifatul Arifiati, peserta dari Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan, menyoroti realitas sosial yang masih banyak melekatkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Contohnya, pandangan bahwa penyandang disabilitas terlahir dari kesalahan dalam tata cara hubungan seksual.

Stigma ini, menurutnya, memperlihatkan bias yang masih melekat dalam interpretasi keagamaan terhadap kelompok penyandang disabilitas. Selain itu, ia menegaskan bahwa isu disabilitas masih belum menjadi perhatian utama dalam wacana keagamaan.

“Ketika berbicara tentang forum atau kajian keagamaan, pembahasan mengenai disabilitas masih sangat minim. Saya pernah diminta mencari ulama perempuan atau tokoh Muslim yang benar-benar fokus pada isu ini, dan itu sangat sulit menemukannya. Masih sangat sedikit ulama perempuan yang membahas disabilitas dan menempatkannya sebagai ruang khidmahnya,” ujarnya.

Peran Media dalam Membangun Narasi Inklusif

Fitri Nurazizah, perwakilan dari Mubadalah.id turut menggarisbawahi peran media dalam membentuk narasi tentang disabilitas. Banyak media, yang menurutnya, masih belum bisa melunturkan stigma terhadap penyandang disabilitas.

“Sangat penting bagi media untuk mengonfirmasi langsung kepada penyandang disabilitas guna memastikan bahwa istilah yang digunakan tidak menimbulkan stigma,” ujarnya.

Dalam upaya menghadirkan perspektif yang lebih inklusif, media alternatif berperan penting dalam memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang sering terpinggirkan.

“Oleh karena itu, media alternatif seperti Mubadalah.id mencoba menghadirkan narasi yang lebih adil. Kami juga mendorong penyandang disabilitas untuk turut terlibat aktif menuliskan langsung (di Mubadalah.id) pengalaman mereka sendiri,” lanjutnya.

Implementasi Kebijakan yang Belum Optimal

Jojo Suparjo, perwakilan dari Perkumpulan Penyundang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Cirebon, berpendapat bahwa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di rumah ibadah masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Banyak penyandang disabilitas yang ingin beribadah dengan nyaman, tetapi fasilitas yang mendukung mereka masih terbatas. Misalnya, belum tersedia tempat duduk untuk wudhu yang memadai, lantai yang licin, serta akses menuju tempat ibadah yang belum ramah bagi mereka.

Selain itu, Jojo juga menyoroti lemahnya implementasi kebijakan terkait disabilitas. Menurutnya, pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan kepedulian terhadap para penyandang disabilitas. Jojo juga melihat lemahnya implementasi kebijakan terkait disabilitas.

“Peraturan yang ada saat ini tentang disabilitas hanya sebatas produk hukum di atas kertas saja, sedangkan implementasinya belum maksimal,” tegasnya.

Rektor ISIF Cirebon, Marzuki Wahid, yang hadir sebagai narasumber, menegaskan bahwa dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban negara. Sementara itu, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak mereka.

Ia menekankan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum yang setara dan hak asasi yang sama sebagai warga negara Indonesia. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat dan memiliki hak untuk hidup, berkembang, serta berkontribusi secara adil dan bermartabat.

“Kita sebetulnya sama, tidak ada perbedaan sedikitpun. Ada satu jargon yang saya senang untuk mengutipnya, yaitu ‘No one left behind.’ Tidak boleh ada satu pun yang tertinggal dalam proses pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan segala aspek kehidupan, termasuk penyandang disabilitas,” tegasnya.

Komitmen ISIF

Melalui diskusi ini, ISIF ingin mengintegrasikan nilai-nilai keislaman yang selama ini menjadi basis kajian ISIF dengan perspektif hak-hak penyandang disabilitas. Di sisi lain, hasil-hasil diskusi diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan bagi semua elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan adanya diskusi rutin seperti MISI, diharapkan terbentuk pemahaman yang lebih luas dan kebijakan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas dalam ruang-ruang sosial dan keagamaan.

Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen ISIF dalam upaya memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas dalam bingkai keadilan dan kesetaraan dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan yang kuat dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.* (Gunawan)

Melalui FGD, PUSIGA ISIF Tegaskan Komitmen Hentikan Praktik Sunat Perempuan

ISIF Cirebon – Pusat Studi Islam Gender dan Seksualitas  (PUSIGAS) ISIF Cirebon bersama Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pemahaman Santri tentang Kekerasan dalam P2GP/Sunat Perempuan dan Pencegahannya.” Acara yang berlangsung di Rumah Joglo, Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina pada Minggu, 15 Desember 2024 ini menghadirkan Lies Marcoes Natsir, konsultan temporal United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, sebagai narasumber utama.

Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen PUSIGAS ISIF untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, salah satunya praktik Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. FGD ini juga diselenggarakan sebagai respons terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang menegaskan larangan praktik P2GP karena dampaknya yang membahayakan kesehatan fisik dan mental anak perempuan.

Angka Sunat Perempuan

Menurut Lies Marcoes, sunat perempuan (P2GP) masih banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, meskipun telah terbukti tidak membawa manfaat apapun bagi perempuan.

“Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, mengungkapkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama di Indonesia menjalani sunat perempuan,” papar Lies.

Angka tersebut menurut Lies, mencerminkan masih kuatnya penerimaan sosial terhadap praktik yang sejatinya berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Dalam diskusi, Lies juga memaparkan hasil penelitiannya terhadap sikap empat organisasi keagamaan besar di Indonesia – Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) – yang memiliki pandangan berbeda-beda terkait praktik P2GP. Yang paling menarik baginya adalah pandangan KUPI yang menggunakan women lives reality (pengalaman khusus perempuan) sebagai alat ukur kemaslahatannya.

“Kalau mau mengetahui sunat perempuan itu adil atau tidak, jangan tanya kepada laki-laki yang memegang ayat, tapi (tanya) kepada pengalaman perempuan yang mengalami langsung sunat perempuan,” ungkap penulis buku Merebut Tafsir ini.

Setelah pemaparan, Lies Marcoes memfasilitasi diskusi bersama para santri Pondok Pesantren Luhur Manhaji Fahmina. Para peserta berbagi pengalaman terkait praktik P2GP di daerah asal mereka. Beberapa peserta menyatakan bahwa praktik ini masih dianggap sebagai kewajiban sosial dan ritual adat yang harus dijalankan.

“Jika anak perempuan tidak disunat, mereka akan mendapat stigma negatif dari masyarakat, bahkan dianggap tidak suci atau tidak sempurna,” ungkap salah seorang peserta.

Sikap Tegas PUSIGAS ISIF terhadap Praktik Sunat Perempuan

Melalui FGD ini, PUSIGAS ISIF menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis di kalangan santri mengenai bahaya Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. Nafida Inarotul Huda, fasilitator dari PUSIGAS, menekankan bahwa praktik P2GP harus dilihat sebagai bentuk kekerasan berbasis gender.  Hal ini baginya tidak hanya merugikan perempuan secara fisik tetapi juga melanggar hak asasi perempuan.

“Sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan karena di sana ada upaya melukai alat reproduksi perempuan. Di beberapa kasus, praktik ini mengakibatkan pendarahan hebat, bahkan menyebabkan kematian,” tegas Nafida.

Sebagai lembaga yang berfokus pada isu gender dan keadilan sosial, PUSIGAS ISIF memiliki komitmen kuat untuk menghentikan praktik sunat perempuan. Sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan  menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang serta trauma psikologis bagi perempuan.

“Sunat perempuan adalah harmful practices atau praktik yang berbahaya dan merugikan perempuan sehingga penting bagi PUSIGAS ISIF untuk mengadvokasi dan menghentikan praktik ini,” lanjut Direktur PUSIGAS ini.

Peran Santri

Dalam diskusi tersebut, PUSIGAS ISIF juga menekankan pentingnya peran santri sebagai agen perubahan. Santri diharapkan mampu memahami hak-hak reproduksi perempuan serta menyebarkan informasi mengenai dampak buruk P2GP di lingkungan mereka. Dengan pengetahuan yang mereka dapat, santri dapat berkontribusi dalam upaya advokasi dan pencegahan praktik P2GP di masyarakat.

“Kami berharap santri teredukasi dan terinformasi tentang hak-hak reproduksi perempuan, serta memahami dampak sunat perempuan. Selain itu, melalui testimoni dan cerita pengalaman perempuan yang dibagikan dalam forum ini, kita bisa memperkaya khazanah pengalaman khas perempuan,” tambah Nafida.

Pengalaman-pengalaman ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi penting bagi aktivis, advokator, dan pembuat kebijakan. Kesaksian langsung dari perempuan yang mengalami praktik ini dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk segera mengakhiri tradisi dan praktik sunat perempuan.**

 

Pemkab Kuningan Dituding Langgar Konstitusi Terkait Pelarangan Jalsah Salanah di Manis Lor, Lingkar Fahmina: Segera Cabut Surat Larangannya!

Sejumlah elemen yang tergabung dalam Lingkar Fahmina mengecam langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan yang melarang penyelenggaraan kegiatan Jalsah Salanah di Manis Lor.

Kegiatan yang akan diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) itu dibatalkan secara tiba-tiba lantaran turunnya surat larangan yang diterbitkan Pemkab Kuningan.

Surat larangan tersebut bernomor 200.1.4.3/4697/BKBP perihal Pelaksanaan Kegiatan Jalsah Salanah JAI di Kabupaten Kuningan tertanggal 4 Desember 2024 yang meminta agar kegiatan tersebut tidak dilaksanakan.

Alasannya, sebagaimana disampaikan Pj Bupati Kuningan Agus Toyib, kegiatan Jalsah Salanah dapat menyebabkan kondusivitas daerah terganggu.

Agus Toyib juga menyampaikan bahwa larangan tersebut merupakan hasil pertemuan dengan unsur Forkopimda Kabupaten Kuningan, Forkopimcam Jalaksana, Ketua Ormas Keagamaan, dan FKUB.

Surat tersebut dilanjutkan dengan surat Sekda Kabupaten Kuningan Nomor 200.1.4.3/4666/BKBP perihal Pemberhentian Kegiatan Persiapan Jalsah Salanah JAI di Kuningan yang dibuat 5 Desember 2024.

Dalam surat ini diduga Pj Sekda mengancam jika kegiatan persiapan Jalsah Salanah tidak dihentikan, maka akan dilakukan penertiban sebagaimana mestinya.

Merepons hal itu sejumlah perwakilan dari berbagai elemen yang tergabung dalam Lingkar Fahmina bertemu untuk menyikapi tindakan Pemkab Kuningan.

Sebelum menggelar pertemuan, sejumlah perwakilan turun ke lokasi melakukan pengamatan di lapangan yang ada di Desa Manis Lor pada Jumat, 6 Desember 2024 pukul 10.00-11.30 WIB.

Mereka di antaranya Rektor ISIF Marzuki Wahid, Direktur Fahmina Institute Marzuki Rais, Direktur LBH Fahmina Mukhtaruddin, sejumlah dosen ISIF dan aktivis Fahmina.

Hasil pengamatan di lapangan, sebagaimana disampaikan juru bicara Lingkar Fahmina, Marzuki Rais, menemukan semua jalan menuju kawasan JAI Manis Lor ditutup oleh aparat keamanan di mana terlihat dalam pemblokiran jalan personel Polisi, TNI dan Satpol PP.

“Akhirnya, kami jalan kaki dari jalan raya menuju kawasan JAI di Manis Lor. Kami lihat tenda-tenda tempat Jalsah Salanah sudah dibongkar, petanda bahwa JAI tidak akan menyelenggarakan kegiatan Jalsah Salanah karena larangan dari Pemerintah Kuningan,” ungkap Marzuki Rais.

Dia menyampaikan, diperoleh informasi dari pimpinan JAI bahwa Jalsah Salanah bahwa sedianya akan dilaksanakan sebelum Pilkada 2024, namun karena menghormati suasana Pilkada, akhirna diundur setelahnya.

“Warga JAI Manis Lor pun telah bersiap menyambut tamu yang akan datang dari berbagai daerah se-Indonesia pada 6 Desember 2024,” sambungnya.

Bahkan, kata dia, setelah diterbitkan surat pemberhentian oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan sekalipun, 2000-an Jamaat Ahmadiyah Manislor menandatangani untuk tetap diselenggarakan Jalsah Salanah karena persiapannya yang sudah matang.

Dikatakan, persiapan pelaksanaan Jalsah Salanah telah dilakukan warga JAI Manis Lor sejak dua bulan yang lalu, namun gagal gegera surat pemberhentian dari Pemkab Kuningan yang datang tiba-tiba.

Melihat hal itu, Lingkar Fahmina memandang bahwa tindakan Pemkab Kuningan adalah pelanggaran atas konstitusi sebagaimana diundangkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Termasuk soal keyakinan, UUD 45 Pasal 29 ayat (2) juga menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan.

Selain itu, lanjut dia, tindakan Pemkab Kuningan juga menciderai demokrasi Pancasila yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan.

Tindakannya bukan saja tidak menghargai kelompok minoritas dan kelompok rentan, melainkan telah menciderai kemanusiaan dari ibu-ibu dan anak-anak, baik yang tinggal di Manis Lor maupun yang terpaksa menginap di jalan karena dipaksa untuk pulang kembali ke daerahnya.

Disampaikan, tindakan diskriminasi dan intoleransi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan ini berkontribusi terhadap posisi Jawa Barat sebagai daerah yang terendah tingkat toleransinya.

“Sebagaimana Indeks Kerukunan Umat Beragama yang dikeluarkan Kementerian Agama RI tahun 2024 memosisikan Jawa Barat sebagai 10 besar provinsi yang intoleran di Indonesia,” ucap Marzuki Rais.

Atas dasar argument tersebut, sambung Marzuki Rais, Lingkar Fahmina menyampaikan sejumlah tuntutan antara lain:

1. Menuntut Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mencabut surat pemberhentian Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor Kuningan yang seharusnya dilaksanakan sejak 6 Desember sampai 8 Desember 2024.

2. Menuntut Forkopimda Kabupaten Kuningan terutama aparat Kepolisian dan Satpol PP agar memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan terhadap warga Ahmadiyah yang mengikuti kegiatan Jalsah Salanah di Manislor Kuningan. Tidak malah tunduk pada kebijakan yang diskriminatif dan ancaman kelompok-kelompok intoleran yang justru memecah belah kesatuan bangsa.

3. Menuntut Pemerintah Pusat, khususnya Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Mabes Polri untuk menginstruksikan kepada jajarannya di Kabupaten Kuningan agar mencabut kebijakan pemberhentian Jalsah Salanah dan memberikan jaminan keamanan kepada semua warga Ahmadiyah yang hadir sebagai warga negara Indonesia.

4. Menuntut Pemerintah Kabupaten untuk menghormati dan melindungi para perempuan dan anak-anak yang datang ke Kuningan untuk mengikuti Jalsah Salanah, bukan malah menahan untuk tidak masuk kawasan Manislor, dan ‘mengusir’nya untuk kembali ke daerah tanpa mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan jamaat Ahmadiyah.

5. Mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga toleransi di atas perbedaan yang ada serta memperkuat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman dengan menjalankan konstitusi dan pengamalan ajaran agama yang tawassuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh, sebagaimana yang disampaikan Presiden Prabowo dan program unggulan Kementerian Agama RI.

Pihaknya meminta masyarakat agar terus memperjuangkan keadilan, penghormatan hak asasi manusia, toleransi, dan kebebasan beragama di Indonesia, agar cita-cita kemerdekaan bisa dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia.

Sejumlah elemen Lingkar Fahmina yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain:

  1. Marzuki Rais (Direktur Fahmina Institute)
  2. Marzuki Wahid (Rektor Institut Studi Islam Fahmina)
  3. Mukhtaruddin, SH (Direktur LBH Fahmina)
  4. Abdul Hamid (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Jamblang Cirebon)
  5. Arijalusshobirin (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Arjawinangun Cirebon)
  6. Abdul Barih (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Gebang Cirebon)
  7. Izzi Maulana (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Losari Cirebon)
  8. H. Achmad Rivai (Penggerak Moderasi Beragama Kec. Weru Cirebon)
  9. Haryono (Pelita Perdamaian Cirebon)
  10. Heru Kusumo (Penggerak Moderasi Beragama Kota Cirebon)
  11. Intan Damayanti (Fatayat NU dan Pengerak moderasi Kab Majalengka)
  12. Rizki Fadillah (Ketua Komunitas Kita Mengabdi)
  13. Ahmad Koer Afandi (Ketua Komunitas Deru Majalengka Bangkit)
  14. Anggara (Kordinator Steering Committe KUMPPARAN Kab Majalengka )
  15. Yuli Elita Theresia Hutauruk (Lingjar Fahmina Kuningan)
  16. Ahmad khoer afandi (Ketua Komunitas Deru Majalengka Bangkit)
  17. Anggara (Kordinator Steering Committe KUMPPARAN Kab Majalengka )
  18. Fiki Hasbi (IPNNU Kab Majalengka)
  19. Dinda Maulida (Pengerak moderasi Majalengka)
  20. Fredrico Oktavinus (Pemuda Katolik Kabupaten Cirebon)
  21. Pipih Indah Permatasari (Penggerak Moderasi Beragama Babakan Cirebon)
  22. Silviana Rohmah (Penggerak Moderasi Beragama Ciledug Cirebon)
  23. Devi Farida (Forkolim Remaja Cirebon Timur)
  24. Bayu (Forum pemuda Lintas Agama (Komsulin) Kedawung Cirebon)
  25. Zanuba (Forum Lintas Agama (Kelabang) Kec. Lemah Abang Cirebon). ***

 

— Artikel ini dihimpun dari laman CirebonTimes.com (https://www.cirebontimes.com/nasional/79414102556/pemkab-kuningan-dituding-langgar-konstitusi-terkait-pelarangan-jalsah-salanah-di-manis-lor-lingkar-fahmina-segera-cabut-surat-larangannya?page=4)  yang terbit pada Sabtu, 7 Desember 2024 pukul 13:09 WIB dengan judul:  “Pemkab Kuningan Dituding Langgar Konstitusi Terkait Pelarangan Jalsah Salanah di Manis Lor, Lingkar Fahmina: Segera Cabut Surat Larangannya!