by admin | 9 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
E-mail: marzukiwahid@gmail.com
Lihat tulisan sebelumnya…..
ISIF Cirebon — Diakui atau tidak, gerakan pembaharuan pemikiran Islam di negeri ini yang dilakukan oleh sejumlah intelektual yang ada, hingga sekarang tak ada satu karya pun yang monumental untuk dijadikan landasan berfikir dan bertindak yang transformatif bagi umat. Artinya, sementara ini “pembaharuan” di Indonesia masih dalam tahap tekad kuat dan muncul dalam bursa gagasan dan pikiran bebas, tak terkonstruksi secara epistemologis.
Bahkan, tidak sedikit yang masih mendikotomikan kalau NU itu tradisional-konservatif dan Muhammadiyah adalah modernis-pembaharu, tanpa memerinci pokok-pokok perkembangan pemikiran dari kedua organisasi ini, sesuatu yang salah kaprah.
Ada baiknya, barangkali, pada kesempatan ini dikemukakan sekilas gagasan dan visi pembaharuan Hassan Hanafi, seorang filosof dan teolog, pengajar di berbagai universitas dunia, dan pembaharu ternama di Mesir. Hassan Hanafi memang mempunyai program pembaharuan yang disebut al-Turâts wa al-Tajdîd (Warisan Intelektual dan Pembaharuan). Program ini sekaligus menjadi nama bukunya yang menjelaskan metodologi pembaharuannya.
Warisan Intelektual dan Pembaharuan
Pembaharuan pemikiran Islam menurut Hassan Hanafi adalah upaya menafsirkan kembali (merekonstruksi) warisan intelektual Islam (al-turâts al-qadîm) yang tidak sejalan dengan tuntutan zaman (al-turâts al-jadîd), dengan senantiasa mempertimbangkan realitas kontemporer umat Islam (al-wâqi’ al-bâsyir). Artinya, warisan intelektual Islam yang telah usang memang harus ditafsirkan kembali menjadi suatu konstruk pemikiran dan aksi yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Transformasi sosial yang dilakukan Hanafi bisa dipayungi dengan dua kata kunci: “mentransmisikan warisan dan menciptakan yang baru”. Dalam program pembaharuannya, dengan demikian, Hanafi tidak hendak mengambil kebudayaan Barat dan nilai-nilai modernitasnya (al-turâts al-gharbî) secara totalitas sebagai alternatif pengganti warisan Islam yang dianggap usang itu.
Ia juga tidak menginginkan agar tradisi lama tersebut terus dilestarikan tanpa perubahan. Tetapi juga tidak mau jika pembaharuan dilakukan secara ahistoris, terputus dari akar-akar tradisi sebagaimana banyak dilakukan kelompok liberalis. Hanafi tetap menginginkan pembaharuan yang dilakukan tetap memperhatikan warisan Islam lama. Hanya saja, ia harus ditafsirkan terlebih dahulu berdasarkan realitas kontemporer (al-mu’âshirah).
Warisan Barat (al-turâts al-gharbî) tentu harus dipelajari menurut versi kita sebagaimana para orientalis juga mempelajari warisan kita melalui versi mereka sendiri. Hanafi mempelajari warisan intelektual Barat bukan untuk menjadi westernis, melainkan untuk menandingi Barat dengan warisan mereka sendiri yang telah disenyawakan dengan warisan intelektual Islam.
Inti Pembaharuan Hassan Hanafi
Secara singkat, pembaharuan yang dicanangkan Hanafi berusaha mempertemukan tiga nilai yang berada pada tiga dimensi waktu yang berbeda: dulu (al-turâts al-islâmy), kini (al-wâqi’ al-bâsyir), dan esok (al-turâts al-gharbî). Dekonstruksi (pembongkaran) terhadap warisan intelektual lama, menurut Hanafi, merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk mengadakan rekonstruksi.
Mengenai metode dekonstruksi dan berbagai tawaran rekonstruksi yang ia maksud terdapat dalam karyanya, Min al-’Aqîdah ilâ al-Tsaurah (sebanyak 5 jilid masing-masing terdiri dari 600-700-an halaman), Dirâsât Islâmiyah, dan al-Turâts wa al-Tajdîd. Rekonstruksi warisan intelektual Islam klasik dimaksudkan Hanafi agar mempunyai vitalitas dalam menggerakkan umat Islam serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Selain rekonstruksi, juga kita harus berani mengembalikan keuniversalan dan superioritas kebudayaan Barat pada posisi yang wajar dan lokal. Artinya, hegemoni Barat yang demikian dasyat harus dihadapi dengan penuh kearifan dan bijaksana. Setelah itu, kita berusaha mengadakan teori baru untuk menafsirkan kebudayaan manusia secara global dan mendialogkannya dengan hasil rekonstruksi warisan Islam tersebut, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan berpijak umat manusia di zaman modern ini.
Pemikiran pembaharuan Hanafi ini dilatarbelakangi oleh keterbelakangan, kebodohan, dan ketertindasan yang dialami umat Islam yang menurutnya disebabkan oleh pemikiran mereka yang tradisional. Karena itu, Hanafi berpihak kepada hal-hal yang menyangkut persoalan kerakyatan, ketidakadilan, penindasan, dan kebangsaan. Karenanya, gerakan pembaharuan Hanafi lebih dikenal dengan gerakan Kiri Islam-nya (al-Yasâr al-Islâmî). Demikian. Wallâhu A’lam bi al-Shawâb. **
by admin | 3 Jun 2025 | Kolom Rektor
Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
Khadim Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
ISIF Cirebon – Istilah “pembaharuan” dalam Islam biasanya merupakan terjemahan dari kata tajdîd yang terdapat dalam literatur hadîts. Tapi kemudian istilah ini muncul ke permukaan dengan predikat bahasa yang beragam, seperti reformisme, modernisme, puritanisme, revivalisme, bahkan fundamentalisme.
Pengertian yang paling dasar dari semua istilah ini adalah “memperbaharui pemahaman terhadap teks-teks agama”. Pembaharuan dilakukan karena beberapa hal. Mungkin karena pemahaman lama dinilai tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Kemungkinan lain karena paham-paham yang ada dianggap telah keluar dari maksud teks yang sebenarnya; karenanya paham tersebut harus diperbaharui, dalam arti dimurnikan.
Gerakan Pembaharuan: Suatu Keharusan
Dalam realitas perjalanan sejarah Islam, gerakan pembaharuan tampil dengan model dan visi yang berbeda. Setidaknya, terdapat tiga model dan visi yang signifikan untuk dicatat. Pertama, kelompok salaf. Kelompok ini memahami tajdîd untuk mengembalikan pemahaman agama yang salah karena distorsi sejarah kepada paham serta ajaran Islam yang sebenarnya sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah dan sahabatnya. Artinya, dalam konsep ini kita harus rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah masa Rasulullah) secara total. Kita harus kembali ke harmonitas masa lampau (al-ihyâ`), memutar jarum jam sejarah.
Kemunduran umat Islam selama ini, menurut kelompok ini, disebabkan mereka tidak menerapkan ajaran yang benar sebagaimana yang dilakukan Rasul. Visi tajdîd semacam ini biasanya disebut dengan gerakan revivalisme. Dalam sejarah, aliran ini diwakili oleh ahl al-hadîts yang berbasis di Madinah, dipelopori Imam Ahmad Ibn Hanbal dan diteruskan oleh Ibn Taymiyah kemudian dikembangkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd Wahab pada abad ke-18 M. Mereka ini juga disebut kelompok puritan.
Kelompok kedua, ahl al-ra’y yang berbasis di Irak. Mereka memahami tajdîd sebagai usaha memperbaharui paham-paham lama yang dianggap lemah dengan cara memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan, ciri, dan inti yang lama. Tampaknya, konsep kedua ini berusaha menawarkan sesuatu yang baru dengan mengkompromikan sesuatu yang lama. Dalam sejarah, visi ini dianut oleh ulama yang biasa disebut ahl al-ra’yi.
Ketiga, kelompok modernis. Tajdîd dalam pandangan mereka adalah menyesuaikan atau mengembangkan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern. Tajdîd dalam pengertian ini sama dengan modernisasi Islam, yakni usaha mengkontekstualisasikan Islam dengan tuntutan modern, keharusan kekinian. Kelompok ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan kelompok reformis, tokohnya seperti al-Thahtawi, al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Ahmad Khan dan Ali Jinah di India, dan lain-lain.
Berdasarkan perspektif sejarah ini, berarti ada tiga visi pemahaman yang sama-sama disebut pembaharuan. Kelompok revivalis cenderung menghidupkan kembali tradisi Rasulullah secara total sebagai jawaban tantangan sekarang; yang berarti berorientasi pada pemahaman tekstual ketimbang kontekstual. Sementara kelompok modernis sebaliknya, mereka berani meninggalkan pemahaman teks demi kepentingan konteks zaman. Konsep yang lama ditinggalkan diganti dengan yang baru (modern).
Ahl al-Ra’yi dalam pemahaman ini sebetulnya berusaha mensintesiskan antara yang lama dan yang baru (antara tradisi dan modernitas). Unsur lama yang baik dipertahankan dan unsur baru yang lebih baik dihadirkan (al-muhâfadhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).
Dengan demikian, gerakan pembaharuan, apapun bentuk dan visinya, memiliki dasar kuat pada warisan pengalaman sejarah kaum muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa tajdîd merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam setelah Nabi SAW meninggal. Nabi sendiri menyatakan bahwa Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbaharui (pemahaman) agamanya, jelas menunjukkan adanya ide tajdîd dalam Islam. Namun, penting dicatat bahwa pembaharuan pemikiran dalam Islam mesti berangkat dari teks dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang demikian dahsyat melintasi teologi, doktrin, dan norma, maka upaya-upaya pembaharuan pemikiran keislaman merupakan suatu keharusan, sebagai konsekuensi logis dari watak dasar Islam yang universal dan transhistoris. Hanya saja persoalannya, visi dan model pembaharuan bagaimana yang relevan dilakukan sebagai jawaban tantangan kontemporer?
Peta Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Selayang Pandang
Islam di Indonesia, dengan berbagai harmoni dan santunnya, juga tidak pernah luput dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan. Dimulai sejak gerakan reformisme Muhammad Abduh yang dianggap rasional-liberal, kemudian di Indonesia berpadu dengan paham Wahabiyah yang skriptual-formal. Inilah benih-benih kaum “modernis” dan “neo-modernis” Islam di Indonesia, yang kemudian mendapat laqab “lokomotif pembaharuan”.
Memperbincangkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, apalagi di masa Orde Baru ini, tidak bisa mengabaikan sosok Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, A. Syafi’i Ma’arif, M. Amien Rais, KH. Achmad Shiddiq, Moeslim Abdurrahman, dan belakangan Masdar F. Mas’udi. Memang menjelang akhir dasawarsa 1970-an sampai dengan dasawarsa 1980-an, khazanah pemikiran Islam diperkaya dengan pemikiran-pemikiran alternatif, baik dalam bidang teologi, politik, maupun sosial, dan ekonomi. Mereka tampil dengan gagasan yang segar meramaikan diskursus intelektual tahun 1980-an.
Dengan mengembangkan pendekatan yang lebih kontekstual, mereka mengetengahkan fungsionalisasi ajaran-ajaran Islam guna mengatasi masalah-masalah umat yang konkret, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, keadilan sosial, demokratisasi, toleransi, dan sebagainya. Ada yang menggunakan analisis struktural-fungsional, ada yang fenomenologis-hermeneutis, dan ada juga yang berangkat dari warisan budaya-tradisi yang dimiliki.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan mereka tidak bersifat normatif dan doktrinal, tetapi lebih berorientasi pada dimensi empiris dan realistis. Karena itu, gagasan-gagasan yang bersifat ideologis hampir jarang dikemukakan, tetapi lebih mengetengahkan pendekatan rasional, akademis, dan praksis terhadap dilema yang dihadapi umat Islam. Karenanya, gagasan yang mempunyai muatan ideologis semacam “negara Islam” sama sekali dinegasikan, dan sebagai gantinya mereka justru memformulasikan pemikiran yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan yang inklusif, dengan berbagai aliran pemikirannya masing-masing.
Nurcholish Madjid, misalnya, terkenal kontroversial dengan isu “desakralisasi”, “sekularisasi Islam”, dan “Islam yes, partai Islam, no”. Mukti Ali sering diidentikkan dengan statemen “agree in disagrement”, setuju dalam perbedaan. Abdurrahman Wahid masyhur dengan gagasan “pribumisasi Islam”. Syafi’i Ma’arif dengan “tidak ada konsep negara Islam”. Kuntowijoyo dengan “ilmu-ilmu sosial profetik”. Harun Nasution dengan “liberalisasi pemikiran Mu’tazilah”. Munawir Sjadzali dengan “reaktualisasi ajaran Islam”. Jalaluddin Rakhmat dengan “Islam alternatif”. Amien Rais dengan “demokrasi Islam”. KH. Achmad Shiddiq dengan “penerimaan asas tunggal Pancasila”. Moeslim Abdurrahman dengan “teologi transformatif”. Masdar F. Mas’udi dengan “persenyawaan pajak-zakat”.
Khusus Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid perlu mendapat perhatian tersendiri, dua tokoh ini selain memang mempunyai basis yang kuat terhadap khazanah keislaman, klasik dan kontemporer, juga mereka mempunyai kepedulian yang kuat sekali tentang perlunya “revitalisasi tradisi” ke arah pemikiran modern Islam. Isu bersama yang menonjol dari mereka adalah universalisme dan kosmopolitanisme Islam sebagai paradigma untuk keluar dari jebakan historis dan sosiologis umat Islam.
Mengenai klasifikasi dan tipikasi gerakan pembaharuan, banyak pengamat memandang berbeda. Budhy Munawar-Rachman, misalnya, dalam tulisannya di Majalah Ulumul Qur’an No. 3 Vol. VI, tahun 1995, memaparkan tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia ke dalam: [1] Islam Rasional, tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi, [2] Islam Peradaban, diwakili dengan Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo, dan [3] Islam Transformatif, menyebut tokoh Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo. Berbeda dengan Greg Barton, pengajar di Deakin University, dalam disertasi PhD-nya. Ia mengidentifikasi kelompk neo-modernisme Islam di Indonesia dari tahun 1968-1980 adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.
Sementara M. Syafi’i Anwar dalam tesis MA, yang kemudian diterbitkan dengan judul Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, menyebut tipologi pemikiran politik cendekiawan muslim Indonesia yang menjadi fenomena dalam dekade 1980-an terbagi ke dalam enam tipe. Masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Formalistik
Kaum formalis Islam selalu menekankan aspek ideologisasi atau politisasi ajaran Islam yang mengarah kepada simbolisme keagamaan secara formal. Tidak jarang mereka mengkalim dengan terminologi “Islam” terhadap sesuatu yang menurut anggapan mereka “islami”, seperti politik Islam, negara Islam, ekonomi Islam, demokrasi Islam, Islamisasi Ilmu, dan sejenisnya. Doktrin keagamaan akhirnya diterjemahkan bukan sekedar rumusan teologis, tetapi juga ke dalam suatu sistem keimanan dan tindakan politik yang komprehensif dan eksklusif. Masuk dalam paradigma ini, di antaranya, adalah M. Amin Rais, A.M. Saefuddin, dan Jalaluddin Rakhmat.
2. Substantivistik
Kaum substantivis mendasarkan asumsi bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu Tuhan. Bagi meraka, pesan-pesan al-Qur’an dan al-Hadits yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, harus ditafsirkan kembali berdasarkan kronologi, rentang waktu, dan kondisi sosial, budaya, dan politik yang melatari terjadinya, kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial yang berlaku pada masa sekarang.
Dalam proses penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan realistik, kaum substansialis cenderung mengambil bentuk kulturalisasi (pembudayaan), bukan politisasi. Dengan demikian mereka mimilih gerakan budaya (cultural movement) daripada gerakan politik (political movement) sebagai strategi perjuangannya. Di antara yang masuk dalam kelompok ini adalah kalangan neo-modernis: Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kelompok modernis: Harun Nasution. Kelompok neo-tradisonalis: K.H. Achmad Shiddiq dan Munawir Sjadzali.
3. Transformatik
Pemikiran transformatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan (basyariyyah). Untuk itu, dalam pandangan kaum transformis Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis.
Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para pemikir transformatif bukanlah pada aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial, ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan sebagainya.
Bahkan, bagi para pemikir transformatif menghendaki teologi bukan sekedar sebagai ajaran yang absurd dan netral, tetapi harus diarahkan sebagai suatu ajaran yang “memihak” dan “membebaskan” mayoritas umat Islam dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan demi terciptanya masyarakat adil dan demokratis. Masuk dalam kategori ini, di antaranya, adalah Koentowijoyo, Muslim Abdurrahman, Masdar F. Mas’udi, dan sebagian kalangan kyai-ulama pondok pesantren. Tak tertinggal dalam tipologi ini kelompok reformis sosial atau sosialisme demokrasi Islam: M. Dawan Rahardjo.
4. Totalistik
Ciri pokok dari pemikiran totalistik adalah adanya sikap utama yang mendasar dengan menganggap bahwa doktrin Islam bersifat total (kâffah), serta mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai, dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit yang meliputi semua bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta melingkupi segi-segi baik individual, kolektif, maupun masyarakat manusia umumnya.
Pemahaman mereka biasanya berangkat dari teks dan selalu bersumber dari wahyu. Konsekuensinya, semua kehidupan bagi kelompok ini harus diresapi dengan norma Islam. Dengan demikian, tidak ada ruang kosong untuk menerima kenyataan yang bersifat partikularistik atau pluralistik. Pendukung tipologi ini adalah mereka yang sering disebut fundamentalisme.
5. Idealistik
Yang dimaksud dengan pemikiran idealistik dalam konteks ini adalah suatu pemikiran yang bertolak dari pandangan pentingnya perjuangan umat untuk berorientasi pada tahapan menuju “Islam cita-cita” (ideal Islam). “Islam cita-cita” adalah Islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang otentik, tetapi belum tentu tercermin dalam tingkah laku sosio-politik umat Islam dalam realitas sejarah mereka.
Perumusan cita-cita ini dimaksudkan untuk membedakan dengan “Islam sejarah” (historic Islam), yakni Islam seperti yang telah dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam, sebagai jawaban terhadap tantangan sejarah yang datang silih berganti. Tetapi, jawaban yang diberikan belum tentu selalu bertolak dari ajaran al-Qur’an yang sebenarnya. A. Syafi’i Ma’arif bisa dimasukkan ke dalam tipologi pemikiran ini.
6. Realistik
Ciri pokok pemikiran realistik adalah melihat keterkaitan atau melakukan penghadapan antara dimensi substantif dari ajaran atau doktrin agama dengan konteks sosio-kultural masyarakat pemeluknya. Bagi pemikir realistik, Islam sebagai agama wahyu yang universal dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin selalu diwarnai oleh perjalanan sejarah dan situasi sosial kultural pemeluknya. Karena itu, melihat ajaran Islam dalam pandangan kelompok ini tidak bisa menafikan realitas umat Islamnya. Masuk dalam format pemikiran ini adalah Taufik Abdullah. **
Bersambung….
by admin | 27 May 2025 | Artikel
ISIF Cirebon – Kita sering kali memahami fikih sebagai sesuatu yang kaku, seolah-olah hukum yang berlaku di satu waktu dan tempat bisa langsung diterapkan begitu saja di waktu dan tempat lain. Padahal, tidak sesederhana itu. Fikih sejatinya adalah hasil ijtihad ulama yang sifatnya kontekstual.
Istilah kontekstualisasi sering diartikan secara sempit sebagai “menyesuaikan fikih dengan ruang dan waktu”. Tapi sebenarnya lebih luas dari itu. Kontekstualisasi adalah upaya untuk memastikan hukum Islam bisa menjawab realitas yang selalu berubah—entah itu karena situasi ekonomi, kesehatan, lingkungan sosial, atau bahkan kondisi psikologis seseorang.
Jadi, bisa saja karena sakit, sehat, panas, dingin, miskin, kaya, dan lain sebagainya, kontekstualisasi bisa berlaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi dalam fikih adalah upaya agar hukum fikih bisa mengikuti dan memberikan jawaban atas kondisi dan keadaan yang terus berubah dan berbeda-beda.
Kita sering terjebak dalam memahami fikih, sebagai fikih yang digunakan dalam kondisi normal. Seakan-akan ini berlaku untuk dan di semua situasi. Sebagai contoh, hukum potong tangan bagi pencuri. Sesungguhnya hukum itu hanya bisa diterapkan dalam keadaan normal. Dalam kondisi yang tidak normal, seperti mencuri karena kelaparan, dan tidak ada yang memberi makanan, maka hukum potong tangan tidak bisa diterapkan. Ini seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab r.a.
Kita memahami hukum Islam dan menerjemahkannya dalam atas realitas secara bijak. Jadi, tidak asal faham fikih lalu diterapkan secara membabi buta. Faktanya, dalam wilayah fikih tidak selamanya setiap hukum bisa langsung diterapkan. Ada syarat-syarat tertentu dimana suatu hukum bisa dilaksanakan, atau sebaliknya.
Dalam hal pencurian, ada syarat yang menyangkut jenis dan kadar minimal benda yang dicuri, kondisi ekonomi pencuri, alasan-alasan pencurian dan lain-lain. Syarat-syarat yang menyangkut benda yang dicuri meliputi: Berapa nilai barang yang dicuri, apakah barang itu disimpan atau tidak, dan seterusnya. Dari kondisi ekonomi saat itu, apakah yang mencuri itu karena situasi kelaparan atau tidak. Jadi banyak lagi faktor untuk bisa menetapkan apakah seorang pencuri dihukum potong tangan atau tidak.
Kontekstualisasi itu sendiri tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam kenyataannya, semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fikih pasti kontekstual. Artinya, fikih tidak ada yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’ alaih, dan ini sangat sedikit.
Istilah fikih sendiri berarti pemahaman atau hasil ijtihad dari seorang ulama. Jadi pasti kontekstual. Karena, suatu hasil ijtihad pasti terkait dengan siapa yang berijtihad, dimana dan kapan berijtihad, serta kepada siapa dan untuk apa ijtihod itu diberikan atau diperlukan. Inilah yang dimaksud kontekstual. Karena itu, ulama dahulu lebih rendah hati dalam mengatakan fikih Syafi’i atau fikih Madinah, dan fikih Maghrib, bukan dengan klaim-klaim besar dengan istilah ‘fikih Islam’ atau ‘Hukum Syari’ah’.
Karena, sudah disadari bahwa semua itu masih dalam koridor Islam dan Hukum Syari’ah, hanya saja harus dijelaskan menurut pemahaman siapa dan dimana agar tidak dimutlakkan. Perbedaan konteks, waktu tempat, dan komunitas penting dijelaskan untuk memberikan batasan-batasan atas kemutlakannya.
Sebagai contoh mudah, dalam bab riba, dalam hal menjual atau menukar sesuatu, disyaratkan harus sebanding atau senilai. Tetapi, dalam keadaan terpaksa Rasulullah Saw. menyatakan boleh saja tidak sebanding, kemudian dikenal dengan bai’ul aroyah.
Bai’ul aroyah adalah menjual korma yang masih mentah di batang pohon dengan korma yang sudah matang di genggaman orang. Mungkin kalau di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Bai’ul aroyah ini, pada awalnya tidak boleh karena timbangan atau nilainya belum tentu sama, tapi karena kebutuhan mendesak maka Rasulullah membolehkan praktik tersebut.
Fikih juga selalu kontekstual dalam segala hal terutama yang berhubungan dengan mu’amalah. Tinggal bagaimana kita memahami konteks tersebut. Bukankah Allah Swt sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 185 yang penggalan ayatnya berbunyi,
“Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu”,
Di sinilah, makna kemurahan Tuhan kepada manusia, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia. Persoalannya, terkadang pada manusia itu sendiri. Ada manusia yang tidak bisa melakukan syariat karena budaya telah menciptakan lain atau karena hal-hal yang disebabkan ketidakmampuannya.
Allah Swt. telah memberikan peluang kepada hambanya untuk melakukan kontekstualisasi. Allah Swt menurunkan syariat agama, mulai dari Adam, Idris, Ibrahim, Musa, sampai Nabi Muhammad disesuaikan dengan zamannya. Untuk hal-hal yang terkait dengan aqidah, dari satu nabi ke nabi yang lain, semuanya sama. Tetapi, syariatnya berbeda-beda.
Dalam sejarah, proses pemahaman keberagamaan satu tokoh dengan tokoh lainnya, tidak selalu sama. Karena perbedaan itulah, muncul para imam mazhab seperti mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan masih banyak mazhab yang lain. Para pengikut satu mazhab juga dalam beberapa hal bisa berbeda, bisa karena perbedaan tempat, waktu atau budaya. Contohnya, di dalam mazhab Syafi’i sendiri timbul berbedaan terutama antara Syafi’i aliran Iraqi dan Syafi’i Khurasani.
Jika ada pemikiran fikih yang menggunakan pola pengandaian biasanya disebut ’ala thariqoti khurasani, itu metode fikih orang-orang Khurasan. Makanya, di dalam kitab Safinatun Najah ada pengandaian yang sangat jauh, seperti ”andaikan kambing beranak manusia, setelah besar dia menjadi khotib pada shalat ‘Idul Adha, boleh tidak dia dijadikan hewan kurban?” Sementara dalam Mazhab Syafi’i aliran Iraqi, pengandaian itu tidak perlu dibahas. Yang perlu dibahas dan ditetapkan hukumnya adalah sesuatu yang memang sudah terjadi. Bukan mengandai-andai, sesuatu yang belum atau tidak mungkin terjadi.
Ketika kita mengambil fikih dari salah satu mazhab dan tidak mau melakukan kontekstualisasi, maka kemungkinan terjadinya ketidak selarasan antara ajaran dengan realitas sangat besar. Oleh karena itu, kontekstualisasi mutlak diperlukan agaf fikih , tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang. Dalam hal ini, salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam memahami fikih adalah dengan metode ’urfi. Bukankah kaidah Ushul Fikih menyatakan bahwa, As-Tsabit bil ’Urfi kas Tsabit bin Nash (apa yang ditetapkan melalui adat kebiasaan setempat sama nilainya dengan yang dtetapkan melalui Nash al-Qur’an dan al-Hadits).
Untuk melakukan kontekstualisasi, yang mutlak diperhatikan adalah Maqasid al-Syari’ah, yang berupa’ hifdzud din, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama. Hifdzul ’aql, menjaga akal, termasuk menjamin kebebasan berfikir. Hifdzun nafs, menjaga jiwa, termasuk menjamin penghidupan yang layak bagi rakyat banyak. Juga menjamin keamanan individu dan masyarakat.
Hifdzun nasl, menjaga keturunan, termasuk menjaga kesehatan reproduksi. Hifdzul mal, menjaga harta, termasuk menjaga kesejahteraan dan perekonomian orang banyak. Hifdzul ’Irdh, menjaga kehormatan, termasuk di dalamnya menjaga hak-hak asasi sebagai manusia.
Maqasid al-syari’ah ini diupayakan dengan tujuan untuk mencapai mardhotillah, keseimbangan antara kebutuhan kehidupan duniawi dan ukhrowi. Semua itu demi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.[]
— Disarikan dari buku Islam, Pesantren, dan Pesan Kemanusiaan (Syarif Ustman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008).
by admin | 19 May 2025 | Artikel
ISIF Cirebon – Toleransi adalah salah satu nilai mulia dalam Islam yang sering kali kita dengar, tapi belum tentu kita pahami secara utuh. Dalam istilah Arab, toleransi disebut al-tasamuh atau al-samahah, yang bermakna lapang dada, memberi ruang kepada orang lain, dan tidak memaksakan kehendak. Singkatnya, toleransi berarti tepo seliro dan tenggang rasa dalam kehidupan sosial.
Dalam perkembangannya kemudian penyebutan toleransi “tasamuh” mengandung makna suatu pandangan sikap mental dan cara bertindak memudahkan, lapang dada, lega hati dan berkenan memberi ruang kepada orang lain tidak mempersulit, atau memberatkan atau memaksakan kehendak kepada orang lain.
Dalam praktiknya, toleransi bukan hanya soal “mengizinkan” orang lain berbeda, tapi juga soal menyambut perbedaan itu dengan hati terbuka. Islam mendorong pemeluknya untuk menerima realitas keberagaman, bukan menolak atau menafikannya.
Namun, penting untuk dipahami bahwa menghargai perbedaan agama tidak berarti menyamakan semua agama atau mencampuradukkan keyakinan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan prinsip kebebasan beragama: “Lakum dinukum wa liya din” — “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Artinya, setiap orang punya hak dan kebebasan untuk meyakini dan menjalankan agamanya masing-masing.
Di tengah masyarakat yang semakin beragam dan kompleks, kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai menjadi kebutuhan mendasar. Islam, sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah lama menanamkan nilai-nilai toleransi sebagai bagian penting dari ajarannya.
Salah satu ulama besar, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili, sebagaimana ditulis oleh Buya Husein dalam buku ‘Toleransi dalam Islam,’ menyebutkan bahwa ada lima fondasi utama toleransi dalam Islam.
- Persaudaraan atas dasar kemanusiaan (al-ikhwan al-insani).
Islam memandang seluruh manusia sebagai saudara, tanpa memandang suku, bangsa, atau agama. Islam telah mengajarkan kita bahwa semua manusia berasal dari satu jiwa dan harus saling menghormati sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ١
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. An-Nisa [4:1])
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa untuk meraih tujuan tersebut manusia perlu menjalin persatuan dan kesatuan, serta menanamkan kasih sayang antara sesama. Maka, tak ada alasan untuk merasa lebih unggul dari orang lain hanya karena perbedaan identitas.
- Pengakuan dan penghormatan terhadap yang lain (al i’tiraf bi al-akhar wa ihtiramuh)
Islam mengajarkan kita untuk mengakui dan menghormati eksistensi orang lain. Artinya, kita tidak boleh merendahkan keyakinan atau pilihan hidup orang lain, meskipun berbeda dengan kita.
Pengakuan atas eksistensi orang lain dengan keyakinannya sesungguhnya adalah sikap mengakui fakta dan realitas akan eksistensi agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia yang berbeda-beda dan harus dihormati. Pengakuan atas pluralisme dan toleransi antar umat beragama hanya berarti memberikan penghargaan kepada pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.
- Kesetaraan manusia (al-musawah baina an-nas jami’an)
Semua manusia dipandang setara di hadapan Allah. Tidak ada keistimewaan berdasarkan warna kulit, status sosial, atau keyakinan. Prinsip ini menekankan bahwa semua manusia memiliki nilai yang sama di hadapan Allah, terlepas dari perbedaan ras, sosial, atau agama mereka. Yang membedakan derajat seseorang di sisi Allah adalah tingkat ketakwaannya atau ketaatannya kepada Allah.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13, Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat [49:13])
- Keadilan sosial dan hukum (al-’adI fi at-ta’amul)
Toleransi juga berarti berlaku adil terhadap siapa pun, termasuk kepada mereka yang berbeda agama. Keadilan tidak boleh berat sebelah hanya karena perbedaan identitas. Toleransi tidak hanya berarti menerima keberagaman, tetapi juga berlaku adil terhadap semua orang, termasuk mereka yang berbeda agama. Keadilan harus diterapkan secara objektif, tidak memihak, dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan identitas seperti agama.
- Kebebasan yang diatur oleh undang-undang (aI-hurriyyah al-munazzamah)
Islam menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan beragama. Namun kebebasan itu juga harus dijaga agar tidak menimbulkan konflik dan tetap menghormati hak orang lain. Dalam konteks Indonesia hal ini sudah terjamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
Toleransi dalam Islam bukan sekadar wacana, melainkan nilai yang hidup dalam setiap ajarannya. Saat dunia menghadapi banyak konflik atas nama perbedaan, Islam hadir membawa pesan damai yang relevan sepanjang zaman. Mari saling menghargai, berdampingan dengan damai, dan menebar kasih sayang sesama umat manusia.
by admin | 17 Feb 2025 | Berita, Kegiatan, Pusat Studi
ISIF Cirebon – Diskusi Pemikiran Gus Dur yang digelar Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon sudah memasuki pertemuan Ke-9. Diskusi yang digelar pada Jumat, 14 Februari 2025 tersebut dihadiri langsung Rektor ISIF, KH Marzuki Wahid.
Diskusi yang dipantik oleh Siti Robiah, itu mengangkat tema yang relevan dengan kondisi bangsa Indonesia hari ini, yakni “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”. Tema tersebut berangkat dari tulisan Gus Dur berjudul sama yang diterbitkan dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS; 1999).
Dalam pemaparannya, Robiah menjelaskan tentang sejarah Islam yang tidak terlepas dari militer, sejak masa Rasul, masa Islam klasik hingga masa modern sekarang ini. Dia juga mengatakan bahwa banyak di antara pemimpin di negara kita mempunyai latar belakang militer yang kuat.
“Kita tentu mengetahui bagaimana militer sangat kuat terutama pada zaman Orde Baru. Saat itu, militer masuk terlalu dalam di pemerintahan,” katanya.
Obi, panggilan akrab Siti Robiah, juga menjelaskan bahwa militer memang dibutuhkan dan sangat penting bagi keberadaan negara. Akan tetapi, penting juga untuk diingat bahwa memastikan tercapainya tujuan bernegara dan pemenuhan hak-hak warga negara jauh lebih penting.
“Apabila kepemimpinan oleh tokoh dengan latar belakang militer memberangus hak-hak warga negara, kita harus berani untuk melakukan perlawanan, misal dengan perlawanan kultural,” lanjutnya.
Menurutnya, dalam konteks negara Indonesia, kita sebagai orang Islam bisa mulai mempertanyakan apakah pemerintahan ini sudah sesuai dengan nilai dan cita-cita Islam? Apakah hak-hak kita sebagai warga negara sudah terpenuhi? Kalau belum, maka kita semua patut memberikan kritik dan mengoreksi jalannya pemerintahan.
Pemikiran Gus Dur sebagai Teks
Dalam diskusi tersebut, Rektor ISIF KH Marzuki Wahid mengatakan bahwa pemikiran Gus Dur yang bisa dilihat dari tulisan-tulisannya merupakan teks yang bisa dibaca siapapun. Untuk terus menghidupkan dan mengembangkan pemikiran Gus Dur, maka teks itu harus dikaji, dikritik, dan dikembangkan dalam konteks sejarah yang terus berubah.
“Dalam diskusi ini, kita bisa memberikan pandangan terhadap tulisan-tulisannya Gus Dur berdasar apa yang terjadi hari ini. Pemikiran Gus Dur itu kan teks yang bisa terus ditafsirkan tanpa henti,” kata Senior Advisor Jaringan Gusdurian itu.
Kiai Marzuki juga mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara “militer” dan “militerisme”. Militer memang sangat dibutuhkan negara, terutama dalam menjaga kedaulatan negara secara teritorial. Akan tetapi militerisme mengandung pengertian yang berbeda. Ia mengandaikan pemerintahan dengan cara-cara militer atau corak militeristik dalam segala aspek penyelenggaraan negara.
Gus Dur sebagai Pengetahuan
Diskusi Pemikiran Gus Dur sendiri sudah dilakukan Pusat Studi Gus Dur ISIF sebanyak 9 kali, sejak 29 November 2024. Berbagai tema yang berangkat dari pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah diangkat, seperti “Gus Dur Sapa Sira: Overview Biografi Pemikiran dan Gerakan Gus Dur” (Pemantik: KH Marzuki Wahid, Jumat, 29 November 2024), “Mencari Perspektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia” (Pemantik: Wahyu Ilahi, Jumat, 13 Desember 2024), “Agama, Ideologi, dan Pembangunan” (Pemantik: Fuji Ainnayah, Jumat, 27 Desember 2024), dan “Nilai-nilai Indonesia: Apakah Keberadaaannya Kini?” edisi rangkaian Haul ke-15 Gus Dur (Pemantik: Abdul Rosyidi, Jumat, 3 Januari 2025).
Selanjutnya mengangkat tema “Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama” (Pemantik: Mahirotus Shofa, Jumat, 10 Januari 2025), “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan” (Pemantik: Ahmad Hadid, Jumat, 17 Januari 2025), “Mahdiisme dan Protes Sosial” (Pemantik: Noer Fahmiatul Ilmia, Jumat, 24 Januari 2025), “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa” yang dipantik Muflihah pada Jumat, 31 Januari 2025.
Tidak hanya diskusi, Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial ISIF juga merancang sejumlah kegiatan untuk turut serta dalam mengembangkan pemikiran Gus Dur. Semua rangkaian tersebut dilakukan dengan harapan agar pemikiran dan gerakan Gus Dur bisa terus hidup dan selalu kontekstual dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. *** (Abdul Rosyidi)