(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Kontekstualisasi Fikih dalam Menjawab Masalah Kekinian

ISIF Cirebon – Kita sering kali memahami fikih sebagai sesuatu yang kaku, seolah-olah hukum yang berlaku di satu waktu dan tempat bisa langsung diterapkan begitu saja di waktu dan tempat lain. Padahal, tidak sesederhana itu. Fikih sejatinya adalah hasil ijtihad ulama yang sifatnya kontekstual.

Istilah kontekstualisasi sering diartikan secara sempit sebagai “menyesuaikan fikih dengan ruang dan waktu”. Tapi sebenarnya lebih luas dari itu. Kontekstualisasi adalah upaya untuk memastikan hukum Islam bisa menjawab realitas yang selalu berubah—entah itu karena situasi ekonomi, kesehatan, lingkungan sosial, atau bahkan kondisi psikologis seseorang.

Jadi, bisa saja karena sakit, sehat, panas, dingin, miskin, kaya, dan lain sebagainya, kontekstualisasi bisa berlaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi dalam fikih adalah upaya agar hukum fikih bisa mengikuti dan memberikan jawaban atas kondisi dan keadaan yang terus berubah dan berbeda-beda.

Kita sering terjebak dalam memahami fikih, sebagai fikih yang digunakan dalam kondisi normal. Seakan-akan ini berlaku untuk dan di semua situasi. Sebagai contoh, hukum potong tangan bagi pencuri. Sesungguhnya hukum itu hanya bisa diterapkan dalam keadaan normal. Dalam kondisi yang tidak normal, seperti mencuri karena kelaparan, dan tidak ada yang memberi makanan, maka hukum potong tangan tidak bisa diterapkan. Ini seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab r.a.

Kita memahami hukum Islam dan menerjemahkannya dalam atas realitas secara bijak. Jadi, tidak asal faham fikih lalu diterapkan secara membabi buta. Faktanya, dalam wilayah fikih tidak selamanya setiap hukum bisa langsung diterapkan. Ada syarat-syarat tertentu dimana suatu hukum bisa dilaksanakan, atau sebaliknya.

Dalam hal pencurian, ada syarat yang menyangkut jenis dan kadar minimal benda yang dicuri, kondisi ekonomi pencuri, alasan-alasan pencurian dan lain-lain. Syarat-syarat yang menyangkut benda yang dicuri meliputi: Berapa nilai barang yang dicuri, apakah barang itu disimpan atau tidak, dan seterusnya. Dari kondisi ekonomi saat itu, apakah yang mencuri itu karena situasi kelaparan atau tidak. Jadi banyak lagi faktor untuk bisa menetapkan apakah seorang pencuri dihukum potong tangan atau tidak.

Kontekstualisasi itu sendiri tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam kenyataannya, semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fikih pasti kontekstual. Artinya, fikih tidak ada yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’ alaih, dan ini sangat sedikit.

Istilah fikih sendiri berarti pemahaman atau hasil ijtihad dari seorang ulama. Jadi pasti kontekstual. Karena, suatu hasil ijtihad pasti terkait dengan siapa yang berijtihad, dimana dan kapan berijtihad, serta kepada siapa dan untuk apa ijtihod itu diberikan atau diperlukan. Inilah yang dimaksud kontekstual. Karena itu, ulama dahulu lebih rendah hati dalam mengatakan fikih Syafi’i atau fikih Madinah, dan fikih Maghrib, bukan dengan klaim-klaim besar dengan istilah ‘fikih Islam’ atau ‘Hukum Syari’ah’.

Karena, sudah disadari bahwa semua itu masih dalam koridor Islam dan Hukum Syari’ah, hanya saja harus dijelaskan menurut pemahaman siapa dan dimana agar tidak dimutlakkan. Perbedaan konteks, waktu tempat, dan komunitas penting dijelaskan untuk memberikan batasan-batasan atas kemutlakannya.

Sebagai contoh mudah, dalam bab riba, dalam hal menjual atau menukar sesuatu, disyaratkan harus sebanding atau senilai. Tetapi, dalam keadaan terpaksa Rasulullah Saw. menyatakan boleh saja tidak sebanding, kemudian dikenal dengan bai’ul aroyah.

Bai’ul aroyah adalah menjual korma yang masih mentah di batang pohon dengan korma yang sudah matang di genggaman orang. Mungkin kalau di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Bai’ul aroyah ini, pada awalnya tidak boleh karena timbangan atau nilainya belum tentu sama, tapi karena kebutuhan mendesak maka Rasulullah membolehkan praktik tersebut.

Fikih juga selalu kontekstual dalam segala hal terutama yang berhubungan dengan mu’amalah. Tinggal bagaimana kita memahami konteks tersebut. Bukankah Allah Swt sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 185 yang penggalan ayatnya berbunyi,

“Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu”,

Di sinilah, makna kemurahan Tuhan kepada manusia, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia. Persoalannya, terkadang pada manusia itu sendiri. Ada manusia yang tidak bisa melakukan syariat karena budaya telah menciptakan lain atau karena hal-hal yang disebabkan ketidakmampuannya.

Allah Swt. telah memberikan peluang kepada hambanya untuk melakukan kontekstualisasi. Allah Swt menurunkan syariat agama, mulai dari Adam, Idris, Ibrahim, Musa, sampai Nabi Muhammad disesuaikan dengan zamannya. Untuk hal-hal yang terkait dengan aqidah, dari satu nabi ke nabi yang lain, semuanya sama. Tetapi, syariatnya berbeda-beda.

Dalam sejarah, proses pemahaman keberagamaan satu tokoh dengan tokoh lainnya, tidak selalu sama. Karena perbedaan itulah, muncul para imam mazhab seperti mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan masih banyak mazhab yang lain. Para pengikut satu mazhab juga dalam beberapa hal bisa berbeda, bisa karena perbedaan tempat, waktu atau budaya. Contohnya, di dalam mazhab Syafi’i sendiri timbul berbedaan terutama antara Syafi’i aliran Iraqi dan Syafi’i Khurasani.

Jika ada pemikiran fikih yang menggunakan pola pengandaian biasanya disebut ’ala thariqoti khurasani, itu metode fikih orang-orang Khurasan. Makanya, di dalam kitab Safinatun Najah ada pengandaian yang sangat jauh, seperti ”andaikan kambing beranak manusia, setelah besar dia menjadi khotib pada shalat ‘Idul Adha, boleh tidak dia dijadikan hewan kurban?” Sementara dalam Mazhab Syafi’i aliran Iraqi, pengandaian itu tidak perlu dibahas. Yang perlu dibahas dan ditetapkan hukumnya adalah sesuatu yang memang sudah terjadi. Bukan mengandai-andai, sesuatu yang belum atau tidak mungkin terjadi.

Ketika kita mengambil fikih dari salah satu mazhab dan tidak mau melakukan kontekstualisasi, maka kemungkinan terjadinya ketidak selarasan antara ajaran dengan realitas sangat besar. Oleh karena itu, kontekstualisasi mutlak diperlukan agaf fikih , tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang. Dalam hal ini, salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam memahami fikih adalah dengan metode ’urfi. Bukankah kaidah Ushul Fikih menyatakan bahwa, As-Tsabit bil ’Urfi kas Tsabit bin Nash (apa yang ditetapkan melalui adat kebiasaan setempat sama nilainya dengan yang dtetapkan melalui Nash al-Qur’an dan al-Hadits).

Untuk melakukan kontekstualisasi, yang mutlak diperhatikan adalah Maqasid al-Syari’ah, yang berupa’ hifdzud din, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama. Hifdzul ’aql, menjaga akal, termasuk menjamin kebebasan berfikir. Hifdzun nafs, menjaga jiwa, termasuk menjamin penghidupan yang layak bagi rakyat banyak. Juga menjamin keamanan individu dan masyarakat.

Hifdzun nasl, menjaga keturunan, termasuk menjaga kesehatan reproduksi. Hifdzul mal, menjaga harta, termasuk menjaga kesejahteraan dan perekonomian orang banyak. Hifdzul ’Irdh, menjaga kehormatan, termasuk di dalamnya menjaga hak-hak asasi sebagai manusia.

Maqasid al-syari’ah ini diupayakan dengan tujuan untuk mencapai mardhotillah, keseimbangan antara kebutuhan kehidupan duniawi dan ukhrowi. Semua itu demi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.[]

— Disarikan dari buku Islam, Pesantren, dan Pesan Kemanusiaan (Syarif Ustman Yahya. Islam, Pesantren dan Pesan Kemanusiaan. Fahmina Institute, 2008).

Saatnya Wanita Memilih Upaya Syariat Melindungi Martabat

Penulis: Zaenab

Penerbit: Zhenish Press

Tahun Terbit: 2007

Tebal buku: 194 halaman

Sinopsis:

Pergolakkan Sosial, budaya dan politik menuntut sebuah peradaban berubah. Sehingga pada peradaban ini bisa jadi yang asal mulanya satu komunitas yang tidak berperadaban berubah menjadi komunitas yang berperadaban, bahkan mampu menghegemoni dunia. Sebuah perubahan bukanlah hal yang mustahil, karena merupakan entitas yang selalu ada dan datang setiap waktu.

Tulisan ini bertitik tolak pada fenomena-fenomena yang telah dialami kaum perempuan yang mana kreasi, ekspresi dan aksi mereka terpasung. Sehingga tidak heran jika muncul jargon “emansipasi wanita”, sebuah terma yang muncul sebagai respon balik terhadap problematika yang selama ini melandanya. Kita sebagai manusia, tidak bisa menilai gerakan ini salah atau benar, akan tetapi yang jelas gerakan ini mengandaikan sebuah harapan hak-hak mereka dipenuhi, harkat dan martabatnya dihormati dan keberadaannya sebagai manusia dilindungi.

Untuk tidak mengatakan bahwa gerakan ini muncul dari sebuah ketidakpuasan, maka bisa kita baca sejarah masa silam yang terjadi dibelahan dunia seperti Yunani, Romawi, India, Hamurabi, Masehi dan Arab Jahiliyah. Pada masa itu, para kaum hawa diperlakukan layaknya hewan bahkan lebih hina. Hak dan kebebasannya dinafikan serta keberadaannya sebagai seorang wanita ditiadakan. Mereka hanya dijadikan sebagai obyek pemuas nafsu saja. Selain itu mereka hanya menjadi robot rumah tangga yang tidak bisa keluar menghirup udara kebebasan, hingga akhirnya mereka merasakan bahwa hidupnya sama halnya dengan matinya.

Landasan inilah yang menstimulasi adanya instansi yang menghormati, mengayomi, melindungi, dan memberikan hak-haknya. Sebenarnya bukan hanya instansi sosial saja yang memberikan hak dan kebebasannya, akan tetapi instansi Tuhan-pun (yang dalam hal ini syariat-Nya) juga memberikan hak-haknya dan melindungi martabat wanita. Artinya ada upaya syariat untuk melindungi harkat dan martabat wanita.

Perlu diperhatikan bahwa buku “Saatnya Wanita Memilih; Upaya Syairat Lindungi Martabat” adalah sebuah usaha untuk memberi pemahaman kepada khalayak, agar tidak memberi penafsiran negatif atas emansipasi wanita yang selama ini telah bergulir. Pemberian kebebasan terhadap wanita, menghormati keberadaannya dan hak wanita untuk memilih adalah hal yang mempunyai landasan kuat dari syariat. Artinya segala usaha yang telah digulirkan untuk mengangkat derajat dan memberikan hak-haknya juga telah tertuang dalam undang-undang keagamaan. Seperti problematika kebebasan wanita memilih pasangan, penafian al-Kitab terhadap poligami, talak dan permintaan pisah dari istri, hak maksimum atas ahli waris wanita, legitimasi kepemimipinan wanita, kontradiksi hijab ditilik dari tabir agama dan khitan perempuan hanya sebatas adat, adalah tema-tema yang diangkat dengan melihat kondisi sosial tertentu dan melihat bangunan syariat yang ada.

Sebagai usaha agar tidak berpihak hanya pada satu statemen, maka dalam tulisan ini djabarkan mulai dari kondisi wanita masa klasik sampai masa modern ini dengan beberapa problematika yang dihadapi. Seperti, sejarah wanita pra Islam dan pasca Islam, akatr kebangkitan dan kebebasan wanita, definisi kebebasan wanita, gerakan feminisme sebagai akar revolusi kebebasan, hak dan emasipasi wanita dalam publik, problematika feminisme dan anggapan adanya pemarginalan yang dilakukan teks atau kaum hawa. Dari sini ada upaya untuk menafikan pemahaman yang negatif, sehingga pijakan untuk mengambil konklusi bisa jelas tanpa terkontaminasi dengan pihak lain.

Harus diakui untuk keluar dari stagnasi, keluar dari kungkungan dan dari keterpasungan membutuhkan sejuta usaha, pengorbanan dan perhatian yang kontinyu. Selayaknya kita yakin bahwa setelah kesusahan akan datang kemudahan.. wanita bukan hanya sebagai entitas yang jumlahnya separuh dari manusia yang ada di dunia, tapi dia adalah bagian dari guru manusia di muka bumi ini.

Tidak sedikit manusia yang menggemborkan untuk memberi kebebasan kepada wanita untuk belajar, tapi realitanya justru mereka membelenggu kehendak mereka untuk belajar. Bukankah ini sama halnya melarang mereka untuk belajar. Diakui atau tidak bahwa laki-laki cenderung membatasi gerak-gerik wanita. Mereka tidak ingin memberi kebebasan kepada wanita. Mereka menggunakan buku-buku klasik sebagai senjata untuk menghantam kebebasan wanita, menghilangkan akal sehatnya untuk tidak menghormati keberadaan wanita seperti halnya mereka ingin dihormati. Para lelaki mengambil dalil-dalil syariat yang mendukung kehendaknya dan meninggalkan dalil-dalil yang memuliakan wanita. Padalah agama menyerukan jangan mempersulit langkah wanita  “laa tudhayyiquu hunna”. Apakah ini sebuah keadilan? Padahal setiap insan mempunyai derajat yang sama kecuali dalam ketakwaannya.