(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme: Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui

Oleh Sukma Aulia Rohman

Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan penuh keberagaman. Baik keragaman gender, sifat, ras, suku, serta kepribadian. Keragaman hal tersebut dapat menjadikan dunia ini penuh warna warni. Dalam kepercayaan agama Islam, keragaman tersebut sengaja diciptakan Tuhan agar manusia saling mengenal.

Dalam aspek sosial, manusia tidak dapat tumbuh dan menjalani hidup seorang diri. Melainkan manusia pasti membutuhkan manusia lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan.

Dalam menjalani kehidupan sebagai mahluk sosial, manusia perlu menjaga kesehatan dirinya baik fisik maupun mental. Karena dunia ini bersifat dinamis maka berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial tidak dapat dihindari.

Menjaga kesehatan mental dapat berpengaruh pada kualitas hidup karena antara mental dan kepribadian memiliki korelasi yang kuat. Tak jarang dikemukakan oleh ahli kesehatan bahwa banyak kasus dimana seseorang yang mengalami sakit secara fisik ternyata dipengaruhi oleh kesehatan mentalnya.

Contoh sederhana dalam hal ini adalah ketika seseorang sedang dilanda patah hati akibat putus cinta. Maka beberapa orang akan melakukan tindakan sebagai bentuk responsif dengan cara tidak mau makan, mengurung diri, bahkan sampai melakukan tindakan self harm atau bahkan lebih parah yaitu bunuh diri. Hal tersebut mereka lakukan karena adanya tekanan emosional yang kemudian direalisasikan oleh fisik.

Untuk mencegah melakukan tindakan yang merugikan akibat tidak terkontrolnya emosi, para ahli Psikologi memaparkan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga agar emosi kita tetap stabil. Diantaranya adalah melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain game, jalan-jalan atau healing, berhias, membaca buku dan lain sebagainya.

Tentang Novel Solilokui

Membaca buku merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurai emosi atau rasa kesal yang ada dalam jiwa. Kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup ketika kita menemukan hal yang relate dengan apa yang kita rasakan.

Ada banyak macam jenis buku baik fiksi maupun non fiksi yang berbicara mengenai realita kehidupan yang terjadi. Salah satu buku fiksi menarik yang akhir-akhir ini saya baca adalah novel Solilokui karya Nana Sastrawan.

Novel Solilokui ini merupakan karya sastra bercorak Psiokologi serta Filsafat yang membaluti nilai-nilai kehidupan dalam aspek sosial, teologi, maupun personal. Novel berjumlah 103 halaman ini bagi sebagian orang akan terasa tipis, namun bagi saya pribadi diperlukan pengulangan untuk membacanya lebih dari satu kali. Karena seperti halnya Novel sastra kebanyakan, yang banyak menggunakan kalimat Metofara dalam penulisannya.

Novel ini meggunakan kata orang pertama atau “Aku” yang melakoni perannya sebagai tokoh utama yang akan menarik imajinasi para pembaca ke dalam alur cerita yang cukup menguras energi.

Skeptisisme tokoh “Aku”

Dalam novel ini tokoh aku digambarkan sebagai sosok yang memiliki beberapa gangguan Psikologis seperti kecemasan, depresi, halusinasi, yang membuat ia ingin bunuh diri ditanggal kelahirannya. Tanggal kelahirannya atau kelahirannya ke dunia seolah menjadi sebab mengapa ia menderita sehingga kemudian ia mengatakan bahwa “Aku merasakan bahwa, takdir ku adalah mati bunuh diri, tak ada yang lain”.

Tokoh aku seolah menentang Tuhan karena menurutnya takdirnya adalah mati. Padahal jika kita memandang menggunakan perspektif hukum islam, maka percaya kepada takdir merupakan suatu keharusan bagi seluruh manusia. Tuhan tentu saja memiliki skenario yang tidak diketahui oleh siapapun.

Namun kepercayaan umat islam terhadap takdir ini mungkin saja ditolak oleh beberapa golongan. Diantranya adalah golongan Skeptisisme yang berarti ragu atau meragukan segala sesuatu.

Tokoh “Aku” pada bab pertama, melontarkan pertanyaan soal realita yang terjadi. “mengapa kita lahir sebagai manusia?”.

Pertanyaan tokoh “Aku” secara tidak langsung menanyakan mengapa Tuhan menciptakan manusia? Atau mengapa kita ditakdirkan sebagai manusia? Pertanyaan semacam ini merupakan bentuk keraguan terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta atau yang menciptakan manusia.

Dalam filsafat, orang yang bertanya seperti demikian disebut Skeptis atau dapat disebut juga Skeptisisme. Skeptisisme dapat diartikan sebagai sikap meragukan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya.

Skepstis pada dasarnya mendorong kita untuk lebih berpikir kritis namun jika kita salah dalam berpikir maka skeptis dapat menghantarkan kita untuk tidak mempercayai Tuhan. Seperti teori Skeptisisme David Hume yang mengatakan bahwa “ tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk meyakinkan keberadaan Allah”. Hal tersebut ia katakan karena ia mendengar apa yang dikatakan oleh teolog bahwa Tuhan itu maha sempurna.

Hume menolak keras perkataan teolog tersebut karena ia melihat banyak ketidaksempurnaan yang ada di alam ini seperti kejahatan, penyiksaan, dan keburukan. Jika Tuhan disebut maha sempurna, adanya bukti tersebut dapat dipahami juga bahwa Tuhan tidak maha sempurna, bahkan Tuhan merupakan pelaku kejahatan. Pernyataan dari Hume di atas akan dirasa sebuah kebenaran jika dipahami oleh seseorang yang merasa bahwa hidupnya hanya berisi penderitaan, keputusasaan atau bahkan menganggap bahwa takdirnya adalah mati seperti tokoh “Aku”.

Gangguan psikologi tokoh “Aku”

Tokoh “Aku” dalam novel ini memiliki beberapa gangguan terhadap jiwanya. Pada mulanya penulis Novel ini hanya menceritakan tokoh “Aku” yang mengalami gangguan dalam kejiwaanya seperti penderitaan, kecemasan, halusinasi, keputusasaan, hingga mengutuk Tuhan, tanpa menjelaskan latar belakang mengapa tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut.

Kemudian penulis baru menceritakan alasan tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut pada tengah Novel yaitu karena ia telah membunuh ibu dan istrinya. Kemudian tokoh aku mengalami depresi, kecemasan, hingga halusinasi selama ia mengasingkan diri ke sebuah villa di perbukitan.

Jika kita melihat dari alur cerita yang disajikan oleh penulis, maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa segala bentuk gangguan jiwa hingga keinginan bunuh diri tokoh “Aku” disebabkan karena ia telah membunuh ibu dan istrinya.

Dalam perspektif Psikologi, ada satu bahasan menarik mengenai kondisi jiwa para pelaku pembunuhan. Secara gamblang mungkin dapat dikatakan bahwa pelaku pembunuhan akan mengalami beberapa hal di antaranya adalah diliputi rasa bersalah, dihantui oleh bayang-bayang korban, hingga mengalami halusinasi yang semuanya dapat menggoncang kondisi kejiwaan secara otomatis. Namun di sini kita akan mencoba menggali kondisi pelaku pembunuhan saat atau setelah melakukan pembunuhan.

Dinamika Emosional pelaku pembunuhan

Sebelum membahas lebih lanjut terkait kondisi emosional pelaku pembunuhan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah sifat agresif seseorang sudah ada sejak ia lahir? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa teori yang dikemukaan oleh para ahli psikologi di antaranya adalah teori Bandura (1973 dalam Batrol & Batrol). Ia mengatakan bahwa sifat agresif manusia merupakan hasil dari belajar Psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan tindak kejahatan oleh orang di sekitar yang kemudian memunculkan pengulangan paparan disertai dengan penguatan sehingga semakin memicu orang untuk melakukan tindak kejahatan dari apa yang ia lihat.

Berdasarkan teori Bandura, maka ada kemungkinan bahwa pelaku pembunuhan melakukan tindakannya karena sebelumnya ia pernah melihat tindakan yang sama, baik melihat secara langsung atau tidak langsung seperti melalui buku bacaan, ragam tontonan, dan lain sebagainya.

Jika seseorang melakukan aksi pembunuhan karena ia pernah menyaksikan hal yang sama, maka apa yang ada di benaknya saat dan setelah ia melakukan pembunuhan?.

Dalam hal ini, beberapa temuan berdasarkan hasil penelitian terhadap para pelaku pembunuhan mencoba menjawab bagaimana kondisi emosional pelaku pembunuhan.

Dalam melakukan tindakan pembunuhan, para pelaku ini melakukan sebuah tindakan Implusif yang artinya melakukan suatu tindakan tanpa berpikir panjang atau tanpa merefleksikan akibat dari perilakunya. Seperti saat tokoh “Aku” menusuk dada ibunya dengan belati. Kemudian dalam Novel ini disebutkan “Hatiku hancur atau lebih tepatnya marah terhadap diri sendiri. Mengapa harus aku lakukan?”. Narasi tersebut menandakan bahwa ia telah melakukan tindakan Implusif.

Kemudian pelaku pembunuhan akan dihantui oleh perasaan bingung, ketakutan dan bayangan rasa bersalah. Perasaan tersebut akan terus menghantui pelaku dan kemudian mendorong ia untuk melakukan beberapa tindakan salah satu atau yang paling umumnya adalah melarikan diri.

Rasa trauma terhadap benda tajam juga akan menghantui benak pelaku, dan tak sedikit dari pelaku pembunuhan yang akan ketakutan ketika melihat benda yang pernah ia gunakan untuk melakukan pembunuhan.

Penutup

Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari beberapa permasalahan hidup. Terkadang beberapa permasalahan yang hadir dalam hidup tak pernah disangka-sangka kedatangannya. Dalam perspekti psikologi, segala permasalahan yang kita hadapi tentu saja akan berdampak pada kondisi kejiwaan kita.

Kondisi kejiwaan yang buruk, serta ketidakmampuan kita untuk mengontrol emosi, akan berdampak buruk pada diri. Kita bisa menyalahkan bahkan mengutuk takdir yang Tuhan berikan kepada kita.

Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menggapai kehabagiaan agar kondisi kejiwaan kita dapat tetap stabil salah satunya adalah membaca buku.

Buku Solilokui karya Nana Sastrawan ini, layak untuk dibaca dan dapat kita petik pelajaran untuk senantiasa menjaga emosi serta mengontrol diri agar kita tidak melakukan tindakan konyol yang akan berujung pada penyesalan serta penghakiman terhadap Tuhan.

Bahagia dapat kita peroleh melalui beberapa cara. Namun pada hakikatnya bahagia adalah saat kita terhindar dari emosi negatif yang membuat kita merasa terganggu.

 

— Artikel ini telah terbit lebih dahulu pada Senin, 25 November 2024 di laman https://mbludus.com (https://mbludus.com/dampak-gangguan-psikologis-dan-pengaruhnya-terhadap-skeptisisme-analisis-tokoh-aku-dalam-novel-solilokui/) dengan judul “Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui.” 

5 Pilar Fiqh Al-Ikhtilaf: Cara Bijak Menghadapi Perbedaan dalam Islam

Perbedaan (al-ikhtilaf) adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam setiap masa dan komunitas. Ia tidak bisa ditekan, ditutup, atau ditahan dengan peraturan, undang-undang, bahkan dengan senapan. Karena itu, dalam suatu riwayat Nabi SAW menyatakan bahwa “Perbedaan umatku adalah rahmat bagi mereka”. Karena perbedaan merupakan pewujudan ruang-ruang artikulasi dan pilihan-pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah SWT.

Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan sering kali dikelola dalam konteks konflik. Namun, dengan perkembangan pemikiran, kita dihadapkan pada tantangan untuk membangun masa depan yang didasarkan pada dialog, bukan kekerasan. Oleh karena itu, penghargaan terhadap perbedaan serta mekanisme relasi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan harus ditegakkan.

Lima Pilar Fiqh Ikhtilaf

Dalam Islam, sebagimana diungkapkan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku ‘Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon,’ ada lima pilar utama yang menjadi landasan untuk menghadapi perbedaan.

Pilar pertama adalah pengakuan bahwa perbedaan adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan perbedaan sebagai bagian dari rencana-Nya, dan ini adalah sesuatu yang harus diterima oleh umat manusia. Kita perlu memahami bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah masalah, melainkan bagian dari rahmat Allah yang memperkaya kehidupan kita.

Pilar kedua menegaskan bahwa keyakinan adalah persoalan hati. Setiap individu memiliki hak untuk memilih keyakinannya sendiri. Ini adalah hak asasi yang harus dihormati dalam interaksi antarumat beragama. Kebebasan berkeyakinan adalah pilar utama dari sebuah peradaban, dan dengan kebebasan ini, perbedaan dapat muncul dalam ruang yang layak dan memperoleh penghormatan yang sepantasnya.

Pilar ketiga adalah pentingnya dialog sebagai metode interaksi. Dialog yang baik harus dilakukan dengan kesetaraan, di mana tidak ada pihak yang mengklaim kebenaran mutlak. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ajaklah (orang-orang) ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.” Melalui dialog yang setara, kita dapat memahami perspektif orang lain dan menjalin hubungan yang harmonis meskipun berbeda pendapat.

Pilar keempat menekankan bahwa pemaksaan tidak dibenarkan, terutama jika dilakukan dengan kekerasan. Kekuatan tidak akan pernah dapat memaksakan keyakinan atau pandangan keagamaan pada orang lain. Sebaliknya, pemaksaan hanya akan menimbulkan kemunafikan dan dendam.

Pilar kelima adalah pengakuan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Hanya Allah yang berhak menilai dan mengadili kebenaran ajaran-ajaran yang ada. Kita sebagai manusia tidak memiliki hak untuk mengklaim sebagai pembela kebenaran mutlak, karena hal ini hanya diketahui oleh Allah SWT.

Dengan memahami lima pilar ini, kita dapat merumuskan suatu etika sosial yang humanis dan berorientasi pada kebaikan umat manusia. Fiqh al-Ikhtilaf tidak hanya memberikan kerangka untuk memahami perbedaan pendapat, tetapi juga menjadi panduan untuk membangun dialog yang konstruktif dan menghindari konflik.

Dalam menghadapi perbedaan, kita perlu merangkul keberagaman sebagai rahmat yang memperkaya hidup kita, bukan sebagai alasan untuk saling memusuhi. Dengan menerapkan pilar-pilar ini, kita dapat menciptakan suasana damai dan saling menghormati, serta membangun pemahaman yang lebih baik di tengah perbedaan.

— Disarikan dari buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf:  Potret dan Prakarsa Cirebon (Alifatul Arifiati, dkk. (2017). Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon. Cirebon: Fahmina Institute.)

Saatnya Wanita Memilih Upaya Syariat Melindungi Martabat

Penulis: Zaenab

Penerbit: Zhenish Press

Tahun Terbit: 2007

Tebal buku: 194 halaman

Sinopsis:

Pergolakkan Sosial, budaya dan politik menuntut sebuah peradaban berubah. Sehingga pada peradaban ini bisa jadi yang asal mulanya satu komunitas yang tidak berperadaban berubah menjadi komunitas yang berperadaban, bahkan mampu menghegemoni dunia. Sebuah perubahan bukanlah hal yang mustahil, karena merupakan entitas yang selalu ada dan datang setiap waktu.

Tulisan ini bertitik tolak pada fenomena-fenomena yang telah dialami kaum perempuan yang mana kreasi, ekspresi dan aksi mereka terpasung. Sehingga tidak heran jika muncul jargon “emansipasi wanita”, sebuah terma yang muncul sebagai respon balik terhadap problematika yang selama ini melandanya. Kita sebagai manusia, tidak bisa menilai gerakan ini salah atau benar, akan tetapi yang jelas gerakan ini mengandaikan sebuah harapan hak-hak mereka dipenuhi, harkat dan martabatnya dihormati dan keberadaannya sebagai manusia dilindungi.

Untuk tidak mengatakan bahwa gerakan ini muncul dari sebuah ketidakpuasan, maka bisa kita baca sejarah masa silam yang terjadi dibelahan dunia seperti Yunani, Romawi, India, Hamurabi, Masehi dan Arab Jahiliyah. Pada masa itu, para kaum hawa diperlakukan layaknya hewan bahkan lebih hina. Hak dan kebebasannya dinafikan serta keberadaannya sebagai seorang wanita ditiadakan. Mereka hanya dijadikan sebagai obyek pemuas nafsu saja. Selain itu mereka hanya menjadi robot rumah tangga yang tidak bisa keluar menghirup udara kebebasan, hingga akhirnya mereka merasakan bahwa hidupnya sama halnya dengan matinya.

Landasan inilah yang menstimulasi adanya instansi yang menghormati, mengayomi, melindungi, dan memberikan hak-haknya. Sebenarnya bukan hanya instansi sosial saja yang memberikan hak dan kebebasannya, akan tetapi instansi Tuhan-pun (yang dalam hal ini syariat-Nya) juga memberikan hak-haknya dan melindungi martabat wanita. Artinya ada upaya syariat untuk melindungi harkat dan martabat wanita.

Perlu diperhatikan bahwa buku “Saatnya Wanita Memilih; Upaya Syairat Lindungi Martabat” adalah sebuah usaha untuk memberi pemahaman kepada khalayak, agar tidak memberi penafsiran negatif atas emansipasi wanita yang selama ini telah bergulir. Pemberian kebebasan terhadap wanita, menghormati keberadaannya dan hak wanita untuk memilih adalah hal yang mempunyai landasan kuat dari syariat. Artinya segala usaha yang telah digulirkan untuk mengangkat derajat dan memberikan hak-haknya juga telah tertuang dalam undang-undang keagamaan. Seperti problematika kebebasan wanita memilih pasangan, penafian al-Kitab terhadap poligami, talak dan permintaan pisah dari istri, hak maksimum atas ahli waris wanita, legitimasi kepemimipinan wanita, kontradiksi hijab ditilik dari tabir agama dan khitan perempuan hanya sebatas adat, adalah tema-tema yang diangkat dengan melihat kondisi sosial tertentu dan melihat bangunan syariat yang ada.

Sebagai usaha agar tidak berpihak hanya pada satu statemen, maka dalam tulisan ini djabarkan mulai dari kondisi wanita masa klasik sampai masa modern ini dengan beberapa problematika yang dihadapi. Seperti, sejarah wanita pra Islam dan pasca Islam, akatr kebangkitan dan kebebasan wanita, definisi kebebasan wanita, gerakan feminisme sebagai akar revolusi kebebasan, hak dan emasipasi wanita dalam publik, problematika feminisme dan anggapan adanya pemarginalan yang dilakukan teks atau kaum hawa. Dari sini ada upaya untuk menafikan pemahaman yang negatif, sehingga pijakan untuk mengambil konklusi bisa jelas tanpa terkontaminasi dengan pihak lain.

Harus diakui untuk keluar dari stagnasi, keluar dari kungkungan dan dari keterpasungan membutuhkan sejuta usaha, pengorbanan dan perhatian yang kontinyu. Selayaknya kita yakin bahwa setelah kesusahan akan datang kemudahan.. wanita bukan hanya sebagai entitas yang jumlahnya separuh dari manusia yang ada di dunia, tapi dia adalah bagian dari guru manusia di muka bumi ini.

Tidak sedikit manusia yang menggemborkan untuk memberi kebebasan kepada wanita untuk belajar, tapi realitanya justru mereka membelenggu kehendak mereka untuk belajar. Bukankah ini sama halnya melarang mereka untuk belajar. Diakui atau tidak bahwa laki-laki cenderung membatasi gerak-gerik wanita. Mereka tidak ingin memberi kebebasan kepada wanita. Mereka menggunakan buku-buku klasik sebagai senjata untuk menghantam kebebasan wanita, menghilangkan akal sehatnya untuk tidak menghormati keberadaan wanita seperti halnya mereka ingin dihormati. Para lelaki mengambil dalil-dalil syariat yang mendukung kehendaknya dan meninggalkan dalil-dalil yang memuliakan wanita. Padalah agama menyerukan jangan mempersulit langkah wanita  “laa tudhayyiquu hunna”. Apakah ini sebuah keadilan? Padahal setiap insan mempunyai derajat yang sama kecuali dalam ketakwaannya.

Penganggaran Perusahaan Dilengkapi dengan Berbagai Teori Pratika

Judul Buku: Penganggaran Perusahaan Dilengkapi dengan Berbagai Teori Pratika

Penulis: Udin Komarudin

Penerbit: Yayasan Nurjati Maulana Habibi, Cirebon

Tahun Terbit: 2020

Sinopsis

Pengembangan materi pembelajaran dengan cara meningkatkan sumber daya manusia yang professional dan produktip dipandang penting didalam aplikasi dunia lapangan kerja, buku ini terdiri dari dua judul dasar kompetensi keahlian yaitu “Memahami Pengertian Penganggaran Perusahaan”, yang diantaranya adalah pengertian dan arti penting Penganggaran Perusahaan dll.

Melalui buku ini, penulis berusaha menyajikan materi dengan berbagai model evaluasi dan penugasan dalam bentuk teori dan praktik dengan bervariasi untuk mempermudah mahasiswa dalam mencapai target-target belajar atau kompetensi yang diharapakan. Pemanfaatan buku ini dapat dikombinasikan dengan kegiatan membaca buku sumber lainnya secara mandiri. Berbagai kegiatan tersebut diharapkan dapat mendukung kegiatan belajar peserta didik secara menyeluruh.

Link Buku: Penganggaran Perusahaan Dilengkapi dengan Berbagai Teori Pratika