(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

PIT ISIF Diapresiasi Kuwu Waruduwur

ISIF Cirebon – Praktik Islamologi Terapan (PIT) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon mendapat apresiasi dari Kuwu Desa Waruduwur, Yadi, serta segenap warga setempat dalam kegiatan Ekspose Pemetaan Spasial yang digelar di Masjid Jami Al-Mubarok pada Senin malam, 10 Februari 2025. Kuwu mengakui tidak pernah mendapati kegiatan pengabdian masyarakat dari kampus-kampus lain seperti yang dilakukan ISIF.

“Sudah banyak mahasiswa dari kampus-kampus ternama, baik dari luar maupun dalam wilayah Cirebon yang melakukan KKN di sini tapi tidak ada yang seperti ini. Saya sangat senang dan mengapresiasi karena apa yang dilakukan mahasiswa ISIF di sini sangat membantu warga,” katanya.

Dari hasil pemetaan spasial yang dilakukan mahasiswa ISIF di Waruduwur, Najmudin, Dina Tirtana, Sulisnawati, Ramdhani Fitriani Putri, Putri Syafa’aturrizqi, Wahyu Illahi, Mukhamad Irfan Ilmi, Nur Muhammad Iskandar, dan Dindin Misbahudin, Kuwu Yadi mengaku dia dan warganya bisa memahami desanya dengan lebih baik. Bahkan dia berharap lewat peta spasial itu, seluruh jajaran pemerintahan desa hingga tingkat terkecil di Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) bisa melayani warganya dengan baik.

“Biasanya kalau Ketua RT kita tanya berapa jumlah rumah dan keluarga di RT masing-masing, mereka jawabnya tidak tahu. Jumlah persisnya tidak tahu. Ada apa saja di RT-nya juga kurang tahu dengan yakin. Dengan (peta) ini semoga nanti bisa terbantu,” lanjutnya.

Kuwu Yadi juga memberikan masukan dan koreksi terhadap titik-titik tertentu di dalam peta yang belum sesuai dengan keadaan sebenarnya. Tidak hanya Kuwu, warga yang hadir juga terlihat antusias dan juga memberikan masukan serta koreksi terhadap gambar di peta yang kurang tepat ataupun kurang lengkap.

Pemetaan Spasial: Proses Partisipatif Bersama Masyarakat

Rektor ISIF, K.H. Marzuki Wahid mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Waruduwur karena sudah memberikan masukan dan koreksi terhadap peta spasial yang dibuat mahasiswa. Rektor juga mengatakan bahwa mahasiswa ISIF yang melakukan PIT di Desa Waruduwur sejatinya sedang belajar.

“Mereka belajar langsung di sini supaya memahami dengan betul bagaimana hidup di tengah masyarakat yang sesungguhnya. Nanti mereka akan kembali di daerahnya masing-masing untuk berkiprah di tengah masyarakatnya,” katanya.

Wakil Rektor Bidang Penelitian, Dr. A. Syatori dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Siti Latifah, ME, pada kesempatan itu juga memberikan masukan-masukan penting bagi mahasiswa PIT kelompok Desa Waruduwur.

Peta spasial merupakan peta yang dibuat mahasiswi dan mahasiswa hasil dari kerja lapangan mereka dalam minggu pertama PIT. Di lapangan mereka berkeliling desa setiap hari, menemui orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, mewawancarai mereka tentang tempat-tempat yang ada di desa, dan membuat peta bersama-sama warga. Hasil dari pengamatan, wawancara, dan menggambar peta bersama warga itulah yang kemudian mereka tuangkan dalam Peta Desa Waruduwur.

Kegiatan Ekspose Peta Spasial merupakan bagian dari proses menggambar peta bersama masyarakat. Dalam kegiatan ini, mahasiswa memaparkan terlebih dulu hasil pemetaan mereka dengan warga untuk kemudian warga sendiri memberikan koreksi dan masukan. Proses tersebut dilakukan agar peta yang dihasilkan benar-benar merupakan peta bersama yang bisa memotret tidak hanya benda-benda mati melainkan juga denyut kehidupan warga.

PIT ISIF dan Model Pembelajaran Berbasis PAR

Pemetaan spasial sendiri merupakan kegiatan pertama sebelum mahasiswa melakukan pemataan-pemetaan selanjutnya yang meliputi pemetaan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai langkah awal, pemetaan ini berfungsi memberikan gambaran dasar tentang kondisi geografis desa, yang kemudian menjadi landasan dalam memahami berbagai aspek sosial dan ekonomi secara lebih mendalam.

Dengan memahami ruang secara fisik, mahasiswa dapat melihat keterkaitan antara faktor-faktor spasial dengan dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. Seluruh proses ini dirancang secara partisipatif, melibatkan warga sebagai subjek aktif dalam penelitian agar hasilnya benar-benar merepresentasikan kondisi nyata di lapangan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Participatory Action Research (PAR) yang menjadi pendekatan dalam desain kegiatan PIT ISIF 2025

Pada 2025, ada empat desa yang menjadi wilayah dampingan mahasiswa ISIF melakukan PIT, yakni Desa Waruduwur Kec. Mundu, Desa Warukawung Kec. Depok, Desa Cikeusal Kec. Gempol di Kab. Cirebon, dan Kelurahan Kesenden di Kota Cirebon. *** (Abdul Rosyidi)

 

Peran Tokoh Agama dan Cendekiawan  dalam Menjawab Tantangan Dehumanisasi dan Perubahan Iklim

ORASI ILMIAH DIREKTUR PENERANGAN AGAMA ISLAM

Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd

 

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita kesempatan untuk berkumpul dalam suasana yang penuh dengan semangat intelektual dan kesadaran moral. Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah bertemakan tantangan global yang melibatkan isu dehumanisasi dan perubahan iklim, serta bagaimana peran penting tokoh agama dan kaum cendekia dalam menjawab permasalahan tersebut.

Hadirin yang saya hormati,      

Dunia saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang semakin mendesak untuk diatasi. Dehumanisasi, yakni penghilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam relasi sosial, dan perubahan iklim, sebagai akibat eksploitasi alam yang berlebihan, menjadi dua persoalan yang mengancam eksistensi manusia secara global. Dalam konteks ini, peran tokoh agama dan kaum cendekia tidak lagi dapat dipandang sebagai periferal, tetapi justru harus berada di garis depan untuk menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.

Dehumanisasi menjadi salah satu fenomena yang marak terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari konflik bersenjata, ketidakadilan sosial, hingga eksploitasi tenaga kerja. Fenomena ini mencerminkan hilangnya nilai kemanusiaan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat relevan. Gus Dur pernah mengatakan, “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu.” Pernyataan ini mengingatkan kita akan pentingnya mengembalikan esensi kemanusiaan yang inklusif, melampaui sekat-sekat identitas.

Perubahan iklim adalah krisis global yang tak terhindarkan. Peningkatan suhu bumi, penggundulan hutan, kenaikan permukaan laut, dan bencana alam yang semakin sering terjadi adalah tanda-tanda kerusakan ekologis yang tidak bisa diabaikan. Konsekuensi perubahan iklim tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial, menciptakan gelombang baru pengungsi iklim, konflik sumber daya, dan ketidakstabilan ekonomi.

Fenomena dehumanisasi dan perubahan iklim saling berkelindan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam mencerminkan hilangnya kesadaran akan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab kolektif terhadap sesama makhluk hidup. Kerusakan ekologi ini tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin parah, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.

Di tengah kompleksitas permasalahan ini, agama memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral yang dapat menginspirasi perubahan. Ajaran agama, yang pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab, mampu menjadi panduan dalam mengatasi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Misalnya, dalam Islam, konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Tokoh agama memiliki peran strategis dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan. Melalui dakwah, pendidikan, dan kepemimpinan sosial, mereka dapat mendorong masyarakat untuk mengedepankan solidaritas, empati, dan keadilan. Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari Rabi’a al-Adawiyya, seorang tokoh perempuan Islam yang menekankan cinta kepada Tuhan sebagai jalan menuju cinta kepada sesama manusia. Pemikirannya menegaskan bahwa nilai spiritualitas yang tinggi dapat mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaan sejati.

Selain itu, tokoh agama juga perlu mengambil peran dalam advokasi lingkungan. Mereka dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual, mengajak umat untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam. Wangari Maathai, peraih Nobel Perdamaian asal Kenya, adalah contoh perempuan Muslim yang membuktikan bahwa perjuangan lingkungan dapat berdampingan dengan nilai-nilai keagamaan. Gerakannya, Green Belt Movement, mengajarkan bahwa pelestarian lingkungan adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.

Hadirin yang saya hormati,      

Kaum cendekia memiliki peran penting dalam menyusun narasi intelektual yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Kita dapat memberikan analisis kritis terhadap struktur sosial yang menghasilkan dehumanisasi, serta menawarkan solusi yang berbasis keadilan sosial. Dalam hal ini, cendekiawan perlu memadukan wawasan akademik dengan sensitivitas moral untuk menciptakan perubahan yang nyata.

Dalam isu perubahan iklim, cendekiawan memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan urgensi krisis ekologis melalui penelitian, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik. Kita juga perlu mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan memastikan bahwa solusi ekologis yang ditawarkan tetap berpihak pada keadilan sosial.

Kerja sama antara tokoh agama dan kaum cendekia menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim. Tokoh agama dapat memberikan landasan moral dan spiritual, sementara kaum cendekia menyediakan analisis kritis dan solusi berbasis data. Sinergi ini memungkinkan terciptanya gerakan yang lebih inklusif dan efektif dalam menjawab tantangan global.

Menuju Indonesia Emas 2045, peran tokoh agama dan kaum cendekia menjadi semakin penting. Mereka harus mampu menjadi katalis perubahan dalam masyarakat, baik dalam membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan maupun dalam mendorong kesadaran ekologis. Visi Indonesia Emas tidak hanya tentang pembangunan ekonomi, tetapi juga tentang pembangunan manusia dan lingkungan yang berkelanjutan.

Salah satu cara untuk mewujudkan sinergi ini adalah melalui pendidikan. Pendidikan berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran ekologis perlu menjadi prioritas, baik di tingkat formal maupun informal. Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai spiritual dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang.

Meskipun tantangan yang kita hadapi besar, kita harus tetap optimis bahwa perubahan dapat terjadi. Dengan kerja keras, sinergi, dan komitmen, kita dapat mewujudkan dunia yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Tokoh agama dan kaum cendekia harus menjadi cahaya penuntun dalam perjalanan ini.

Hadirin yang saya hormati,

Di tengah tantangan dehumanisasi dan perubahan iklim, sebuah deklarasi lintas agama yang dilakuan beberapa waktu lalu yakni Deklarasi Istiqlal telah menyerukan pentingnya kolaborasi umat beragama untuk menjaga lingkungan hidup dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan. Deklarasi ini mengingatkan kita bahwa tanggung jawab keagamaan tidak hanya berpusat pada hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa agama harus menjadi landasan moral dalam membangun harmoni antara manusia dan lingkungan.

Semangat dari deklarasi tersebut mengajarkan kita bahwa menjaga bumi adalah bagian dari amanah ilahi. Umat beragama dipanggil untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan kebersamaan yang diajarkan agama harus menjadi pilar utama dalam upaya global untuk menghadapi tantangan ini. Deklarasi ini juga menjadi pengingat bahwa harmoni antarumat beragama bukan sekadar idealisme, tetapi kunci keberhasilan dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dengan spirit ini, mari kita jadikan upaya menjaga lingkungan dan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari pengabdian kita kepada Tuhan dan warisan luhur untuk generasi mendatang.

Akhir kata, saya mengajak kita semua untuk menjadikan dehumanisasi dan perubahan iklim sebagai isu bersama yang harus diatasi dengan semangat kolektif. Mari kita berkolaborasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik, tidak hanya bagi kita, tetapi juga bagi generasi mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam upaya mulia ini.

Wallahulmuwafiq Ilaa Awamith Tharieq

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

Direktur Penerangan Agama Islam

 

Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd

 

— Orasi ilmiah ini telah disampaikan pada Wisuda Sarjana ISIF Angkatan VIII di Hotel Patra Cirebon pada Senin, 23 Desember 2024. 

Wisuda Sarjana ISIF Cirebon Angkatan VIII: Rektor Tekankan Sikap Anti Korupsi dan Kekerasan

ISIF Cirebon — Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon resmi mewisuda puluhan mahasiswa dan mahasiswi, dalam Wisuda Sarjana Angkatan VIII di Ballroom Hotel Patra Cirebon. Acara tersebut berlangsung pada Senin, 23 Desember 2024, mulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 13.00 WIB.

Acara wisuda ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk, Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd. (Direktur Penais Kemenag RI), Dr. H. Syamsuddin (KOPERTAIS Wilayah II Jawa Barat), Lies Marcoes Natsir, (Wali Amanah Yayasan Fahmina dan Aktivis Gender Islam), para kyai dari berbagai pondok pesantren, dan para rektor dari berbagai perguruan tinggi.

Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid, dalam sambutannya memberikan pesan kepada para wisudawan dan wisudawati tentang pentingnya menjaga komitmen yang telah diikrarkan saat prosesi wisuda.

“Islam adalah agama keadilan untuk seluruh hamba-Nya dan rahmat bagi seluruh makhluk-Nya. Oleh karena itu, kalian harus menegakkan keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan, dan kedamaian untuk semua,” ujar Kiai Marzuki.

Beliau juga menegaskan komitmen ISIF untuk mencetak lulusan yang bermoral dan berilmu, serta mengingatkan agar para alumni tidak terlibat dalam praktik korupsi maupun kekerasan.

“Kami mengharamkan lulusan ISIF untuk terlibat dalam korupsi atau kekerasan dalam bentuk apa pun. Jika ada alumni ISIF yang melanggar nilai ini, kami tak segan untuk mengevaluasi gelar kesarjanaannya,” tambahnya.

Selain itu, Marzuki Wahid juga menekankan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi komitmen dan visi utama ISIF.

“Laki-laki dan perempuan itu setara. Tugas kalian adalah memperjuangkan keadilan dan kesetaraan untuk semua, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh umat manusia,” tegasnya.

Acara prosesi wisuda ini dipimpin langsung oleh KH. Marzuki Wahid, didampingi segenap pimpinan dan senat akademik ISIF. Prosesi tersebut berlangsung khidmat dan menjadi momen bersejarah bagi puluhan mahasiswa dan mahasiswi yang resmi menyandang gelar sarjana.**

Studi Islam Ala ISIF

Marzuki Wahid — Rektor ISIF Cirebon

Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) adalah kampus atau lembaga pendidikan tinggi Islam yang lahir dari rahim gerakan sosial kemanusiaan Fahmina-institute. Kampus ini berdiri di atas dasar aspirasi publik yang mengemuka pada saat peringatan 7 tahun Fahmina dan hasil ‘ijtihad’ para pendiri Fahmina sendiri pada tahun 2007 yang lalu.

Atas dukungan banyak pihak, kampus progresif ini tampak terus tumbuh, mengembangkan, dan memantapkan langkah-langkah akademiknya. Tiga pilar (tri dharma) perguruan tinggi –pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat– terus ditancapkan hingga ke akar bumi, sementara buah akademiknya terus menggelayut ke atap langit, membangun peradaban Indonesia yang adil, setara, humanis, dan unggul.

Membedakan ISIF

Penting dicatat, perbedaan mendasar ISIF dengan PTAI lainnya adalah struktur dan substansi kurikulumnya. Dalam konteks itu, ISIF menempatkan keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-basyariyah), lokalitas (al-‘adah), dan kebhinekaan (at-ta’addudiyyah) sebagai perspektif atau paradigma untuk studi keislaman, baik bagi mahasiswa maupun dosennya.

Pada semester pertama, mahasiswa ISIF memperoleh mata kuliah studi gender, studi HAM, studi demokrasi, studi pluralisme, studi kebudayaan lokal, dan studi gerakan sosial, sesuatu yang jarang ditemukan dari kurikulum PTKI manapun.

Setelah rumpun mata kuliah perspektif ini, mahasiswa ISIF pada semester kedua memperoleh rumpun mata kuliah metodologi dan alat analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan ‘kebenaran’. Di antara metodologi yang diberikan adalah metodologi penelitian kualitatif, metodologi penelitian kuantitatif, metodologi penelitian aksi partisipatoris, analisis sosial, pengorganisasian masyarakat, serta belajar dan hidup bersama masyarakat. Harapannya, mahasiswa ISIF sejak dini memiliki kemampuan metodologis untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis realitas sosial, realitas sejarah, teks, dan realitas budaya.

Pada semester ketiga, ISIF menawarkan rumpun mata kuliah “studi pengantar ilmu-ilmu keislaman.” Di antaranya adalah studi pengantar al-Our’an, studi pengantar al-Hadits, studi pengantar kalam, studi pengantar hukum Islam, studi pengantar tasawuf, dan studi pengantar ushul figh. Sejak semester ini, mahasiswa ISIF mulai memasuki bidang studi Islam, dari studi pengantar hingga ke substansi yang mendalam, kepakaran, dan mata kuliah pilihan profesi pada semester ketujuh dan kuartal.

Posisi Epistemologi Islam

Ditilik dari kurikulum ini saja, ISIF tampak berbeda dengan PTKI lainnya. ISIF mengambil posisi yang jelas antara keislaman, sejarah kemanusiaan, dan realitas sosial yang terus berubah. Tiga hal itu diposisikan ISIF hampir sama dengan konsep trinitas dalam pemahaman Kristiani,

Moto ISIF tegas, yakni memadukan teori, praktik, dan transformasi sosial berbasis tradisi intelektualisme Islam-pesantren. Mengapa intelektualisme Islam-pesantren? Harus diakui bahwa pesantren adalah pranata sosial Indonesia yang sangat kaya dan kuat dengan tradisi pemikiran dan akademik.

Dalam tradisi akademik pesantren, perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah hal yang biasa, lumrah terjadi, dihargai, dan menjadi bagian dari ruh kehidupan. Pesantren juga kuat dengan ikatan tradisi, menyatu dengan kebudayaan di mana ia bersamanya, serta mampu hidup dalam kebhinekaan, tanpa bertendensi menundukkan dan menyeragamkannya.

Sesuai dengan motonya, ISIF hendak menghasilkan intelektual organik (organic intellectuals), yakni sarjana Islam yang menggali pengetahuan lokal (local knowledge) dari pengalaman kehidupan masyarakat, dan menggunakan pengetahuan itu untuk melakukan perubahan dan memecahkan problematika sosial bersama masyarakatnya.

Dalam bahasa lain, sarjana Islam yang hendak dihasilkan ISIF adalah sarjana yang memiliki jiwa kenabian (profetik), yakni menjadikan ilmu pengetahuannya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang mereka alami. Dalam keyakinan epistemologi ISIF, ilmu bukan untuk ilmu, melainkan ilmu untuk transformasi sosial demi kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (wisdom) di muka bumi.

Sikap terhadap Masa Lalu

Selain teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits, ISIF juga melakukan studi realitas keislaman masa lalu, sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga masa sekarang. Kecuali teks al-Qur’an dan al-Hadits, semuanya dipandang ISIF sebagai realitas sosial budaya yang tidak mutlak, karena realitas itu lahir dari rahim peradaban suatu tempat dan saat tertentu yang diliputi dengan subyektifitas dan faktor-faktor spesifik yang melatarinya. Kecuali wahyu, tidak ada yang universal dan langgeng, semuanya bisa ber(di)ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Inilah asas fleksibilitas (murunah) dalam pemahaman keislaman.

Islam masa lalu diposisikan ISIF sebagai bahan baku yang sangat kaya dan penting untuk merajut masa kini. Diperlukan kontekstualisasi, transformasi, dan pribumisasi masa lalu untuk dapat digunakan ke dalam masa kini. Masa lalu tidak bisa di-copy paste begitu saja untuk menjustifikasi masa kini, apalagi untuk masa yang akan datang.

Islam yang ingin dihadirkan ISIF adalah Islam-Indonesia dengan seluruh dasar ideologi dan kebudayaannya hari ini, bukan Islam-Arab, bukan Islam-Timur Tengah, dan bukan pula Islam-Barat. Islam-Indonesia adalah Islam yang menyatu dengan wajah, karakter, dan perilaku keindonesiaan, dengan seluruh kebudayaan, tradisi, dan nalar sosial politiknya.

Untuk menghadirkan Islam-Indonesia hari ini dibutuhkan penguasaan yang mendalam secara bersamaan terhadap pengetahuan Islam masa lalu (at-turats al-Islamiy), pengetahuan Barat (at-turats al-gharbiy) yang menguasai dunia hari ini, dan pengetahuan kebudayaan Indonesia (al-hadlarah al-indunisiyyah), bumi kita berpijak. Segi tiga bangunan pengetahuan dan peradaban ini adalah soko guru keilmuan ISIF.

Islam yang Dicita-citakan

Sebagai lembaga studi Islam, ISIF tentu memiliki bangunan Islam yang dicita-citakan. Islam dalam pandangan ISIF adalah instrumen Allah untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dalam kehidupan kemanusiaan yang bermartabat di muka bumi. Islam hadir untuk menjadi rahmat (cinta-kasih) bagi seluruh makhluk-Nya. Jangkauan Islam bukan hanya manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh benda-benda alam lainnya. Semuanya menjadi perhatian Islam sebagai keseimbangan ekosistem.

Dalam posisi ini jelas bahwa Islam adalah keadilan bagi seluruh hamba-Nya, rahmat bagi seluruh ciptaan-Nya, dan pelindung bagi seluruh perbedaan dan keragaman di muka bumi ini. Islam adalah agama keadilan, agama kesetaraan, agama kemaslahatan, agama kedamaian, agama cinta kasih, dan agama pelindung kebhinekaan.

Dengan demikian, adalah pengkerdilan besar-besaran, apabila Islam dipahami hanya untuk umat Islam saja, diidentikkan dengan Arabisme, lalu memusuhi selain Islam, memberantas tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan Arabisme. Islam juga bukan kendaraan politik yang dapat ditunggangi oleh kepentingan duniawi dan kekuasaan penganutnya.

Sebaliknya, Islam hadir untuk semuanya, untuk kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Apapun agamanya, apapun sukunya, apapun gender dan jenis kelaminnya, apapun orientasi seksualnya, dan apapun warna kulitnya berada dalam naungan rahmat Islam. Semuanya sama dan setara di hadapan Islam. Pembeda mereka di hadapan Allah hanyalah amal perbuatan dan ketakwaannya. Inna akramakum ‘inda Allahi atqokum.

Gerbang Pembaruan

Mencermati kerangka filosofis, paradigmatik, epistemologi, dan kurikulum studi Islam ISIF di atas, kami memiliki obsesi dan optimisme besar akan lahirnya para pembaru Islam dari Cirebon. Obsesi dan optimisme ini sangat berdasar. Di mana-mana, pembaruan selalu dimulai dari kebebasan berpikir, kemudian adanya ruang kebebasan mimbar akademik, dan adanya ruang/ media/fasilitasi untuk menuangkan gagasan-gagasan pembaruan tersebut.

Sejak kelahirannya, ISIF telah menyediakan tiga adegan tersebut. Dasar-dasar berpikir kritis, kebebasan berpikir, penguasaan bahan baku keislaman, semangat perubahan, serta ruang kebebasan mimbar akademik dan media ekspresi pembaruan telah disediakan.

Dengan demikian, pembaruan pangkalan-pangkalan sudah dilakukan oleh para founding fathers/mothers Fahmina. Kami telah menulis sejumlah buku, mulai menawarkan sejumlah pemikiran pembaruan, membukakan gerbang lebar bagi gerakan pembaruan lanjutan yang lebih luas dan simultan, dan menyediakan media yang mendukung bagi persemaian gagasan-gagasan pembaruan.

Kini saatnya, civitas akademika (dosen dan mahasiswa) ISIF terus berijtihad (berpikir bebas) dan bekerja keras mengubah dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis-transformatif yang digali dari sumber-sumber keislaman dan kekayaan budaya tradisi sendiri.

Ingatlah: perubahan sosial tanpa perubahan ide cerdas ibarat rumah laba-laba, dan ide cerdas tanpa perubahan sosial ibarat busa. Wallahu A’lam bish Shawab.

— Artikel ini telah terbit secara cetak di Majalah LATAR ISIF Edisi 1 no. 1 Tahun 2011.

PBAK ISIF Cirebon 2024 Angkat Tema Transformasi Nilai-Nilai Kebudayaan

ISIF Cirebon – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menggelar Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) untuk mahasiswa baru dengan tema “Merajut Keadilan dan Kesetaraan dengan Transformasi Nilai-nilai Kebudayaan” di Auditorium Aula Affandi Mochtar hari ini, Sabtu 21 September 2024 .

Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) ISIF Cirebon merupakan kegiatan wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa baru. Hal ini berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2939 Tahun 2024 tentang Pedoman Umum Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari dari tanggal 21-23 September 2024 ini diikuti oleh puluhan mahasiswa baru dari empat Program Studi (Prodi), yaitu Prodi Ahwal As-Syakhsyiyah (AS), Pendidikan Agama Islam (PAI), Ilmu Al – Qur’an Tafsir (IAT), dan Ekonomi Syariah (ES).

Acara pembukaan dihadiri langsung oleh Wakil Rektor Bidang Akademik Kemahasiswaan, Safrotulloh, M.Pd.

Dalam sambutannya, Safrotulloh menyambut hangat mahasiswa baru dan menyampaikan bahwa PBAK merupakan kesempatan penting untuk memahami lebih lanjut tentang budaya akademik ISIF.

“PBAK adalah gerbang bagi mahasiswa baru untuk mengenal suasana kampus, terutama terkait nilai-nilai dan budaya ke-ISIF-an,” tuturnya.

Ia juga menekankan perbedaan PBAK tahun ini, yang diwarnai dengan keberagaman mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.

“Kampus ISIF terbuka bagi siapa pun, dari mana pun. Tahun ini, mahasiswa baru datang dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk Kalimantan, Sumatera, Aceh, dan Riau,” jelasnya.

Lebih lanjut Safrotulloh menjelaskan tentang orientasi pendidikan di ISIF, yakni untuk memberikan perubahan signifikan bagi masyarakat.

“Tujuan dari pendidikan ISIF adalah mengubah kondisi masyarakat dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari minadzulumaati ilannur ,” tambahnya.

Selain itu, di tengah dinamika sosial yang terus berkembang dan tuntutan akan pendidikan yang lebih inklusif, ISIF Cirebon berkomitmen membangun reputasi sebagai institusi yang tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

“Kampus ISIF termasuk kampus yang sudah familiar di kalangan akademis sebagai kampus yang berperspektif keadilan, kemanusisaan, dan keadilan gender,” tambahnya.

Safrotulloh berharap kepada para peserta untuk mengikuti kegiatan ini dengan baik dan jangan ragu untuk saling berkenalan dengan satu sama lain.

“Jadikan momen PBAK ini sebagai momen untuk taaruf satu sama lain sehingga dapat menumbuhkan benih-benih persaudaraan,” pesannya.

Sementara itu, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ISIF, Siti Robiah, menekankan pentingnya menumbuhkan kesadaran tentang budaya yang dimiliki oleh mahasiswa.

“Tema ini dipilih sebagai bentuk usaha untuk membangkitkan kesadaran tentang budaya yang kita miliki,” ungkapnya.

Selain itu ia menekankan pentingnya membangun budaya akademik mahasiswa sehingga mampu menyuarakan pendapat dengan lebih kritis.
“Mahasiswa sudah seharusnya berpikir kritis, rasional dan punya kebebasan penuh, sebagai garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi untuk mewujudkan keadilan,” tutupnya**