(+62 231) 8301548 isif@isif.ac.id

Peran Strategis Pondok Pesantren Dalam Upaya Penurunan Stunting Di Indonesia

(Sumber foto : Duniasantri.co)

Oleh : Sofiniyah Ghufron (Sekretaris Prodi Ekonomi Syaria’ah ISIF dan Tenaga Ahli pada TP2S-Setwapres RI)

Stunting adalah kondisi dimana seorang anak mengalami kegagalan pertumbuhan dan perkembangan akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama yang mengakibatkan penyakit infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan.

Gejala anak stunting ditandai dengan tubuh berukuran pendek, kecerdasan rendah, dan resiko penyakit tidak menular (PTM).  Untuk mencapai kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, pemerintah telah melakukan upaya Pencegahan percepatan stunting pada kelompok sasaran yang meliputi remaja, calon pengantin, ibu hamil dan menyusui untuk mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD).

 Anemia dan Dampaknya Bagi Kesehatan Remaja Putri

Masa remaja merupakan tahapan kehidupan yang sangat penting untuk menentukan kualitas kehidupan di masa yang akan datang.  Indonesia, memiliki jumlah 45 juta remaja, artinya 17 % dari total populasi masyarakat Indonesia adalah remaja, dan sebagian dari mereka mengalami malnutrisi (BPS, 2020). Hal ini berpotensi menimbulkan dampak yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi dan terhadap progres SDG’S (WHO, 2014).

Namun, jika bonus demografi tidak dikelola dengan baik melalui penguatan investasi sumber daya manusia, perbaikan kualitas gizi maka sebaliknya akan menjadi beban yang sangat besar bagi bangsa Indonesia ke depan.

Remaja Indonesia perkotaan cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, baik berupa makanan cepat saji maupun makanan yang sedang trend, yang secara nutrisi memiliki resiko kurang tepat dan tidak baik bagi kesehatan.

Data Riskesda tahun 2013 bahwa penduduk ≥ 10 tahun kurang mengkonsumsi buah dan sayur cukup banyak yaitu sekitar 96,4% dan remaja adalah kelompok tertinggi yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur yaitu sebesar 98, 4%.

Gizi seimbang adalah susunan pola hidangan dalam sehari yang memenuhi zat gizi. Permasalahan gizi yang terbesar itu ada tiga kasus, di antaranya :

Pertama, anemia, kasus anemia sangat menonjol pada anak-anak sekolah terutama remaja putri. Remaja putri berisiko tinggi menderita anemia, karena pada masa ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat adanya pertumbuhan dan menstruasi, biasanya untuk remaja putri yang mengalami menstruasi tentunya mereka akan kehilangan banyak darah setiap bulannya, itu harus diimbangi dengan asupan gizi yang adekuat.

Kedua, yaitu kasus kurang gizi, faktor ini bisa terjadi karena asupan gizi yang kurang serta faktor ekonomi. Kasus yang ketiga yaitu kegemukan, banyak faktor yang menyebabkan kegemukan seperti kurang aktivitas, kurang asupan serat, terbiasa mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan garam.

Kekurangan zat besi (anemi) memberikan kontribusi hingga 20 % terhadap semua kematian pada kehamilan, dan juga terkait erat dengan kejadian stunting. Salah satu penyebab tingginya prevalensi anemia adalah rendahnya asupan zat besi. Aulakh R (2016), menyebutkan bahwa anemia pada remaja dapat menghambat perkembangan psikomotorik, merusak kinerja kognitif dan kinerja skolastik.

Oleh karena itu masalah anemia harus dicegah dan diatasi ketika masih remaja karena remaja nantinya akan menjadi ibu hamil. Memberikan nutrisi yang baik pada saat seorang ibu hamil karena akan berdampak secara permanen pada pembentukan otak, pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan serta metabolisme glukosa, lipid, protein hormon/receptor/gen.

Secara jangka panjang pembentukan otak yang tidak sempurna akan mempengaruhi kecerdasan kognitif dan prestasi belajar. Sedangkan pertumbuhan massa tubuh yang tidak sesuai usia akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Dan lambatnya metabolisme glukosa akan berdampak timbulnya penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, jantung, dan hipertensi.

Pentingnya Konsumsi Tablet Tambah Darah pada Remaja Putri di Pondok Pesantren bagi Percepatan Penurunan Stunting

Pesantren merupakan tatanan/lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Jumlah pesantren yang mencapai 27.222 pesantren dan jumlah santri sebanyak 4.174.146 orang (Data Pondok Pesantren, Kementerian Agama, 2020).

Santri adalah anak-anak atau remaja yang menurut Permenkes No. 25 Tahun 2014, adalah mereka yang berada pada masa transisi dari anak-anak ke dewasa di usia sekitar 10 – 18 tahun dimana pada umur tersebut terjadi masa pubertas yang mengalami banyak perubahan baik perubahan bentuk tubuh, organ vital serta emosi.

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pesantren khusunya santri puteri, pesantren memiliki peran strategis dengan membuat kebijakan berwawasan kesehatan di lingkungan pesantren. Implementasi kebijakan berwawasan kesehatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pesantren (PHBS).  PHBS juga merupakan cara mencegah timbulnya penyakit menular maupun tidak menular.

Berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan RI No. 2269/ Menkes/PER/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan PHBS, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.

Secara umum ada tujuh indikator PHBS di Pesantren yang ditetapkan, yaitu: (1) Mencuci tangan menggunakan sabun, (2). Mengonsumsi makanan dan minuman sehat, (3). Menggunakan jamban sehat, (4). Membuang sampah di tempat sampah, (5). Tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), (6). Tidak meludah disembarang tempat, (7) Memberantas jentik nyamuk dan lain-lain dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.

Menurut WHO (2011), satu dari tiga perempuan yang tidak hamil pada hampir 500 juta orang, perempuan mengalami anemia yang karena pemasukan zat besi tidak mencukupi. Remaja puteri sangat rentan kekurangan zat besi karena menstruasi, pertumbuhan yang cepat dan peningkatan zat besi jaringan.

Terkait dengan peningkatan kualitas nutrisi para santri khususnya santriwati, yang memiliki resiko mengalami anemia, Pesantren dapat membuat kebijakan penyediaan makanan yang sehat dengan gizi seimbang, menyediakan kantin dan dapur sehat, larangan jajan makanan yang mengandung pengawet, zat pewarna dan tidak hygienis serta memberikan penyuluhan bagi pedagang makanan atau warung tentang pentingnya makanan sehat.

Di samping implemetasi PHBS, pesantren perlu menjalin kerjasama strategis dengan mitra potensial untuk mendukung terwujudnya pesantren sehat, salah satunya dengan Puskesmas. Dalam Percepatan penurunan stunting, pesantren dapat berkoordinasi dengan Puskesmas dalam penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD) bagi santriwati (remaja putri) untuk mencegah terjadinya anemia yang sering dialami oleh para santri putri.

Pemberian TTD merupakan cara yang efektif untuk mengatasi anemia apabila dikonsumsi secara rutin akan terjadi peningkatan kadar HB.  Menurut penelitian Falkingham et.,al (2010) menyebutkan bahwa konsumsi TTD dapat meningkatkan konsentrasi pada perempuan dan remaja serta meningkatkan IQ pada penderita anemia. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka beresiko dan berdampak pada kesehatan remaja di masa yang akan datang salah satunya adalah melahirkan anak stunting. []

Stunting dan Masa Depan Indonesia

Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

Stunting –yang dulu disebut ‘anak kerdil’—masih menjadi pe-er besar bagi bangsa Indonesia. Per tahun 2021 kemarin, prevalensi stunting masih di angka 24,4% (SSGI, 2021) atau sekitar 5,33 juta Balita stuned. Meskipun prevalensi ini mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, namun tidak bisa dipandang enteng.

Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia lumayan lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Ini agenda besar yang tidak bisa dikerjakan sambil lalu.

Kita tahu, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun (Balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Ini terjadi terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni mulai dari janin hingga anak berusia dua tahun.

Masalah Multidimensi

Stunting memang masalah kesehatan, tetapi sebab dan akibatnya tidak melulu soal kesehatan. Penyebab langsung tentu saja kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai, tetapi penyebab tidak langsungnya bisa karena ketidaktahuan, akses pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau, sanitasi yang buruk, anggaran yang tidak memadai, ketidakpedulian sosial, dan juga komitmen pemerintah yang kurang kuat.

Dengan begitu, stunting adalah masalah multidimensi. Tidak hanya berdampak pada gangguan kesehatan fisik, stunting juga menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang tidak baik sehingga mudah sakit. Lebih dari itu, stunting juga mengganggu kesehatan jiwa dan perkembangan otak, berpotensi memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas.

Jika tidak segera diturunkan hingga batas minimal 20 persen dalam standar WHO atau seperlima dari jumlah total anak Balita, maka cepat atau lambat stunting akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan sosial, yang pada akhirnya akan memengaruhi kualitas demokrasi kita. Bonus demografi yang hendak kita rayakan pada tahun 2030-2035, bisa jadi gagal panen.

Jurus Pemerintah

Presiden Jokowi sebetulnya telah mengantisipasi kemungkinan buruk ini dengan memasukkan program pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007). Yakni, terjaminnya ketersediaan pangan yang meliputi produksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup diharapkan dapat menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada kantong-kantong stunting dalam wilayah Indonesia.

Presiden Jokowi juga sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini diadopsi dari Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang dirumuskan pada tahun 2018. Bahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana percepatan penurunan stunting telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN-PASTI) 2021-2024 (Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021).

Di sini, tampak sekali pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai program prioritas pemerintah. Pada tahun 2022 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran negara sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung penurunan stunting. Rp34,1 triliun tersebar pada 17 kementerian dan lembaga, dan Rp8,9 triliun dibagikan ke Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik serta Rp1,8 triliun untuk DAK Nonfisik.

Sebetulnya upaya percepatan pencegahan stunting yang dikomandani oleh Wakil Presiden RI menunjukkan hasil yang menggembirakan. Terjadi penurunan angka prevalensi stunting dari tahun ke tahun. Jika pada awal pelaksanaan Stranas, tahun 2018, angka prevalensi stunting berada pada 30,8% (Riskesdas, 2018), maka pada tahun 2019 turun ke level 27,7% (SSGI, 2019), dan pada tahun 2021, angka prevalensi stunting nasional turun ke level 24,4% (SSGI, 2021). Dengan demikian, telah terjadi penurunan 6,4% selama 2018-2021.

Komitmen pemerintah pun sangat ambisius, prevalensi stunting harus turun pada 14% di tahun 2024. Ini artinya prevalensi stunting harus turun 10,4% poin dalam 2,5 tahun ke depan. Mungkinkah akan tercapai?

Perlunya Konvergensi dan Kolaborasi

Tercapai atau tidaknya target 14% pada tahun 2024 tergantung pada ketercapaian lima pilar berikut. Pertama, apakah komitmen para pemimpin pemerintahan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa/kelurahan semakin meningkat atau tidak untuk menurunkan stunting. Kedua, apakah komunikasi perubahan perilaku kepada masyarakat sasaran semakin efektif atau tidak dalam mengedukasi pentingnya bebas dari stunting. Ketiga, apakah intervensi spesifik dan intervensi sensitif semakin konvergen dan tepat sasaran atau tidak hingga ke masyarakat sasaran di desa-desa yang terpencil, terdalam, dan terluar.

Keempat, apakah ketahanan pangan dan gizi di daerah-daerah kantong stunting semakin meningkat atau tidak. Kelima, apakah sistem, data, informasi, riset, dan inovasi tentang stunting akurat dan dipakai secara efektif atau tidak dalam menurunkan stunting. Tambahan, apakah semua pilar ini betul-betul menyasar pada lima kelompok sosial prioritas atau tidak? Yakni, remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-59 (lima puluh sembilan) bulan.

Selain itu, untuk mempercepat penurunan stunting pemerintah harus fokus pada provinsi-provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi dan provinsi-provinsi dengan jumlah stunting terbesar. Berdasarkan SSGI 2021, ada 7 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Sementara provinsi dengan jumlah stunting terbesar ada 5, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten (SSGI, 2021).

Jika dalam 2,5 tahun ini implementasi lima pilar tidak ada progres dan peningkatan, maka jutaan anak kerdil di masa mendatang sangat mungkin menghiasi kehidupan bangsa Indonesia. Menurut saya, target ambisius ini tidak akan tercapai jika hanya pemerintah sebagai aktor tunggal dalam penanganan stunting. Sekuat apapun komitmen pemerintah dan sebanyak apapun anggaran yang digelontorkan, jika tidak ada dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat, perguruan tinggi, sektor swasta, dan media (pentahelix stakeholders) rasanya sulit terwujud.

Di sinilah, stunting harus menjadi keprihatinan kita bersama, keprihatinan kemanusiaan, keprihatinan masa depan bangsa, dan bagian dari problem besar manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berkualitas. Stunting tidak cukup hanya menjadi program prioritas pemerintah, tapi harus menjadi program prioritas bangsa. Keterlibatan semua pihak dalam penanganan stunting mutlak adanya. Partisipasi semua pihak akan sangat memengaruhi ketercapaian target prevalensi 14% pada tahun 2024.[]

Artikel ini sudah dimuat di Koran SINDO, pada Rabu, 13 Juli 2022.

Refleksi Atas Kekerasan Seksual di Pesantren

Oleh : Marzuki Wahid (Rektor ISIF Cirebon)

Kasus Gunung Es

Dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Pesantren Shiddiqiyah Losari, Ploso, Jombang adalah kasus yang memilukan dan memalukan. Harus diakui, masih banyak kasus kekerasan seksual di Pesantren, baik dilakukan antara ustadz dengan santri atau santri dengan santri, sebagaimana juga terjadi di jenis pendidikan yang lain antara guru dengan siswa, dosen dengan mahasiswa, siswa dengan siswa, dan mahasiswa dengan mahasiswa. Ini ibarat gunung es, hanya pucuk permukaan saja yang tampak.

Kasus kekerasan seksual memang masih menjadi problem besar bangsa kita. Ini terjadi di mana-mana, di tempat kerja, transfortasi umum, ruang publik, ruang domestik, dalam perkawinan, termasuk lembaga pendidikan. Pelakunya pun beragam, mulai dari kelas atas hingga kelas bawah, mulai dari orang terjauh hingga terdekat, mulai dari orang yang tidak terdidik hingga berpendidikan paling tinggi.

Meskipun saya akui bahwa kasus ini tidak hanya satu, bisa jadi banyak sekali jika dibongkar ibarat gunung es, tetapi saya meyakini sebagian besar Pesantren yang jumlahnya puluhan ribu tidak termasuk di dalamnya. Artinya, publik tidak usah kuatir bahwa Pesantren dalam pandangan saya masih menjadi lembaga pendidikan keagamaan yang bermoral tinggi. Solusinya, kita harus cermat ketika memilih pondok pesantren mana sebagai pilihan pendidikan.

Penistaan Kemanusiaan

Pencabulan dan sejenisnya adalah bagian dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran agama, hukum, dan akal sehat. Siapapun yang melakukannya, sekalipun tokoh agama, harus diperlakukan dengan hukum yang sama. Setiap orang setara di hadapan hukum (everyone is equal before the law). Tidak ada orang yang kebal hukum di Indonesia. Setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya, baik di dunia maupun di akherat.

Sungguh sangat disesalkan, tokoh Pesantren yang seharusnya memberikan teladan untuk memperlakukan perempuan secara ramah, adil, dan penuh kasih sayang –sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW– malah melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, kemanusiaan, hukum, dan akal sehat.

Pencabulan dan sejenisnya adalah perbuatan biadab, keji, dan menciderai kemanusiaan. Pelakunya harus dihukum secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk pelaku penyerta dan mereka yang menghalangi proses penegakan hukum atas pelaku. Aparat penegak hukum –polisi, kejaksaan dan hakim– harus tegas tanpa diskriminasi dalam menegakkan hukum.

Jangan Hukum Non Pelaku

Hanya saja, kita perlu hati-hati dalam menyikapi kasus ini. Pelakunya memang wajib dihukum, tetapi korban jangan sampai terkena hukuman, baik hukuman oleh aparat penegak hukum maupun hukuman sosial oleh masyarakat. Ini harus dijaga. Korban harus dilindungi, dirahasiakan, dan bahkan harus memperoleh rehabilitasi sepenuhnya agar tidak ada stigma setelahnya.

Para santri yang lain –yang tidak tahu menahu dan tidak terkait dengan kasus ini—juga jangan sampai terkena imbasnya. Mereka tidak bersalah dan tidak boleh dipersalahkan. Hak-haknya tidak boleh tereduksi dan terlanggar oleh siapapun.

Para santri harus tetap memperoleh haknya untuk belajar, mengaji, dan memperoleh ilmu sebagaimana sebelumnya. Jangan sampai karena kasus ini, lalu hak atas pendidikan para santri tidak dipenuhi. Bukan sekadar hak atas pendidikan, tetapi juga hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan nama baik para santri ini harus dilindungi dan dipenuhi.

Oleh karena itu, saya berharap pencabutan izin operasioal Pesantren ini tidak permanen, tapi sementara saja hingga Pesantren Shiddiqiyah berbenah dan bertransformasi untuk melawan kekerasan seksual.

Bangun Sistem Pendidikan Anti Kekerasan Seksual

Pesantren Shiddiqiyah –dan pesantren-pesantren lain juga– harus belajar dan mengambil pembelajaran dari kasus ini. Semua Pesantren harus menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh terjadi di lingkungan Pesantren dalam bentuk apapun, oleh siapapun, dan kepada siapapun.

Untuk mewujudkan ini, Pesantren harus membuat regulasi/aturan yang tegas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Pesantren, termasuk harus memiliki SOP dan Satgas Anti Kekerasan Seksual. Selain regulasi yang tegas, juga perlu ada edukasi yang berkesimbungan kepada semua ustadz dan santri tentang kekerasan seksual, bahaya, dampak, dan mitigasinya.

Kekerasan seksual tidak saja harus menjadi bagian dari pelanggaran etika sosial, etika keagamaan, dan etika pesantren, tetapi juga perlu masuk dalam kurikulum sistem pendidikan pesantren.

Siapapun tidak boleh melakukannya dalam bentuk apapun. Jika ada yang melakukannya, maka harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Kita sudah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang harus dihormati dan ditegakkan oleh semua komponen bangsa.

Pak polisi, jaksa, dan hakim, selamat bertugas!
Pak ustadz Pesantren, selamat berbenah!

Pentingnya Memahami Pendistribusian Zakat Produktif Bagi Para Mustahik

Oleh : Fajar Pahrul Ulum

Zakat merupakan salah satu filantropi Islam yang memiliki potensi yang sangat besar. Berdasarkan laporan akhir pada 12 April 2022 yang dipaparkan oleh Kepala Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Noor Achmad, menjelaskan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun.

Potensi yang besar itu apabila dikelola dengan management yang benar tentunya akan sangat berperan signifikan dalam membantu kaum fakir miskin dan mustahik lainnya untuk keluar dari kehidupan yang penuh kesulitan dan penderitaan.

Selama ini zakat yang dihimpun oleh Baznas didistribusikan melalui dua skema yakni komsumtif dan produktif. Skema konsumtif adalah penyaluran dana zakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para penerima. Sedangkan skema produktif disalurkan kepada penerima sebagai modal usaha baik usaha skala menengah, kecil, ataupun mikro.

Dalam distribusi zakat produktif, yakni penyaluran dana zakat berupa modal usaha, saya rasa Baznas kurang profesional dalam mendistribusikan zakat produktif tersebut. Karena tidak adanya follow up serta pendampingan kepada pihak yang menerima dalam mengelola modal usaha tersebut.

Akibatnya dana zakat yang digelontorkan kepada penerima itu tidak digunakan sesuai dengan yang diharapkan oleh Baznas. Malah dipakai bayar utang, cicilan, dan lain sebagainya.

Karena anggapan dari penerima zakat, sebagian besar mereka seperti sedang diberi bantuan uang cuma-cuma. Akibatnya, mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan mengabaikan arahan atau harapan yang diinginkan oleh pihak yang memberikan dana tersebut.

Melihat kondisi masyarakat yang seperti itu, ketika Baznas mendistribusikan zakat produktif tanpa adanya follow up dan pendampingan kepada mustahik dalam mengelola modal yang diberikan, sama halnya Baznas mengucurkan bantuan cuma-cuma, bukan bantuan modal usaha.

Pendampingan yang dimaksud adalah memberikan arahan serta kontrol kepada mustahik bagaimana mengawali usaha yang mereka bangun.

Misalnya, dalam distribusi zakat produktif untuk modal Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Supaya bantuan yang diberikan itu bisa direalisasikan oleh para mustahik, Baznas hendaknya melakukan follow up dengan cara mengadakan pelatihan atau seminar terkait.

Seperti bagaimana mengawali sebuah usaha, hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pengusaha pemula, motivasi-motivasi yang bisa meyakinkan para mustahik dalam mengawali usaha, dan lain sebagainya.

Dengan begitu, para mustahik akan punya pencerahan serta gambaran dalam mengawali usahanya.

Ketika ilmu usahanya sudah dikuasai, modal usahanya ada, insya Allah bantuan yang dikucurkan oleh Baznas tidak akan diselewengkan, melainkan digunakan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Baznas. []

Artikel ini telah terbit di LPM Latar ISIF berikut linknya : http://lpm-latar.isif.ac.id/2022/06/22/pentingnya-memahami-pendistribusian-zakat-produktif-bagi-para-mustahik/ 

Seminar Desa Preneurship : Upaya DEMA ISIF Ajak Mahasiswa Jaga Ketahanan Pangan

ISIF CIREBON – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ISIF menggelar seminar Desa Preneurship di gedung auditorium Insitut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, pada Kamis, 16 Juni 2022.

Seminar yang bertajuk “Desa Preneurship: Membangun Perekonomian Desa Melalui Ekonomi Kreatif” itu dikaji oleh Penggagas Desa Preneurship, Budi Yuniarsa dan Direktur Lembaga Penjaminan Mutu (LPM)
Nadisa Astawi, Lc., M.Sh.

Budi Yuniarsa mengucapkan, desa preunership menjadi semangat untuk membangun desa berbasis ekonomi kreatif bagi para warganya.

“Desa preneurship menjadikan desa dapat bertahan dan berdaulat, salah satu contohnya dalam hal kedaulatan pangan,” kata Budi Yuniarsa.

Seminar yang dihadiri langsung oleh puluhan mahasiswa ISIF itu merupakan salah satu program DEMA ISIF untuk menambahkan pengetahuan, dan menambah relasi jaringan yang lebih luas.

“DEMA ingin menyelaraskan gerak dan peran mahasiswa dalam lingkup masyarakat dalam hal ini desa, dengan strategi pembangunan perekonomian desa yang salah satu caranya ialah dengan perspektif Desa Preneurship,” ucap Ketua DEMA ISIF, Gun Gun Gunawan.

Lebih lanjut, dia berharap seminar itu dapat menarik masyarakat desa untuk memiliki karakter wirausaha.

Sementara itu, Nadisa Astawi menyampaikan, Desa Preneurship adalah bagian dari prinsip Participation Action Research (PAR).

Pasalnya di dalam prinsip PAR mengandung cara komunikatif dan inovatif.

“Kampus desa adalah bagian dari PAR untuk dipadukan secara berkelanjutan dengan cara komunikatif dan inovatif secara bersama sama membangun kemandirian dan kedaulatan ketahanan pangan,” tukasnya. (Gun)