by admin | 1 Dec 2024 | Buku, Mahasiswa & Alumni
Oleh Sukma Aulia Rohman
Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan penuh keberagaman. Baik keragaman gender, sifat, ras, suku, serta kepribadian. Keragaman hal tersebut dapat menjadikan dunia ini penuh warna warni. Dalam kepercayaan agama Islam, keragaman tersebut sengaja diciptakan Tuhan agar manusia saling mengenal.
Dalam aspek sosial, manusia tidak dapat tumbuh dan menjalani hidup seorang diri. Melainkan manusia pasti membutuhkan manusia lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan.
Dalam menjalani kehidupan sebagai mahluk sosial, manusia perlu menjaga kesehatan dirinya baik fisik maupun mental. Karena dunia ini bersifat dinamis maka berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial tidak dapat dihindari.
Menjaga kesehatan mental dapat berpengaruh pada kualitas hidup karena antara mental dan kepribadian memiliki korelasi yang kuat. Tak jarang dikemukakan oleh ahli kesehatan bahwa banyak kasus dimana seseorang yang mengalami sakit secara fisik ternyata dipengaruhi oleh kesehatan mentalnya.
Contoh sederhana dalam hal ini adalah ketika seseorang sedang dilanda patah hati akibat putus cinta. Maka beberapa orang akan melakukan tindakan sebagai bentuk responsif dengan cara tidak mau makan, mengurung diri, bahkan sampai melakukan tindakan self harm atau bahkan lebih parah yaitu bunuh diri. Hal tersebut mereka lakukan karena adanya tekanan emosional yang kemudian direalisasikan oleh fisik.
Untuk mencegah melakukan tindakan yang merugikan akibat tidak terkontrolnya emosi, para ahli Psikologi memaparkan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga agar emosi kita tetap stabil. Diantaranya adalah melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain game, jalan-jalan atau healing, berhias, membaca buku dan lain sebagainya.
Tentang Novel Solilokui
Membaca buku merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurai emosi atau rasa kesal yang ada dalam jiwa. Kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup ketika kita menemukan hal yang relate dengan apa yang kita rasakan.
Ada banyak macam jenis buku baik fiksi maupun non fiksi yang berbicara mengenai realita kehidupan yang terjadi. Salah satu buku fiksi menarik yang akhir-akhir ini saya baca adalah novel Solilokui karya Nana Sastrawan.
Novel Solilokui ini merupakan karya sastra bercorak Psiokologi serta Filsafat yang membaluti nilai-nilai kehidupan dalam aspek sosial, teologi, maupun personal. Novel berjumlah 103 halaman ini bagi sebagian orang akan terasa tipis, namun bagi saya pribadi diperlukan pengulangan untuk membacanya lebih dari satu kali. Karena seperti halnya Novel sastra kebanyakan, yang banyak menggunakan kalimat Metofara dalam penulisannya.
Novel ini meggunakan kata orang pertama atau “Aku” yang melakoni perannya sebagai tokoh utama yang akan menarik imajinasi para pembaca ke dalam alur cerita yang cukup menguras energi.
Skeptisisme tokoh “Aku”
Dalam novel ini tokoh aku digambarkan sebagai sosok yang memiliki beberapa gangguan Psikologis seperti kecemasan, depresi, halusinasi, yang membuat ia ingin bunuh diri ditanggal kelahirannya. Tanggal kelahirannya atau kelahirannya ke dunia seolah menjadi sebab mengapa ia menderita sehingga kemudian ia mengatakan bahwa “Aku merasakan bahwa, takdir ku adalah mati bunuh diri, tak ada yang lain”.
Tokoh aku seolah menentang Tuhan karena menurutnya takdirnya adalah mati. Padahal jika kita memandang menggunakan perspektif hukum islam, maka percaya kepada takdir merupakan suatu keharusan bagi seluruh manusia. Tuhan tentu saja memiliki skenario yang tidak diketahui oleh siapapun.
Namun kepercayaan umat islam terhadap takdir ini mungkin saja ditolak oleh beberapa golongan. Diantranya adalah golongan Skeptisisme yang berarti ragu atau meragukan segala sesuatu.
Tokoh “Aku” pada bab pertama, melontarkan pertanyaan soal realita yang terjadi. “mengapa kita lahir sebagai manusia?”.
Pertanyaan tokoh “Aku” secara tidak langsung menanyakan mengapa Tuhan menciptakan manusia? Atau mengapa kita ditakdirkan sebagai manusia? Pertanyaan semacam ini merupakan bentuk keraguan terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta atau yang menciptakan manusia.
Dalam filsafat, orang yang bertanya seperti demikian disebut Skeptis atau dapat disebut juga Skeptisisme. Skeptisisme dapat diartikan sebagai sikap meragukan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya.
Skepstis pada dasarnya mendorong kita untuk lebih berpikir kritis namun jika kita salah dalam berpikir maka skeptis dapat menghantarkan kita untuk tidak mempercayai Tuhan. Seperti teori Skeptisisme David Hume yang mengatakan bahwa “ tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk meyakinkan keberadaan Allah”. Hal tersebut ia katakan karena ia mendengar apa yang dikatakan oleh teolog bahwa Tuhan itu maha sempurna.
Hume menolak keras perkataan teolog tersebut karena ia melihat banyak ketidaksempurnaan yang ada di alam ini seperti kejahatan, penyiksaan, dan keburukan. Jika Tuhan disebut maha sempurna, adanya bukti tersebut dapat dipahami juga bahwa Tuhan tidak maha sempurna, bahkan Tuhan merupakan pelaku kejahatan. Pernyataan dari Hume di atas akan dirasa sebuah kebenaran jika dipahami oleh seseorang yang merasa bahwa hidupnya hanya berisi penderitaan, keputusasaan atau bahkan menganggap bahwa takdirnya adalah mati seperti tokoh “Aku”.
Gangguan psikologi tokoh “Aku”
Tokoh “Aku” dalam novel ini memiliki beberapa gangguan terhadap jiwanya. Pada mulanya penulis Novel ini hanya menceritakan tokoh “Aku” yang mengalami gangguan dalam kejiwaanya seperti penderitaan, kecemasan, halusinasi, keputusasaan, hingga mengutuk Tuhan, tanpa menjelaskan latar belakang mengapa tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut.
Kemudian penulis baru menceritakan alasan tokoh “Aku” mengalami berbagai gangguan tersebut pada tengah Novel yaitu karena ia telah membunuh ibu dan istrinya. Kemudian tokoh aku mengalami depresi, kecemasan, hingga halusinasi selama ia mengasingkan diri ke sebuah villa di perbukitan.
Jika kita melihat dari alur cerita yang disajikan oleh penulis, maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa segala bentuk gangguan jiwa hingga keinginan bunuh diri tokoh “Aku” disebabkan karena ia telah membunuh ibu dan istrinya.
Dalam perspektif Psikologi, ada satu bahasan menarik mengenai kondisi jiwa para pelaku pembunuhan. Secara gamblang mungkin dapat dikatakan bahwa pelaku pembunuhan akan mengalami beberapa hal di antaranya adalah diliputi rasa bersalah, dihantui oleh bayang-bayang korban, hingga mengalami halusinasi yang semuanya dapat menggoncang kondisi kejiwaan secara otomatis. Namun di sini kita akan mencoba menggali kondisi pelaku pembunuhan saat atau setelah melakukan pembunuhan.
Dinamika Emosional pelaku pembunuhan
Sebelum membahas lebih lanjut terkait kondisi emosional pelaku pembunuhan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah sifat agresif seseorang sudah ada sejak ia lahir? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa teori yang dikemukaan oleh para ahli psikologi di antaranya adalah teori Bandura (1973 dalam Batrol & Batrol). Ia mengatakan bahwa sifat agresif manusia merupakan hasil dari belajar Psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan tindak kejahatan oleh orang di sekitar yang kemudian memunculkan pengulangan paparan disertai dengan penguatan sehingga semakin memicu orang untuk melakukan tindak kejahatan dari apa yang ia lihat.
Berdasarkan teori Bandura, maka ada kemungkinan bahwa pelaku pembunuhan melakukan tindakannya karena sebelumnya ia pernah melihat tindakan yang sama, baik melihat secara langsung atau tidak langsung seperti melalui buku bacaan, ragam tontonan, dan lain sebagainya.
Jika seseorang melakukan aksi pembunuhan karena ia pernah menyaksikan hal yang sama, maka apa yang ada di benaknya saat dan setelah ia melakukan pembunuhan?.
Dalam hal ini, beberapa temuan berdasarkan hasil penelitian terhadap para pelaku pembunuhan mencoba menjawab bagaimana kondisi emosional pelaku pembunuhan.
Dalam melakukan tindakan pembunuhan, para pelaku ini melakukan sebuah tindakan Implusif yang artinya melakukan suatu tindakan tanpa berpikir panjang atau tanpa merefleksikan akibat dari perilakunya. Seperti saat tokoh “Aku” menusuk dada ibunya dengan belati. Kemudian dalam Novel ini disebutkan “Hatiku hancur atau lebih tepatnya marah terhadap diri sendiri. Mengapa harus aku lakukan?”. Narasi tersebut menandakan bahwa ia telah melakukan tindakan Implusif.
Kemudian pelaku pembunuhan akan dihantui oleh perasaan bingung, ketakutan dan bayangan rasa bersalah. Perasaan tersebut akan terus menghantui pelaku dan kemudian mendorong ia untuk melakukan beberapa tindakan salah satu atau yang paling umumnya adalah melarikan diri.
Rasa trauma terhadap benda tajam juga akan menghantui benak pelaku, dan tak sedikit dari pelaku pembunuhan yang akan ketakutan ketika melihat benda yang pernah ia gunakan untuk melakukan pembunuhan.
Penutup
Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari beberapa permasalahan hidup. Terkadang beberapa permasalahan yang hadir dalam hidup tak pernah disangka-sangka kedatangannya. Dalam perspekti psikologi, segala permasalahan yang kita hadapi tentu saja akan berdampak pada kondisi kejiwaan kita.
Kondisi kejiwaan yang buruk, serta ketidakmampuan kita untuk mengontrol emosi, akan berdampak buruk pada diri. Kita bisa menyalahkan bahkan mengutuk takdir yang Tuhan berikan kepada kita.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menggapai kehabagiaan agar kondisi kejiwaan kita dapat tetap stabil salah satunya adalah membaca buku.
Buku Solilokui karya Nana Sastrawan ini, layak untuk dibaca dan dapat kita petik pelajaran untuk senantiasa menjaga emosi serta mengontrol diri agar kita tidak melakukan tindakan konyol yang akan berujung pada penyesalan serta penghakiman terhadap Tuhan.
Bahagia dapat kita peroleh melalui beberapa cara. Namun pada hakikatnya bahagia adalah saat kita terhindar dari emosi negatif yang membuat kita merasa terganggu.
— Artikel ini telah terbit lebih dahulu pada Senin, 25 November 2024 di laman https://mbludus.com (https://mbludus.com/dampak-gangguan-psikologis-dan-pengaruhnya-terhadap-skeptisisme-analisis-tokoh-aku-dalam-novel-solilokui/) dengan judul “Dampak Gangguan Psikologis dan Pengaruhnya Terhadap Skeptisisme Analisis Tokoh “Aku” dalam Novel Solilokui.”
by Admin | 2 Nov 2022 | Mahasiswa & Alumni, Publikasi dan Kegiatan SUPI
Oleh: Dalpa Waliatul Maula (Mahasantriwa SUPI ISIF Cirebon)
ISIF CIREBON – Saya adalah seorang mahasantriwa SUPI Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) semester satu. Saya bersyukur bisa mengikuti kegiatan Camping Sangalikur, yaitu camping lintas iman. Camping ini diinisiasi oleh paroki dari berbagai gereja se-wilayah III Cirebon.
Melalui kegiatan camping lintas iman ini, saya belajar tentang bagaimana pentingnya saling mengenal, menghargai dan juga menghormati setiap keyakinan orang lain. Di sini saya bertemu dengan sekitar 70 teman dari berbagai latar belakang yang berbeda, ada yang Kristen, Hindu, Katolik dan ada juga teman-teman dari penghayat Sunda Wiwitan.
Sejak kecil saya sering mendengar bahwa sebagai muslimah yang baik, kita tidak boleh bergaul atau berteman dengan orang yang berbeda agama. Sebab, khawatir akan mendorong kita untuk pindah agama. Sebenarnya narasi-narasi ini juga sering aku dengar sih di media sosial, terutama di setiap hari Natal tiba.
Tapi, sejak masuk dan belajar di ISIF, aku diajarkan untuk berani membuka diri dan tidak takut untuk bergaul dengan orang yang berbeda denganku, baik beda agama, suku, ras ataupun keyakinan yang lain. Maka dari itu, aku tertarik ketika pertama kali diajak untuk ikut Camping Sangalikur. Aku berpikir bahwa dengan ikut belajar di kegiatan ini akan menambah wawasanku tentang makna toleransi.
Sebelum berangkat ke lokasi camping, saya dan teman-teman peserta yang lain berkumpul di Gereja Bunda Maria Cirebon. Itu adalah pengalaman pertamaku masuk ke rumah ibadah teman-teman Katolik. Awalnya ada rasa takut dan khawatir, namun aku melihat bahwa orang-orang di sana sangat ramah dan sama sekali tidak menakutkan seperti yang sering aku dengar. Dan dengan cepat aku pun mendapatkan teman yaitu Kak Dwi. Dia adalah salah satu remaja yang aktif di Gereja Bunda Maria.
Melalui obrolan ringan bersama Kak Dwi, aku jadi tau bahwa bahwa yang diajarkan di agama Kristen juga tidak jauh berbeda dengan Islam, yaitu selalu mendorong umatnya untuk selalu berbuat baik, menebar manfaat dan saling meberikan kasih sayang kepada seluruh manusia.
Selain itu, di Kristen juga ternyata ada budaya ziarahnya lho. Ah ternyata sikap berprasangka buruk itu emang timbul dari kurangnya pengetahuan kita tentang relaitas yang ada di lingkungan kita.
Setelah menunggu peserta kupul semua, akhirnya kami berangkat ke lokasi camping. Selama perjalanan dari Cirebon ke lokasi, aku senang sekali mendapatkan banyak teman yang asik dan santai. Sehingga tanpa waktu yang lamu, aku pun mendapatkan banyak teman.
Sebelum kegiatan di mulai, kami secara bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku pikir selain untuk menujukan rasa nasionalisme kita sebagai warga Indonesia, lagu ini juga mengingatkan kita bahwa walaupun kita berbeda, tapi kita harus tetap bersatu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Husein Muhammad bahwa perbedaan itu adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa.
Setelah itu, kami juga diajak untuk bermain satu game yang menurutku game ini membuat kami tambah saling mengenal satu sama lain. Sebab, dalam game tersebut kami saling berkenalan sambil menyampaikan kesan dan harapan setelah mengikuti Camping Sangalikur.
Selain acara yang dikemas secara asik, juga materi yang disampaikan oleh para narasumber juga keren-keren. Misalnya materi mengenai moderasi beragama yang disampaikan oleh Pak Marzuki Wahid. Beliau menyampaikan bahwa Tuhan itu memang satu, tapi cara penyebutan dan jalan menuju Tuhan itu banyak.
Dengan begitu, kita tidak perlu heboh dengan keragaman tersebut, justru harus kita rayakan dengan cara saling menghargai dan menghormati pilihan orang lain.
Selain itu, Pak Marzuki juga menambahkan bahwa mengutamakan kemanusiaan di atas segala sesuatu itu sangat penting, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Gus Dur. Gus Dur tidak pernah memandang orang yang berbeda itu rendah, sebab sejatinya di hadapan Tuhan semua manusia itu sama. Yang membedakankan ialah tingkat ketakwaannya, bukan agama ataupun latar belakang sosial lainnya.
Lalu yang terakhir, selain bersyukur bisa mengikuti camping lintas iman, aku juga berharap lebih banyak anak muda yang bisa ikut terlibat dalam ruang-ruang dialog lintas iman. Karena dengan ruang dialog seperti ini, kita bisa saling mengenal satu sama lain, saling berbagi cerita, pengalaman dan membangun relasi pertemanan yang solid. Karena seperti pepatah yang sering kita dengar bahwa “Tak kenal, maka tak sayang. Kalau udah kenal bisa lah kita jadi teman”. []
by Admin | 27 Oct 2022 | Mahasiswa & Alumni
Oleh: Ahmad Kamali Hairo
ISIF CIREBON – Adab bertetangga merupakan sebuah pemahaman tentang jalinan hubungan dengan tetangga berdasarkan harmonisasi akhlaqiyah (akhlak mulia). Adab bertetangga harus diaplikasikan bukan dalam bentuk teroritis, tetapi dalam bentuk praktik, yakni mengamalkan adab bertetangga secara humanis (kemanusiaan), sehingga akan menumbuhkan jalinan cinta kasih yang sejati antara sesama manusia, baik yang seagama maupun yang beda agama.
Pengamalan adab bertetangga secara humanis merupakan pemahaman dari ajaran Islam yang rahmatalil’alamin secara universal. Oleh karena itu, adab bertetangga merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus dibawakan secara humanisasi, hal ini untuk menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarakan radikalisme dan intoleran, melainkan Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.
Salah satu titik harmoni dari “Adab Bertetangga” ialah yang tersirat dalam sebuah syair berikut ini:
/1/Uluk salam kanggo salaman,
Uluk senyum kanggo tawadhu’an
/2/Ulur tangan kanggo dermawan,
Ngirim berkat kanggo duluran.
Harmoni yang dipancarkan dari “Adab Bertetangga” adalah sebuah gambaran perjalanan hidup manusia untuk selalu menebarkan benih-benih salam (kedamaian atau keselamatan) pada alam semesta.
Uluk salam adalah simbol ke-tasliman, ketundukan kita sebagai seorang ‘abid kepada Tuhan yang telah memberikan amanah hukum-hukum Islam (Islam, Iman, Ihsan) untuk diaplikasikan dengan penuh kemurnian hati sebagai bekal mendapatkan kebahagian di akhirat nanti.
Uluk senyum adalah simbol ke-tawadhu’an, kerendahan hati kita sebagai manusia yang penuh dengan lumpur kesombongan di saat kita berada di atas angin duniawi. Harmoni ini, akan mampu menyirnakan kesombongan yang bersemayam di dalam hati kita, di saat merasa memiliki dunia dan seisinya. Sungguh akan indah dan bening, jika tradisi uluk salam ini dilestarikan dalam hamparan sosial yang luas ini.
Ulur tangan adalah simbol ke-berpihakan, rasa perhatian kita terhadap sesama yang membutuhkan atas apa yang kita miliki. Harmoni ini, merupakan bagian dari esensi teologi pembebasan dalam rangka membebaskan diri kita dari pengaruh jahat sifat kikir, tamak, rakus, dan menentang arus kapitalisme yang menghegemoni dalam menguasai status sosial antara si miskin dan si kaya.
Dengan ini, tidak ada pertentangan strata sosial antar umat manusia, yang berujung pada eksploitasi hak-hak manusia dalam lingakaran teologi eksklusif.
Ngirim berkat adalah simbol ke-kerabatan, rasa jalinan kasih dengan mewujudkan persaudaran yang hakiki antar sesama. Harmoni ini dapat diaplikasikan melalui media saling berbagi atas apa yang kita miliki. Karena dengan ini, ketegangan budaya bisa di atasi secara bil hal dan dapat menumbuhka rasa saling memiliki tanpa kepribadian superioritas. []
by Admin | 22 Jun 2022 | Mahasiswa & Alumni
Oleh : Fajar Pahrul Ulum
Zakat merupakan salah satu filantropi Islam yang memiliki potensi yang sangat besar. Berdasarkan laporan akhir pada 12 April 2022 yang dipaparkan oleh Kepala Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Noor Achmad, menjelaskan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun.
Potensi yang besar itu apabila dikelola dengan management yang benar tentunya akan sangat berperan signifikan dalam membantu kaum fakir miskin dan mustahik lainnya untuk keluar dari kehidupan yang penuh kesulitan dan penderitaan.
Selama ini zakat yang dihimpun oleh Baznas didistribusikan melalui dua skema yakni komsumtif dan produktif. Skema konsumtif adalah penyaluran dana zakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para penerima. Sedangkan skema produktif disalurkan kepada penerima sebagai modal usaha baik usaha skala menengah, kecil, ataupun mikro.
Dalam distribusi zakat produktif, yakni penyaluran dana zakat berupa modal usaha, saya rasa Baznas kurang profesional dalam mendistribusikan zakat produktif tersebut. Karena tidak adanya follow up serta pendampingan kepada pihak yang menerima dalam mengelola modal usaha tersebut.
Akibatnya dana zakat yang digelontorkan kepada penerima itu tidak digunakan sesuai dengan yang diharapkan oleh Baznas. Malah dipakai bayar utang, cicilan, dan lain sebagainya.
Karena anggapan dari penerima zakat, sebagian besar mereka seperti sedang diberi bantuan uang cuma-cuma. Akibatnya, mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan mengabaikan arahan atau harapan yang diinginkan oleh pihak yang memberikan dana tersebut.
Melihat kondisi masyarakat yang seperti itu, ketika Baznas mendistribusikan zakat produktif tanpa adanya follow up dan pendampingan kepada mustahik dalam mengelola modal yang diberikan, sama halnya Baznas mengucurkan bantuan cuma-cuma, bukan bantuan modal usaha.
Pendampingan yang dimaksud adalah memberikan arahan serta kontrol kepada mustahik bagaimana mengawali usaha yang mereka bangun.
Misalnya, dalam distribusi zakat produktif untuk modal Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Supaya bantuan yang diberikan itu bisa direalisasikan oleh para mustahik, Baznas hendaknya melakukan follow up dengan cara mengadakan pelatihan atau seminar terkait.
Seperti bagaimana mengawali sebuah usaha, hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pengusaha pemula, motivasi-motivasi yang bisa meyakinkan para mustahik dalam mengawali usaha, dan lain sebagainya.
Dengan begitu, para mustahik akan punya pencerahan serta gambaran dalam mengawali usahanya.
Ketika ilmu usahanya sudah dikuasai, modal usahanya ada, insya Allah bantuan yang dikucurkan oleh Baznas tidak akan diselewengkan, melainkan digunakan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Baznas. []
Artikel ini telah terbit di LPM Latar ISIF berikut linknya : http://lpm-latar.isif.ac.id/2022/06/22/pentingnya-memahami-pendistribusian-zakat-produktif-bagi-para-mustahik/
by Admin | 18 Jun 2022 | Berita, Kegiatan, Mahasiswa & Alumni
ISIF CIREBON – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ISIF menggelar seminar Desa Preneurship di gedung auditorium Insitut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, pada Kamis, 16 Juni 2022.
Seminar yang bertajuk “Desa Preneurship: Membangun Perekonomian Desa Melalui Ekonomi Kreatif” itu dikaji oleh Penggagas Desa Preneurship, Budi Yuniarsa dan Direktur Lembaga Penjaminan Mutu (LPM)
Nadisa Astawi, Lc., M.Sh.
Budi Yuniarsa mengucapkan, desa preunership menjadi semangat untuk membangun desa berbasis ekonomi kreatif bagi para warganya.
“Desa preneurship menjadikan desa dapat bertahan dan berdaulat, salah satu contohnya dalam hal kedaulatan pangan,” kata Budi Yuniarsa.
Seminar yang dihadiri langsung oleh puluhan mahasiswa ISIF itu merupakan salah satu program DEMA ISIF untuk menambahkan pengetahuan, dan menambah relasi jaringan yang lebih luas.
“DEMA ingin menyelaraskan gerak dan peran mahasiswa dalam lingkup masyarakat dalam hal ini desa, dengan strategi pembangunan perekonomian desa yang salah satu caranya ialah dengan perspektif Desa Preneurship,” ucap Ketua DEMA ISIF, Gun Gun Gunawan.
Lebih lanjut, dia berharap seminar itu dapat menarik masyarakat desa untuk memiliki karakter wirausaha.
Sementara itu, Nadisa Astawi menyampaikan, Desa Preneurship adalah bagian dari prinsip Participation Action Research (PAR).
Pasalnya di dalam prinsip PAR mengandung cara komunikatif dan inovatif.
“Kampus desa adalah bagian dari PAR untuk dipadukan secara berkelanjutan dengan cara komunikatif dan inovatif secara bersama sama membangun kemandirian dan kedaulatan ketahanan pangan,” tukasnya. (Gun)
by Admin | 17 Jun 2022 | Mahasiswa & Alumni
Oleh : Gun Gun Gunawan (Ketua DEMA ISIF)
Secara umum, moderasi beragama merupakan gerakan jalan tengah dalam memediasi persoalan relasi antar umat beragama.
Moderasi beragama juga menjadi cara pandang mengenai praktik beragama yang mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama.
Selain itu, moderasi beragama juga hadir untuk memberikan alternatif terhadap persoalan keberagaman. Pasalnya, keberagaman ini merupakan anugerah yang telah diberikan Allah Swt.
Jika merujuk pada pandangan Lukman Hakim Syaifuddin dalam buku “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya” moderasi beragama merupakan cara pandang sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengerjakan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.
Bagi Lukman, frasa “dalam kehidupan bersama” mengindikasikan bahwa penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang dimaksud dalam penguatan moderasi beragama utamanya adalah menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Artinya, moderasi beragama tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kehidupan dan praktik beragama individu sebagai pribadi.
Frasa “mengejawantahkan esensi ajaran agama” mengindikasikan bahwa moderasi beragama menekankan adanya pemahaman dan praktik beragama substantif yang selalu mengedepankan esensi setiap ajaran dan ritual agama.
Kerangka berpikir urgensi moderasi beragama ini dibangun di atas kesadaran bahwa esensi ajaran agama yang paling luhur adalah martabat kemanusiaan.
Oleh sebab itu, perlu ditekankan bahwa tujuan utama sikap moderat ditujukan untuk melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum.
Nilai-nilai yang telah disebut pun harus berlandas pada prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.
Poin ini lebih pada penegasan kepada cara pandang, sikap, dan perilaku ajaran keagamaan tidak boleh mengakibatkan adanya penyimpanan dan pelanggaran terhadap ideologi dan konstitusi negara (Pancasila dan UUD 1945) yang telah menjadi konsesus bersama bangsa Indonesia.
Karena sejatinya paham akan moderasi beragama secara eksplisit telah meniscayakan pada setiap warga negara Indonesia untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. []